Amalan Agar Bertemu Rasulullah dalam Mimpi

BERJUMPA dan berbicara dengan Rasulullah adalah keinginan hampir setiap muslim di dunia. Siapa yang tidak ingin berjumpa dengan manusia paling mulia sepanjang sejarah manusia?

Namun hal itu sepertinya mustahil dilakukan mengingat Rasulullah SAW telah wafat berabab-abad yang lalu. Yang dimaksud dengan melihat di sini tentu saja dalam mimpi. Namun demikian, walaupun dalam mimpi, orang dalam mimpi tersebut adalah benar Rasulullah SAW. Hal ini bisa dipastikan karena tidak ada satu pun makhluk yang mampu menyerupai Rasulullah SAW.

Untuk bisa bertemu dengan Rasulullah dalam mimpi, ada amalan-amalan yang bisa dilakukan. Imam Al Ghazali dalam kitabnya arifillah mengatakan bahwa barang siapa yang Istiqamah membaca salawat (di bawah) ini sehari semalam sebanyak lima ratus kali, ia takkan mati sebelum bertemu Nabi Saw dalam keadaan terjaga. Iya, walaupun antara Rasulullah SAW dan umatnya telah berbeda alam (barzah dan dunia), tapi Imam Ghazali mengatakan umatnya bisa saja bertemu Rasulullah dalam keadaan terjaga.

Bacaan shalat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

“Dalam kitab yang lain, Bustanul Fuqaraa, Imam Al Ghazali juga mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang bershalawat atasku pada hari Jumat sebanyak seribu kali yakni salawat:
maka dia akan melihat Tuhannya pada waktu malam atau nabinya atau tempat tinggalnya dalam surga. Jika tidak terlihat, maka hendaklah dia berbuat yang demikian dalam dua Jumat atau tiga atau hingga lima kali Jumat.”

Selain kedua macam salawat di atas, ada juga amalan lain seperti disebutkan oleh Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam kitabnya Al Ghaniyah. Beliau mengatakan bahwa dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa salat dua rakaat pada malam Jumat, dalam setiap rakaat membaca al-Fatihah dan ayat kursi satu kali dan lima belas kali, kemudian pada akhir salat bershalawat seribu kali: Maka ia akan melihatku dalam mimpi sebelum datang Jumat yang lain. Dan barang siapa yang melihatku maka dia akan masuk surga dan diampuni segala dosanya yang telah lewat dan yang akan menyusul.”

Itulah beberapa amalan yang bisa menjadi wasilah bertemunya kita dengan Rasulullah SAW. [Fimadani]

INILAH MOZAIK

Istighfar Melapangkan Rezeki

ISTIGHFAR mengandung banyak keutamaan selain permohonan ampunan kepada Allah. Syekh Abdul Wahhab As-Syarani dalam kitab Al-Minahus Saniyyah mengutip hadis Rasulullah SAW yang menyebutkan kelapangan rezeki sebagai salah satu keutamaan istighfar:

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, Siapa saja mengekalkan bacaan istighfar, niscaya Allah jadikan baginya sebuah jalan keluar di tengah kesempitan dan sebuah kelonggaran di tengah kesumpekan; dan Allah kucurkan rezeki kepadanya dari jalan yang ia tidak perhitungkan.”

Istighfar juga disebutkan di dalam Al-Quran, Surat Al-Anfal ayat 33.

Artinya, “Dan Allah SWT tidak akan mengazab mereka selagi mereka memohon ampunan-Nya.”

Syekh Ibnu Ajibah dalam Iqazhul Himam menyatakan bahwa makna istighfar bagi kalangan sufi tidak jauh berbeda dengan makna istighfar di kalangan awam. Hanya saja nilai dosa menurut mereka berbeda dari sesuatu yang dianggap dosa oleh orang awam.

Artinya, “Menurut saya, turun dengan suul adab adalah turunnya mereka dalam menuntut pahala atau harta, yaitu balasan. Sedangkan kelalaian adalah melihat diri saat beramal. Bagi kalangan sufi, hal ini dianggap sebuah dosa di mana mereka beristighfar. Oleh karenanya, istighfar mereka setelah shalat berasal dari perasaan hadir diri mereka sebagaimana sebuah syair mengatakan, Wujudmu adalah dosa yang tidak terbandingkan oleh dosa lain,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 382).

Syekh Abdul Wahhab As-Syarani juga menjelaskan hal yang sama. Menurutnya, istighfar di akhir ibadah merupakan pengakuan atas kekurangan dalam ibadah tersebut:

Artinya,”Arifun menyepakati anjuran istighfar usai beramal saleh. Dalam riwayat, para sahabat bercerita bahwa Rasulullah SAW beristighfar 3 kali tiap selepas sembahyang wajib. Maksudnya, menetapkan syariat istighfar usai beramal bagi umatnya sekaligus mengingatkan akan ketidaksempurnaan ibadah mereka.” Wallahu alam. [nuol/Alhafiz K]

INILAH MOZAIK

Perbanyak Istigfar Dapat Kemudahan di Saat Sulit

PERBANYAK istigfar. Coba sahabatku buka surah Nuh ayat 10 -13, dengan banyak istigfar, Allah bukakan “biamwaalin” rezeki yang melimpah. Rasulullah bersabda, “Barang siapa membiasakan istigfar, maka Allah mudahkan saat sulit, Allah tunjukkan jalan keluar dari masalahnya, dan Allah beri rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka,” (HR Ibnu Majah dan Abu Dawud).

Dosa itu membuat masalah, gelisah, dan sial, “Kemalangan kemalangan kalian karena dosa-dosa kalian” (QS Yasin 19), kalaupun sukses karena dosa itu “istidraaj” kesenangan sesaat dan semu, kemudian akhirnya bala juga (QS Hud 15-16).

Dengan istigfar, Allah angkat dosa. Dengan terangkat dosa, terangkatlah masalah, gelisah, dan kesialan. Saatnya bagi sahabatku untuk selalu beristigfar saat berdiri, duduk, berbaring, di rumah, di kendaraan, di kantor, di pasar, di mana saja dan setiap selesai salat Fardu untuk tidak buru buru beranjak, beristigfar lebih dulu, dan terutama beristigfar di keheningan malam.

Seperti dalam firman-Nya: “Hamba-hamba Allah yang beriman itu sedikit sekali rehatnya di waktu malam karena banyaknya mohon ampunan Allah,” (QS Azh Zhaariyaat 17-18).

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar dan bertobat kepada Allah lebih dari 70 kali dalam sehari,” (HR Bukhari).

Sahabat salehku, Arifin yang banyak dosa ini berazam minimal sehari 1000 X, dan bukan seribu selesai tetapi terus dan terus Istigfar sehingga ketenangan dan energi taat terus bersama kita.

“Do it right now, you find it insya Allah sahabatku. Aamiin”. [Ustaz Arifin Ilham]

INILAH MOZAIK

Lima Ayat Ini Memotivasi Anda dalam Hadapi Masalah

SETIAP orang pasti akan menghadapi masalah dalam hidupnya. Ketika masalah satu sudah selesai maka akan datang masalah berikutnya. Namun, janganlah merasa bosan dengan itu semua.

Hal-hal seperti itu pasti akan dialami oleh semua orang. Justru hal-hal seperti itu yang nantinya akan menguatkan kita di kemudian hari. Sekarang Anda tidak perlu khawatir ketika menghadapi masalah dalam hidup ini. Berikut ada 5 ayat dari Alquran yang Insya Allah akan memotivasi kita ketika menghadapi masalah, yaitu:

1. Anda bisa berubah, jika Anda mau mengubah diri Anda

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri,” (QS. Ar-Rad:11).

Apa pun kondisi Anda saat ini, jika Anda mau berubah, maka Anda harus mengubah diri sendiri. Maka Allah akan mengubah Anda. Inilah yang sering dilupakan, banyak yang berharap orang lain atau yang di luar berubah, tetapi melupakan diri sendiri yang diubah. Ayat ini memotivasi kita untuk mengubah diri kita, maka yang lain akan berubah atas bantuan Allah. Jangan hanya menuntut yang di luar diri berubah. Anda jauh lebih mudah mengubah diri sendiri, daripada mengubah orang lain. Ayat ini adalah motivasi untuk berubah.

2. Kebaikan di balik yang tidak kita sukai

“Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui,” (QS. Al-Baqarah: 216).

Sering kali, saat seseorang mendapati sesuatu yang tidak dia sukai, maka dia marah, kecewa, sedih, ngomel, dan akhirnya putus asa. Padahal, bisa jadi apa yang tidak dia sukai itu malah baik baginya. Jangan kecewa saat Anda tidak diterima di sebuah perusahaan untuk menjadi karyawannya. Bisa jadi itu yang terbaik bagi Anda. Bisa jadi Anda akan mendapatkan pekerjaan lebih baik. Bisa jadi, justru akan mendapatkan hal buruk jika diterima di perusahaan itu. Kita tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi. Untuk itu, syukuri apa pun yang terjadi saat ini termasuk penolakan dan kekecewaan lainnya.

3. Anda pasti sanggup

“Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” (QS. Al-Baqarah: 286).

Jika Anda mengatakan, “saya tidak akan sanggup”, sebenarnya Anda sudah mendahului Allah. Anda sok tahu, bahwa Anda tidak akan mampu. Kata siapa? Itu hanya pemikiran negatif Anda. Bisa karena malas, manja, atau cengeng. Padahal jelas, dalam ayat di atas bahwa kita tidak akan dibebani beban apa pun kecuali sesuai dengan kesanggupan kita. Jika Anda berpikir tidak sanggup, itu hanya anggapan Anda saja. Anda pasti sanggup jika Anda menyanggupinya. Jangan kalah oleh pikiran negatif Anda yang dengan mudah mengatakan tidak sanggup.

4. Kemudahan bersama kesulitan

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,” (QS. Al-Insyirah: 5-6).

Kebanyakan orang, saat menghadapi kesulitan, dia berhenti alias menyerah. Ada juga yang mengeluh, berharap orang lain mau membantunya mengatasi kesulitan dia. Padahal, bersama kesulitan itu adalah kemudahan. Jika Anda menghindari kesulitan, Anda tidak akan mendapatkan kemudahan. Jika Anda berharap orang lain yang mengatasi kesulitan, maka kemudahan akan menjadi milik orang lain. Anda tidak akan mendapatkan kemudahan dari kematangan, keterampilan, dan pengalaman yang didapatkan.

5. Takwa dan tawakal

“Barang siapa bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak ia sangka, dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka cukuplah Allah baginya, Sesungguhnya Allah melaksanakan kehendak-Nya, Dia telah menjadikan untuk setiap sesuatu kadarnya,” (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Dua akhlak ini luar biasa. Tidak ada yang bisa mengalahkannya. Sedang menghadapi masalah atau tantangan besar? Butuh jalan keluar? Maka bertakwalah, Allah akan memberikan jalan keluar juga rezeki yang tidak ia sangka. Jika kekuatan tawakal, Anda akan dicukupkan, termasuk dicukupkan segalanya untuk menghadapi rintangan, halangan, tantangan, dan juga masalah.

[motivasi-islami]

INILAH MOZAIK

Tujuan Hidup untuk Menyembah Allah

SEANDAINYA hidup ini hanyalah sebatas makan, minum, tidur, bekerja menikah, memperoleh keturunan, mencukupi diri dan keluarga, serta berbuat baik kepada orang sekitar. Maka kehidupan kita, tiada bedanya dengan kehidupan hewani.

Akan tetapi kehidupan itu memiliki tujuan yang benar. Yaitu menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya sedikitpun.

Seandainya kematian itu mengakhiri segalanya, tanpa ada pertanggung-jawaban lagi setelahnya. Maka sia-sia dan tiada berarti proses kehidupan yang kita jalani.

Akan tetapi setelah kematian itu ada pertanggung jawaban dan balasan. Dimana seluruh amalan kita akan dihisab, dan kita akan dibalas tanpa ada kezaliman sedikitpun.

Maka hendaknya kita hidup diatas Islam, yaitu mentauhidkan Allah serta bertakwa kepadaNya dengan sebenar-benarnya takwa (sampai batas kemampuan kita), agar semoga kita meninggalkan dunia ini, dalam keadaan muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kabar gembira yang dikatakan malaikat kepada seorang mukmin di alam kubur:

“dan dikatakan (malaikat kepadanya) Dahulu kamu hidup diatas keyakinan (Islam), dan mati di atas keyakinan (Islam), dan di atasnya pula insya Allah kamu akan dibangkitkan.” (HR. Ahmad, dishahiihkan oleh Syaikh Muqbil dalam ash-shahiihul musnad)

Berkata al Imam Ibnu Katsiir (dalam menafsirkan QS 3: 102):

“Peliharalah keislamanmu sepanjang waktu, supaya kamu mati dalam keadaan Islam. Dan di antara sunnatullah adalah barangsiapa yang hidup di atas sesuatu, maka ia akan mati dengan sesuatu tersebut. Dan barangsiapa yang mati atas sesuatu itu, maka Allah akan membangkitkannya dengan sesuatu itu. Maka kita berlindung kepada Allah dari (hidup) dalam keadaan menyalahi Islam.”

[Abu Zuhrie Rikhy]

INILAH MOZAIK

Menjaga Lisan dari Ucapan-Ucapan Kotor (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Menjaga Lisan dari Ucapan-Ucapan Kotor (Bag. 1)

Dosa yang Paling Banyak Memasukkan Manusia ke Neraka

Dosa (karena) lisan adalah di antara perbuatan yang paling banyak memasukkan ke neraka

Dosa lisan termasuk dalam dosa yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka. Hal ini karena bisa jadi seseorang sangat hati-hati menjaga dirinya dari makanan yang haram, namun ceroboh dan tidak memperhatikan apa yang keluar dari lisannya. 

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang (amal) yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الخُلُقِ

“Takwa kepada Allah Ta’ala dan akhlak yang baik.”

Dosa Akibat Buruknya Lisan

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ditanya tentang (dosa) yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الفَمُ وَالفَرْجُ

“(Dosa) lidah dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Dosa yang disebabkan oleh lisan dan dosa yang disebabkan oleh kemaluan (yaitu berzina) adalah dosa yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka. Karena sebab lisan inilah seseorang bisa terjerumus dalam banyak masalah. Sebagaimana yang bisa kita saksikan di jaman ini, betapa mudahnya seseorang menulis status di media sosial, berkomentar sana-sini, setelah itu dia pun mendapatkan banyak masalah karena status dan komentarnya. 

Diriwayatkan dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau suatu ketika menemui Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu yang sedang menarik lidahnya. ‘Umar berkata kepada Abu Bakr,

مَهْ. غَفَرَ اللهُ لَكَ

“Ada apa ini, semoga Allah Ta’ala mengampunimu.”

Abu Bakr berkata,

إِنَّ هذَا أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ

“Sesungguhnya (lidah) ini menjerumuskan kita dalam banyak masalah.” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ 2: 988 dan An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 11841)

Oleh karena itu, perkara (dosa) lisan adalah perkara yang paling dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menimpa para sahabatnya.

Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Abdullah Ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, ceritakan (sampaikan) padaku suatu hal yang bisa aku jadikan sebagai pedoman.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ

“Katakan, “Rabbku adalah Allah”, kemudian istiqamahlah.” 

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang paling Engkau takutkan padaku?” 

Beliau memegang lidah beliau, lalu menjawab, 

هَذَا

“Ini.” (HR. Tirmidzi no. 2410 dan Ibnu Majah no. 3972, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Menjaga Lisan Adalah Sumber Keselamatan

Sehingga siapa saja yang dapat menahan dan menjaga lisannya, hal itu adalah sumber keselamatan baginya. Sahabat ‘Uqbah bin ‘Aamir radhiyallahu ‘anhu bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ

“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ

“Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu merasa lapang (artinya: betahlah untuk tinggal di rumah), dan menangislah karena dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi no. 2406, shahih)

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الجَنَّةَ

“Barangsiapa yang dapat menjamin bagiku sesuatu yang berada di antara jenggotnya (yaitu mulut, pen.) dan di antara kedua kakinya (yaitu kemaluan, pen.), maka aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari no. 6474)

Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan dengan lafadz,

مَنْ وَقَاهُ اللَّهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ، وَشَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barangsiapa yang dijaga oleh Allah dari kejahatan sesuatu yang ada di antara kedua jambangnya (yaitu lisan, pen.) dan kejahatan apa yang ada di antara kedua kakinya (yaitu kemaluan, pen.), maka dia masuk surga.” (HR. Tirmidzi no. 2409, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)

Menjaga Lisan Adalah Pokok-Pokok Kebaikan

Tidaklah mengherankan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa menjaga lisan adalah di antara pokok kebaikan. Diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dalam sebuah hadits yang panjang, di akhir hadits disebutkan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ

“Maukah Engkau aku kabarkan dengan sesuatu yang menjadi kunci itu semua?” 

Aku menjawab, “Ya, wahai Nabi Allah.” 

Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda, 

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا

“Tahanlah (lidah)-mu ini.” 

Aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, (apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan?” 

Beliau menjawab, 

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“(Celakalah kamu), ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz! [1] Tidaklah manusia itu disungkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka, melainkan karena hasil ucapan lisan mereka.” (HR. Tirmidzi no. 2616, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Menjaga Lisan Adalah Tanda Benarnya Iman

Mengingat betapa besar bahaya dosa lisan, kita dapati petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengaitkan benarnya keimanan seseorang dengan apa yang keluar dari lisannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia tidak menyakiti tetangganya [2]. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 47. Lafadz hadits ini milik Bukhari.)

Ucapan yang baik itu bisa dilihat dari bagaimanakah niat seseorang ketika mengucapkannya. Bisa juga dilihat dari cara penyampaiannya dan juga akibat (dampak) dari ucapan tersebut. Inilah tiga hal yang perlu kita perhatikan dalam mengucapkan sebuah kalimat.

Seseorang yang benar dan jujur imannya kepada Allah Ta’ala dan hari akhir, tentu dia akan menjaga lisannya, dia hanya mengucapkan ucapan-ucapan yang baik. Ketakwaan dan isi hatinya, akan tercermin dari apa yang keluar dari lisannya.

Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ: اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ، فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“Bila manusia berada di waktu pagi, seluruh anggota badan tunduk kepada lisan lalu berkata, “Takutlah kepada Allah untuk kami, kami bergantung padamu. Bila Engkau lurus, kami pun lurus. Dan bila Engkau bengkok, kami pun bengkok.” (HR. Tirmidzi no. 2407, dinilai hasan oleh Al-Albani) 

Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan untuk kita semua, terutama di jaman kita sekarang ini. [3]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52002-menjaga-lisan-dari-ucapan-ucapan-kotor-bag-2.html

Sabar dan Syukur

Penyandang predikat sabar dan syukur memiliki daya pikir yang kuat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur. (QS Lukman [31]: 31)

Sabar terdiri dari huruf shad, ba dan ra,  yang secara bahasa adalah masdar dari fi’il madli, shabara, yang berarti ‘menahan’. Menurut Rasyid Ridho, sabar adalah menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan dengan perasaan rida, ikhtiar, dan penyerahan diri. Dalam maknanya yang lebih luas, sabar mencakup tiga hal, yakni sabar melaksanakan perintah Allah, sabar menjauhi dosa atau maksiat, dan sabar menghadapi kesulitan dan cobaan.

Sedangkan, syukur (al-Syukr) adalah bentuk masdar dari kata kerja lampau syakara. Maknanya adalah mengakui nikmat dan menampakkannya. Lawannya adalah al-Kufr, melupakan nikmat dan menyembunyikannya. Hakikat syukur adalah sikap positif dalam menghadapi nikmat yang mencerminkan hubungan timbal balik antara penerima dan pemberi nikmat. Dalam pandangan al-Ghazali, syukur merupakan salah satu maqam (tempat) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Ketika menghadapi berbagai macam musibah, seperti banjir, tanah longsong, dan gempa, kita diperintahkan untuk bersabar dalam menghadapinya seraya mengucapkan, Innalillahi wainna ilaihi rajiun.” (segala sesuatu datangnya dari Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya). Tentunya, ini disertai dengan tindakan nyata, yakni segera bangkit kembali untuk memulai kehidupan dan tak berputus asa.

 Sebab, dengan kesabaran itu, kita akan dicirikan sebagai orang yang al-mukhbitin atau tunduk dan taat kepada Allah (QS [103]: 34-35), al-Mukhlisin atau orang yang berbuat baik (QS [11]: 115), ulu al-albab atau orang yang arif, dan al-Muttaqin atau ciri orang yang bertakwa (QS [3]: 15-17).

Sebaliknya, jika tidak mengalami musibah tersebut, kita diperintahkan untuk bersyukur dengan mengucap, Alhamdulillahi rabbil alamiin.” (segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam semesta). Rasa syukur itu tidak hanya sebatas ucapan, tetapi juga dalam bentuk tindakkan nyata, yakni dengan membantu saudara-suadara kita yang terkena musibah, baik dalam bentuk materi maupun bukan materi.  Sesungguhnya, musibah dapat menimpa siapapun, kapanpun, dan di mana pun.

Kemampuan yang dimiliki oleh orang yang memiliki predikat sabar dan syukur tidak terbatas dalam memahami tanda-tanda yang dapat diamati dan dirasakan, atau yang bersifat empiris (qauniyah). Namun, mereka juga dapat memahami tanda-tanda dalam bentuk pemberitaan firman Tuhan, seperti termaktub dalam kitab suci, atau ayat qauliyah. 

Dengan mengacu kepada beberapa tanda dalam Alquran, penyandang predikat sabar dan syukur memiliki daya pikir yang kuat, mampu berfikir secara empiris maupun rasional, serta memiliki kepekaan rasa yang tinggi terhadap berbagai hal yang menyenangkan ataupun menyusahkan. Kemampuan tersebut mengantarkan mereka menjadi hamba yang beriman kepada Allah SWT. Wallahu A’lam.

HIKMAH REPUBLIKA


Anak-Anak yang Terlepas

Mendidik anak adalah amanah terbesar yang Allah berikan kepada orang tua.

Dua pekan lalu, di tengah aksi unjuk rasa pelajar di Jakarta, ada kejadian yang mengharukan. Seorang ibu seketika tampil dengan pengeras suara untuk menenangkan massa yang anarkistis dan memanggil nama anaknya.

“Nak, kamu anak sekolah. Belajar, belajar, itu tugas kalian. Orang tua kalian menunggu di rumah. Kamu anak saleh, tolong hentikan, untuk apa kamu lakukan ini. Kasihan orang tua kalian, pasti mereka sangat waswas. Anakku Faiz, tolong pulang ya sayang…” Itulah ungkapan hati seorang ibu sambil menangis setelah mengetahui anaknya ikut dalam aksi tersebut.

Kejadian di atas menyadarkan bahwa ada masalah dalam pendidikan anak-anak kita. Paling tidak, ada tiga hal yang patut dievaluasi dan dicari solusi.

Pertama, sedemikian rapuhnya relasi dan komunikasi antara orang tua dan anak di rumah, sehingga tidak merasa perlu minta izin untuk melakukan sesuatu. Sekolah Pertama (al-madrasah al-uulaa) adalah keluarga, di mana ayah dan ibu menjadi guru utama. Dalam keluarga nilai-nilai keimanan (akidah), ketaatan (ibadah), dan kebaikan (akhlak) ditanam dan ditumbuhkan. Adakah anak-anak kita kehilangan adab atau orang tua yang belum sungguhsungguh mengajarkannya?

Kedua, sedemikian renggangnya hubungan intelektual dan emosional antara guru dan murid sehingga begitu mudah tidak hadir di sekolah. Sekolah Kedua (al-madrasah ats-tsaaniyah) adalah lembaga pendidikan formal, di mana guru menjadi orang tuanya. Ketika murid meninggalkan pembelajaran, rasa hormat mereka telah sirna. Pendidikan adab dalam keluarga lalu dipupuk di sekolah, semestinya membuat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang berkeadaban.

Ketiga, sedemikian kuatnya pengaruh media sosial dan teman sebaya sehingga mementahkan peran orang tua dan guru. Sekolah Ketiga (al-madrasah ats-tsaalitsah) adalah media. Kejadian di atas menyatakan, ada kekuatan besar yang sangat menentukan pertumbuhan anak-anak kita, yakni media sosial (medsos). Oleh karenanya, baik orang tua maupun guru harus menguatkan dan mengeratkan kembali jalinan kasih sayang dengan anak-anaknya.

Dr Abdul Aziz Bin Fauzan dalam buku “Aturan Islam tentang Bergaul dengan Sesama” (2010), mengatakan, hubungan antara orang tua dan anak adalah resiprokal dan saling menopang. Setiap kali anak merasakan adanya perhatian orang tua, ia akan semakin berbakti, tulus, dan terdorong untuk memberikan hak-haknya. Adapun sebaliknya, jika yang dirasakan adalah kurang kasih sayang, kurang perhatian, dan tidak peduli dengan pendidikannya, relasi akan menjadi kaku, dingin, dan hampa.

Mendidik anak adalah amanah terbesar yang Allah berikan kepada orang tua. (QS 8:27-28). Karena itu pula, orang tua diperintahkan menjaga keluarganya dari siksa neraka. (QS.66:6). Sejatinya, neraka bukan hanya api yang membara di akhirat nanti, melainkan juga segala tindakan atau keadaan yang menyengsarakan hidup di dunia. Oleh karena itu, Nabi SAW mengingatkan akan arti kepemim pinan dalam keluarga, yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. (HR Bukhari).

Akhirnya, jika hari ini anak-anak terlepas dari geng gaman karena kuatnya pengaruh media sosial dan ling kungan, boleh jadi suatu hari mereka akan terhempas dari pelukan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menguatkan pendidikan adab, serta meningkatkan perha tian dan pengawasan dalam pergaulannya. Insya Allah, anak-anak kita tidak akan terlepas lagi, aamiin. Allahu a’lam bish-shawab. 

Oleh: Hasan Basri Tanjunh

KHAZANAH REPUBLIKA