Arteria Dahlan dan Hilangnya Akhlak Anak Muda

Dalam forum diskusi siaran langsung, Arteria Dahlan, anggota DPR dari F-PDI Perjuangan terlihat membentak-bentak Prof. Emil Salim yang dua kali lebih tua umurnya.

Pernah mendengar kisah Rasululullah SAW menyuapi orang tua Yahudi? Walaupun kisah tersebut bersumber dari hadis daif, kita jadi bisa berfikir bahwa Rasulullah SAW tetap menjunjung tinggi akhlaknya, walaupun kepada orang yang berbeda agama dengan dia, bahkan dikisahkan bahwa orang tua Yahudi tersebut setiap hari mencela Rasulullah SAW. Arteria dahlan.

Sayangnya, akhlak Rasul, sebagai ajaran Rasulullah SAW yang paling inti, belum bisa diamalkan dengan baik oleh umatnya. Kejadian Arteria Dahlan mengamuk di depan orang yang dua kali lebih tau darinya, Prof. Emil Salim, kemarin memberi tanda kepada kita bahwa akhlak anak muda kepada orang tua, sebagaimana diajarkan Rasulullah tidak sepenuhnya mudah diamalkan.

Padahal, yang terjadi antara Arteria Dahlan dan Prof Emil Salim hanyalah perbedaan pendapat, jauh berbeda dengan kisah Rasulullah SAW dengan orang tua Yahudi yang disebutkan di atas. Perbedaan yang dihadapi Rasulullah bukan hanya sekedar berbeda pendapat. Jika hanya berbeda pendapat saja, seorang yang lebih muda seperti Arteria Dahlan tega berteriak-teriak seperti itu, bagaimana dengan perbedaan yang lebih kompleks lagi?

Dalam kasus lain, kita masih sering menemukan murid-murid yang membentak-bentak gurunya, bahkan dalam beberapa kasus, sang murid tega menganiaya gurunya. Hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa ada yang hilang dalam diri anak-anak muda, akhlak. Bahkan untuk menyikapi hal ini, Quraish Shihab secara khusus menulis buku yang berjudul “Yang hilang diri kita, Akhlak.”

Antara Akhlak dan Ilmu: Dahulukan Akhlak

Suatu hari Abdullah bin Mubarak ditanya perihal ilmu oleh salah satu sahabatnya. Peratanyaan sahabatnya saat itu adalah mana yang harus didahulukan belajar ilmu atau belajar akhlak. Dalam sebuah kitab tarajum yang ditulis oleh al-Mizi dalam kitabnya Tahdzibul Kamal diceritakan bahwa saat itu Abdullah ibn Mubarak menjawab bahwa akhlak yang harus didahulukan.

Ibn Mubarak bercerita, “Saya mempelajari adab selama tiga puluh tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama dua puluh tahun, dan mereka (para ulama) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu.”

Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak apapun ilmu yang dimiliki, akhlak yang paling utama. Perbedaan adalah keniscayaan, tapi jika dibarengi dengan akhlak maka hilang sudah buah ilmu yang kita miliki.

Bagi alumni pesantren seperti saya, perbedaan pendapat saat diskusi dalam forum-forum keagamaan yang diselenggarakan pesantren, seperti Bahtsul Masail, adalah hal yang lumrah. Kadang kami gontok-gontokan dengan kelompok atau delegasi dari kelas lain, bahkan beberapa kali juga berbeda pendapat dengan para perumus yang notabenenya adalah guru-guru sepuh yang umurnya jauh di atas kita.

Namun buat saya dan teman-teman di pesantren, perbedaan dengan ustadz atau guru adalah hal yang wajar, selama kami menyampaikannya dengan baik dan sopan. Di luar forum kita masih akrab ngobrol bersama dan beberapa kali ngopi bersama.

Walhasil, kita sebagai anak muda, perlu lagi belajar, tidak hanya belajar ilmu, tapi juga mendalami kembali akhlak kita, terlebih akhlak kita kepada orang yang lebih tua. Apalagi dalam budaya ketimuran menghormati orang yang lebih tua adalah budaya yang sangat dijunjung tinggi.

Jika Rasulullah SAW saja bisa menghormati orang tua yang beragama Yahudi dan masih bersikap sopan santun dengannya, masak kita sebagai anak muda, hanya berbeda pendapat saja tega membentak-bentak orang tua.

Wallahu a’lam.

ISLAM.co

Asal-usul Bergesernya Ahad Menjadi Minggu

MUNCULNYA istilah hari minggu dimulai dari seorang pendeta Nashrani di zaman Belanda yang selalu memberikan kothbah gereja pada hari Ahad.

Pendeta tersebut bernama “Santo Da Minggoes”. Ia seorang portugis.

Karena siasat dan upaya keras sosok pendeta Santo Da Minggoes megawali dan membudayakan ritual ke-Kristenan di hari Ahad, sekaligus sebagai penghormatan dan peringatan ummat Nashrani kepadanya, maka ummat Kristen di Indonesia berusaha keras mengganti istilah hari Ahad menjadi hari Minggu.

Melihat kedepan istilah ini sangat penting dan strategis sebagai wujud besarnya eksistensi ke-kristenan di Indonesia, maka organisasi gereja dan nasrani berupaya keras untuk mensiasati dan menggeser-menggusur istilah Islam (hari Ahad) yang telah lama terpatri dalam khasanah perbendaharaan kata di Indonesia menjadi istilah ke kristenan pada tingkat Nasional dengan mengganti istilah kata hari Ahad dengan menyebutkanya dengan kata hari Minggu.

Dalam kenyataanya proses sosialisasi dan penggusuran kata hari Ahad menjadi hari minggu tersebut sangat halus serta sukses dan bahkan menjadi sebutan keseharian kita saat ini.

Kata Ahad sangat bermakna dan strategis di dalam nama-nama hari dan tidak dapat dipisahkan dengan nama enam hari berikutnya yang sudah baku.

Apabila selama ini kita menyebut 7 hari dalam sebulan dengan ‘seminggu’, maka yang sangat baik dan benar dalam bahasa indonesia adalah Sepekan.

Sebutan ‘minggu ini’ harus diganti dengan ‘Ahad ini’, ‘minggu depan’ dengan ‘Ahad depan’.

Bukti cinta kita kepada Islam dan bangsa Indonesia, adalah menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar agar generasi Islam bangsa Indonesia kedepan menjadi generasi yang berharkat martabat, terhormat dan santun. []

Sumber: Makalah Prof. DR. M. Abdurrahman, MA yang dikutip dari laman Persis.or.id

ISLAMPOS



Zuhud Yang Banyak Disalah Pahami

Dalam pengertian banyak orang, zuhud adalah menghindari hal-hal yang bersifat keduniaan. Mereka tidak mengerti, mana perkara-perkara duniawi yang tercela, yang harus ditinggalkan, dan mana yang boleh didekati. Sehingga iblis berkesempatan mempermainkan mereka. Lahirlah anggapan bahwa seseorang tidak akan selamat akhiratnya, kecuali jika meninggalkan dunia seisinya. Kalau perlu menyendiri di suatu tempat terpencil, khusus untuk melakukan peribadatan kepada Allah. Meskipun dengan meninggalkan keluarga, orang tua dan bahkan shalat berjama’ah serta shalat Jum’at. Sebagian orang menganggap, inilah zuhud yang hakiki. Persepsi semacam ini muncul lantaran kedangkalan terhadap ilmu agama.[1]

Orang awam yang jenuh dengan gemerlap dunia, atau muak melihat kepalsuan serta tipu muslihat dunia dan ingin mendapatkan ketenteraman rohani, mungkin akan mudah terperangkap dalam pengertian zuhud di atas. Ia akan lahap untuk mendengarkan secara salah ayat-ayat, hadits-hadits serta ceramah-cermah yang berisi celaan terhadap dunia. Asal berbau dunia, semuanya buruk dan negatif. Akhirnya akan berasumsi bahwa keselamatan akhirat hanya dapat diraih dengan meninggalkan dunia, meningalkan pekerjaan dan bermalas-malasan dengan dalih ibadah.

MAKNA ZUHUD[2]
Sebenarnya Apa Dan Bagaimana Zuhud Itu?
Zuhud secara bahasa adalah lawan kata gemar. Gemar merupakan suatu bentuk keinginan. Sedangkan zuhud adalah hilangnya keinginan terhadap sesuatu, baik disertai kebencian ataupun hanya sekedar hilang keinginan. [3]

Zuhud Menurut Pengertian Syari’at.
Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi mengatakan, bahwa pengertian zuhud yang paling sempurna dan paling tepat adalah pengertian yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, zuhud yang disyari’atkan ialah meninggalkan rasa gemar terhadap apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Yaitu terhadap perkara mubah yang berlebih dan tidak dapat digunakan untuk membantu berbuat ketaatan kepada Allah, disertai sikap percaya sepenuhnya terhadap apa yang ada di sisi Allah.[4]

TINGKATAN ZUHUD
Zuhud itu sendiri, menurut Ibnu Al Qoyyim[5] serta ulama lain ada empat tingkatan.

Pertama : Zuhud wajib bagi setiap muslim. Yaitu zuhud terhadap perkara haram. Yakni dengan cara meninggalkannya.

Kedua : Zuhud yang bersifat sunnah (mustahabbah). Yaitu zuhud terhadap perkara-perkara makruh dan perkara-perkara mubah yang berlebihan. Maksudnya, perkara mubah yang melebihi kebutuhan, baik makan, minum, pakaian dan semisalnya.

Ketiga : Zuhud orang-orang yang berpacu ketika berjalan menuju Allah. Zuhud ini ada dua macam.
1. Zuhud terhadap dunia secara umum. Maksudnya bukan mengosongkan tangan menjadi hampa dari dunia, dan bukan pula membuang dunia. Tetapi maksudnya, menjadikan hati kosong secara total dari hal-hal yang serba bersifat duniawi. Sehingga hati tidak tergoda oleh dunia. Dunia tidak dibiarkan menempati hatinya, meskipun kekayaan dunia berada di tangannya. Hal ini, seperti keadaan para khulafa’ur rasyidun dan Umar bin Abdul Aziz. Orang-orang yang zuhudnya menjadi panutan, meskipun kekayaan harta benda ada di tangannya. Begitu pula keadaan manusia terbaik, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dunia ditaklukkan oleh Allah untuk Beliau, malah menjadikan Beliau semakin zuhud terhadap dunia.
2. Zuhud terhadap diri sendiri. Ini merupakan zuhud yang terberat.

Keempat : Zuhud terhadap perkara syubhat. Yaitu dengan cara meninggalkan perkara yang belum jelas bagi seseorang, apakah halal atau haram. Inilah zuhudnya orang-orang yang wara’ (menjaga kehormatan).[6]

Berkaitan dengan zuhud terhadap persoalan duniawi, maka perlu diterangkan secara lebih rinci. Sebab orang-orang sufi dapat memaksudkan zuhud tersebut dengan melupakan makhluk, tidak mau memandang makhluk atau mengingkari keberadaan makhluk. Semua ini adalah salah.

Jadi zuhud terhadap dunia, seperti dikatakan oleh Imam Ibnu Al Qoyim di atas, tidak berarti mengosongkan tangan menjadi hampa dari harta. Tetapi zuhud itu terletak di dalam hati. Yakni, agar hati tidak tergantung pada cinta dunia. Namun ketergantungannya hanya kepada Allah saja dengan cara taat kepadaNya, baik ia memiliki kesenangan duniawi ataupun tidak. Kadang, zuhud itu bisa terjadi bersama dengan kekayaan atau bersama dengan kemiskinan.

Para nabi terdahului juga zuhud meskipun kaya raya. Misalnya Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman Alaihissallam. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkenal sebagai orang yang jauh lebih baik dari lembutnya angin sepoi yang berhembus. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih Muslim, Kitab al Fadha’il, Bab Kaana an Nabiyyu Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajwadan Naasi bil Khair min ar Riihi al Mursalati. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm terkenal tidak pernah menolak orang yang meminta-minta. Begitu pula Abu Bakar, Utsman dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhum. Mereka adalah orang-orang zuhud, padahal mereka dikenal sebagai sahabat yang kaya raya.

HAL-HAL YANG DAPAT MELURUSKAN ZUHUD
Dalam masalah zuhud terhadap dunia, Imam Ibnu Al Qoyim rahimahullah menjelaskan, zuhud ini bisa diluruskan dengan tiga hal.

Pertama : Hendaknya seorang muslim memahami bahwa dunia hanyalah bayang-bayang dan khayalan yang akan lenyap. Dunia hanyalah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبُُ وَلَهْوُُ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرُُ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرُُ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي اْلأَخِرَةِ عَذَابُُ شَدِيدُُ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانُُ وَمَاالْحَيَاةُ الدُّنْيَآ إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan, sesuatu yang melalaikan, perhiasan, ajang berbangga-banggaan di antara kamu dan ajang berbanyak-banyakan dalam harta dan anak. Laksana hujan yang tanam-tanamannya membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ada ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. [Al Hadid : 20].

Juga sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat. Allah menyebut kehidupan dunia sebagai kesenangan yang menipu, dan Allah melarang, agar hambaNya tidak tertipu dengan dunia serta menceritakan akibat buruk bagi orang-orang yang tertipu dengan dunia.

Kedua : Hendaknya seorang muslim memahami bahwa di belakang dunia ada negeri (kehidupan) yang lebih besar dan lebih agung kedudukannya. Itulah negeri abadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan perbandingan antara dunia dan akhirat dengan sabdanya:

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali laksana seseorang di antara kamu mencelupkan jarinya ini (Perawi yang bernama Yahya bin Sa’id mengisyaratkan dengan jari telujuknya) ke dalam sungai. Maka lihatlah apa yang bisa dibawa oleh jarinya itu”.[8]

Ketiga : Hendaknya ia memahami bahwa zuhud terhadap dunia tidak akan menghalangi seseorang untuk memperoleh dunia yang telah ditakdirkan untuknya. Sebaliknya, semangatnya untuk memperoleh dunia tidak akan menyebabkan ia dapat memperolehnya jika ia tidak ditakdirkan memperolehnya. Hal ini akan memudahkan dirinya untuk zuhud terhadap dunia.

PERKATAAN SEBAGIAN SAHABAT NABI TENTANG ZUHUD
Umar bin Khaththab pernah menulis kepada Abu Musa Al Asy’ari: “Sesungguhnya engkau tidak akan memperoleh amal akhirat yang lebih baik daripada zuhud terhadap dunia. Hati-hatilah engkau dari akhlak buruk dan rendah”.[9]

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dunia pasti akan pergi membelakangi, dan akhirat pasti akan datang menjelang. Masing-masing dari dunia maupun akhirat memiliki anak-anak generasi. Maka jadilah engkau anak generasi akhirat, dan jangan menjadi anak generasi dunia. Hari ini adalah hari beramal, tidak ada hisab (penghitungan amal). Sedangkan esok adalah hari hisab, tidak ada amal.[10]

ZUHUD YANG BENAR
Zuhud yang paling utama adalah zuhud yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan zuhud yang paling buruk adalah zuhud yang tidak sesuai dengan petunjuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Amma ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik bimbingan adalah bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat.[11]

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingkari keinginan zuhud para sahabat yang menyimpang. Yaitu ketika ada orang yang tak hendak menikah, sementara yang lain tak hendak tidur dan yang lain lagi tak hendak makan daging. Sebagaimana dalam hadits:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya ada beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada isteri-isteri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amal perbuatan Beliau manakala tidak terlihat orang lain.Akhirnya sebagian mereka berkata: “Saya tidak akan menikahi perempuan”. Sebagian lain berkata: “Saya tidak akan makan daging”. Sedangkan sebagian lain berkata: “Saya tidak akan tidur membaringkan diri di tempat tidur”.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca hamdalah dan memuji Allah. Beliau bersabda: “Mengapa orang-orang itu berkata demikian dan demikian? Padahal aku shalat dan aku tidur. Aku berpuasa dan aku makan. Dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, berarti ia bukan termasuk golonganku”.[12]

Begitu pula, tidak termasuk zuhud yang dibenarkan dalam syari’at, apabila seseorang ingin hidup memutuskan diri sama sekali dari kesenangan dunia dan memisahkan diri dari keramaian untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah (tabattul). Sebagaimana dalam shahih Muslim

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا

“Dari Sa’id bin Al Musayyib, sesungguhnya ia mendengar Sa’d bin Abi Waqqash berkata: “Utsman bin Mazh’un ingin hidup bertabattul, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Kalaulah Beliau membolehkannya, tentu kami sudah melakukan kebiri.[13]

Jadi zuhud yang dibenarkan dalam syari’at, ialah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan, yang tidak dapat membantu ketaatan kepada Allah, baik berupa makan, minum, pakaian, harta dan lain sebagainya. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad “Zuhud ialah makan tetapi di bawah ukuran makan seperti umumnya, berpakaian, tetapi lebih sederhana dari umumnya, dan bahwa dunia hanyalah hari-hari yang hanya sebentar.[14]

KESIMPULAN
Sebagai kata penutup, sesungguhnya hakikat zuhud tidaklah sama dengan tasawuf. Dan tasawuf bukan zuhud. Sebab tasawuf telah terasuki keyakinan, pemikiran, filsafat dan perkara-perkara bid’ah.

Zuhud tidak dicela oleh siapapun, sedangkan tasawuf dicela oleh para ulama Sunnah.[15]

Karena itu, marilah belajar berzuhud secara benar dan sungguh-sungguh. Wallahu Waliyyu at Taufiq.

Oleh Ustadz Abu Ashim bin Musthofa

Read more https://almanhaj.or.id/2781-zuhud-yang-banyak-disalah-pahami.html

OPINI: Menumbuhkan Sikap Zuhud melalui Puasa

Puasa Ramadan sejatinya dapat meningkatkan karakter zuhud bagi setiap kaum mukmin. Zuhud, menurut Ibnu Qayim, bermakna terbebasnya hati dari belenggu dunia. Seseorang dengan sifat zuhud akan berikhtiar untuk menggapai derajat-derajat akhirat. Karena dahsyatnya sifat zuhud, para ulama salaf seperti Abdullah bin Mubarak, Imam Ahmad, Hinad bin Sari mengkhidmatkan diri menulis buku tentang zuhud dengan judul yang persis sama, yakni az-Zuhd.

Meski demikian, zuhud bukan berarti menolak kekuasaan, jabatan dan kemuliaan dunia. Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud adalah orang-orang yang punya kekuasaan pada zamannya. Namun sejarah mencatat bahwa kedua nabi mulia ini adalah manusia-manusia yang berkarakter zuhud. Begitu juga dengan Ali Bin Abu Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair dan Usman bin Affan. Mereka adalah orang-orang yang kaya harta. Namun mereka adalah orang-orang yang dikenal dengan sifat zuhudnya.

Bagaimana ibadah puasa dapat menumbuhkan sikap zuhud? Ibnu Qayyim membagi zuhud menjadi beberapa macam. Pertama, zuhud dari sikap berlebihan dalam perkara yang halal. Melalui puasa, kita diajarkan untuk tidak makan, minum dan berhubungan biologis. Di luar Ramadan, semua perkara ini adalah halal jika dilakukan dengan syariat. Namun, sesuatu yang halal bisa menjerumuskan manusia ketika kerasukan menjadi gaya hidupnya. Kalau mau jujur, rusaknya hutan, korupsi, syahwat kekuasaan yang menghalalkan segala cara adalah bentuk-bentuk dari kerakusan manusia. Puasa sejatinya melatih diri kita untuk mampu membangun kontrol diri terhadap anasir-anasir kerakusan.

Yang kedua, zuhud juga berkenaan dengan perkara yang tidak terlalu penting dalam perkataan, pandangan dan segala nafsu yang dapat menjatuhkan muruah atau martabat manusia. Dalam menjalani ibadah puasa Ramadan, kita didorong untuk menghindari pandangan terhadap yang diharamkan, pembicaraan yang sia-sia, menggunjing, membuat rumor-rumor, apalagi menyebarkan perkataan dan berita hoaks dan dusta. Dengan latihan ini, setiap mukmin diharapkan dapat menjaga kehati-hatian agar tidak terperosok pada sifat-sifat yang dapat menistakan dirinya melalui pembicaraan dan pandangannya. Puasa adalah media untuk menumbuhkan pribadi yang penuh hormat dan martabat.

Yang ketiga adalah zuhud dalam perkara syubhat atau perkara yang masih meragukan. Masih menurut Ibnu Qayyim, jika syubhat sebuah perkara berat, maka sikap zuhud menjadi wajib. Jika perkara syubhatnya ringan, maka sikap zuhudnya dianjurkan saja. Bagi muslim yang tinggal di negara-negara nonmuslim, perkara syubhat menjadi tantangan tersendiri. Contoh, banyak makanan yang tidak jelas halal dan haramnya sehingga memunculkan keraguan.

Kenikmatan Dunia
Mukmin yang memiliki sikap zuhud tentu akan menghindari untuk menikmati makanan yang belum jelas kehalalannya dan mengganti dengan makanan lain yang sudah jelas kehalalannya. Puasa berperan penting dalam melatih kemampuan zuhud seperti ini. Di masa Ramadan, jangankan perkara yang haram, perkara yang halal saja kita dituntut untuk menahan diri, apalagi perkara yang masih bersifat syubhat.

Yang keempat adalah zuhud dalam perkara yang haram. Hukum zuhud ini wajib bagi setiap kaum muslim. Orang-orang yang sudah terbiasa melatih pengontrolan diri melalui puasa cenderung memiliki radar spiritual yang kuat untuk menghindari perkara-perkara yang haram. Dalam konteks kehidupan berbangsa, perkara-perkara yang haram seperti korupsi, suap menyuap dalam bidang hukum dan politik, perselingkuhan, dan kesewenang-wenangan adalah sumber keruntuhan sebuah bangsa. Ibadah puasa akan selalu mengingatkan kita bahwa segala perkara yang haram harus dijauhkan dari kehidupan kaum mukmin.

Mewujudkan sifat zuhud memang bukan perkara mudah karena godaan dunia yang memesona. Dalam Alquran surat Ali Imran ayat 14, godaan-godaan itu bisa dalam bentuk syahwat seksual, kecintaan terhadap anak keturunan, harta benda, kendaraan, hewan ternak dan sawah ladang. Segala kenikmatan ini bersifat universal dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Di era milenia sekarang ini, goncangnya bangunan sosial masyarakat kita disebabkan oleh jatuhnya manusia dalam menikmati berbagai kenikmatan dengan tidak memakai nilai-nilai agama. Pergaulan bebas, rebutan kekuasaan dengan segala cara, mencuri uang rakyat dengan cara yang haram, kapitalisme yang semakin menciptakan jurang si kaya dan si miskin adalah gambaran bagaimana jika kenikmatan tidak dipandu oleh ajaran-ajaran agama.

Di akhir surat ini kita diajarkan bahwa semua kenikmatan yang digambarkan tadi adalah kenikmatan dunia yang bersifat temporal dan kenikmatan yang paling tinggi akan diberikan oleh Allah di akhirat kelak. Tentu kenikmatan yang diraih diakhirat bukanlah taken for granted, namun harus diperjuangkan dan diusahakan melalui amal ibadah dan, tentu saja, sikap zuhud kita selamat kita hidup di dunia. Sungguh, ibadah puasa di Ramadan membantu kita untuk menumbuhkan sikap zuhud tersebut.

Endro Dwi Hatmanto, *Penulis merupakan dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

HARIAN JOGJA

Zuhud tidak Mesti Menjadi Miskin

Para sahabat Nabi SAW yang hidup zuhud terbilang orang berharta

Ada data menarik yang disampaikan al-Mas’udi dalam kitabnya Muruj al-Dzahab terkait harta kekayaan para sahabat Rasulullah SAW. Zubair bin Al-Awaam meninggalkan 59,8 juta dirham setelah wafat. Konon, beliau memiliki 1.000 budak, 1.000 kuda, 11 rumah megah, juga ratusan hektare tanah dan perkebunan yang tersebar di Madinah, Basrah, Kufah, Fustat dan Iskandariyah. Selain itu, beliau juga seorang saudagar.

Abdurrahman bin Auf saat awal berhijrah ke Madinah tidak memiliki harta sepeser pun. Tapi, tak lama kemudian beliau menjadi orang paling kaya se-Madinah. Menjelang akhir hidupnya, beliau mewasiatkan agar sebagian hartanya dibagikan kepada 100 ahli Badar yang masih hidup. Masing-masing mendapat jatah 400 dinar. Selain itu, beliau memiliki 1.000 budak yang telah dibebaskan, 1.000 unta, 100 kuda, juga 3.000 domba yang digembalakan di Baqi’.
 
Zaid bin Tsabit meninggalkan 300 ribu dinar serta ratusan ton emas dan perak. Ibnu Mas’ud, selain memiliki 50 budak dan hewan ternak, meninggalkan 9.000 ton (mitsqal) emas dan beberapa rumah megah di pelosok-pelosok Irak. Al-Khabab bin al-Irts, sahabat Rasul SAW yang terkenal miskin, di akhir hidupnya mewasiatkan untuk membagi-bagi sisa hartanya yang berjumlah 40 ribu dinar.

Fakta ini menunjukan bahwa para sahabat adalah orang-orang kaya. Tapi, kekayaan mereka tidak lantas membuat mereka lupa akan akhirat. Mereka hidup zuhud. Ali bin Abi Thalib menjelaskan, zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam Alquran, supaya kamu tidak bersedih karena apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadamu.

Orang yang tidak bersedih karena kehilangan sesuatu darinya dan tidak bersuka ria karena apa yang dimiliki, itulah orang yang zuhud. Dari tafsir yang dikemukakan Ali bin Abi Thalib tersebut, kita dapat melihat dua ciri orang yang zuhud dalam pandangan Allah.

Pertama, Zaid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang dimilikinya. Zuhud adalah pola hidup menjadi. Zaid tidak memperoleh kebahagiaan dari dengan memiliki. Para sahabat Rasulullah SAW tidaklah membuang semua yang dimilikinya, tetapi mereka menggunakan semuanya itu untuk mengembangkan dirinya. Kebahagiannya tidak terletak pada benda-benda mati, tetapi pada peningkatan kualitas hidupnya.

Kedua, kebahagiaan seorang Zaid tidak lagi terletak pada hal-hal yang duniawi, tetapi pada dataran rohani. Kedewasaan kepribadian jiwa kita terletak pada sejauh mana kecenderungan kita pada hal-hal yang rohani. Makin tinggi tingkat kepribadian kita, kebahagiaan rohani meningkat. Dua prinsip inilah yang dipegang para sahabat.

Al-Ghazali menegaskan, zuhud itu menghilangkan keterikatan hati dengan dunia, tapi bukan berarti menghilangkannya. As-Syadzili, pendiri tarikat sufi As-Syadziliyah, dalam setiap doanya selalu meminta kepada Allah, “Ya Allah luaskanlah rizkiku di dunia dan janganlah ia menghalangiku dari akhirat, jadikanlah hartaku pada genggaman tanganku dan jangan sampai ia menguasai hatiku.”

Para sahabat memiliki kekayaan dunia, tapi tidak punya keterikatan hati dengan materi. Harta bagi mereka hanyalah fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk tujuan hidup. Karena itu, petuah Rasul SAW harus dipegang erat-erat dalam sikap hidup kita, “Bekerjalah untuk duniamu seolah engkau hidup abadi dan beramalah untuk akhiratmu seolah engkau akan mati besok.” (HR al-Bazzar).

Oleh: Abdul Aziz

KHAZANAH REPUBLIKA

Khutbah Jumat: Zuhud, Modal Utama Perjuangan Islam

Khutbah Pertama

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَصْلَحَ الضَمَائِرَ، وَنَقَّى السَرَائِرَ، فَهَدَى الْقَلْبَ الحَائِرَ إِلَى طَرِيْقِ أَوْلَي البَصَائِرَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيُكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَنْقَى العَالَمِيْنَ سَرِيْرَةً وَأَزكْاَهُمْ سِيْرَةً، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى هَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ

قَالَ تَعَالَى: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

وَقَالَ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ

 اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Suatu kali, Anas bin Malik mendatangi Nabi Muhamad SAW. Ia mendapati beliau SAW sedang berbaring di atas alas tipis di atas tanah padang pasir yang panas membara. Di bawah kepala beliau SAW terdapat bantal kecil dari kulit binatang ternak yang diisi serabut kurma kering. Selembar kain tipis menjadi alas untuk tubuh beliau di atas kasur. Tidak mengherankan jika di leher dan di sebagian tubuh beliau terdapat bekas-bekas tindihan serabut, batu kerikil dan pasir.

Sesaat kemudian, masuklah Umar bin Khatthab menemui Nabi SAW dan mendapati beliau masih dalam kondisi berbaring di atas kasur tipis yang langsung menghampar di tanah. Pemandangan seperti itu langsung membuat Umar tidak bisa menahan tangis sedihnya.  Nabi SAW kemudian bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis wahai Umar?”

Umar bin Khattab menjawab, “Demi Allah, bagaimana diriku tidak menangis wahai Rasulullah, sementara aku mengetahui bahwa engkau adalah manusia yang lebih mulia di sisi Allah dari pada Kisra Persia dan Kaisar Romawi. Mereka berdua hidup dengan segala kenikmatannya di dunia ini. Sementara engkau – wahai Rosululloh- berada di tempat ini seperti yang aku lihat?!”

Sejurus kemudian, Nabi SAW bersabda, “Tidakkah engkau rela wahai Umar, jika bagi mereka dunia ini dan bagi kita akhirat? Umar menjawab: “Tentu saja aku rela wahai Rasulullah.”

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Dalam kesempatan dan kondisi yang tepat, Rasulullah SAW mengajarkan kepada Umar bin Khattab dan seluruh umatnya tentang kemuliaan hidup. Kemuliaan hidup yang didasarkan atas taqwa dan cinta kepada Allah ta’ala. Sebuah nasehat yang mengajarkan kepada umat ini tentang bagaimana seorang hamba memandang dunia dan akhirat. Karena kemulian seorang hamba terletak saat dirinya mendahulukan akhirat dari pada dunianya. Begitu pula dengan kehinaan seorang hamba terjadi tatkala dirinya menjadi budak dunia serta lalai akhiratnya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menekankan poin penting dalam masalah hidup di dunia ini yaitu bersikap zuhud.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Seorang zahid memandang dunia sebagai suatu hal yang kecil semata. Baginya dunia adalah sarana untuk menuju akhirat. Maka, ketika dia dihadapkan suatu hal yang bertujuan akhirat dengan mengorbankan dunia, dia tidak akan berpikir dua kali untuk itu. Justru hal itu ia lakukan dengan sepenuh hati untuk mendapatkan keutamaan di akhirat.

Banyak para ulama menulis pembahasan khusus tentang zuhud dalam karya-karya mereka. Pembahasan ini terpisah dari kajian-kajian akhlak lainnya. Misalnya Abdullah bin Mubarak menulis kitab Az-Zuhdu wa Ar-Raqaiq. Al-Mu’affiy Al-Mushuliy menulis kitab Az-Zuhdu. Demikian juga para imam lainnya seperti Imam Waki’, Asad bin Musa, Ahmad bin Hambal, Hanad As-Sirri, Abu Dawud, Abu Hatim dan Imam Ibnu Abi Dunya. Ini membuktikan bahwa sikap zuhud adalah sikap yang mulia dan dari sini lahir jiwa-jiwa patriot yang rela berkorban demi keridhaan-Nya.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Imam Ahmad pernah ditanya tentang bagaimana zuhudnya orang yang memiliki harta, beliaupun menjawab: “Jika dirinya tidak terlalu bergembira dengan tambahnya harta dan tidak terlalu bersedih ketika berkurang”. Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan zuhud dengan pendeknya angan-angan. Karena pendeknya angan membuat jiwa ingin sekali bertemu Allah dan tidak ingin tinggal lama di dunia. Sementara panjang angan membuat jiwa cinta dunia dan tidak ingin bertemu dengan Allah ta’ala.

Dari sikap zuhud pula muncul spirit berkorban dan mempersembahkan terbaik untuk Allah ta’ala. Karena sang hamba yang zuhud senantiasa berfikir bagaimana akhiratnya menjadi kehidupan terindah. Tidak mengherankan jika Allah ta’ala mencintai orang-orang zuhud. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saat ditanya tentang amalan yang mengundang kecintaan Allah ta’ala, beliau pun menjawab:

 ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ

“Bersikap zuhudlah kamu terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu,” (HR.Ibnu Majah)

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Selain mampu meyakinkan diri bahwa semua perkara dunia adalah fana dan hina serta berpaling darinya, untuk mencapai derajat zuhud ada syarat-syarat yang harus kita penuhi.

Abu Zakariya Yahya bin Muadz Ar-Razi, salah satu ulama ahlu sunnah wal jamaah yang hidup pada abad ke-3 H menyebutkan ada tiga syarat zuhud. Tokoh yang disebut sebagai seorang juru nasihat oleh Imam Adz-Dzahabi ini mengatakan, “Seseorang tidak akan mencapai hakikat zuhud sampai dalam dirinya terdapat tiga hal:

  1. Beramal tanpa terikat tujuan duniawi
  2. Berucap tanpa berharap apapun (selain pahala dari Allah)
  3. Mencari kemuliaan (Untuk akhirat), bukan untuk jabatan dunia.

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Hasan Al-Basri menambahkan syarat zuhud, hendaklah kita percaya dan yakin sepenuhnya kepada balasan Allah. Sehingga tidak pernah terbetik dalam hati untuk berharap kepada selain Allah.

Maka dapat dipastikan bahwa ketika seseorang sudah mencapai derajat zuhud ia tidak lagi mengharap apapun dari manusia, harapannya hanya ia gantungkan pada Dzat yang Maha Kuasa, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana kehidupan para nabi dalam berdakwah. Ketika mereka diberi iming-iming harta duniawi agar meninggalkan dakwahnya, jawaban mereka sama, yaitu:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا

“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insan: 9)

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat.

 وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿2﴾ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

 اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعاً مَرْحُوْماً، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقاً مَعْصُوْماً، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْماً.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَاناً صَادِقاً ذَاكِراً، وَقَلْباً خَاشِعاً مُنِيْباً، وَعَمَلاً صَالِحاً زَاكِياً، وَعِلْماً نَافِعاً رَافِعاً، وَإِيْمَاناً رَاسِخاً ثَابِتاً، وَيَقِيْناً صَادِقاً خَالِصاً، وَرِزْقاً حَلاَلاً طَيِّباً وَاسِعاً، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.

اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ.

اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.

 رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

 رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

 عِبَادَاللهِ !

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

KIBLAT.net


Lima Faktor yang Bisa Menumbuhkan Sifat Zuhud

Selama ini banyak orang yang salah paham atau salah mengartikan sifat zuhud. Zuhud bukan berarti tidak boleh kaya. Zuhud juga bukan harus hidup miskin dan meninggalkan segala gemerlap kehidupan dunia. Karena bagaimanapun tidak ada larangan bagi umat Islam untuk meraih kekayaan setinggi-tingginya. Asal cara memperoleh dan penggunaannya sesuai dengan ajaran Islam. 

Sikap zuhud harus menjadi pondasi kuat manusia di tengah kehidupan duniawi yang penuh dengan rasa cinta dan ambisi terhadap materi. Menurut Wahib bin Ward, zuhud terhadap dunia adalah tidak merasa putus asa manakala ada dunia (harta benda) terlepas dari genggaman dan tidak merasa senang bila ada dunia datang. Sementara Ibnu ‘Ajibah memaknai zuhud sebagai terbebasnya hati dari ketergantungan selain kepada Allah. 

Sederhananya, zuhud adalah melenyapkan keterkaitan hati dengan harta. Sehingga zuhud bukan berarti tidak kaya. Juga tidak identik dengan miskin. Orang kaya belum tentu tidak zuhud. Orang miskin juga belum pasti memiliki sikap zuhud. Karena zuhud adalah pekerjaan hati, bukan pekerjaan lahiriyah.  Sehingga yang mengetahui apakah dia zuhud atau tidak adalah dirinya sendiri, dan tentu saja Allah swt. 

“Jangan kalian mengatakan bahwa seseorang mempunyai sifat zuhud. Karena keberadaan zuhud adalah di hati,” kata Abu Sulaiman ad-Darani.

Imam Ahmad membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan. Pertama. Tingkatan zuhud orang awam. Pada tingkatan ini, seseorang dianggap zuhud manakal dia meninggalkan keharaman. Kedua, tingkatan zuhud orang-orang istimewa (khawash). Yaitu meninggalkan hal-hal –bahkan yang halal sekalipun- yang melebihi kebutuhannya. Jadi dia hanya mengambil sesuatu yang menjadi kebutuhannya saja. Ketiga, tingkatan zuhud orang yang sangat istimewa (al-‘arifin). Pada tingkatan ini, seseorang akan meninggalkan segala sesuatu yang mengganggunya untuk ingat kepada Allah.

Lalu bagaimana caranya agar sifat zuhud bisa tumbuh di hati seseorang? Mengutip buku Akhlak Rasul menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018), setidaknya ada lima faktor yang bisa menumbuhkan sifat zuhud di dalam hati seseorang.

Pertama, memikirkan kehidupan akhirat. Di dalam Islam, kehidupan di dunia adalah ladang akhirat. Jika dia beramal baik, maka dia akan mendapatkan pahala dan ganjaran. Juga sebaliknya. Bila dia berlaku buruk selama di dunia, maka ia akan mendapatkan siksa. Di akhirat kelak. Dengan senantiasa memikirkan kehidupan akhirat, maka dia akan selalu ingat bahwa amal yang dia kerjakan di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sehingga dia tidak tertarik lagi dengan kenikmatan di kehidupan dunia yang sementara ini.

Kedua, menumbuhkan kesadaran bahwa kenikmatan di dunia bisa memalingkan hati dari ingat kepada Allah. Di samping itu, perlu juga ditumbuhkan dalam hati bahwa kenikmatan dunia membuat seseorang akan lama berdiri di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan semuanya kepada-Nya.

Ketiga, menumbuhkan kesadaran bahwa memburu dunia sangatlah melelahkan. Tidak jarang seseorang saling sikut, berbuat keji dan hina, untuk mendapatkan dunia. Hal itu tentu saja membuat derajat manusia semakin rendah di hadapan Allah, meskipun mungkin derajatnya tinggi di hadapan manusia. 

Keempat, menyadari bahwa dunia itu terlaknat. Sebagaimana keterangan dalam hadits nabi, dunia dan yang ada di dalamnya adalah terlaknat kecuali dzikir kepada Allah, belajar atau mengajar, dan pekerjaan yang ditujukan hanya kepada Allah. Jadi apapun itu, jika membuat seseorang menjadi jauh dari Allah maka terlaknat. 

Kelima, merasa bahwa dunia adalah hina dan godaannya bisa membahayakan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam QS. Al-A’laa ayat 16-17; “Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

Sekali lagi zuhud bukan berarti anti-harta benda. Juga bukan harus hidup miskin atau identik dengan kemiskinan. Namun melepaskan keterkaitan hati dengan harta. Contohnya, banyak sahabat Nabi Muhammad saw. yang kaya namun tetap zuhud seperti Abduraahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Zaid bin Tsabit, dan lainnya. Mereka memiliki harta yang melimpah, namun hartanya tidak membutakan mata dan hati mereka sehingga melupakan akhirat. (A Muchlishon Rochmat)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/105132/lima-faktor-yang-bisa-menumbuhkan-sifat-zuhud
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Menanam Sikap Zuhud

Kebanyakan kebahagiaan itu difokuskan hanya pada urusan duniawi.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dunia ini indah dan memesonakan, dan sesungguhnya Allah Taala menyerahkannya kepada kalian. Kemudian Allah akan melihat bagaimana kalian berbuat atas dunia ini. Maka berhati-hatilah dalam urusan dunia dan berhati-hatilah juga terhadap wanita.” (HR Muslim).

Hadis tersebut mengingatkan kepada kita agar berhatihati dan bersikap bijak terhadap kehidupan dunia. Tentu, setiap manusia ingin hidupnya dipenuhi dengan kebahagia an. Mereka rela melakukan apa saja untuk mendapat kan nya. Ukuran kebahagiaan bagi seseorang pastinya berbedabeda. Ada yang bahagia memiliki harta berlimpah, mempunyai anak banyak, mobil mewah, punya istri cantik, serta ada pula yang bahagia dengan hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan menggunakan harta benda.

Namun, kebanyakan kebahagiaan itu difokuskan hanya pada urusan duniawi, sesuatu yang sifatnya materiel yang suatu saat rusak, habis, dan lenyap. Allah telah memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia dalam Alquran. “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), perumpa maan kehidupan dunia ini, ibarat air hujan yang Kami turun kan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuhtumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Kahfi: 45).

Jangan sampai salah menyikapi kehidupan dunia ini. Jika salah, bukan kebahagiaan yang datang, justru keresahan dan kesengsaraan yang akan muncul dalam diri. Bekali kehidupan ini dengan penuh keimananan dan ilmu yang cukup, agar bahagia yang didapat. Iman dan ilmu akan menuntun kita bersikap dan bertindak benar.

Salah satu sikap yang harus kita tanam adalah zuhud. Di dalam Alquran banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaannya, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Kabar itu agar tidak menjadikan urusan dunia membuat kita lupa pada urusan akhirat yang justru lebih mulia dan abadi.

Seperti dikatakan, dari Anas RA, ia berkata, Nabi SAW bersabda: “Ya Allah, sebenarnya tidak ada kehidupan yang sesungguhnya kecuali kehidupan akhirat.” (HR Bukhari dan Muslim). Banyak orang beranggapan bahwa zuhud ialah meninggalkan semua urusan dunia, tidak mementingkan urusan dunia, dan cenderung harus miskin. Sungguh, pendapat itu keliru.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata bahwa zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sementara al-Junaid berkata: “Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia.”

Sederhananya, zuhud adalah sikap tidak terikatnya hati dan jiwa kita oleh dunia. Meski memiliki banyak harta benda, tidak menjadikannya sombong. Mudah untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah dan tak segan menolong orang lain. Seseorang yang hatinya zuhud menganggap semua yang dimilikinya adalah milik Allah yang dititipkan kepadanya. Jika Allah menambah titipan-Nya, ia tak merasa gembira, jika diambil titipan-Nya (kehilangan), ia tak bersedih.

Sikap seperti itu akan menimbulkan ketenangan serta menjauhkan dari rasa khawatir dan rasa cemas yang berlebihan. Zuhud dan tidak zuhudnya seseorang itu bukan bergantung pada harta banyak atau sedikit, melainkan bergantung pada hatinya. Jika sikap zuhud sudah tertanam di hati dan jiwa, ketenangan lahir dan batin, serta kebahagiaan dunia dan lebih jauh kebahagiaan akhirat insya Allah akan kita dapat. Wallahu a’lam.

Oleh: Agu Sopian

KHAZANAH REPUBLIKA

Resep Supaya Anak Mudah Menghafal Alquran

Menghafal Alquran oleh anak-anak butuh kontinuitas.

Memiliki anak yang mahir membaca Alquran bahkan mampu menghafalnya merupakan dambaan setiap orang tua. Tak sedikit orang tua menitipkan putra putrinya di pesantren agar kelak bisa menjadi penghafal Alquran. 

Namun sebagian orang tua ada yang memilih mengajarkan langsung anak-anaknya membaca dan menghafal Alquran. Lalu bagaimana caranya agar anak-anak dapat dengan cepat bisa membaca sekaligus menghafal Alquran?

Pimpinan Pondok Pesantren Al Qur’aniyyah Majalengka, Ustaz Yuyud Aspiyudin, menjelaskan hal pertama yang perlu diperhatikan agar anak-anak dapat dengan cepat bisa membaca dan menghafal Al quran adalah lingkungan di mana anak beraktivitas sehari-harinya. 

Anak akan lebih bersemangat jika terdapat teman-teman seusianya yang juga belajar Alquran. Karenanya menurut Ustaz Yuyud yang terbaik agar anak bisa menghafal dan membaca Alquran dengan baik dan benar adalah dengan menitipkannya di Pondok pesantren ataupun rumah-rumah tahfiz. 

“Jadi harus dikenalkan dulu pada lingkungannya, lingkungan yang membuatnya bersemangat mempelajari Alquran,” kata Ustaz Yuyud kepada Republika,co.id beberapa hari lalu.  

Namun menurut Ustaz Yuyud tak menjadi permasalahan jika ada orang tua yang ingin mengajari langsung anak-anaknya. Terlebih hal itu merupakan kewajiban setiap orang tua. M

enurut Ustaz Yuyud, yang perlu diperhatikan yakni kemampuan orang tua dalam mengajari anak tentang Alquran. Orang tua harus mampu terlebih dulu mengajarkan anak-anak cara membaca Alquran sesuai dengan kaidah dan hukumnya. Baru setelah itu disusul dengan menghafal Alquran.

Ustaz Yuyud mengatakan metode terbaik bagi orang tua agar bisa secara langsung mengajarkan anaknya membaca dan menghafal Alquran adalah dengan mengulang-ulang bacaan setiap ayatnya. Dengan metode ini, anak tak hanya dapat dengan mudah menirukan pelafalan per tiap huruf yang diucapkan orang tua tali juga dapat dengan cepat menghafal ayat-ayat Alquran. 

“Minimal satu ayat 20 kali tiap ayat, jadi jangan dihafal dulu yang penting diulang-ulang saja bacanya dulu,” katanya. 

Menurut Ustaz Yuyud orang tua bisa memulai mengajarkan anak membaca dan menghafal Alquran dari juz ketiga puluh atau juz Ama.  

Ustaz Yuyud mengatakan ada alasan mengapa kebanyakan para penghafal Alquran memulai hafalannya dari juz ‘Amma. Sebab menurut Ustaz Yuyud, juz ketiga puluh memiki tingkat kesulitannya yang tinggi karena terdiri dari banyak surat dan ayat-ayat pendek.

Memang menurut Ustaz Yuyud untuk mempelajari Alquran agar bacaannya sesuai dengan kaidah dan hukumnya perlu guru yang jelas sanad keilmuan Alqurannya. 

Seorang anak yang ingin belajar Alquran tak bisa begitu saja mempelajari Alquran secara mandiri. Terlebih dengan meniru bacaan Alquran melalui kaset. 

“Karena belajar Alquran itu sebenarnya murid harus melihat langsung bagaimana guru melafalkan bacaannya, jadi orang tua pun tidak bisa hanya dengan memberikan Alquran lalu anak menghafal, tapi anak harus melihat pelafalannya. Di samping itu gurunya harus kompeten, yang terpenting bacaannya dulu. Karena sekarang banyak yang hafal Alquran tapi bacaannya rusak,” tuturnya. Andrian Saputra.

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa Sebenarnya Tadabur Alquran dan Bagaimana Caranya?

Allah SWT berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka menadaburi (memperhatikan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS Shad [38]: 29). 

Dalam tafsirnya tentang ayat ini, al-Sa’di menjelaskan, pada Alquran terdapat kebaikan dan ilmu yang sangat banyak. Di dalamnya terdapat petunjuk dari kesesatan, obat dari penyakit, cahaya untuk menerangi kegelapan, setiap hukum yang diperlukan manusia.

Alquran juga memuat dalil tegas tentang segala yang diinginkan, sehingga menjadikannya semulia-mulia kitab yang diturunkan Allah. Selanjutnya, beliau menjelaskan, hikmah diturunkannya Alquran ini agar manusia menadaburi ayat-ayatnya, menggali ilmunya, dan merenungkan rahasia dan hikmahnya.

Hanya dengan menadaburi ayat-ayatnya, merenungkan maknanya, serta memikirkannya, seseorang akan mendapatkan berkah dan kebaikan yang ada dalam Alquran. Kita harus menyadari, Alquran itu  kitab penuh berkah dan mengandung mutiara yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Secara bahasa, tadabur berarti melihat dan memperhatikan kesudahan segala urusan dan bagaimana akhirnya. Al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani menjelaskan, pada dasarnya tadabur berarti memikirkan secara mendalam kesudahan sesuatu urusan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Ibnu al-Qayyim juga menjelaskan, yang dimaksud dengan menadaburi suatu perkataan adalah melihat dan memperhatikan perkataan itu dari awal dan akhir perkataan kemudian mengulang-ulangi hal itu.

Adapun yang dimaksud dengan tadabur Alquran adalah menggunakan ketajaman mata hati lewat proses perenungan mendalam secara berulang-ulang agar dapat menangkap pesan-pesan Alquran yang terdalam dan mencapai tujuan maknanya yang terjauh.

Ibnu al-Qayimm dalam kitabnya al-Fawaid mengatakan, “Jika engkau ingin mengambil manfaat dari Alquran maka pusatkanlah hatimu ketika membaca dan mendengarkannya, fokuskanlah pendengaranmu dan hadirlah seperti seseorang yang sedang diajak bicara oleh Allah SWT.”

Dan, tadabur Alquran itu haruslah mengandung tujuan untuk mengambil manfaat dan mengikuti apa yang terkandung dalam Alquran. Karena, tujuan membaca dan menadaburi ayat-ayat Alquran itu adalah untuk mengamalkan dan berpegang pada isi kandungannya. Syekh Abdurrahman Habannakah menegaskan, tujuan tadabur bukanlah sekadar kemewahan ilmu atau bangga dengan pencapaian pengetahuan, melainkan untuk mengingatkan dan mendapat pelajaran serta beramal sesuai dengan ilmu yang didapat.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Barang siapa yang menadaburi Alquran demi mendapatkan pentunjuk darinya maka akan jelas baginya jalan kebenaran.” Ada dua manfaat lain dari tadabur Alquran. Pertama, agar dapat merasakan bahwa Alquran  sungguh-sungguh berasal dari Allah.

Tak ada pula kontradiksi antara Alquran dan hatinya, antara Alquran dan kenyataan, serta antara satu ayat dan ayat lainnya. Kedua, tadabur Alquran dapat membuka kalbu yang terkunci karena kalbu adalah alat paling utama untuk menangkap pesan-pesan Alquran. Semoga pada Ramadhan sebagai bulan Alquran ini dapat kita gunakan dengan sebaik-baiknya untuk memperbanyak menadaburi ayat-ayat Alquran. 

KHAZANAH REPUBLIKA