Getol Bermaksiat Hanya akan Berakhir dengan Su’ul Khatimah

TAK ada seorang pun yang menginginkan kematian dalam keadaan jelek atau dalam keadaan ingkar kepada Allah SWT. Sebab semua orang pasti ingin masuk surga. Jeleknya kematian bisa jadi pertanda bahwa seseorang adalah ahli neraka.

Akhir kehidupan yang jelek sering disebut Su’ul khatimah. Su’ul khatimah adalah penutup kehidupan dunia yang buruk, seperti seseorang meninggal dunia dalam keadaan menentang Allah SWT, berada dalam kemurkaan-Nya, serta menyepelekan perkara yang telah Allah SWT wajibkan atasnya.

Di antara tanda-tanda su’ul khatimah seperti yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam kitabnya “Al jawabul Kaafi“ yang mengatakan bahwa “Ada salah seorang ketika kematian menjemputnya, dikatakan kepadanya untuk mengucapkan persaksian La ilaha illallah, maka dia mengatakan, ‘Tidak ada artinya bagiku dan aku pun tidak tahu sesungguhnya, apakah aku pernah melakukan shalat untuk Allah?’ Dia tidak bisa mengucapkannya.”

Ibnu Rajab di dalam kitabnya “Jami’ul ‘Ulum wal Hikam“ telah menukil dari salah seorang ulama’ bernama ‘Abdul Aziz bin Abi Rawaad yang mengatakan, “Sesungguhnya Aku telah mendatangi seorang lelaki yang sedang menghadapi maut, ia diajarkan untuk mengucapkan ‘La ilaha illallah (Tiada ilah yang berhak di sembah melainkan Allah)’ namun di akhir ucapannya dia mengingkari ucapan itu dan meninggal dalam keadaan bukan seorang Muslim.

Maka Ibnu Rajab bertanya apa yang menjadi penyebabnya, ternyata dia adalah seorang peminum khamr (minuman keras), kemudian ketika itu pula Abdul Aziz berkata, “Hati-hatilah kamu sekalian dari perbuatan dosa, maka pada dasarnya perbuatan itulah yang menyebabkannya.”

Kisah senada telah diceritakan oleh Adz Dzahabi, “Sesungguhnya ada seorang lelaki bersahabat dengan peminum khamr (minuman keras) dan ketika kematian akan menjemputnya, datang kepadanya seseorang lalu menalqinnya dengan syahadah, namun dia justru berkata, ‘Minumlah kamu dan berilah minum kepadaku,’ kemudian ia meninggal.”

Beberapa penyebab su’ul khatimah adalah akibat rusaknya akidah, adanya ketergantungan kepada dunia, dan terjerumus kepada jalan-jalan yang terlarang, menyeleweng dari jalan yang lurus dan menolak terhadap kebenaran serta petunjuk, dan selalu berbuat maksiat serta gemar melakukannya.

Jika seseorang gemar terhadap sesuatu sepanjang hidupnya, mencintainya, dan punya ketergantungan kepadanya; maka akan terbayang olehnya ketika akan meninggal. Pada kondisi tersebut akan menggambarkan keadaan kematiannya.

Berkata Ibnu Katsir, “Sesungguhnya perbuatan dosa, maksiat dan kecondongan kepada hawa nafsu, pengaruhnya akan mendominasi pelakunya ketika menjelang kematian dan setan akan menguatkannya, maka akan kumpul padanya dua kekalahan dengan lemahnya keimanan, sehingga dia akan terjatuh dalam akhir hidup yang tidak baik, Allah SWT.“ Naudzubillahi min dzalik. []

ISLAMPOS

Mati Su’ul Khotimah

Setiap orang pasti menginginkan berada pada akhir kehidupan yang baik (husnul khotimah), bukan pada yang buruk (su’ul khotimah). Namun sudah sering kita saksikan ada beberapa orang yang mati dengan sangat tragis, sangat mengerikan yang mungkin kita belum pernah melihat sebelumnya. Su’ul khotimah inilah yang patut kita waspadai dan berusaha untuk tidak berada di ujung kehidupan semacam itu.

Saudaraku, perlu kiranya engkau tahu bahwa su’ul khotimah (mati dalam keadaan buruk) memiliki sebab yang seharusnya setiap orang menjauhinya. Sebab utama adalah karena berpaling dari agama Allah. Hal ini dapat berupa berpaling dari istiqomah, lemahnya iman, rusaknya i’tiqod (keyakinan), dan terus menerus dalam maksiat.

Beberapa Kisah Akhir Hidup yang Begitu Jelek

Ada suatu kisah yang menunjukkan seseorang yang terlalu sibuk dengan dunia sehingga lupa akan akhirat. Lihatlah bagaimanakah akhir hidupnya.

Ia seorang pedagang kain yang biasa menjual kain. Tatkala sakratul maut ia bukan menyebut kalimat yang mulia “laa ilaha illallah”, namun yang ia sebut adalah, “Ini kain baru, ini kain baru. Ini pas untukmu. Kain ini amat murah.” Akhirnya ia pun mati setelah mengucapkan kalimat semacam itu. Padahal kalimat terbaik yang diucapkan saat sakratul maut adalah kalimat laa ilaha illallah.

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Barang siapa yang akhir perkataannya adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)

Ada juga orang yang kesehariannya sibuk bermain catur. Ketika sakratul maut, ia diperintahkan untuk menyebut kalimat “laa ilaha illallah”. Namun apa yang ia katakan kala maut menjemput? Ia malah mengucapkan, “Skak!” Lalu ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mati bukan menyebut kalimat tahlil, namun menyebut kata “skak”. Wallahul musta’an.

Ada pula orang yang kesehariannya biasa menegak arak (khomr). Ketika maut menjemput, ia ingin ditalqinkan (dituntun baca kalimat tahlil, laa ilaha illallah). Namun apa yang ia ucapkan? Ia malah berkata saat sakratul maut, “Mari tuangkan arak untukku, minumlah!” Lantas ia pun mati dalam keadaan seperti itu. Laa haula quwwata illa billah ‘aliyyil ‘azhim.[1]

Pengaruh Teman Bergaul yang Buruk Semasa Hidup

Ulama tabi’in, Mujahid rahimahullah berkata, “Barangsiapa mati, maka akan datang di hadapan dirinya orang yang satu majelis (setipe) dengannya. Jika ia biasa duduk di majelis orang yang selalu menghabiskan waktu dalam kesia-siaan, maka itulah yang akan menjadi teman dia tatkala sakratul maut. Sebaliknya jika di kehidupannya ia selalu duduk bersama ahli dzikir (yang senantiasa mengingat Allah), maka itulah yang menjadi teman yang akan menemaninya saat sakratul maut.”[2]

Bukti dari perkataan Mujahid di atas terdapat pada kisah Abu Tholib berikut ini.

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لأَبِى طَالِبٍ « يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ » . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Ketika menjelang wafatnya Abu Tholib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya dan ternyata sudah ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah bin Al Mughirah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, kepada Abu Tholib, “Wahai pamanku katakanlah laa ilaaha illallah, suatu kalimat yang dengannya aku akan menjadi saksi atasmu di sisi Allah”. Maka berkata, Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu akan meninggalkan agama ‘Abdul Muthalib?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan kalimat syahadat kepada Abu Tholib dan bersamaan itu pula kedua orang itu mengulang pertanyaannya yang berujung Abu Tholib pada akhir ucapannya tetap mengikuti agama ‘Abdul Muthalib dan enggan untuk mengucapkan laa ilaaha illallah.”(HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 24)

Akibat Maksiat dan Godaan Syaithon

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya dosa, maksiat dan syahwat adalah sebab yang dapat menggelincirkan manusia saat kematiaanya, ditambah lagi dengan godaan syaithon. Jika maksiat dan godaan syaithon terkumpul, ditambah lagi dengan lemahnya iman, maka sungguh amat mudah berada dalam su’ul khotimah (akhir hidup yang jelek).”[3]

Agar Selamat dari Su’ul Khotimah

Ibnu Katsir rahimahullah kembali melanjutkan penjelasannya:

“Su’ul khotimah (akhir hidup yang jelek)—semoga Allah melindungi kita darinya—tidaklah terjadi pada orang yang secara lahir dan batin itu baik dalam bermuamalah dengan Allah. Begitu pula tidak akan terjadi pada orang yang benar perkataan dan perbuatannya. Keadaan semacam ini tidak pernah didengar bahwa orangnya mati dalam keadaan su’ul khotimah sebagaimana kata ‘Abdul Haq Al Isybili. Su’ul khotimah akan mudah terjadi pada orang yang rusak batinnya dilihat dari i’tiqod (keyakinannya) dan rusak lahiriahnya yaitu pada amalnnya. Su’ul khotimah lebih mudah terjadi pada orang yang terus menerus dalam dosa besar dan lebih menyukai maksiat. Akhirnya ia terus menerus dalam keadaan berlumuran dosa semacam tadi sampai maut menjemput sebelum ia bertaubat.”[4]

Jika telah mengetahui hal ini dan tidak ingin kehidupan kita berakhir buruk sebagaimana kisah-kisah yang telah kami utarakan di atas, maka sudah sepantasnya kita menyegerakan taubat terhadap semua dosa yang kita perbuat, baik itu dosa kesyirikan, bid’ah, dosa besar dan maksiat. Begitu pula segeralah kita kembali taat pada Allah dengan mengawali segalanya dengan ilmu. Kita tidak tahu kapan nyawa kita diambil. Entah besok, entah lusa, entah minggu depan, boleh jadi lebih cepat dari yang kita kira. Yang tua dan muda sama saja, tidak ada yang tahu bahwa ia akan berumur panjang. Selagi masih diberi kesempatan, selagi masih diberi nafas, teruslah bertaubat dan kembali taat pada-Nya. Lakukan kewajiban, sempurnakan dengan amalan sunnah. Jauhi maksiat dan berbagai hal yang makruh. Jangan sia-siakan waktu, teruslah isi dengan kebaikan.

Moga Allah mematikan kita dalam keadaan husnul khotimah dan menjauhkan kita dari akhir hidup yang jelek, su’ul khotimah. Amin Yaa Mujibas Saailin.

Written tonight, on 3 Dzulqo’dah 1431 H, in KSU, Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia

By: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/1301-mati-suul-khotimah.html

Sahabat Kaum Dhuafa

Abu Dzar tidak pernah menyimpan harta lebih dari persiapan hidup tiga hari.

Namanya Jundub bin Junadah, tetapi lebih dikenal dengan panggilan Abu Dzar al-Ghiffari. Sahabat Nabi ini terkenal dengan sikap zuhudnya serta pandangan khasnya tentang harta. Bagi Abu Dzar, menyimpan harta dalam jumlah yang berlebih dari kebutuhan keluarga adalah haram. Ayat yang sering dikutip Abu Dzar: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka, (mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS at-Taubah [9]: 34).

Abu Dzar tidak pernah menyimpan harta lebih dari persiapan hidup tiga hari. Tidak jarang dia berhari-hari hanya makan beberapa biji kurma dan air. Sewaktu tinggal di Damaskus, pada zaman Khalifah Usman bin Affan, Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan pernah mengujinya dengan mengirimkan uang 100 dinar pada satu malam dan besok paginya memintanya kembali dengan alasan salah kirim. Ternyata uang tersebut sudah habis dibagikan malam itu juga kepada fakir miskin. Abu Dzar berjanji akan mengumpulkannya kembali dalam tiga hari jika Muawiyah menginginkannya. 

Suatu hari, seseorang datang ke kediaman Abu Dzar. Tamu itu melayangkan pandangannya ke setiap pojok rumahnya. Dia tidak melihat apa-apa di rumah itu. “Hai Abu Dzar! Di mana barang-barang Anda?” Abu Dzar menjawab, “Kami mempunyai rumah yang lain. Barang-barang kami yang bagus telah kami kirim ke sana.”

Tamu itu rupanya mengerti bahwa yang dimaksud Abu Dzar adalah akhirat. Lalu tamu tadi berkata, “Tetapi, Anda juga memerlukan barang-barang itu di rumah ini?” Maksudnya, di dunia. Abu Dzar dengan tangkas menjawab, “Tetapi yang punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal di sini buat selama-lamanya.”

Abu Dzar sering menyampaikan kepada kaum dhuafa bahwa pada harta orang-orang kaya itu ada hak mereka. Sebagai gubernur, Muawiyah khawatir kalau-kalau cara pandang Abu Dzar itu akan mendorong orang-orang miskin merampasi harta kekayaan orang kaya. Dia melaporkan Abu Dzar kepada Khalifah Usman di Madinah. Khalifah memanggil Abu Dzar dan dua sahabat ahli tafsir untuk menguji penafsiran Abu Dzar terhadap surah at-Taubah ayat 34 itu. Keduanya menyatakan bahwa yang diancam oleh ayat tersebut adalah orang-orang yang menimbun kekayaan dan tidak menunaikan kewajibannya membayar zakat. 

Setelah peristiwa itu, Abu Dzar tidak mau kembali lagi ke Damaskus dan juga tidak mau menetap di Madinah. Dalam pandangan dia, umat Islam di kedua kota tersebut tidak lagi hidup secara sederhana seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dia minta izin tinggal di Rabdzah, sebuah kampung kecil di luar Kota Madinah.

Suatu hari, Abu Dzar berpesan kepada putrinya. Jika lewat kafilah di kampung kita ini, jamulah mereka makan. Setelah itu tanyakan kepada mereka, apakah Abu Dzar termasuk ahli surga atau bukan. Putrinya heran, karena biasanya pertanyaan itu diajukan setelah seseorang meninggal dunia. Mengetahui ada kafilah datang dan putrinya sudah menyiapkan jamuan, Abu Dzar mengambil air wudhu lalu shalat dua rakaat dengan khusyuk. Setelah shalat, dia berbaring dan melipat kedua tangannya, kemudian tenang. Pada saat itulah Allah SWT memanggilnya. Alangkah indahnya kematian sahabat kaum dhuafa ini.

KHAZANAH REPUBLIKA


Fatwa Ulama: Fenomena Kematian Mendadak

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah

Soal:

Apakah fenomena kematian yang mendadak itu merupakan pertanda kiamat? Apakah ada amalan tertentu agar bisa terhindar darinya? Apakah dengan memohon perlindungan dari hal itu sudah cukup untuk terhindar darinya?

Jawab:

Dikabarkan dalam banyak hadits yang menunjukkan bahwa fenomena kematian mendadak akan banyak terjadi di akhir zaman. Dan itu kematian yang dibenci oleh orang fajir dan disenangi orang mu’min.

Terkadang orang mu’min mati secara mendadak dengan cara diam tiba-tiba atau cara lain dan itu merupakan yang menggembirakan dan nikmat baginya karena ia telah bersiap diri dan berusaha beristiqamah untuk menghadapi maut. Ia pun senantiasa bersungguh-sungguh mengerjakan amalan kebaikan sehingga ia dicabut nyawanya secara tiba-tiba dalam keadaan yang baik atau dalam keadaan sedang beramal shalih. Ia senang karena tidak merasakan kesulitan,  kelelahan dan beratnya sakaratul maut.

Terkadang kematian mendadak juga terjadi pada orang fajir. Dan itu merupakan bentuk kematian yang ditakuti oleh mereka, yaitu mereka takut dicabut nyawanya secara mendadak dalam keadaan yang buruk.

Kita memohon keselamatan dunia dan akhirat kepada Allah, serta perlindungan dari-Nya.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/18136

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/13906-fatwa-ulama-fenomena-kematian-mendadak.html

Hukum Perbedaan Niat antara Imam dan Makmum

Perbedaan Niat dalam Shalat Berjamaah

Di antara hukum berkaitan dengan shalat berjamaah yang perlu kita ketahui adalah bolehnya ada perbedaan niat antara imam dan makmum. Perbedaan niat shalat antara imam dan makmum tidaklah menghalangi keabsahan shalat berjamaah. Makmum yang ingin melaksanakan shalat wajib, boleh bermakmum kepada imam yang sedang melaksanakan shalat sunnah. Demikian pula sebaliknya, makmum yang ingin melaksanakan shalat sunnah, boleh bermakmum kepada imam yang berniat melaksanakan shalat wajib. Atau kondisi ke tiga, makmum dan imam sama-sama berniat melaksanakan shalat wajib, namun berbeda jenis shalat wajib yang dikerjakan. 

Rincian Dalil Perbedaan Niat Imam dan Makmum

Berikut ini adalah tiga rincian dalil dari apa yang kami sebutkan di atas.

1. Imam Shalat Sunnah, Makmum Shalat Wajin

Contoh, seseorang terlambat ke masjid pada malam hari bulan Ramadhan. Jamaah shalat sunnah tarawih sudah dimulai, namun dia belum melaksanakan shalat isya’. Orang tersebut boleh bermakmum di belakang imam shalat tarawih (yang dilaksanakan dua raka’at salam, dua raka’at salam). Dia bermakmum di belakang imam shalat tarawih sebanyak dua raka’at, ketika imam mengucapkan salam di raka’at ke dua, dia bangkit menyempurnakan menjadi empat raka’at. 

Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para ulama madzhab Syafi’iyyah, salah satu riwayat Imam Ahmad, dan juga pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. 

Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

كَانَ مُعَاذٌ، يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ، فَصَلَّى لَيْلَةً مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى قَوْمَهُ فَأَمَّهُمْ

“Mu’adz shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia pulang, lalu mengimami kaumnya. Dia melakukan shalat isya’ pada malam tersebut bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mendatangi kaumnya, lalu mengimami mereka.” (HR. Bukhari no. 668 dan Muslim no. 465)

Dalam hadits di atas, sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu shalat isya’ bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau pulang menuju kampungnya dan menjadi imam shalat isya’ di kampungnya. Karena sudah shalat isya’ bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, status shalat sahabat Mu’adz ketika menjadi imam adalah shalat sunnah. Sedangkan kaumnya niat shalat isya’.

2. Imam Shalat Wajib, Makmum Shalat Sunnah

Contoh, ketika seseorang sudah melaksanakan shalat wajib berjamaah di masjid A. Lalu dia datang ke masjid B, dan dia dapati masjid B masih shalat jamaah bersama imam. Maka boleh bagi orang tadi untuk ikut jamaah, dan statusnya adalah shalat sunnah (karena dia sudah shalat wajib di masjid A). 

Hal ini termasuk di antara adab ketika masuk masjid dalam rangka menghormati shalat jama’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ مَعَهُمْ فَصَلِّ، وَلَا تَقُلْ إِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ فَلَا أُصَلِّي

“Tunaikanlah shalat tepat pada waktunya. Jika kamu mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersama mereka). Janganlah kamu katakan, “Maaf, aku telah melakukan shalat, maka aku tak akan shalat lagi.” (HR. Muslim no. 648)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

“Dalam hadits ini (terdapat dalil bahwa) tidak mengapa mengulang shalat shubuh, ashar, dan maghrib sebagaimana shalat-shalat lainnya. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menambahkan keterangan ketika memerintahkan mengulang shalat dan tidak membedakan antara shalat yang satu dengan shalat yang lainnya. Inilah pendapat yang shahih dalam madzhab kami (madzhab Asy-Syafi’i).” (Syarh Shahih Muslim, 5: 154)

Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku shalat subuh bersamanya di masjid Al-Khaif. Ketika beliau selesai melakasanakan shalat subuh dan berpaling, tiba-tiba ada dua orang laki-laki dari kaum lain yang tidak ikut shalat berjamaah bersama beliau. Maka beliau pun bersabda,

عَلَيَّ بِهِمَا

“Bawalah dua orang itu kemari!” 

Maka mereka pun dibawa ke hadapan Nabi dalam kondisi urat mereka bergetar. Beliau bersabda, 

مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا

“Apa yang menghalangi kalian untuk shalat bersama kami?” 

Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami telah shalat (subuh) di tempat kami.” 

Beliau bersabda, 

فَلَا تَفْعَلَا، إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ

“Janganlah kalian lakukan. Jika kalian telah melaksanakannya di tempat kalian, lalu kalian datang ke masjid yang melaksanakan shalat berjamaah, maka shalatlah bersama mereka, karena hal itu akan menjadi pahala sunnah bagi kalian berdua.” (HR. Abu Dawud no. 575, Tirmidzi no. 219, dan lain-lain, hadits shahih)

Dua orang sahabat ini telah mendirikan shalat subuh di masjid kampungnya. Namun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan mereka untuk shalat lagi, yang ini dinilai sebagai shalat sunnah untuk mereka. 

3. Imam Shalat Wajib, Makmum Shalat Wajib yang Lain

Contoh, seseorang ketiduran dan terlewat shalat dzuhur. Lalu dia bangun ingin mendirikan shalat dzuhur di masjid. Dia jumpai di masjid sedang jamaah shalat ashar. Maka orang tersebut boleh shalat di belakang imam dengan niat shalat dzuhur, sedangkan imam dan jamaah lainnya shalat ashar. Hal ini karena wajib bagi orang tersebut untuk mendirikan shalat secara tartib (urut). Dan kewajiban ini tidaklah gugur karena khawatir terluput dari shalat jamaah. 

Inilah pendapat para ulama Syafi’iyyah, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dipilih juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah. Dalilnya adalah kisah sahabat Mu’adz di atas. Hal ini karena hadits tersebut menunjukkan bahwa perbedaan niat antara imam dan makmum tidak masalah, maka demikian pula bisa dibawa ke permasalahan ini. 

Catatan Penting

Yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa kedua shalat tersebut memiliki tatacara pelaksanaan yang sama. Jika secara lahiriyah pelaksanaannya berbeda, maka tidak boleh. Misalnya, imam shalat jenazah, sedangkan makmum shalat wajib lima waktu. Atau imam shalat ‘idul fitri, lalu ada yang bermakmum shalat subuh (karena bangun kesiangan, misalnya). Bentuk semacam ini tidak boleh, karena ada perbedaan tatacara dua shalat tersebut, yaitu antara shalat yang dikerjakan imam dan shalat yang dikerjakan makmum. 

Menjawab Kerancuan Hadits

Adapun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ

“Hanyalah imam itu dijadikan sebagai panutan. Maka janganlah kamu menyelisihinya.” (HR. Bukhari no. 722 dan HR. Muslim no. 414)

Hadits ini tidaklah menunjukkan larangan perbedaan niat antara imam dengan makmum, meskipun ada sangkaan bahwa perbuatan makmum berarti menyelisihi niat imam. Karena penyelisihan yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berselisih dari sisi perbuatan lahiriyah, bukan dari sisi niat. Hal ini tampak jelas dari kelanjutan redaksi hadits di atas, yaitu,

فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

“Apabila dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Apabila dia mengangkat kepala, maka angkatlah kepala kalian. Apabila dia berkata, “Sami’allahu liman hamidahu”, maka ucapkanlah, “Allahumma rabbana laka al-hamdu.” Apabila dia bersujud, maka sujudlah kalian. Apabila dia shalat sambil duduk, maka kalian semua juga shalat dengan duduk.” (HR. Bukhari no. 722 dan Muslim no. 414)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52166-hukum-perbedaan-niat-antara-imam-dan-makmum.html

Larangan Keluar dari Masjid setelah Adzan Dikumandangkan

v

Salah Satu Adab Ketika di Masjid

Salah satu adab yang perlu diperhatikan ketika di masjid adalah tidak keluar dari masjid setelah adzan dikumandangkan, kecuali jika ada udzur. Hal ini karena tindakan keluar dari masjid itu bertentangan dengan seruan adzan untuk mendatangi masjid dalam rangka mendirikan shalat berjamaah. Selain itu, keluar dari masjid juga akan menyebabkan lalai dan terlambat dari shalat jamaah,

Terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ أَحَالَ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ صَوْتَهُ. فَإِذَا سَكَتَ رَجَعَ فَوَسْوَسَ فَإِذَا سَمِعَ الْإِقَامَةَ ذَهَبَ حَتَّى لَا يَسْمَعَ صَوْتَهُ فَإِذَا سَكَتَ رَجَعَ فَوَسْوَسَ

“Sesungguhnya setan, apabila mendengar adzan untuk shalat, dia berlari sambil terkentut-kentut sampai tidak mendengar adzan lagi. Ketika adzan telah berhenti, dia kembali dan mengganggu. Apabila mendengar iqamat, dia pergi sampai tidak mendengarnya. Ketika iqamat telah berhenti, dia kembali dan mengganggu.” (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 389. Lafadz hadits di atas milik Muslim.)

Ibnu Bathal rahimahullah berkata,

“Larangan agar seseorang tidak keluar dari masjid setelah muadzin mengumandangkan adzan itu mirip dengan masalah ini. Yaitu, agar seseorang tidak menyerupai (tasyabbuh) dengan setan yang lari ketika mendengar adzan. Wallahu a’lam.” (Syarh Ibnu Bathal, 2: 235)

Diriwayatkan dari Abu Sya’tsa’, beliau berkata,

كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: «أَمَّا هَذَا، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

“Kami tengah duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah. Ketika seorang mu’adzin mengumandangkan adzan, seseorang berdiri meninggalkan masjid sambil berjalan. Abu Hurairah terus mengawasinya hingga laki-laki tersebut keluar dari masjid. Abu Hurairah lalu berkata, “Orang ini telah membangkang (durhaka) kepada Abul Qasim (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 655)

Perkataan di atas, meskipun diucapkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, namun status hukumnya adalah berasal dari syariat (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Hal ini karena para sahabat Nabi tidak akan berani menegaskan suatu perbuatan itu bernilai ketaatan atau kemaksiatan (kedurhakaan), kecuali jika memang sahabat tersebut memiliki ilmu yang didapatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Keluar Masjid saat Adzan, Ciri Orang Munafik

Diriwayatkan juga dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَسْمَعُ النِّدَاءَ فِي مَسْجِدِي هَذَا ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْهُ، إِلَّا لِحَاجَةٍ، ثُمَّ لَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ إِلَّا مُنَافِقٌ

“Tidaklah seseorang mendengar adzan di masjidku ini, kemudian keluar dari masjid kecuali ada hajat (kebutuhan), kemudian dia tidak kembali, melainkan dia adalah seorang munafik.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath 4: 149. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhiib, 1: 179)

Juga diriwayatkan dari sahabt ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَدْرَكَهُ الْأَذَانُ فِي الْمَسْجِدِ، ثُمَّ خَرَجَ، لَمْ يَخْرُجْ لِحَاجَةٍ، وَهُوَ لَا يُرِيدُ الرَّجْعَةَ، فَهُوَ مُنَافِقٌ

“Siapa saja yang menjumpai (mendengar) adzan di masjid, kemudian dia keluar. Dia tidak keluar karena ada hajat dan juga tidak berniat kembali, maka dia adalah seorang munafik.” (HR. Ibnu Majah no. 734, shahih)

Maksudnya, perbuatan tersebut adalah perbuatan orang munafik. Karena orang mukmin tulen, tidak selayaknya berbuat demikian. Kemunafikan di sini adalah nifaq ‘amali yang tidak menyebabkan batalnya iman, dan bukan nifaq i’tiqadi. 

Boleh Keluar Masjid Jika Ada Hajat

At-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits dari Abu Hurairah di atas,

وَعَلَى هَذَا العَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ: أَنْ لَا يَخْرُجَ أَحَدٌ مِنَ المَسْجِدِ بَعْدَ الأَذَانِ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ: أَنْ يَكُونَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ، أَوْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.

“Inilah yang diamalkan oleh para ulama dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sesudah mereka. Yaitu agar seseorang tidak keluar dari masjid setelah adzan, kecuali karena ada udzur. Misalnya karena dia belum berwudhu atau adanya perkara yang harus dia kerjakan.” (Jaami’ At-Tirmidzi, 1: 398)

Jika ada hajat (kebutuhan), maka diperbolehkan keluar dari masjid

Adapun jika hajat (kebutuhan) untuk keluar dari masjid, misalnya untuk mengambil air wudhu, maka diperbolehkan. Dalil dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَقُمْنَا، فَعَدَّلْنَا الصُّفُوفَ، قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ” فَأَتَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا قَامَ فِي مُصَلَّاهُ قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ، ذَكَرَ فَانْصَرَفَ، وَقَالَ لَنَا: مَكَانَكُمْ، فَلَمْ نَزَلْ قِيَامًا نَنْتَظِرُهُ حَتَّى خَرَجَ إِلَيْنَا، وَقَدِ اغْتَسَلَ يَنْطُفُ رَأْسُهُ مَاءً، فَكَبَّرَ فَصَلَّى بِنَا

“Ketika iqamat dikumandangkan, maka kami berdiri dan meluruskan shaff sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Tidak lama kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, hingga beliau berdiri di tempat shalatnya. Sebelum bertakbir, beliau ingat sesuatu, lalu beliau pergi seraya berujar, “Tetaplah kalian berada di posisi kalian.” 

Maka kami terus berdiri menunggu beliau hingga beliau muncul kembali. Rupanya beliau mandi dan masih terlihat di kepalanya meneteskan air. Beliau pun bertakbir dan mengimami shalat.” (HR. Bukhari no. 639 dan Muslim no. 605)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52129-keluar-masjid-setelah-adzan.html

Tundukan Akalmu Pada Tuntunan Rasulullah

Mungkin seringkali sebagian dari kita menghadapi situasi “tidak tahu” apa maslahat dari sebuah tuntunan agama, atau bahkan yang kita tahu adalah kerugian besar bagi manusia bila tuntunan itu diterapkan.Jika hal ini menimpa Anda dan tuntunan itu benar-benar ada dasar dan dalilnya, maka katakanlah pada diri Anda: “Pasti ada kebaikan di dalamnya yang akalku belum dapat memahaminya”. Yakinkan diri Anda, bahwa: “dibalik kerugian yang tampak, pasti ada maslahat yg jauh lebih besar darinya”.

Kita bisa mencontohkan hal ini dalam syariat “taat dan tunduk pada pemerintah yang sah”. Mungkin banyak dari masyarakat sekarang ini, yang tidak sabar dengan kekurangan yang ada pada pemerintah saat ini, dan akhirnya mereka memandang baik “demonstrasi” untuk memperbaiki keadaan. Memang terlihat sangat logis, dan mungkin banyak dari kita tidak bisa menjawab mengapa cara “demo” dilarang oleh Islam?!

Tapi yang jelas, Nabi –shallallahu’alaihi wasallam– telah bersabda: “Akan ada setelahku para PEMIMPIN yg tidak menjalankan petunjukku, dan tidak menerapkan sunnahku, dan akan ada ditengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah HATI SETAN di dalam jasad manusia!

Hudzaifah bertanya: “Apa yang aku lakukan bila aku menemui hal itu?”.

Maka beliau menjawab: “Tetaplah mendengar dan menaati pemimpinmu, walaupun punggungmu dipukul dan uangmu dirampas, tetaplah untuk mendengar dan menaatinya“. (HR. Muslim, no: 1847).

Camkanlah perkataan beliau “Walaupun punggungmu dipukul dan uangmu dirampas, tetaplah untuk mendengar dan menaatinya“.

Mungkin akal sebagian dari kita tidak bisa melihat maslahat dari perintah ini, tapi jika Anda mengaku sebagai mukmin, yakni orang yg beriman bahwa beliau adalah utusan Allah, maka harusnya Anda menerima pesan beliau ini APA ADANYA. Bahwa pesan ini PASTI benarnya dan lebih besar maslahatnya.

Karena Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan Dia tidak mungkin menyariatkan sesuatu yang mendatangkan kerugian lebih besar daripada maslahatnya! Begitu pula Nabi –shallallahu’alaihi wasallam– adalah rosul yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, khususnya bagi kaum muslimin, Beliau tidak mungkin ingin membinasakan umatnya!

Yakinlah, bahwa di balik pesan ini pasti ada maslahat yang sangat besar, dan kebaikan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Lakukanlah perbaikan yang sesuai dengan Islam, diantaranya: dengan mendoakan kebaikan untuk pemimpin kita, menasehati dan memberi masukan kepada mereka dengan cara yang bermartabat dan tidak merendahkan. Kemudian bersabarlah menjalani keadaan yang ada, hingga Allah mengubah keadaan ini.

Ingatlah Firman Allah ta’ala (yg artinya): “Itulah masa-masa (kejayaan dan kehancuran) yg Kami timpakan secara bergilir kepada manusia (agar mereka mendapat pelajaran)“. (QS. Alu Imran: 140).

Ingat pula perkataan Hasan bin Sholeh –rahimahullah-: “Sungguh bisa saja setan membukakan 99 pintu kebaikan untuk seorang hamba, dengannya dia menginginkan satu pintu keburukan untuknya” (Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal: 37).

Ya, bisa jadi setan hanya menginginkan satu pintu keburukan untuk seseorang, yang dengannya dia ingin menghanguskan 99 pintu kebaikan yang dia jadikan sebagai jebakannya. Semoga Allah melindungi kita semua dari godaan setan yang licik ini, amin.

Penulis: Ust. Musyafa Ad Darini, Lc., MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25168-tundukan-akalmu-pada-tuntunan-rasulullah.html

Kaum Yahudi Berharap Nabi Terakhir Diutus Dari Kalangan Mereka

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Al-Quran telah memberitakan, bahwa masyarakat ahli kitab telah mengetahui akan ada nabi terakhir yang mempimpin dunia dan mengalahkan berbagai macam suku dan golongan yang tidak mengetahui agamanya.

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ

Ingatlah ketika Isa Ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan datangnya seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. As-Shaf: 6).

Di ayat lain, Allah berfirman,

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ

(yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-A’raf: 157).

Mereka juga memahami bahwa nabi terakhir ini akan tinggal di daerah yang memiliki banyak kebun kurma.

Karena alasan inilah, masyarakat yahudi eksodus dari daerah asalnya di Syam, menuju Yatsrib (nama asal kota Madinah), untuk menyambut kehadiran nabi terakhir yang tinggal. Dalam ar-Rahiq al-Makhtum diterangkan tentang asal yahudi di Madinah,

وكانوا في الحقيقة عبرانيين، ولكن بعد الانسحاب إلى الحجاز اصطبغوا بالصبغة العربية في الزى واللغة والحضارة، حتى صارت أسماؤهم وأسماء قبائلهم عربية، وحتى قامت بينهم وبين العرب علاقة الزواج والصهر، إلا أنهم احتفظوا بعصبيتهم الجنسية، ولم يندمجوا في العرب قطعًا، بل كانوا يفتخرون بجنسيتهم الإسرائيلية

“Aslinya mereka adalah ibrani, namun setelah mereka pindah ke daerah Hijaz (wilayah Madinah – Mekah), mereka melebur dengan kultur arab, mulai dari cara berpakaian, bahasa, sampai tradisi dan kebudayaan. Hingga nama mereka dan nama kabilah mereka kearab-araban. Sampai terjadi hubungan pernikahan antara yahudi dengan masyarakat arab. Hanya saja, mereka masih menjaga fanatisme kebangsaan, dan tidak berasimilasi penuh dengan masyarakat arab. Bahkan mereka membanggakan diri mereka sebagai keturunan Israil” (ar-Rahiq al-Makhtum, 139).

Perang Dingin Yahudi & Masyarakat Madinah

Sikap fanatisme masyarakat yahudi di Madinah, mendorong mereka untuk berusaha merebut kota madinah dari tangan penduduk arab. Untuk mewujudkan tujuan ini, mereka berusaha mengadu domba antar-suku masyarakat Madinah, yang ketika itu terdiri dari 2 suku besar: Aus dan Khazraj. Hingga terjadi perang besar antara dua suku ini, yang dikenal dengan perang Bu’ats.

Ancaman Yahudi kepada Penduduk Madinah

Karena telah memiliki taurat, dalam masalah keyakinan, masyarakat yahudi merasa diri mereka lebih berperadaban dibandingkan penduduk arab asli. Abul Aliyah menyebutkan bahwa diantara doa orang yahudi itu,

اللهم ابعث هذا النبي الذي نجده مكتوبًا عندنا حتى نعذب المشركين ونقتلهم

”Ya Allah, utuslah nabi yang telah disebutkan kisahnya dalam taurat ini, sehingga kami bisa menghukum orang-orang musyrik itu, dan membantai mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/326)

Allah ceritakan hal ini dalam al-Quran,

وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا

Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir” (QS. Al-Baqarah: 89).

Akan tetapi harapan mereka meleset. Para yahudi itu berharap agar nabi terakhir diutus di kalangan mereka, namun ternyata Allah utus dari kalangan orang arab, suku Quraisy. Lebih dari itu, nabi terakhir ini tidak berpihak atas nama fanatisme keturunan Israil. Pupus sudah harapan besar mereka, hingga timbul hasad dan dengki kepada masyarakat arab. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain kufur terhadap nabi terakhir itu.

Di lanjutan ayat di atas, Allah berfirman,

فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ ( ) بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ

Ketika telah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. La’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya” (QS. Al-Baqarah: 89 – 90).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma menceritakan,

أن يَهود كانوا يستفتحون على الأوس والخزرج برسول الله صلى الله عليه وسلم قبل مبعثه. فلما بعثه الله من العرب كفروا به، وجحدوا ما كانوا يقولون فيه. فقال لهم معاذ بن جبل، وبشر بن البراء بن مَعْرُور، أخو بني سلمة: يا معشر يهود، اتقوا الله وأسلموا، فقد كنتم تستفتحون علينا بمحمد صلى الله عليه وسلم ونحن أهل شرك، وتخبروننا بأنه مبعوث، وتصفُونه لنا بصفته

“Sebelum diutusnya nabi, orang yahudi berharap akan mengalahkan kaum Aus dan Khazraj dengan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Allah mengutus beliau dari suku arab, mereka kufur kepadanya, dan mengingkari ucapan yang dulu pernah mereka sampaikan. Hingga Muadz bin Jabal dan Bisyr bin Barra dari Bani Salamah menyampaikan kepada orang yahudi: “Wahai orang yahudi, bertaqwalah kepada Allah dan masuklah ke dalam islam. Dulu kalian ingin menghabisi kami dengan kehadiran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika kami masih musyrik. Kalian sampaikan kepada kami bahwa beliau akan diutus dan kalian juga menceritakan sifat beliau kepada kami.”

Namun pernyataan dua sahabat ini dibantah oleh yahudi, melalui lidah Salam bin Misykam dari Bani Nadhir,

ما جاءنا بشيء نعرفه، وما هو بالذي كنا نذكر لكم

”Belum datang kepada kami nabi yang kami kenal, sama sekali. Dia (Muhammad) bukanlah orang yang pernah kami ceritakan kepada kalian”

Dengan sebab ini, Allah turunkan surat al-Baqarah ayat 89 dan 90 di atas.

Ahli Kitab Merasa Iri dan Dengki

Pelajaran penting yang juga perlu kita garis bawahi, sebab terbesar orang yahudi itu kufur kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena mereka iri dengan kita. Mereka dengki dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Allah sampaikan dalam al-Quran,

فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ ( ) بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ

Ketika telah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. La’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki mengapa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya” (QS. Al-Baqarah: 89 – 90).

Makna: ”Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya” adalah bahwa Allah menurunkan kenabian terakhir kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena desakan sifat ’iri’ itu, mereka wujudkan dalam usaha memurtadkan kaum muslimin. Allah menceritakan,

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat menjadikan kalian kembali kafir setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 109).

Anda bisa perhatikan, mereka iri dengan agama kita. Itu artinya ajaran agama kita jauh lebih sempurna dan lebih baik dari pada agama mereka, dan bahkan tidak bisa dibandingkan, karena ajaran agama mereka telah disimpangkan.
Jika Si A iri kepada si B, mana yang lebih baik? Jelas jawabannya si B lebih baik. Karena jika si A lebih baik dari pada si B, untuk apa dia iri kepada si B.

Yahudi dan Nasrani, iri kepada Islam. Sekali lagi, karena ajaran Islam lebih baik dari pada ajaran mereka. Jika Islam jauh lebih baik dari pada Nasrani dan Yahudi, lantas dengan alasan apa umat islam mengucapkan ’selamat natal’ atau selamat tahun baru, yang itu semua perayaan agama usang yang seharusnya sudah ditinggalkan.

Namun sangat disayangkan, kehadiran generasi ’muslim liberal’ mewakili kelompok kaum muslimin yang rendah diri [bukan rendah hati], merasa hina di depan agama usang dan diselewengkan.

Allahu a’lam

Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, ST., BA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22213-kaum-yahudi-berharap-nabi-terakhir-diutus-dari-kalangan-mereka.html

Doa Rasulullah SAW untuk Pejabat

Rasulullah SAW memberi peringatan kepada siapapun pejabat yang curang

Perhatian Rasulullah SAW terhadap masa depan umatnya sangat besar. Wujud perhatian beliau terefleksikan dalam banyak hal. Salah satunya dalam redaksi doa yang beliau ajarkan.

Salah satu doa yang sering beliau panjatkan adalah, “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR Muslim dan Ahmad).

Doa Rasulullah di atas menyiratkan dua tipikal pejabat yang akan selalu mengisi kehidupan ini. Ada pejabat yang menyusahkan rakyatnya dan ada pula yang memudahkan mereka.

Pejabat yang memudahkan rakyatnya akan mendapatkan doa kemudahan dari beliau. Sebaliknya, pejabat yang menyusahkan rakyatnya akan mendapatkan doa supaya ia disusahkan. Kemudahan dan kesusahan yang dimaksud dalam hadis tadi bersifat umum, mencakup dunia-akhirat.

As-Shan’ani berkata, “Kesusahan dalam hadis, mencakup kesusahan duniawi dan ukhrawi.”

Di antara bentuk kesusahan yang akan diterima oleh pejabat disebutkan dalam hadis lain. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang diamanahi mengurusi umatku lalu menyusahkan mereka, maka baginya Bahlatullahi. Para sahabat bertanya, apakah itu Bahlatullahi? Ra sulullah menjawab, ‘Laknat Allah’ (HR Abu Awanah dalam kitab sahihnya).

Orang yang dilaknat oleh Allah akan tersingkir dari pusaran rahmat dan kasih sayang-Nya. Padahal, jabatan adalah amanah yang sangat berat. Tak mungkin tertunaikan kecuali dengan bantuan dan pertolongan Allah. Pejabat itu bakal dikenang oleh rakyatnya sebagai pemimpin yang gagal. Pejabat seperti itu justru menjadi sasaran kemarahan rakyatnya.

Yang lebih mengerikan lagi, kesulitan itu akan terus berlanjut di akhirat. “Tidaklah seorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya, jika seorang pejabat bisa memberikan kemudahan (yang tidak melanggar syariat), maka ia juga akan mendapatkan kemudahan berupa pertolongan Allah.

Bila pertolongan Allah sudah mengucur maka segala sesuatu akan terasa mudah. Kehidupan sang pemimpin juga akan selalu dinaungi dengan ketenangan. Rakyat mencintainya dan Allah mengasihinya. Di akhirat kelak akan mendapatkan penghargaan yang sangat istimewa dari Allah.

Oleh karena itu, sebenarnya hikmah di balik disyariatkannya kepemimpinan, yaitu untuk mempermudah urusan umat, bukan untuk membuat umat bertambah susah dengan permasalahan yang menimpanya.

Oleh: Ahmad Rifai

REPUBLIKA


Doa untuk Pemimpin Negeri

Setelah kita melihat hasil Pemilu saat ini, tugas kita adalah terus berdoa, moga Allah memberikan kepada kita pemimpin yang adil dan amanat.

Doa Mustajab untuk Pemimpin Negeri

Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata,

لو أن لي دعوة مستجابة ما صيرتها الا في الامام

“Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”

Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy)

Tetap Taat pada Pemimpin

Apa pun hasil dalam Pemilu Caleg dan Presiden nanti, maka tetaplah taat pada pemimpin tersebut.

الْمَصْلَحَةُ الْعَامَّةُ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ

“Kemaslahatan umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi.” (Al-Muwafaqot 6: 123 karya Asy Syathibi)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan,

عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144  dan Muslim no. 1839)

Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?”   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya  dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855)

Pemimpin adalah Cerminan dari Rakyat, Sadarlah!

كَمَا تَكُوْنُوْنَ يُوَلَّى عَلَيْكُمْ

“Bagaimanapun keadaan kalian (rakyat), maka begitulah keadaan pemimpin kalian.” (catatan: Ungkapan ini dijadikan sebagai judul sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani al-Jazairi)

Alkisah ada seorang khawarij yang datang menemui Ali bin Abi Thalib seraya berkata, “Wahai khalifah Ali, mengapa pemerintahanmu banyak di kritik oleh orang tidak sebagaimana pemerintahannya Abu Bakar dan Umar?!” Sahabat Ali Menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang semisalku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang yang semisalmu!!” (Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin)

Doa untuk Pemimpin Negeri

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ

“Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami orang yang baik. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi Islam, dan kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka untuk menunaikan tugasnya, sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari teman dekat yang jelek dan teman yang merusak. Juga dekatkanlah orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik kepada mereka, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jadikanlah pemimpin kaum muslimin sebagai orang yang baik, di mana pun mereka berada.”

Teks Khutbah Jum’at di Masjid Sudirman Panggang, Gunungkidul, 11 Jumadats Tsaniyah 1435 H

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/7206-doa-untuk-pemimpin-negeri.html