Membangun Rumah di Surga Lewat Shalat Sunah Rawatib

Tak semua orang bisa memiliki rumah pada zaman ini. Tingginya harga jual tanah dan bahan bangunan membuat rumah hanya bisa dimiliki orang dengan kemampuan finansial tinggi. Rumah dan apartemen di kota-kota besar seperti Jakarta sudah berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Kaum papa dan para dhuafa dengan kemampuan pendapatan di bawah upah minimum regional (UMR) hanya bisa gigit jari. Banyak di antara mereka yang hidup dari kontrakan ke kontrakan, dari satu petak ke petak lain.

Hanya, Allah SWT yang memiliki sifat rahman dan rahim menjanjikan rumah istimewa di Surga. Bagi Muslim yang menginginkan, terlepas dia dhuafa atau orang kaya, rumah itu bisa dipesan dari sekarang. Hanya, bukan lewat kredit perumahan rakyat (KPR) dari bank-bank ternama. Rumah itu hanya bisa dipesan lewat amalan istimewa.

Hadis yang diriwayatkan dari Ummu Habibah, istri Nabi SAW mengungkapkan Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah seorang hamba Muslim mengerjakan shalat tathawwu’ selain shalat fardhu, sebanyak dua belas rakaat dalam sehari semalam karena (mengharap ridha) Allah, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga, (atau melainkan akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di Surga).“(HR Muslim).

Dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dua belas rakaat yang dimaksud ditafsirkan sebagai empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelah Zuhur, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya dan dua rakaat sebelum Subuh.” Meski demikian, ada juga ulama yang mengatakan, shalat sunah rawatib dua rakaat sebelum Zuhur. Ini didasarkan dari sebuah dalil yang diriwayatkan Abdullah bin Umar.

Dari Abdullah bin Umar dia berkata: “Aku senantiasa mengerjakan shalat sepuluh rakaat dari Rasulullah SAW, dua rakaat sebelum dan sesudah Zuhur, dua rakaat setelah Maghrib di rumahnya, dua rakaat setelah Isya di rumahnya, dan dua rakaat sebelum shalat Subuh. Itulah saat ketika tidak ada yang masuk menemui Nabi. Hafshah memberitahuku bahwasanya jika seorang muazin telah mengumandangkan azan dan fajar telah terbit. Beliau pun mengerjakan shalat dua rakaat.”

Dikutip dari buku Shalat-Shalat Sunah Rasulullah karangan Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, shalat sunah sebelum Subuh termasuk shalat sunah rawatib yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW. Sampai-sampai, Rasulullah SAW menjelaskan, dua rakaat sebelum Subuh itu lebih baik dari dunia dan seisinya.

Nabi SAW selalu mengerjakannya serta tidak pernah meninggalkannya baik saat berada di rumah atau dalam perjalanan. Hadis sahih dari Abu Maryam menceritakan, Rasulullah SAW pernah dalam satu perjalanan malam. Di ambang Subuh, Rasulullah singgah kemudian tidur. Orang-orang pun ikut tidur. Mereka kemudian terbangun ketika matahari telah terbit menyinari. Rasulullah SAW pun menyuruh muazin mengumandangkan azan. Kemudian, Nabi mengerjakan shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh.

Rasulullah SAW pun mencontohkan untuk berbaring di atas lambung kanan setelah menunaikan shalat sunah itu. Meski demikian, apa yang dicontohkan itu bukan termasuk wajib, melainkan sunah. Ini berdasarkan keterangan dari Aisyah yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi SAW terbiasa berbincang-bincang dengan Aisyah, jika tidak maka beliau berbaring, setelah shalat sunah tersebut hingga dikumandangkan ikamah sebagai tanda shalat.

KHAZANAH REPUBLIKA

Masuk Masjid, Jangan Duduk sebelum Salat 2 Rakaat

SYAIKH Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Wahai Syaikh yang mulia, apakah dua rakaat shalat Dhuha bisa digabungkan dengan shalat sunnah tahiyatul masjid?”

Jawaban beliau rahimahullah, “Misalnya seseorang masuk masjid pada waktu Dhuha, lalu ia berniat melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka shalat tahiyatul masjid sudah termasuk di dalamnya. Begitu pula ketika masuk, lalu ia laksanakan shalat rawatib, maka shalat tahiyatul masjid juga sudah termasuk di dalamnya. Misalnya, seseorang melaksanakan shalat rawatib qobliyah Shubuh atau rawatib qabliyah Zhuhur, maka shalat tahiyatul masjid pun tercakup di dalamnya.

Akan tetapi sebaliknya, shalat tahiyatul masjid tidak bisa mencukupi shalat rawatib. Seandainya seseorang masuk masjid setelah dikumandangkan azan Zhuhur, lalu ia berniat laksanakan shalat tahiyatul masjid, maka ini tidak bisa mencakup shalat rawatib.” (Liqaat Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 108, pertanyaan no. 2, 5:304-305)

Berarti maksud Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah cukup seseorang melakukan shalat rawatib dua rakaat, maka shalat tahiyyatul masjid sudah ada di dalamnya. Karena dalam hadits cuma mengatakan lakukan dua rakaat ketika masuk masjid. Dari Abu Qatadah bin Ribi Al-Anshari radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, janganlah ia duduk sampai mengerjakan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1163 dan Muslim, no. 714)

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

[Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin; Liqaat Al-Bab Al-Maftuh; Mulakkash Fiqh Al-Ibaadat/ Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Dua Salat Sunah yang tak Ditinggalkan Rasulullah

IBNUL QAYYIM berkata, “Rasulullah saw di dalam safar senantiasa mengerjakan salat sunah rawatib sebelum subuh dan salat sunah witir dikarenakan dua salat sunah ini yang paling utama di antara salat sunah, dan tidak ada riwayat bahwasanya Rasulullah saw mengerjakan sunah selain keduanya.”

Salat sunah fajar dan witir, usahakanlah jangan sampai keduanya ditinggalkan. Kalimat Ibnul Qayyim di atas menyebutkan bahwa kedua salat ini merupakan salat sunah yang paling utama, dimana kedua salat ini tidak pernah ditinggalan oleh Rasulullah saw, baik saat di rumah maupun saat bepergian.

Bahkan saat kedua salat sunah ini ditinggalkan, maka kita dianjurkan untuk mengqadhanya.

“Siapa yang tidur tanpa salat witir, atau lupa, hendaknya ia mengerjakannya pada pagi hari atau ketika ingat.” ( HR.Abu Daud dengan sanad yang shahih.)

“Siapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum salat subuh, maka salatlah setelah matahari terbit.” (HR.Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani).

Sementara, salat tahajud disebutkan, salat sunah ini tidak pernah ditinggalkan Rasulullah saw, meski beliau dalam keadaan sakit. Aisyah menuturkan, “Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan qiyamullail, dan jika beliau sakit, maka beliau salat sambil duduk.” (HR.Abu Daud dan al-Hakim)

Disebutkan juga dalam sebuah hadis bahwa salat tahajud merupakan kebiasaan orang-orang saleh semenjak dahulu. Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah kalian mengerjakan qiyamullail, karena qiyamullail itu kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian.” (HR.Ahmad, Tirmidzi, al-Hakim, Baihaqi, Ibnu Asakir, Thabrani dan Ibnu Suni).

Dan, salat dhuha. Salat sunah ini memiliki keutamaan yang besar, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad saw:

“Di setiap persendian seorang dari kalian terdapat sedekah. Setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah setiap tahlil (ucapan laa ilaaha illallaah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan mencukupi dari semua itu dua rakaat Dhuha yang ia kerjakan.” (HR.Muslim)

“Siapa yang keluar untuk melaksanakan salat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan umrah.” (HR.Abu Daud)

Dengan mengamalkan salat-salat sunah di setiap hari yang kita jalankan, ditambah dengan amalan sunah seperti puasa sunah lainnya, maka tentu hari itu akan menjadi hari yang spesial, hari yang terbaik, di mana kita akan mendapatkan pahala dan rapot yang terbaik dari sisi Allah swt. Amin. [Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK

Tuntunan Shalat Sunnah Rawatib

Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.

Dan sesungguhnya at-tathowwu’ (ibadah sunnah) di dalam ibadah sholat yang paling utama adalah sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).

Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana sholat fardhu, sehingga saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari hukum-hukum sholat rawatib secara ringkas:

1. Keutamaan Sholat Rawatib

Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sholat sunnah rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga“. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)

Adapun sholat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka“. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)

2. Jumlah Sholat Sunnah Rawatib

Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh“. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)

3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد).” (HR. Muslim no. 726)

Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون) (QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)

4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib

Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)

5. Apakah Sholat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam, seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)

6. Apakah Pada Sholat Ashar Terdapat Rawatib?

As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)

7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at

As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)

8. Sholat Rawatib Ba’diyah Jum’at

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah sesudahnya empat rakaat“. (HR. Muslim no. 881)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)

9. Sholat Rawatib Dalam Keadaan Safar

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat sunnah witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315).

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat rawatib kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ Fatawa 11/390).

10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib

Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan rumah kalian bagai kuburan“. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat Nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/295)

11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib

Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)

12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib

Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan kecuali hal itu“. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 23/90)

13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang

Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meng-qodho’ sholat ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad 1/308)

14. Waktu Mengqodho’ Sholat Rawatib Sebelum Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka sholatlah setelah matahari terbit“. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-albani)

Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?“. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum subuh, Tasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa“. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)

As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)

15. Jika Sholat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu atau Sholat Subuh?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas sholat fardhu (subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)

16. Pengurutan Ketika Mengqodho’

As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)

17. Mengqodho’ Sholat Rawatib yang Banyak Terlewatkan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ sholat rawatib dan selainnya, karena merupakan sholat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)… kemudian jika sholat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika Rasulullah mengerjakan empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu tersebut.…. Dan jika hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama sholat rawatib”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 238)

18. Menggabungkan Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’

As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)

19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu Dhuha

As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka pada keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha, dan sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)

20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikharah

Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)

21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan

Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu“. (HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)

An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)

22. Memutus Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu ditegakkan

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu..“, akan tetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)

23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?

As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho’”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 609)

24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat Rawatib

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)

25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama’”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)

26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?

Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-‘Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)

27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib

As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?

Jawaban beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah sholat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan sholat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan sholat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)

28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat Rawatib

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)

29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun Sholat Sunnah lainnya.

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah setelah sholat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya”.

30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’: (Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)

(Yang dimaksud adalah artikel tersebut: http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm (pen.))

Faedah:
Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)

Lembaran singkat ini saya ringkas dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul “Hukum-hukum Sholat Sunnah Rawatib”.

Dan sholawat serta salam kepada nabi kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin

Ummul Hamaam, 1 Ramadhan 1431 H

Penulis: As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-‘Anziy

Sumber: Buletin Darul Qosim (www.dar-alqassem.com)

Penerjemah: Abu Ahmad Meilana Dharma Putra

Muroja’ah: Al-Ustadz Abu Raihana, MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/4602-tuntunan-shalat-sunnah-rawatib.html

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib

Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ. قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ

“Seorang hamba yang muslim melakukan shalat sunnah yang bukan wajib, karena Allah, (sebanyak) dua belas rakaat dalam setiap hari, Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.” (Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata, “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut.” [1]


Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan shalat sunnah rawatib, sehingga Imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama dalam bab: keutamaan shalat sunnah rawatib (yang dikerjakan) bersama shalat wajib (yang lima waktu), dalam kitab beliau Riyadhus Shaalihiin. [2]

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

  1. Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib lima waktu. [3]
  2. Dalam riwayat lain hadits ini dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan memerinci sendiri makna “dua belas rakaat” yang disebutkan dalam hadits di atas[4], yaitu: empat rakaat sebelum shalat Zhuhur[5] dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Magrib, dua rakaat sesudah Isya’ dan dua rakaat sebelum Subuh[6]. Adapun riwayat yang menyebutkan: “…Dua rakaat sebelum shalat Ashar”, maka ini adalah riwayat yang lemah[7] karena menyelisihi riwayat yang lebih kuat yang kami sebutkan sebelumnya. [8]
  3. Keutamaan yang disebutkan dalam hadits di atas adalah bagi orang yang menjaga shalat-shalat sunnah rawatib dengan melaksanakannya secara kontinyu, sebagaimana yang dipahami dan dikerjakan oleh Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, perawi hadits di atas dan demikian yang diterangkan oleh para ulama[9].
  4. Jika seseorang tidak bisa melakukan shalat sunnah rawatib pada waktunya karena ada udzur (sempitnya waktu, sakit, lupa dan lain-lain) maka dia boleh mengqadha (menggantinya) di waktu lain[10]. Ini ditunjukkan dalam banyak hadits shahih. [11]
  5. Dalam hadits ini terdapat peringatan untuk selalu mengikhlaskan amal ibadah kepada Alah Ta’ala semata-mata.
  6. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan amal ibadah yang dikerjakan secara kontinyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit.” [12]
  7. Semangat dan kesungguhan para sahabat dalam memahami dan mengamalkan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah yang menjadikan mereka lebih utama dalam agama dibandingkan generasi yang datang setelah mereka.

Footnote:

[1] HSR Muslim (no. 728).

[2] Riyadhus Shalihin (bab no. 195, hal. 1409).

[3] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam Shahih Muslim (1/502).

[4] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhish Shaalihiin (3/282).

[5] Dikerjakan dua raka’at – salam dan dua raka’at – salam (ed)

[6] HR an-Nasa-i (3/261), at-Tirmidzi (2/273) dan Ibnu Majah (1/361), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih sunan Ibnu Majah (no. 935).

[7] Dinyatakan lemah oleh syaikh al-Albani dalam Dha’iful Jaami’ish Shagiir (no. 5672).

[8] Lihat kitab Bughyatul Mutathawwi’ (hal. 22).

[9] Lihat misalnya kitab Faidhul Qadiir (6/166).

[10] Demikian keterangan yang kami dengar langsung dari guru kami yang mulia, syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbaad, semoga Allah menjaga beliau.

[11] Lihat kitab Bughyatul Mutathawwi’ (hal. 29, 33-34).

[12] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/1535-keutamaan-shalat-sunnah-rawatib.html

Shalat Sunnah Rawatib

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta di tanya, “apa yang dimaksud dengan shalat sunnah rawatib? Apabila saya melaksanakan shalat 4 rakaat sebelum dzuhur dan 4 rakaat sebelum ashar, apakah diharuskan untuk salam setiap 2 rakaat ataukah bagaimana? Jazakumullahu khairan“.

Mereka menjawab:

Shalat sunnah rawatib ada 12 rakaat:

  • 4 rakaat sebelum dzuhur dengan 2 salam,
  • 2 rakaat setelahnya dengan sekali salam,
  • 2 rakaat setelah maghrib dengan 1 salam,
  • 2 rakaat setelah isya dengan 1 salam,
  • 2 rakaat sebelum shubuh dengan 1 salam.

Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam selalu menjaga ke-12 rakaat tersebut ketika beliau sedang tidak bepergian. Beliau bersabda,

من صلى ثنتي عشرة ركعة تطوعا في اليوم والليلة ، بني له بهن بيت في الجنة

barangsiapa yang shalat sunnah 12 rakaat dalam sehari semalam, Allah akan bangunkan untuknya rumah di surga” (HR. Muslim no. 728).

Terdapat salah satu hadits yang menafsirkan 12 rakaat ini dengan shalat sunnah rawatib. Maka barangsiapa yang menjaganya, ia akan selalu dalam kebaikan yang besar. Di dalam hadits tersebut dijanjikan sebuah rumah di surga bagi orang yang melaksanakan shalat rawatib 12 rakaat tersebut. Yaitu 4 rakaat sebelum dzuhur dengan 2 salam, 2 rakaat setelahnya dengan sekali salam, 2 rakaat setelah maghrib dengan 1 salam, 2 rakaat setelah isya dengan 1 salam, 2 rakaat sebelum shubuh dengan 1 salam. Shalat-shalat ini disebut shalat rawatib.

Jika seseorang shalat 4 rakaat setelah shalat dzuhur maka di dalamnya terdapat keutamaan. Sebagaimana terdapat di dalam hadits,

من حافظ على أربع قبل الظهر وأربع بعدها حرمه الله على النار

barangsiapa yang shalat 4 rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, maka Allah mengaharamkan neraka untuknya” (HR. Tirmidzi no. 428, Abu Daud no. 1269, An Nasa-i no. 1816).

Akan tetapi, 4 rakaat setelah dzuhur bukanlah shalat sunnah yang rawatib, karena yang menjadi rawatib hanya 2 rakaat saja. Jika kemudian menambah dan melaksanakan 2 rakaat untuk menambah rakaat dalam rangka meneladani tuntunan Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam, maka hal ini baik. Sebagaimana sabda Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam dalam hadits Ummul Mu’minin Ummu Habibah binti Abi Sufyan –radiyallahu’anha-, bahwa beliau mendengar Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda,

من حافظ على أربع قبل الظهر وأربع بعدها حرمه الله على النار

barangsiapa yang shalat 4 rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, maka Allah mengaharamkan neraka untuknya

Dan dianjurkan pula untuk shalat 4 rakaat sebelum ashar, namun bukan termasuk ke dalam shalat rawatib. Akan tetapi, dianjurkan untuk mengerjakannya dengan 2 kali salam sesuai dengan sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam,

رحم الله امرأ صلى قبل العصر أربعا

Allah akan merahmati urusan seseorang bila ia shalat 4 rakaat sebelum shalat ashar”. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, tirmidzi, dan jamaah dengan sanad shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu’anhuma.

Dianjurkan pula untuk melaksanakan shalat sunnah di antara adzan dan iqamat dalam setiap waktu shalat, terlebih pada saat shalat maghrib dan isya. Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda,

بين كل أذانين صلاة ، بين كل أذانين صلاة” وقال في الثالثة : “لمن شاء

di setiap 2 adzan terdapat shalat, di setiap 2 adzan terdapat shalat, beliau berkata yang ketiga kalinya: bagi siapa yang menginginkan untuk melakukannya”. (HR. Al Bukhari no. 627, Muslim no. 828).

Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam juga bersabda,

صلوا قبل المغرب ، صلوا قبل المغرب” ثم قال : “لمن شاء

shalatlah kalian sebelum maghrib, shalatlah kalian sebelum maghrib, beliau berkata yang ketiga kalinya: bagi siapa yang menginginkan untuk melakukannya”. (HR. Al Bukhari nol 1183).

Para sahabat Radhiyallahu’anhum selalu melaksanakan shalat sunnah setelah maghrib 2 rakaat. Mereka juga melaksanakan shalat 2 rakaat setelah adzan maghrib sebelum waktu iqamat dikumandangkan. Shalat sunnah ini bukanlah shalat sunnah yang rawatib akan tetapi shalat sunnah biasa. Empat rakaat setelah dzuhur bukanlah shalat sunaah rawatib, karena shalat sunnah rawatib setelah dzuhur hanya 2 rakaat. Shalat 4 rakaat sebelum shalat ashar dengan 2 salam adalah sunnah, tetapi bukanlah shalat sunnah yang rawatib. akan tetapi, shalat sunnah tersebut nabi perintahkan dan tekankan untuk mengerjakannya. Namun, jika seorang mu’min menjaga shalat sunnah 4 rakaat sebelum ashar tersebut sebagaimana sabda beliau,

رحم الله امرأ صلى قبل العصر أربعا

Allah akan merahmati urusan seseorang bila ia shalat 4 rakaat sebelum shalat ashar”.

Ia akan mendapatkan keutamaan.

Pertama, jika ia menjaga shalat tersebut, berarti ia telah mengikuti contoh dari Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam. Begitu pula jika ia shalat 2 rakaat antara adzan dan iqamah shalat maghrib, 2 rakaat antara adzan dan iqamah shalat isya, 2,4, atau lebih shalat dhuha, yakni ketika matahari telah meninggi sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam.

Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam melaksanakan shalat dhuha di sebagian kesempatan, lalu beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya untuk melaksanakannya pula. Shalat ini dianjurkan baik ketika bepergian maupun tidak bepergian. Begitu pula shalat tahajjud di malam hari setelah shalat isya. Maka shalatlah siapa saja yang dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakannya, kemudian berwitir dengan 1 rakaat. Seorang tersebut shalat tahajjud sebanyak 3,5,7,9,11,13, atau lebih.

Maka shalatlah siapa saja yang dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakannya di awal malam, pertengahan, atau akhir malam dalam rangka meneladani Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam. Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam biasa melaksanakan shalat tahajjud yang kemudian beliau pungkasi dengan 1 rakaat shalat witir. Terkadang beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam melaksanakan shalat witir di awal malam, dan di sebagian kesempatan pada pertengahan malam. Beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam kerahkan seluruh kesungguhannya untuk melaksanakan shalat tahajjud dan witirnya di akhir malam. Ini merupakan waktu yang paling utama bagi orang yang dimudahkan untuk mengerjakannya. Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda,

من خاف ألا يقوم من آخر الليل فليوتر أوله ، ومن طمع أن يقوم آخره فليوتر آخر الليل؛ فإن صلاة آخر الليل مشهودة ، وذلك أفضل

siapa saja yang khawatir dirinya tidak bisa bangun di akhir malam, maka shalat witirlah di awal malam. Namun, siapa yang biasa bangun akhir malam maka shalat witirlah di akhirnya. Karena shalat di akhir malam adalah sesuatu yang disaksikan, dan hal tersebut adalah shalat yang utama” (HR. Muslim no. 755).

Jumlah minimal rakaat dalam shalat witir adalah 1 rakaat. Dapat dilakukan setelah shalat rawatib ba’diyyah isya. Tiga rakaat shalat witir lebih utama, dan bila lebih dari 3 maka lebih utama lagi. Setiap 2 rakaat salam kemudian disempurnakan dengan shalat witir di akhir malam. Ketika beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam shalat 13 rakaat, maka beliau melakukan salam setiap 2 rakaat dan ini lebih utama. Namun jika seorang shalat 3,5, atau 7 rakaat dengan 1 salam di akhir rakaat, maka hal ini tidaklah mengapa. Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam telah melakukan hal tersebut, dan itu termasuk ke dalam sunnah.

Beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam terkadang shalat 6 rakaat lalu melakukan tasyahud awal, kemudian beliau berdiri untuk melanjutkan rakaat ke-7. Namun bila ingin shalat 9 rakaat, maka harus duduk tasyahud di rakaat ke-8 kemudian berdiri melanjutkan rakaat ke-9.

Akan tetapi, yang paling utama adalah dengan melakukan salam setiap 2 rakaat, sebagaimana terdapat hadits dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu’anha,

كان النبي – صلى الله عليه وسلم – يصلي إحدى عشرة في الليل ، يسلم من كل ثنتين ، ويوتر بواحدة

Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam shalat malam dengan 11 rakaat, setiap 2 rakaat beliau melakukan salam, kemudian melengkapkannya dengan 1 witir” (HR. Bukhari no. 1164, Muslim no. 765).

Beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam juga bersabda,

صلاة الليل مثنى مثنى – يعني ثنتين ثنتين – فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى

shalat malam 2 rakaat-2 rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir terlewat shalat malam, maka shalatlah 1 rakaat untuk mengganjilkan hitungan rakaat shalatnya” (HR. Bukhari no. 472, Muslim no. 749).

Inilah yang utama. Jika seseorang khawatir dirinya tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaknya ia shalat sebelum tidur. Shalatlah 3, 5 ataupun lebih dari itu. Lakukanlah salam di akhir setiap rakaat kedua dalam rangka khawatir tidak dapat bangun di akhir malam. Hal ini termasuk ke dalam bab semangat dalam beribadah.

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua.

***

Sumber: http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaChapters.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=2283&PageNo=1&BookID=5&TopFatawa=true

Penerjemah: Seno Aji Imanullah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27304-shalat-sunnah-rawatib.html

Jangan Lupa Mendoakan Kaum Mukminin dan Mukminat

Mendoakan kaum mukminin dan mukminat adalah salah satu kebiasaan yang di lakukan oleh para Nabi. Bila kita tengok pada ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan berbagai ayat yang menceritakan hal ini

Seperti Nabi Nuh as dalam doanya :

رَّبِّ ٱغۡفِرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيۡتِيَ مُؤۡمِنٗا وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۖ

“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, dan siapa pun yang memasuki rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan.” (QS.Nuh:28)

Begitu juga Nabi Ibrahim as dalam doanya :

رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيَّ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلۡحِسَابُ

“Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).” (QS.Ibrahim:41)

Bahkan ada sebuah ayat yang berbentuk perintah kepada Baginda Nabi saw untuk mendoakan kaum mukminin, seperti dalam Firman-Nya :

فٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ

“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS.Muhammad:19)

Selain itu Al-Qur’an juga menceritakan bagaimana orang-orang mukmin yang sejati tidak melupakan saudara mereka dalam doa-doa yang mereka panjatkan. Seperti dikutip dalam Firman-Nya :

وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan An¡ar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS.Al-Hasyr:10)

Karena itu mendoakan saudara mukmin sangat sangat dianjurkan dalam agama ini. Baik mendoakan mereka yang masih hidup maupun yang telah tiada. Bahkan Rasulullah saw pernah bersabda :

إِذَا دَعَا أَحَدُكُم فَاليَعُمُّ فَإِنَّهُ أَوجَبُ لِلدُّعَاءِ

“Jika salah seorang dari kalian berdoa maka berdoa lah untuk semua, karena hal itu akan lebih menjadikan doa itu terkabul.”

Dalam berbagai riwayat juga banyak disebutkan bagaimana Rasulullah saw menyebutkan bermacam pahala yang akan didapatkan oleh seorang yang senang mendoakan kaum mukminin dan mukminin. Rasulullah saw pernah bersabda,

“Tiada seorang hamba yang mendoakan kaum mukminin dan mukminat kecuali Allah swt akan mengembalikan doa itu kepada yang mendoakan seperti yang didoakan oleh semua orang mukmin dan mukminat hingga hari kiamat. Dan apabila orang ini harus di seret ke api neraka, maka orang-orang mukmin dan mukminat akan berdoa kepada Allah (Duhai Tuhan kami, dia adalah orang yang mendoakan kami, maka selamatkanlah dia) Maka orang itu diselamatkan oleh Allah swt.”

Maka jangan pernah lupa mendoakan kaum mukminin dan mukminat. Bukankah para Malaikat dengan segala kesibukannya masih selalu menyempatkan untuk mendoakan kaum mukminin?

ٱلَّذِينَ يَحۡمِلُونَ ٱلۡعَرۡشَ وَمَنۡ حَوۡلَهُۥ يُسَبِّحُونَ بِحَمۡدِ رَبِّهِمۡ وَيُؤۡمِنُونَ بِهِۦ وَيَسۡتَغۡفِرُونَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْۖ رَبَّنَا وَسِعۡتَ كُلَّ شَيۡءٖ رَّحۡمَةٗ وَعِلۡمٗا فَٱغۡفِرۡ لِلَّذِينَ تَابُواْ وَٱتَّبَعُواْ سَبِيلَكَ وَقِهِمۡ عَذَابَ ٱلۡجَحِيمِ

(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan (agama)-Mu dan peliharalah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala. (QS.Ghafir:7)

Karenanya, sesibuk apapun urusan kita jangan pernah lupa untuk mendoakan kaum mukmin karena doa kita untuk mereka pasti di amini oleh para Malaikat. Dan Malaikat selalu berkata kepada Allah swt, “Ya Allah, berikanlah orang yang berdoa ini seperti yang ia mohonkan kepada orang lain.”

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Salatmu tak Berarti Bila tak Peduli Orang Miskin

SALAH satu fenomena unik yang akan kita temukan dalam Alquran adalah hubungan antara salat dengan memberi makan orang miskin.

Berulang kali Allah menggandengkan ayat tentang keduanya, seakan tidak ada artinya salat tanpa perhatian kita pada orang-orang miskin. Coba lihat bagaimana Allah menyebut orang-orang yang salat dalam Firman-Nya,

“Kecuali orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) mereka yang tetap setia melaksanakan salatnya dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta.” (QS.Al-Maarij:22-25)

Coba perhatikan, saat menyebut tanda-tanda orang salat, Allah menyebut mereka sebagai orang yang melaksanakan salat dan menyisihkan sebagian hartanya untuk orang miskin. Ini membuktikan bahwa sebanyak apapun ibadah seseorang tak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan kepedulian kepada sesama.

Dan di saat Allah ingin memuji prestasi besar dari ibadah hamba-Nya, lihatlah amal apa yang pertama kali disebutkan,

“Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (Al-Insaan:7-8)

Disaat bicara tentang para penghuni Neraka Saqar, penyebab kesengsaraan mereka bukan hanya karena tidak solat saja, tapi juga karena tidak memberi makan orang-orang miskin.Baca jugaMenjaga Keikhlasan, Menyembunyikan Amal Baik


Hukum Ereksi Ketika Sedang Salat


Rasulullah Melarang Salat di Tiga Waktu ini

“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin. (QS.Al-Muddatsir:42-44)

Tak hanya itu, orang-orang yang disebut sebagai para pendusta agama bukanlah orang-orang yang tidak solat tapi mereka yang tidak mempedulikan kondisi orang miskin.

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.” (QS.Al-Maun:1-3)

Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah dan keimanan saja, Islam juga mengatur umat untuk saling peduli dengan saudaranya. Karena kondisi kehidupan seseorang bisa mempengaruhi keimanannya.

Dari ayat-ayat di atas kita akan temukan hubungan yang erat antara iman dan ibadah (khususnya solat) dengan memperhatikan orang miskin. Apa artinya ibadah jika membiarkan tetangganya kelaparan? Apa artinya solat jika hatinya tak tersentuh melihat kesedihan orang-orang miskin?

Solat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Seharusnya, ketika seorang hamba semakin dekat dengan-Nya, hatinya akan semakin peka melihat kondisi orang sekitarnya. Nuraninya tidak akan diam melihat kepedihan saudaranya. Karena tujuan di balik ibadah adalah meningkatkan akhlak manusia, jika ibadahnya benar pasti akhlaknya semakin sempurna. [khazanahalquran]

INILAH MOZAIK

Sebab-Sebab Menuju Akhlak Mulia

Wahai samahatus syaikh, kami mohon bimbingan anda untuk menyebutkan hal-hal yang menjadi sebab menuju akhlak Islami.

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab:

Diantara sebab yang mengantarkan pada akhlak Islami adalah memperbanyak membaca Al Qur’an serta men-tadabburi maknanya. Lalu bersungguh-sungguh untuk berperilaku dengan akhlak yang sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam Al Qur’an mengenai sifat-sifat para hamba-Nya yang shalih. Hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia.

Demikian juga hendaknya memperbanyak duduk bersama orang-orang baik dan berakrab-akrab dengan mereka. Juga dengan memperbanyak membaca hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang menunjukkan tentang akhlak mulia.

Demikian juga hendaknya banyak membaca kisah-kisah orang terdahulu dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah dan sejarah Islam, yaitu membaca bagaimana sifat dan akhlak orang-orang shalih di masa itu. Semua hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia dan beristiqamah di atasnya.

Namun sebab yang paling besar adalah Al Qur’an dengan banyak membacanya serta men-tadaburi maknanya dengan benar-benar menghadirkan hati yang penuh keinginan tulus untuk berakhlak mulia ketika membaca Al Qur’an dan men-tadaburi-nya. Inilah hal terbesar yang bisa mengantarkan kepada akhlak mulia, dengan juga memberi perhatian yang serius terhadap hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang akhlak mulia.

Wallahu waliyyut taufiq.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/185

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/14946-sebab-sebab-menuju-akhlak-mulia.html

Dendam dan Dengki, Musuh Persatuan!

Allah berfirman,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ * ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ * وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman” Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS.al-Hijr:45-48)

Ayat ini menarik untuk kita kaji. Setelah menyebut kenikmatan surga yang sejahtera dan aman, Allah hendak menceritakan bahwa para penghuninya saling bersaudara dan hidup harmonis.

Namun sebelum menceritakan hal itu, Allah mengisyaratkan tentang sebuah sifat yang menjadi musuh persatuan dan kedamaian.

“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka.”

Allah membuang segala bentuk kedengkian, kecemburuan dan sifat khianat dari hati para penghuni surga sehingga mereka saling bersaudara dan penuh keharmonisan. Semua sifat itu terangkum dalam kata {الغل} yaitu “dendam/kebencian”.

Memang nyatanya, selama hati manusia masih belum bersih dari dendam dan kebencian maka ia tidak akan pernah bisa hidup tentram, aman dan nyaman. Mustahil akan terwujud suasana persatuan yang penuh cinta selama api kebencian masih terus membara.

Jika kebencian itu terus dipelihara, maka yang ada hanya permusuhan, peperangan dan hilangny rasa aman.

Fitrah setiap manusia mendambakan ketenangan dan keharmonisan, maka mari kita bersama-sama membersihkan hati yang penuh kebencian agar tercipta suasana aman, damai dan sejahtera.

KHAZANAH ALQURAN