Sejarah Penamaan Bulan Ramadan

SEJAK dahulu, sebelum datangnya Islam, bangsa arab telah menggunakan tahun qomariyah. Hanya saja tidak semua masyarakat jahiliyah di seluruh penjuru jazirah arab sepakat dalam menentukan kalender tertentu.

Sehingga penanggalan mereka berbeda-beda. Meskipun demikian, mereka mengenal kalender qamariyah, dan mereka gunakan konsep ini untuk membuat penanggalan bagi suku mereka masing-masing.

Kalender qamariyah yang mereka kenal sejak zaman dahulu sama dengan kalender qamariyah yang berlaku saat ini. Dalam satu tahun ada dua belas bulan, dan awal bulan ditentukan berdasarkan terbitnya hilal (bulan sabit pertama). Mereka menetapkan bulan Muharram sebagai awal tahun. Mereka juga menetapkan empat bulan haram (bulan suci). Mereka menghormati bulan-bulan haram ini. Mereka jadikan empat bulan haram sebaga masa dilarangnya berperang antar-suku dan golongan.

Kemudian, sebagian informasi menyebutkan, ada lima bulan Rabiul awal akhir, Jumadil awal akhir, dan Ramadan yang namanya ditetapkan berdasarkan keadaan musim yang terjadi di bulan tersebut.

Rabiul awal dan akhir diambil dari kata rabi [arab: ] yang artinya semi. Karena ketika penamaan bulan Rabi bertepatan dengan musim semi.

Jumadil Ula dan Akhirah, diambil dari kata: jamad [arab: ], yang artinya beku. Karena pada saat penamaan bulan ini bertepatan dengan musim dingin, dimana air membeku.

Sedangkan Ramadan diambil dari kata Ramdha [arab: ], yang artinya sangat panas. Karena penamaan bulan ini bertepatan dengan musim panas.

Asal Penamaan Ramadan

An-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, menyebutkan beberapa pendapat ahli bahasa, terkait asal penamaan ramadan,

Pertama, diambil dari kata ar-Ramd [arab: ] yang artinya panasnya batu karena terkena terik matahari. Sehingga bulan ini dinamakan ramadan, karena kewajiban puasa di bulan ini bertepatan dengan musim panas yang sangat terik. Pendapat ini disampaikan oleh al-Ashmai ulama ahli bahasa dan syair arab (w. 216 H), dari Abu Amr.

Kedua, diambil dari kata ar-Ramidh [arab: ], yang artinya awan atau hujan yang turun di akhir musim panas, memasuki musim gugur. Hujan ini disebut ar-Ramidh karena melunturkan pengaruh panasnya matahari. Sehingga bulan ini disebut Ramadan, karena membersihkan badan dari berbagai dosa. Ini merupakan pendapat al-Kholil bin Ahmad al-Farahidi ulama tabiin ahli bahasa, peletak ilmu arudh (w. 170 H).

Ketiga, nama ini diambil dari pernyataan orang arab, [] yang artinya mengasah tombak dengan dua batu sehingga menjadi tajam. Bulan ini dinamakan ramadan, karena masyarakat arab di masa silam mengasah senjata mereka di bulan ini, sebagai persiapan perang di bulan syawal, sebelum masuknya bulan haram. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Azhari ulama ahli bahasa, penulis Tahdzib al-Lughah (w. 370 H).

Kemudian an-Nawawi menyebutkan keterangan al-Wahidi,

“Al-Wahidi mengatakan, berdasarkan keterangan al-Azhari, berarti ramadan adalah nama yang sudah ada sejak zaman Jahiliyah. Sementara berdasarkan dua pertama, berarti nama ramadan adalah nama islami. (Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, 3/126).

Demikian,Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits/konsultasisyariah]

INILAH MOZAIK

Hukum Ucapan “masyaAllah Tabaarakallah”

Soal:

Bolehkah seseorang mengucapkan “masyaAllah tabaarakallah” ketika melihat hal yang membuat ia kagum?

Asy Syaikh Abdurrahim bin Abdillah As Suhaim*) hafizhahullah menjawab:

وقول : ما شاء الله تبارك الله ، له أصل في السُّـنَّـة ، وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لعامر بن ربيعة رضي الله عنه : هلاّ إذا رأيت ما يُعجِبك بَرَّكْتَ ؟ رواه الإمام أحمد .

وفي رواية للنسائي في الكبرى : ألا بَرَّكْتَ ؟ إن العين حق .

Perkataan “masyaAllah tabaarakallah” memiliki landasan dari As Sunnah. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkata kepada Amir bin Rabi’ah radhiallahu’anhu“mengapa engkau tidak mendoakan keberkahan ketika melihat hal menakjubkanmu?” (HR. Ahmad). Dalam riwayat An Nasa-i dalam Al Kubra menggunakan lafadz: “mengapa engkau tidak mendoakan keberkahan? Karena ‘ain itu benar adanya

فهذا يدل على أن المشروع للإنسان إذا رأى ما يُعجِبه مِن ماله أو ولده أن يقول : ما شاء الله لا قوة إلا بالله .

وإذا رأى ما لغيره أن يقول : ما شاء الله تبارك الله .

أو يَذكر الله عموما ، ليذهب ما في نفسه .

Maka ini menunjukkan disyariatkan bagi seseorang ketika melihat hal yang menakjubkan pada dirinya berupa hartanya atau anaknya, hendaknya ia mengatakan: masyaAllah laa haula wa laa quwwata illa billah. Dan jika ia melihat hal yang menakjubkan pada diri orang lain boleh ia mengucapkan: masyaAllah tabaarakallah. Atau boleh juga dengan menyebut lafadz dzikir secara umum, agar hilang penyakit dalam hatinya.

Sumber: https://www.almeshkat.net/fatwa/903

*) beliau adalah ulama yang aktif menjadi da’i dari kementerian agama Saudi Arabia di kota Riyadh

Catatan penerjemah:

Ucapan yang disyariatkan ketika melihat hal yang mengagumkan itu ada beberapa variasi: 

* mengucapkan “subhaanallah”,

* atau mengucapkan semua doa yang bermakna doa keberkahan seperti: “baarakallahu fiih”“Allahu yubaarik fiih”“buurika fiik”, dan semisalnya

* mengucapkan “innal ‘aisya ‘aisyal akhirah”,

* mengucapkan “masyaAllah” saja,

* mengucapkan “masyaAllah laahaula walaa quwwata illa billah”,

* mengucapkan “Allahu Akbar”, dan lainnya.

* mengucapkan dzikir secara umum.

Maka ini masalah yang sangat longgar, tidak perlu terlalu kaku dengan satu atau dua lafadz. Wallahu a’lam.

**

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55957-hukum-ucapan-masyaallah-tabaarakallah.html

Puasa Ramadan Sejak Nabi Adam Hingga Akhir Zaman

ALLAH Taala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah [2]: 183).

Demikian pula beberapa ayat setelahnya, Allah Taala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah mewajibkan puasa atas umat ini sebagaimana yang telah Allah Taala wajibkan atas umat-umat sebelumnya. Lafadz () dalam ayat di atas bermakna () [diwajibkan]. Puasa diwajibkan atas umat ini dan juga umat-umat sebelumnya.

Sebagian ulama berkata tentang tafsir ayat di atas, “Ibadah puasa diwajibkan bagi para Nabi dan bagi umat mereka, sejak Adam hingga akhir zaman.” Allah menyebutkan yang demikian itu karena sesuatu yang berat untuk dikerjakan, akan terasa mudah dan lebih menenangkan jiwa manusia jika dikerjakan oleh banyak orang. Oleh karena itu, puasa diwajibkan atas seluruh umat manusia, meskipun berbeda tata cara dan waktu pelaksanaannya.

Said bin Jubair berkata, “Dahulu, puasa yang diwajibkan atas umat sebelum kami adalah dari waktu atamah (waktu salat Isya) sampai malam berikutnya, sebagaimana dalam awal-awal Islam.”

Al-Hasan berkata, “Puasa Ramadan dulu diwajibkan atas orang-orang Yahudi. Akan tetapi, mereka meninggalkannya dan berpuasa pada satu hari dalam setahun dan menyangka bahwa hari itu adalah hari ditenggelamkannya Firaun. Padahal mereka berdusta dalam hal tersebut, karena hari (ditenggelamkannya Firaun) tersebut adalah hari Asyura (tanggal 9 Dzulhijjah) (sehingga puasa yang mereka lakukan tidak dapat menggantikan kewajiban puasa yang Allah wajibkan bagi mereka, pen.).

Puasa juga diwajibkan atas umat Nasrani, dan hal ini berlangsung lama. Sampai suatu ketika, Ramadan ketika itu bertepatan dengan cuaca yang sangat terik. Puasa ketika itu menyebabkan mereka mendapatkan kesulitan saat bepergian atau pun saat mencari nafkah. Akhirnya, para ulama Nasrani bersepakat untuk mempatenkan bulan puasa antara musim dingin dan musim panas.

Pilihan jatuh pada musim semi. Akhirnya, puasa di bulan Ramadan dipindah ke musim semi sehingga waktunya paten dan tidak berpindah-pindah musim. Saat mereka menggeser bulan pelaksanaan puasa wajibnya, mereka mengatakan, Tambahkan puasa selama sepuluh hari sebagai kaffarah atau penebus dosa karena telah menggeser bulan puasa.”

Dan firman Allah Taala (yang artinya), “agar kamu bertakwa”, maksudnya adalah dengan sebab berpuasa. Puasa menyebabkan ketakwaan karena menundukkan hawa nafsu dan syahwat.

Pada awal-awal Islam, umat Islam boleh memilih antara berpuasa atau membayar fidyah, berdasarkan firman Allah Taala,

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah [2]: 184).

Adanya pilihan tersebut (antara berpuasa atau membayar fidyah) kemudian dihapus dengan mewajibkan puasa itu sendiri dengan adanya firman Allah Taala,

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al Baqarah [2]: 185).

Hikmahnya adalah adanya tahapan-tahapan dalam perintah syariat dan kelemah-lembutan terhadap umat manusia. Ketika mereka belum terbiasa berpuasa, jika langsung diwajibkan berpuasa dari awal, maka hal itu akan memberatkan mereka. Oleh karena itu, mereka boleh memilih terlebih dahulu antara berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian ketika keyakinan mereka sudah menguat, jiwa-jiwa mereka sudah siap, dan sudah terbiasa berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa (tidak ada pilihan yang lain). Demikianlah syariat Islam lainnya yang berat semacam itu, akan disyariatkan secara bertahap (tadarruj).

Akan tetapi yang benar bahwa ayat tersebut (tentang pilihan untuk berpuasa atau membayar fidyah) hanya dihapus untuk orang yang mampu berpuasa. Adapun bagi orang yang tidak mampu berpuasa, karena tua renta atau sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka ayat tersebut masih berlaku (tidak dihapus) untuk mereka. Mereka boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Dan mereka tidak wajib meng-qodho (membayar utang) puasa.

Adapun selain mereka, maka wajib berpuasa. Barangsiapa yang tidak berpuasa karena sakit atau bepergian (safar), maka wajib bagi mereka untuk meng-qodho puasa karena firman Allah Taala,

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah [2]: 185).

Puasa Ramadan diwajibkan pada tahun kedua hijriah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa selama sembilan kali Ramadan. Sehingga jadilah puasa Ramadan sebagai kewajiban dan salah satu rukun Islam. Barangsiapa yang mengingkari wajibnya puasa Ramadan, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang tidak berpuasa tanpa udzur, dan dia mengakui kewajiban puasa, maka dia telah melakukan dosa yang sangat besar dan wajib mendapatkan hukuman. Wajib pula baginya untuk bertaubat dan mengqodho hari yang ditinggalkan. [1][M. Saifudin Hakim/muslimorid]

INILAH MOZAIK

Catatan kaki:

[1] Diterjemahkan dari: Ittihaaf Ahlil Imaan bi Duruusi Syahri Ramadhan, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daar Ashimah Riyadh KSA, cetakan ke dua, tahun 1422, hal. 128-130.

Puasa Para Nabi

Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW juga sudah melaksanakan puasa

Tujuan puasa berbeda-beda antara agama yang satu dan yang lainnya, termasuk puasanya umat-umat terdahulu. Sebagaimana keterangan Alquran dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 183, puasa yang diwajibkan kepada umat Islam, sebenarnya juga pernah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya.

Sismono dalam bukunya yang berjudul Puasa Pada Umat-umat Dulu dan Sekarang menyebutkan, puasa sudah dikenal oleh bangsa dan kaum yang hidup sebelum datangnya Islam.

Seperti puasa yang dilakukan oleh bangsa Mesir Kuni, Yunani Kuno, Romawi Kuno, Zoroaster, Majusi, Yahudi, Nasrani, Cina Kuno, Jepang Kuno, Buddha, Hindu, Manu, Konghucu, dan lainnya.

”Bahkan, nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW juga sudah melaksanakan puasa,” tulisnya.

Sejarawan Muslim, Ibnu Katsir, meyakini bahwa ajaran puasa sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa. Menurut dia, Adam berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun.

Ada pula yang mengatakan bahwa Adam berpuasa pada 10 Muharam sebagai rasa syukur karena bertemu dengan istrinya, Hawa, di Arafah. Sementara yang lain berpendapat, Nabi Adam berpuasa sehari semalam pada waktu dia diturunkan dari taman surga oleh Allah.

Ada juga yang mengatakan Adam berpuasa 40 hari 40 malam setiap tahun. Pendapat lainnya mengatakan Adam berpuasa dalam rangka mendoakan putra-putrinya.

Selain itu, ada yang menjelaskan, Adam berpuasa pada hari Jumat untuk mengenang peristiwa penting, yakni dijadikannya dia oleh Allah, hari diturunkannya ke bumi, dan diterimanya tobat Adam oleh Allah.

”Sesungguhnya Allah menjadikan Adam pada hari Jumat, diturunkan di bumi pada hari Jumat, dia bertobat kepada Allah atas dosanya memakan buah khuldi pada hari Jumat dan wafat pun pada hari Jumat.” (HR Bukhari).

Walaupun dalam Alquran maupun hadis tidak dijelaskan bagaimana bentuk puasa Adam dan generasi sesudahnya, tetapi ada petunjuk-petunjuk bahwa agama-agama yang dibawa oleh para rasul terdahulu itu adalah agama monotheisme yang mengajarkan kepercayaan pada keesaan Tuhan (Allah). Contohnya adalah Nabi Nuh yang berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun, seperti puasanya Nabi Adam.

Nabi Nuh juga memerintahkan kaumnya untuk menyembah Allah dan berpuasa ketika mereka berbulan-bulan hidup terkatung-katung di dalam perahu besar di tengah samudera luas akibat bencana banjir besar, seraya bertobat kepada Allah. Nabi Ibrahim AS juga terkenal dengan kegemarannya berpuasa, terutama pada saat hendak menerima wahyu dari Allah, yang kemudian dijadikan suhuf Ibrahim itu.

Puasa menurut agama Ibrahim dilaksanakan oleh Ismail, putra Ibrahim yang terkenal taat beribadah itu; dan puasa Ibrahim diikuti pula oleh Ishaq (putra Ibrahim dari Sarah). Nabi Ya’qub terkenal sebagai orang tua dan rasul yang gemar berpuasa, terutama untuk keselamatan putra-putranya.

Sementara Nabi Yusuf berpuasa ketika berada dalam penjara bersama para terhukum lainnya. Kebiasaan berpuasa ini juga beliau terapkan ketika menjadi pembesar Mesir dan menjabat sebagai menteri perekonomian negeri tersebut. ”Karena aku khawatir apabila aku kenyang, nanti aku akan melupakan perut fakir miskin.”

Sedangkan Nabi Yunus berpuasa dari makan dan minum saat berada dalam perut ikan besar selama beberapa hari, kemudian berbuka puasa setelah dimuntahkan kembali dari dalam perut ikan itu. Untuk berbuka, dikisahkan beliau memakan buah semacam labu yang tumbuh di tepi pantai.

Nabi Ayub berpuasa pada waktu dia hidup dalam serba kekurangan dan menderita penyakit selama bertahun-tahun, sampai akhirnya lepas dari cobaan itu.

Nabi Syuaib terkenal kesalehannya dan sebagai orang tua yang banyak melakukan puasa dalam rangka bertakwa kepada Allah.

KHAZANAH REPUBLIKA

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari – 2)

Allah swt Berfirman :

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولٗا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS.Al-Isra’:36)

Ayat ini singkat namun bila direnungkan akan membawa efek yang mendalam. Ayat ini singkat, namun apabila kita menjadikannya sebagai pegangan hidup maka banyak sekali masalah yang akan terselesaikan. Ayat ini singkat, namun apabila kita jadikan ayat ini sebagai dasar dari setiap langkah yang kita pilih, maka kita akan semakin dekat dengan ketenangan dan kebahagiaan.

Dengan ayat ini seluruh kehidupan kita akan berubah. Bagaimana tidak?
Dengan mengikuti ayat ini kita tidak akan berbicara tentang sesuatu yang tidak kita pahami. Kita tidak akan mengikuti ajakan, pendapat atau informasi apapun yang belum kita pastikan kebenarannya.

Kita akan selalu merasa bahwa semua yang kita dengar, semua yang kita lihat, semua yang kita ucapkan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt.

Kita akan selalu merasa bahwa semua yang kita pikirkan dan semua yang direncanakan akan di mintai pertanggung jawaban oleh Allah swt. Karena Dia Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam hati manusia.

Bukankah Allah swt Berfirman :

إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ

“Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS.Ali ‘Imran:119)

Apabila ayat-ayat ini kita jadikan sebagai pedoman yang selalu kita ingat dan selalu terbayang di hadapan mata, maka ayat ini akan menjadi cambuk yang menyadarkan kita setiap kali ada keinginan atau rencana untuk berbuat keburukan.

Ayat ini akan menggugahmu ketika engkau ingin melihat yang tidak indah, mendengar sesuatu yang tidak indah atau memikirkan hal-hal yang tidak di sukai oleh Allah swt. Khususnya ketika dalam kesendirian, disaat tiada satupun mata yang memandang, ingatlah bahwa setiap yang dilihat, didengar ataupun yang dipikirkan semuanya akan di mintai pertanggung jawaban oleh Allah swt.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Amalan di Bulan Ramadhan (2)

Ada beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa dilakukan.

Ada beberapa amalan lainnya di bulan Ramadhan yang bisa dilakukan oleh umat Islam. Yaitu:

b. Membaca Alquran

Membaca Alquran sangat dianjurkan bagi setiap Muslim di setiap waktu dan kesempatan. Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah Alquran, sesungguhnya ia datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi ahlinya (yaitu, orang yang membaca, mempelajari dan mengamalkannya). (HR Muslim).

Dan membaca Alquran lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadhan, karena pada bulan itulah diturunkannya Alquran.

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS al-Baqarah [2]: 185).

Rasulullah SAW selalu memperbanyak membaca Alquran di hari-hari Ramadhan, seperti diceritakan dalam hadis Aisyah RA, ia berkata: “Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah SAW membaca Alquran semuanya, shalat sepanjang malam, dan puasa sebulan penuh, selain di bulan Ramadhan.” (HR Ahmad).

Dalam hadits Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan al-Bukhari, disebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan tadarus Alquran bersama Jibril AS di setiap bulan Ramadhan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Amalan di Bulan Ramadhan (1)

Ada beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa dilakukan.

Umat Islam di seluruh dunia sudah memasuki bulan Ramadhan 1441 H / 2020 M. Ada beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa di lakukan oleh umat Islam.

Dan bahkan, karena bulan Ramadhan adalah bulan yang istimewa, pahala dari amalan dan  perbuatan baik dilebihkan. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda:

“Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah SWT mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu; juga terdapat dalam bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan Nasai).

Berikut ini adalah amalan-amalan yang dianjurkan di bulan Ramadhan:

a. Puasa
Allah SWT memerintahkan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam.

Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Rasulullah SAW bersabda:
“Islam didirikan di atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak Ilah yang berhak disembah selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah rasul Allah SWT, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan pergi ke Baitul Haram.” (Muttafaqun alaih).

Puasa di bulan Ramadhan merupakan penghapus dosa-dosa yang terdahulu apabila dilaksanakan dengan ikhlas berdasarkan iman dan hanya mengharapkan pahala dari Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya telah lalu.” (Muttafaqun alaih).

KHAZANAH REPUBLIKA

Di Rumah Kita Tarawih

 INILAH ‘ibadah yang pada awalnya tidak secara terus menerus dilaksanakan secara berjama’ah di masjid. Pada mulanya Rasulullah ﷺ shalat di Masjid Nabawi yang berbatasan dengan rumah beliau, lalu banyak yang mengikuti beliau dengan bermakmum di belakangnya. Jumlahnya kian bertambah, hingga pada hari ketiga atau keempat jama’ah semakin banyak, tetapi Rasulullah ﷺ sengaja tidak keluar dari rumahnya untuk memimpin shalat tarawih di masjid.

Marilah sejenak kita ingat hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Dari ‘Aisyah Ummil Mukminin radhiyaLlahu ‘anha, sesungguhnya RasuluLlah ﷺ  pada suatu malam (bulan Ramadhan) shalat di masjid. Lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jama’ah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah ﷺ justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, “Sunguh aku melihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” ‘Aisyah berkata, “Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ada keutamaan di dalamnya, tetapi beliau takut kalau-kalau shalat tarawih diwajibkan. Ada kemuliaan yang besar pada ‘ibadah tarawih di bulan Ramadhan, tetapi beliau mengharuskannya setiap malam, tidak pula senantiasa berjama’ah bersama beliau.

Pada riwayat lain, kita mendapati pelajaran penting. Inilah penuturan dari Nu’man bin Basyir radhiyaLlahu anhu. Ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah ﷺ pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan sampai separo malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. An-Nasa’i, Ahmad dan Al-Hakim).

Apakah para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum tidak melaksanakan qiyamul lail –dalam hal ini tarawih—tatkala tidak berjama’ah dengan Rasulullah  ﷺ ? Sesungguhnya para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum adalah orang yang paling besar kesungguhannya dalam melaksanakan berbagai keutamaan, paling bersemangat pula dalam ‘ibadah. Sedangkan berkenaan dengan qiyamul lail di bulan Ramadhan, RasuluLlah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan qiyam (tarawih atau qiyalmulail) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), maka diampuni baginya dosa yang telah lampau,” (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Di antara para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum juga ada yang melaksanakan shalat tarawih sendiri, atau menjadi makmum di belakang yang lain. Tsa’labah bin Abi Malik Al-Qurazhi radhiyaLlahu ‘anhu berkata:

Suatu malam, di malam Ramadhan, RasuluLlah ﷺ keluar rumah, kemudian beliau melihat sekumpulan orang di sebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau lalu bertanya, “Apa yang sedang mereka lakukan?”

Seseorang menjawab, “Ya RasulaLlah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak ahli membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab ahli membaca Al Qur’an, maka mereka shalat dengan shalatnya Ubay (menjadi makmum).”

Beliau lalu bersabda:

قَدْ أَحْسَنُوْا وَقَدْ أَصَابُوْا

“Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat benar.”

Beliau tidak membencinya. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi).

Di masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyaLlahu ‘anhu, setelah RasuluLlah ﷺ wafat, para sahabat melaksanakan shalat tarawih secara awza’an. Seperti apakah awza’an itu? Seseorang berdiri menjadi imam shalat tarawih, makmumnya ketika itu 5 – 6 orang, dan di tempat lain di dalam satu masjid juga terdapat satu jama’ah tarawih lainnya. Makmumnya bisa lebih sedikit dari itu, bisa juga lebih banyak. Satu rombongan jama’ah tarawih tidak sampai menyebabkan jama’ah tarawih lainnya terganggu bacaannya, meskipun di masjid yang sama.

Ini berlangsung sampai awal kepemimpinan ‘Umar bin Khaththab radhiyaLlahu ‘anhu, hingga suatu saat di bulan Ramadhan beliau mengumpulkan orang-orang yang shalat tarawih sendiri-sendiri maupun berjama’ah terpencar-pencar dalam beberapa rombongan, menjadi satu jama’ah tarawih.

Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, ia berkata: Aku keluar bersama ‘Umar bin Khattab radhiyaLlahu ‘anhu ke masjid di bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid) orang melaksanakan shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjama’ah. Lalu ‘Umar berkata, “Aku mempunyai pendapat andaikata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah satu imam, niscaya itu lebih bagus.”

Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih berjama’ah di belakang satu imam. ‘Umar berkata:

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Senikmat-nikmat (sebaik-baik) bid’ah adalah ini (shalat tarawih berjama’ah).” (HR Bukhari).

Sejak itulah muslimin melaksanakan shalat tarawih secara berjama’ah hingga masa kita sekarang. Dan ini merupakan sesuatu yang baik, sebagaimana para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum juga shalat tarawih berjama’ah di belakang Rasulullah ﷺ pada beberapa malam bulan Ramadhan. Kita juga mendapati riwayat bahwa di antara para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum berjama’ah tarawih di belakang Ubay bin Ka’ab radhiyaLlahu ‘anhu dan tindakan tersebut dibenarkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sebagian sahabat lainnya melaksanakan shalat tarawih sendiri.

Jika memperhatikan kembali shalat tarawih di masa Rasulullah ﷺ, maka kita dapati bahwa hanya pada beberapa malam saja selama bulan Ramadhan beliau shalat tarawih di masjid yang kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyaLlahu ‘anhum di belakangnya. Tetapi shalat tarawih sendirian di rumah secara istiqamah, berpanjang-panjang dalam ruku’ dan sujud, memang lebih berat dibandingkan shalat tarawih berjama’ah. Apalagi jika sedikit sekali yang kita hafal dari Al-Qur’an, lemah pula tekad untuk benar-benar menegakkan malam dengan ketaatan. Ini terasa lebih berat lagi jika selama ini memilih tarawih yang cepat seperti kilat dan mengabaikan tadabbur dari ayat yang dibaca.

Ramadhan kali ini, Allah Ta’ala berikan kesempatan kepada kita untuk belajar menegakkan malam dengan shalat tarawih di rumah imanan wahtisaban (karena iman dan mengharap pahala dari Allah Ta’ala). Lebih berat memang.

Semoga Allah Ta’ala panjangkan umur kita dan berikan kesempatan kepada kita untuk bertemu bulan Ramadhan di tahun-tahun berikutnya, mampu menunaikan dengan sepenuh iman serta menegakkan qiyamul lail (tarawih) berjama’ah dengan lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Semoga pula Ramadhan kali ini Allah Ta’ala karuniakan kita iman yang kokoh dan melalui Ramadhan dengan ketaatan yang lebih baik. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

HIDAYATULLAH

Lapangkan Hatimu Untuk Murah dalam Memberi Maaf !

Masih dalam seri 5 menit lebih dekat bersama Rasulullah saw di bulan kelahiran beliau.

Seri ketiga adalah : Jadilah Pemaaf !

Hidup bermasyarakat, apalagi hidup dengan pilihan menjalankan ketentuan dan tugas-tugas dari Allah swt pasti banyak dihiasi oleh pertentangan, perselisihan dan kesalahan pahaman. Disinilah dibutuhkan hati yang lapang untuk mudah memaafkan agar persatuan dan persaudaraan tetap terjaga.

Allah swt membimbing Nabi Muhammad saw dalam firman-Nya,

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS.Al-A’raf:199)

Ayat ini telah mencakup seluruh nilai akhlak dengan sangat singkat.

Dalam hubungan bermasyarakat hendaknya kita mudah memberi maaf, ajaklah orang lain untuk berbuat baik dan berpaling lah dari sesuatu yang tidak indah.

Apabila kita sering menutup mata dengan kesalahan orang lain dan ringan untuk memberi maaf…

Apabila kita peka terhadap ketidak beresan dilingkungan sekitar dan memberi teguran dengan cara yang baik…

Apabila kita menjauh dari rayuan dan godaan untuk melakukan sesuatu yang tidak indah…

Apabila kita telah menegur kesalahan saudara kita lalu ada penolakan dan kita pun tidak ikut meresponnya dengan sesuatu yang buruk karena tugas kita hanya menyampaikan…

Maka kita telah menampilkan akhlak yang sebenarnya..

Karena ketika ayat ini turun, Rasulullah saw meminta Jibril untuk menjelaskan. Lalu atas perintah Allah Jibril menjawab,

تَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ

Maafkan orang yang mendzalimimu…

تُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ

Berilah sesuatu kepada mereka yang tidak memberi kepadamu..

تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ

Hubungilah seorang yang memutus hubungan denganmu…

Maka lapangkan hatimu untuk mudah memaafkan khususnya untuk perkara-perkara pribadi. Namun untuk hal-hal yang terkait dengan ketentuan Allah tetap harus tegas dan sesuai dengan aturan-Nya.

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Kiai Didin: Rasulullah Sholat Tarawih di Masjid Tiga Kali

Pelaksanaan Sholat Tarawih saat ini di rumah untuk mencegah penyebaran virus corona.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof KH Didin Hafidhuddin mengatakan, selama hidupnya, Rasulullah SAW lebih sering melakukan shalat tarawih di rumah. Bahkan, dia menyebut, terhitung hanya tiga kali saja sang rasul sholat di masjid.

“Anjuran melakukan sholat ibadah (Tarawih) di masjid, terjadi saat kepemimpinan Sayyidina Umar ra. Di mana, hal tersebut karena ada kekhawatiran muslimin saat itu tak melakukan sholat tarawih,” ujar dia ketika dikonfirmasi Republika, Kamis (23/4).

Oleh sebab itu, dia menegaskan, dengan adanya kekhawatiran Covid-19 ibadah tarawih bisa dilakukan di rumah, baik sendiri maupun berjamaah. Terlebih, hal tersebut juga dicontohkan oleh Rasulullah

“Pada masa pandemi ini lebih baik melakukan sholat tarawih di rumah masing-masing,” tambah dia.

Prof Didin menegaskan, dengan sholat tarawih di rumah juga sekaligus membantu untuk menekan penyebaran wabah yang masih meluas. Ia tak menampik, ada banyak anjuran shalat sunah di rumah. Termasuk untuk tarawih.

Bahkan, dalam beberapa hadist juga disebutkan, bahwa, Nabi Muhammad tak melakukan ibadah tarawih di masjid terlalu sering, karena kekhawatirannya. Utamanya karena khawatir akan dianggap sebagai kewajiban.

Lebih jauh, di Indonesia, untuk mencegah kekhawatiran pandemi, MUI juga telah mengimbau masyarakat untuk melakukan ibadah di rumah. Menurut majelis ulama itu, dengan melakukan ibadah shalat tarawih di rumah, tak akan mengurangi esensi dari bulan suci ramadhan. Sebaliknya, justru akan menghentikan rantai penularan Covid-19.

KHAZANAH REPUBLIKA