Agar Bertahan Diatas Sirothol Mustaqim

Allah Swt Berfirman :

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al-An’am:153)

Ayat ini ingin menjelaskan bahwa manusia diperintahkan oleh Allah Swt untuk selalu berada dalam Sirothol Mustaqim (jalan yang lurus). Dan hendaknya ia menjauhi semua jalan yang tidak akan mengantarkannya menuju kepada Allah.

Kemudian setelah seseorang menemukan Sirothol Mustaqim dan berjalan di atasnya, maka ia masih diperintahkan untuk menjaga diri sepanjang hidupnya agar tidak terlepas dan tidak berpaling dari jalan tersebut.

Karena itu kemudian Allah mewajibkan pada setiap kali kita Sholat untuk mengucapkan :

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS.Al-Fatihah:6)

Kalimat yang kita ulangi di setiap Sholat ini menunjukkan bahwa bertahan di atas Sirothol Mustaqim adalah sebuah masalah prinsip yang harus di raih dan di jaga oleh setiap manusia.

Karena disana banyak setan jin dan manusia yang dengan segala upayanya ingin menarik kita agar keluar dari Sirothol Mustaqim sebagaimana dalam Al-A’raf ayat ke-16.

Lalu pertanyaannya, bagaimana cara agar kita mampu terus berada dalam Sirothol Mustaqim ?

Jawabannya adalah dengan Istiqomah yang membuat kita bertahan di atas jalan yang lurus. Istiqomah artinya selalu mengikuti ketentuan-ketentuan Allah.

Kata Istiqomah adalah kata yang simpel dan penuh makna yang digunakan oleh Rasulullah Saw ketika ingin menerjemahkan arti Islam.

Bukankah dalam suatu riwayat diceritakan bahwa seorang sahabat datang kepada Rasulullah Saw dan berkata :

“Katakanlah kepadaku suatu ungkapan dalam Islam yang aku tidak akan tanyakan kepada siapapun selainmu.”

Rasulullah Saw menjawab :

“Katakanlah aku beriman kepada Allah lalu beristiqomah-lah !”

Karenanya salah satu perintah dalam Al-Qur’an kepada Nabi Saw adalah :

فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطۡغَوۡاْۚ إِنَّهُۥ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِير

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.Hud:112)

Istiqomah memang sulit tapi hanya dengan beristiqomah kita akan mampu bertahan di atas Sirothol Mustaqim.

Mengapa orang yang istiqomah akan selalu berada di atas Sirothol Mustaqim ?

Mungkin disana kita akan menemukan banyak jawaban, tapi salah satunya adalah karena orang yang beristiqomah akan selalu di dampingi oleh Malaikat. Bukankah Allah Berfirman :

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS.Fushilat:30)

Orang yang Istiqomah selalu didampingi Malaikat dan orang yang selalu didampingi Malaikat akan selalu dibimbing agar tidak keluar dari Sirothol Mustaqim.

Bagaimana cara agar bisa terus berada di atas Sirothol Mustaqim ?

Beristiqomah lah dalam memegang Syariat!

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Fenomena Non-Muslim Belanja di Toko Halal Mulai Terjadi

 Direktur Halal Center Fakultas Peternakan UGM Nanung Danar Dono terkejut dengan fenomena konsumsi produk halal di luar negeri. Ia mendapati warga non-Muslim justru belanja di toko daging halal.

Nanung menyebut warga non-Muslim menganggap daging di toko halal punya kualitas lebih baik. Metode penyembelihan yang digunakan dianggap bisa membuat daging terasa lebih nikmat.

“Di luar negeri sudah ada yang beli dari halal bucher (toko daging) padahal mereka non-Islam, mereka lihat halal bucher pemotongannya sampai keluar maksimal darahnya. Ini berpengaruh ke rasa, aroma, ketahanan daging,” kata Nanung dalam seminar virtual bertema Indonesia Pusat Halal Dunia: Potensi Domestik dan Tantangan Global yang diadakan Universitas Maarif Hasyim Latif (Umaha) pada Selasa, (16/6).

Nanung mengatakan hampir semua negara maju punya lembaga pemberi label halal. Di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Jerman, Prancis, Australia.

Ia kemudian heran mengapa potensi pasar ekspor ini tak dimanfaatkan maksimal di Indonesia. Padahal peluangnya terbuka lebar hingga segmen ini diisi oleh Malaysia, Thailand atau Vietnam.

“Yang kejar makanan halal banyak di luar negeri, kenapa di sini Muslim populasi terbesar malah bukan pemain utama? padahal LPPOM MUI jadi leader di internasional, tapi yang jualan produk kok bukan kita,” ujar Nanung.

“Di wilayah Eropa dan Amerika Utara kebutuhan produk halal tinggi, apalagi tengok ke bandara-bandara internasional ada restoran halal. Semua bisa di-search di internet, biasanya ada, jangan malas mencari,” tambah Nanung.

Nanung mencontohkan Jepang punya kemajuan pesat di industri halal seiring tanggungjawabnya menjadi tuan rumah Olimpiade. Pemerintah Jepang, kata Nanung, tak mau menerima komplain dari Muslim yang kesulitan menemukan makanan halal ketika berkunjung kesana.

“Empat tahun terakhir mereka siapkan resto-resto halal agar tak ada lagi orang batal ke Jepang karena enggak ada resto halal, tempat-tempat Shalat juga disediakan,” ucap Nanung. 

IHRAM

Jatuh Cinta dengan Non-Muslim? Ini Cara Menyikapinya

Tidak ada keberkahan dalam hubungan pra-nikah dengan non-Muslim.

Menjadi mahasiswa baru, berkenalan dengan teman-teman baru adalah hal-hal yang menyenangkan. Di antara teman-teman baru itu, ada sosok yang sangat hangat, baik hati, cerdas, dan sangat menarik, sayangnya dia non muslim.

Dilansir dari About Islam, Rabu (23/9), seseorang harus mengakui perasaan tertarik tersebut. Terimalah perasaan itu dan jangan pernah mencoba untuk menyangkalnya.

Beri ruang untuk perasaan ini tapi jangan bertindak berdasarkan perasaan ketertarikan itu, tetap dalam kesadaran dan mengingat Allah Swt. Selanjutnya buatlah keputusan dan orientas dengan selalu berbuat baik dan hal-hal yang Allah suka.

Meski terus tergoda, pikirkanlah bahwa tidak ada keberkahan dalam hubungan pra-nikah dengan non-Muslim. Jalan ini hanya akan memberi patah hati dan membuat jarak dengan Allah.

“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW ditanya tentang orang mana yang akan masuk surga, inilah yang dia katakan. Dan dia ditanya tentang hal itu yang paling membuat orang masuk ke dalam Api, dan dia berkata: “Mulut dan bagian pribadi.” (Tirmidzi)

Selain itu, berpikirlah tentang nilai-nilai yang paling penting dalam hidup Anda. Apakah Islam sangat berarti bagi hidup Anda dan ingin membesarkan anak-anak sebagai muslim, serta memiliki pendamping hidup yang seiman.

Jika hidup menurut Islam adalah prioritas Anda, maka penting bagi untuk jujur ​​pada diri sendiri dan pikirkan rencana jangka panjang untuk kehidupan di dunia dan di akhirat.

“Hai orang-orang yang beriman, selamatkan dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu, dan penjaganya adalah para malaikat yang tegas dan kejam, yang tidak membangkang kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan melakukan apapun yang diperintahkan.” ( At-Tahrim 66: 6).

Jangan sampai tergoda, jika mampu maka ajaklah seseorang tersebut untuk memeluk Islam. Banyak orang masuk Islam melalui pernikahan dan telah membuktikan, berulang kali, begitu tulus keislaman mereka dalam beribadah kepada Allah.

Sahl bin Sa’d RA, meriwayatkan Nabi Saw berkata kepada ‘Ali RA , “Demi Allah, jika satu orang dibimbing oleh Allah melalui Anda, itu akan menjadi lebih baik untuk Anda daripada banyak unta merah.” (ukhari dan Muslim).

Hanya saja jika tidak memungkinkan untuk mengajaknya memeluk Islam, maka ingatlah bahwa segala petunjuk dan hidayah hanya datang atas izin Allah swt. Tidak mungkin seseorang bisa memaksakan keyakinan ke dalam hati orang lain tanpa seizin Allah. Bahkan paman Nabi Saw sendiri meninggal dalam keadaan belum memeluk Islam.

Jika orang yang Anda sukai tidak tertarik memeluk Islam, maka hubungan Anda tidak memiliki masa depan. Lebih baik bagi Anda untuk berpisah lebih cepat . Semakin lama bertahan, maka akan semakin sulit  untuk melepaskannya.

Sumber: https://aboutislam.net/family-life/youth-4-the-future/how-to-deal-with-attraction-to-non-muslims/2/

KHAZANAH REPUBLIKA

Pondasi Tegaknya Ibadah

Sesungguhnya ilmu yang terpuji di dalam al-Kitab dan as-Sunnah dan terpuji juga bagi pemiliknya adalah ilmu syari’at. Ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap pujian yang disebutkan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah terhadap “ilmu” dan para pengembannya, maka yang dimaksud adalah “ilmu syari’at”, yaitu ilmu al-Kitab dan as-Sunnah serta fikih (pemahaman) terhadap agama ini.

Kedudukan Ilmu

Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa ilmu itu pondasi dalam hal ibadah. Karena sesungguhnya tidak ada ibadah dan amal yang benar kecuali dengan dasar ilmu. Ilmu lebih didahulukan sebelum segala sesuatu. Karena ibadah tidak akan menjadi benar dan diterima kecuali apabila sesuai dengan tuntunan. Dan tidak ada jalan untuk mengenali tuntunan kecuali dengan ilmu, yaitu ilmu yang benar. Dan apabila istilah ilmu disebutkan secara mutlak (tanpa batasan atau embel-embel tertentu, pent.) di dalam kalam Allah dan kalam Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian juga dalam ucapan para ulama, maka sesungguhnya yang dimaksud ialah “ilmu syari’at”.

Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa semua dalil yang berisi keutamaan ilmu maka yang dimaksudkan adalah ilmu syari’at. Seperti dalam hadits,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا

“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu …”

Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syari’at. [2]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” [3]

Ilmu Tentang Allah

Suatu ketika ada lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Dia berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”

Beliau menjawab, “Ilmu.”

Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”

Beliau menjawab, “Ilmu.”

Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”

Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amalmu yang sedikit atau yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” [4]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang insan selalu membutuhkan Allah ‘azza wa jalla dalam bentuk ibadah dan isti’anah/permintaan pertolongan. Adapun kebutuhan dirinya kepada Allah dalam bentuk ibadah, karena sesungguhnya ibadah itulah bahan baku (sumber) kebahagiaan dirinya. Adapun isti’anah, karena sesungguhnya apabila Allah tidak memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya, maka Allah akan menyandarkan dia (urusannya) kepada dirinya sendiri. Sehingga itu artinya Allah menyerahkan dirinya kepada sifat ketidakmampuan, kelemahan, dan aurat/aib. Sementara tidak mungkin tegak urusan seorang insan melainkan dengan bantuan dan pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla.” [5]

Buah Ilmu

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya, maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang dimurkai –al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu, maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang sesat –adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. [6]

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ

“Kelak pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki, lalu dia dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.” [7]

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel: Muslim.or.id

Mengapa Wanita Tidak Wajib Shalat Jumat?

SELAMA ini kita di Indonesia, utamanya, shalat Jumat itu kewajiban laki-laki. Bagaimana dengan wanita?

Seorang wanita pada dasarnya tidak diwajibkan untuk menghadiri shalat Jumat. Yang wajib bagi mereka untuk dikerjakan adalah shalat Dzhuhur.

Pernyataan seperti ini langsung disebutkan oleh Rasulullah SAWpada salah satu hadits beliau: Dari Thariq bin Syihab ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.” (HR Abu Daud)

Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa isnad hadits inishahih sesuai dengan syarat dari Bukhari. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya satu orang.

Namun apabila seorang wanita tetap ikut melakukan shalat Jumat, maka shalatnya itu telah menggugurkan kewajiban shalat Jumat atasnya. Sehingga dia tidak perlu lagi mengulanginya dengan shalat Jumat.

Adapun adanya dalil yang Al-Quran di dalam surat Al-Jumu’ah tentang khitab kepada orang-orang beriman yang mencakup laki-laki dan perempuan, memang ayat itu tidak salah. Pada dasarnya memang kalau Allah SWT memanggil dengan panggilan “Wahai orang-orang yang beriman”, memang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Namun karena ada hadits di atas yang menjadi muqarin (pembanding) dari keumuman ayat Al-Quran itu, maka kita harus menggabungkannya. Sehingga menjadi pengertian bahwa shalat Jumat itu tidak wajib bagi wanita, hanya wajib bagi laki-laki.

Namun bila seorang wanita ikut shalat Jumat, maka tetap sah dan cukup baginya shalat Jumat itu tanpa perlu lagi melakukan shalat Dzhuhur.

Dalam metologi fiqih, bila ada dua dalil yang sama-sama shahih, harus dicarikan titik temu antara keduanya. Bukan dengan sistem gugur, di mana salah satunya harus kalah.

Ayat Al-Quran tidak boleh ditabrakkan begitu saja dengan hadits nabawi. Tidak dibenarkan menggugurkan sebuah hadits nabawi yang shahih dan menganggapnya tidak berlaku, hanya karena alasan ada ayat Quran yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan ketika memerintahkan shalat Jumat. []

ISLAM POS



Jangan Sia-Siakan Waktu Shalat!

Shalat merupakan salah satu tanda iman. Sesuai dengan level keimanan seorang hamba, dia akan menyempurnakan dan memperhatikan shalatnya. Salah satu bukti dia memperhatikan shalat adalah menunaikan shalat tersebut sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Allah Ta’ala mengatakan,

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4]: 103)

Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا

“Shalatlah sesuai dengan waktunya.” (HR. Muslim no. 648)

Masuknya waktu shalat merupakan syarat wajib dan syarat sah ibadah shalat

Masuknya waktu shalat merupakan syarat wajib dan sekaligus syarat sah ibadah shalat. Tidak ada kewajiban shalat wajib tertentu, kecuali setelah masuk waktu. Dan juga, shalat tidaklah sah kecuali jika dikerjakan sesuai dengan waktunya. 

Waktu-waktu shalat adalah waktu yang agung, waktu yang penuh keberkahan, yang diisyaratkan di berbagai ayat dalam Al-Qur’an. Waktu-waktu shalat juga telah dijelaskan secara gamblang dan mencukupi dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik melalui ucapan ataupun perbuatan beliau (sunnah qauliyyah dan sunnah fi’liyyah). 

Allah Ta’ala berfirman,

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’ [17]: 78)

Allah Ta’ala juga mengatakan,

وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيّاً وَحِينَ تُظْهِرُونَ

“Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu zuhur.” (QS. Ar-Ruum [30]: 18)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ يَعْنِي الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِي الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ

“Jibril ‘alaihis salam telah mengimamiku di sisi Baitullah dua kali. Dia shalat zuhur bersamaku ketika matahari tergelincir (condong) ke barat sepanjang tali sandal, kemudian shalat ashar denganku ketika panjang bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat maghrib bersamaku ketika orang yang berpuasa berbuka, kemudian shalat isya’ bersamaku ketika awan merah telah hilang, dan shalat subuh bersamaku tatkala orang yang berpuasa dilarang makan dan minum. 

Besok harinya, dia shalat zuhur bersamaku ketika bayangan suatu benda sama dengannya, lalu shalat ashar bersamaku ketika bayangan suatu benda sepanjang dua kali benda itu, kemudian shalat maghrib bersamaku ketika orang yang berpuasa berbuka, lalu shalat isya’ bersamaku hingga sepertiga malam, dan shalat subuh bersamaku ketika waktu pagi mulai bercahaya.”

Kemudian Jibril menoleh kapadaku seraya berkata, 

يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ، وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ

“Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para Nabi sebelum kamu, dan jarak waktu untuk shalat adalah antara dua waktu ini.” (HR. Abu Dawud no. 393, At-Tirmidzi no. 149, dan Ahmad no. 3322. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 1402)

Inilah waktu-waktu awal dan akhir masing-masing shalat, yang sudah dijelaskan sedemikian gamblang bagi siapa saja yang mau memperhatikannya. 

Renungkanlah perkataan Jibril ‘alaihis salaam, 

يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ

“Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para Nabi sebelum kamu”, yang menunjukkan bahwa waktu shalat lima waktu ini adalah waktu shalat bagi para Nabi sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan agung dan mulianya waktu-waktu tersebut. Inilah waktu yang membangunkan orang-orang yang sedang tidur, waktu yang menghentikan aktivitas para pegawai, waktu yang mengingatkan orang-orang yang sedang lalai, dan waktu yang menggerakkan semua orang menuju masjid Allah Ta’ala untuk mendirikan shalat.

Jangan sia-siakan waktu shalat!

Salah satu bentuk menyia-nyiakan shalat adalah melewatkan waktu shalat dan mendirikan shalat di luar waktu yang sudah ditetapkan. Allah Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam [19]: 59)

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah membaca ayat ini kemudian mengatakan,

“Menyia-nyiakan shalat di sini bukanlah dengan meninggalkan shalat (tidak mendirikan shalat). Akan tetapi, mereka menyia-nyiakan waktu shalat (yaitu, mendirikan shalat di luar waktunya).” (Tafsir Ath-Thabari, 18: 216)

Allah Ta’ala berfirman,

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Maa’uun [107]: 4-5)

Oleh karena itu, menyia-nyiakan waktu shalat adalah perkara yang sangat berbahaya, yang menunjukkan bahwa orang tersebut meremehkan dan tidak memiliki perhatian terhadap agamanya. Terdapat banyak sekali hadits yang memperingatkan perbuatan semacam ini. Namun dalam kesempatan ini, cukuplah kami sebutkan ancaman bagi orang yang menunda-nunda shalat ashar sampai dia dirikan menjelang waktunya hampir habis. 

Disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ، قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا، لَا يَذْكُرُ اللهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا

“Itulah shalatnya orang munafik, (yaitu) duduk mengamati matahari. Hingga ketika matahari berada di antara dua tanduk setan (yaitu ketika hampir tenggelam, pent.), dia pun berdiri (untuk mengerjakan shalat ashar) empat raka’at (secara cepat) seperti patukan ayam. Dia tidak berdzikir untuk mengingat Allah, kecuali hanya sedikit saja.” (HR. Muslim no. 622)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Masjid dan Musholah di sekitar Anda belum memiliki Jam Waktu Sholat? Miliki segera di Toko Albani, dan wakafkan ke masjid dan musholah tersebut! silahkan kunjungi link ini!



Hubungan antara Shalat dan Melihat Wajah Allah Ta’ala

Melihat wajah Allah: nikmat terbesar penduduk surga

Nikmat dan karunia terbesar bagi penduduk surga adalah ketika mereka bisa melihat wajah Allah Ta’ala. Inilah nikmat terbesar yang akan dirasakan oleh penduduk surga di akhirat kelak, melebihi nikmat surga lainnya. 

Dari sahabat Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ، وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ، فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ

“Apabila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman, “Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian?”

Mereka (penduduk surga) menjawab, “Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugerah (dapat) memandang Rabb mereka.” (HR. Muslim no. 181) 

Hubungan antara shalat dan melihat wajah Allah Ta’ala

Terdapat hubungan antara shalat dan melihat wajah Allah Ta’ala. Jika selama di dunia seseorang itu memperhatikan dan menjaga shalat, maka tentu dia layak untuk melihat wajah Allah Ta’ala. Sebaliknya, jika selama di dunia dia menyia-nyiakan shalat, maka tentu dia layak untuk terhalang dari melihat wajah Allah Ta’ala.

Hubungan anatar dua hal ini Allah Ta’ala jelaskan dalam Al-Qur’an dan juga dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Adapun Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23) وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ (24) تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (25) كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27) وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ (28) وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ (29) إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ (30) فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّى (31) وَلَكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (32)

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nya mereka melihat. Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram. Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya), “Siapakah yang dapat menyembuhkan?” Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia). Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Qur’an) dan tidak mau mengerjakan shalat. Tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran).” (QS. Al-Qiyaamah [75]: 22-32)

Pada bagian pertama, Allah Ta’ala sebutkan kondisi orang-orang mukmin yang berbahagia dan berseri-seri wajahnya. Hal ini karena “Kepada Tuhan-nya mereka melihat”, yaitu melihat dengan mata kepala secara langsung. 

Setelah itu Allah Ta’ala sebutkan kondisi orang-orang kafir yang berwajah muram. Kemudian Allah Ta’ala sebutkan perbuatan apa yang mereka lakukan selama di dunia. Dan salah satu sebabnya adalah “tidak mau mengerjakan shalat.” 

Adapun penjelasan dari as-sunnah, dari sahabat Jarir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu malam, kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu melihat ke arah bulan purnama. Kemudian beliau bersabda, 

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا

“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terlewatkan untuk melaksanakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah.” (Yang beliau maksud adalah shalat subuh dan shalat ashar, pent.) 

Kemudian Jarir membaca ayat,

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ

“(Dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya).” (QS. Qaaf: 39). (HR. Bukhari no. 554 dan Muslim no. 633)

Dalam hadits tersebut, terdapat hubungan antara shalat dan melihat wajah Allah Ta’ala. Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

“Dikatakan tentang kesesuaian antara perintah untuk menjaga dua shalat ini (shalat subuh dan shalat ashar) setelah menyebutkan tentang nikmat rukyah (melihat wajah Allah Ta’ala), bahwa sesungguhnya nikmat tertinggi di surga adalah melihat wajah Allah Ta’ala. Sedangkan amal yang paling mulia di dunia adalah dua shalat tersebut. Oleh karena itu, dengan menjaga dua shalat tersebut, seseorang diharapkan masuk surga dan kemudian melihat wajah Allah Ta’ala di dalam surga.” (Fathul Baari, 4: 323)

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut juga terdapat pelajaran bahwa melihat wajah Allah Ta’ala itu tidaklah dicapai dengan angan-angan semata. Allah Ta’ala berfirman,

لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab.” (QS. An-Nisa’ [4]: 123)

Akan tetapi, pahala melihat wajah Allah itu membutuhkan kesungguhan dan usaha yang besar untuk dapat meraihnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memberikan petunjuk adanya sebab untuk meraihnya, yaitu dengan menjaga pelaksanaan shalat subuh dan shalat ashar. 

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan keutamaan dua shalat tersebut. Namun, kedua shalat ini justru terasa berat dikerjakan oleh mayoritas manusia. Siapa saja yang mendapat taufik dan pertolongan dari Allah Ta’ala untuk menjaga dua shalat tersebut, maka akan lebih mudah baginya menjaga shalat-shalat lainnya. Dan siapa saja yang Allah Ta’ala berikan pertolongan untuk bangun shalat subuh dan menjaga pelaksanaan shalat subuh, Allah Ta’ala akan tolong dia untuk menjaga shalat-shalat setelahnya di hari itu. 

Inilah hubungan antara shalat dan pahala terbesar di surga, yaitu melihat wajah Allah Ta’ala. 

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Info Produk Wakaf:

Bila Anda tertarik untuk mewakafkan Jam Masjid ke masjid atau musholah terdekat, Anda bisa memilih Jam Masjid itu Toko Albani atau klik di sini!

Kemenag Berharap Indonesia Masuk Negara yang Diijinkan Umroh

Kerajaan arab saudi diberitakan secara bertahap akan kembali membuka penyelenggaraan ibadah umroh. Untuk tahap pertama, Saudi mengizinkan umromh terbatas bagi warga negara dan ekspatriat yang tinggal di sana.

Arab Saudi juga mempertimbangkan untuk membuka umroh bagi Muslim dari luar Kerajaan. Izin diberikan khususnya bagi negara yang sudah mengantongi sinyal positif untuk memberangkatkan jemaah. 

“Saudi dalam pengumumannya menyebut akan merilis daftar negara mana saja yang akan mendapatkan izin memberangkatkan jemaah umroh. Jadi kami masih menunggu rilis dari Kemenkes Saudi. Kami berharap Indonesia termasuk yang mendapat izin memberangkatkan,” ujar Dirjen Penyelenggaraan haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Nizar Ali, dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Rabu (23/9).

Nizar menyebut pihaknya selama ini terus melakukan koordinasi, baik dengan Konsul Haji KJRI Jeddah, maskapai penerbangan, maupun Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Koordinasi dilakukan terkait persiapan jika penyelenggaraan ibadah umroh kembali dibuka.

Prioritas pemberangkatan jamaah umroh yang tertunda sejak 27 Februari 2020 merupakan salah satu yang dibahas selama koordinasi. Selain itu, penerapan protokol kesehatan dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 juga menjadi topik pembicaraan.

Kemenag disebut telah meminta Konsul Haji KJRI di Jeddah untuk ikut memantau kemungkinan Indonesia mendapat izin memberangkatkan jamaah umrah.

“Koordinasi dengan PPIU dan maskapai terus dilakukan. Kita minta jamaah umrah yang tertunda menjadi prioritas untuk diberangkatkan. Penerapan protokol kesehatan dalam pelaksanaan umrah di masa Covid-19 juga dibahas bersama dengan Kemenkes,” lanjutnya.

Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, M. Arfi Hatim, juga menyebut keberangkatan jamaah umrah Indonesia menunggu daftar negara yang mendapat izin dari Saudi. Namun, sambil menunggu kepastian termasuk kesiapan semua layanan di Saudi, persiapan di dalam negeri tetap dilakukan.

“Kami akan melakukan sosialisasi kepada PPIU dan jemaah terkait penerapan protokol kesehatan. PPIU juga diminta menyosialisasikan penerapan protokol kesehatan dalam kegiatan manasik umrah yang mereka lakukan,” kata Arfi.

Di sisi lain, Konsul Haji KJRI Jeddah, Endang Jumali, menambahkan berdasarkan informasi dari Saudi Press Agency ada tiga tahapan yang akan dilakukan Pemerintah Saudi dalam penyelenggaraan umrah di masa pandemi. SPA merupakan link berita resmi yang terhubung dengan Kementerian Dalam Negeri Saudi.

Warga negara Saudi dan ekspatriat yang tinggal di sana (mukimin) diizinkan menunaikan ibadah umrah tahap pertama, mulai 4 Oktober 2020. Izin diberikan hanya 30persen dari kapasitas Masjidil Haram. Hal ini sesuai hitungan protokol tindakan pencegahan penyebaran Covid-19, yaitu enam ribu jamaah umrah per hari.

Di tahap kedua, Kerajaan Saudi mengizinkan ibadah umrah dan salat di Masjidil Haram bagi warga negara Saudi dan mukimin mulai dengan kapasitas 75persen, mulai 18 Oktober 2020. “Jumlahnya bertambah sesuai hitungan protokol tindakan pencegahan, atau 15 ribu jamaah umrah dan 40 ribu jamaah shalat per hari,” kata dia.

Pada tahap berikutnya, ibadah umrah dan shalat diizinkan bagi warga Saudi, mukimin, serta warga dari luar kerajaan. Rencananya tahap ini akan dimulai pada 1 November 2020, sembari menunggu pengumuman resmi kondisi pandemi Covid-19.

Pada tahap ini, Masjidil Haram diharapkan dapat menampung 100persen sesuai hitungan protokol tindakan pencegahan. Jika kondisi normal, Masjidil Haram mampu menampung 20ribu jamaah umrah dan 60ribu jamaah shalat per hari.

“Kemenkes Saudi nantinya akan merilis daftar negara dari luar kerajaan yang diizinkan masuk atau memberangkatkan jemaah. Kemenkes tentu akan mempertimbangkan perkembangan pandemi dan resiko kesehatan dari negara-negara tersebut,” ujarnya. 

IHRAM



Rancunya Timbangan Kebaikan dan Geramnya Ibnu Al-Jauzi

Ibnu Al-Jauzi geram dengan sikap pemuda yang kehilangan timbangan kebaikan.

Dalam hal perintah, ada yang wajib ada yang sunnah. Dalam hal larangan, ada yang haram ada yang makruh. Karena itu, ada dosa besar (kabirah) ada dosa kecil (shaghirah).  

Untuk mengukurnya diperlukan timbangan (mizan) agar yang berat disebut berat dan yang ringan dikatakan ringan. 

 الله الذي أنزل الكتاب بالحق والميزان “Allah yang telah menurunkan Kitab dengan sebenarnya dan (menurunkan) timbangan…” (QS Asy-Syura: 18) 

Dengan timbangan itu dapat dikenali mana yang mesti didahulukan dan mana yang bisa dikemudiankan, mana yang prinsip dan mana yang bisa ditoleransi. Jika alat timbang sudah hilang maka yang terjadi adalah seperti kisah berikut: 

Seorang laki-laki datang menemui Ibnu al-Jauzi RA dan bertanya : “Wahai Imam, apakah saya boleh menggugurkan janin dari wanita yang aku zinahi?” 

Ibnu al-Jauzi berusaha tenang dan berkata, “Ketika engkau jatuh pada dosa zina, mengapa engkau tidak berusaha untuk ‘azal (membuang mani di luar rahim)?” 

Dengan santai laki-laki itu menjawab, “Saya dengar ‘azal itu makruh…” Dengan nada keras Ibnu al-Jauzi berkata: “Engkau dengar ‘azal itu makruh dan engkau tidak dengar zina itu haram?”

*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang. 

Oleh Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA

KHAZANAH REPUBLIKA


Gampang Tuduh Orang Munafik, Jangan-Jangan Kita Termasuk?

Sahabat Hudzaifah disebut sebagai Pemilik Rahasia Nabi Muhammad SAW. Hal ini karena Sahabat Hudzaifah pernah diberi tahu Rasulullah SAW tentang sosok-sosok orang munafik di antara para sahabat.  

ﻬﺎ ﺃﻭ ﻳﺮﻳﺪﻫﺎ، ﻓﺘﻌﻠﻘﺖ ﺑﻪ ﻓﻘﻠﺖ: اﺟﻠﺲ ﻳﺎ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ; ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻦ ﺃﻭﻟﺌﻚ، ﻓﻘﺎﻝ: ﻧﺸﺪﺗﻚ ﺑﺎﻟﻠﻪ، ﺃﻧﺎ ﻣﻨﻬﻢ؟ ﻗﺎﻝ: ﻻ، ﻭﻻ ﺃﺑﺮﺉ ﺃﺣﺪا ﺑﻌﺪﻙ. ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺰاﺭ، ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ  

Hudzaifah berkata: Umar bin Khattab pernah diundang menghadiri jenazah, ia pun mendatanginya. Saya hubungi Umar dan saya bilang: “Duduklah (jangan ikut salat jenasah), Wahai Pemimpin Umat Islam. Jenasah ini termasuk orang munafik”. Umar berkata: “Aku sumpah engkau, apakah aku termasuk orang-orang munafik?” Kujawab: “Tidak! Aku takkan ceritakan lagi setelah ini” (Riwayat Al-Bazzar) 

Sejenak kita lihat sosok Sayidina Umar, beliau adalah salah satu pengganti Rasulullah, tergolong Sahabat yang telah dijamin masuk surga (HR Tirmidzi), ada banyak ayat Alquran diturunkan karena Sayidina Umar dan lainnya.

Namun beliau masih khawatir termasuk orang-orang munafik. Sementara itu, anehnya dengan kita, sering menuduh orang lain sebagai munafik. Jangan-jangan malah kita sendiri termasuk golongan yang dikecam agama itu?

Oleh Ustadz Yendri Junaidi, Lc MA  

*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.    

KHAZANAH REPUBLIKA