Lima Pertanyaan yang Harus Dijawab Sebelum Umroh ke Makkah

Arab Saudi akan menyambut warga negara asing di luar Kerajaan untuk melakukan umrah di Makkah dan Madinah mulai hari Ahad lalu. Kebiajkan ini sebagai bagian dari fase ketiga yang secara bertahap mengizinkan haji di tengah pandemi virus corona.

Kembalinya pengunjung asing ke Arab Saudi untuk menunaikan umrah secara resmi dimulai pada 1 November. Kerajaan membuka kembali situs suci pada 4 Oktober, pertama untuk warga negara Saudi dan ekspatriat yang tinggal di dalam negeri dengan kapasitas 30 persen. Kemudian kapasitasnya ditingkatkan menjadi 75 persen pada 18 Oktober.

Di bawah ini adalah lima jawaban dari pertanyaan teratas untuk jamaah umrah asing berdasarkan aturan dan regulasi yang digariskan oleh Kementerian Haji dan Umrah.

Apa yang harus saya lakukan sebelum melakukan perjalanan ke Makkah untuk umrah?

Berdasarkan aturan dan pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Haji dan Umrah, Anda harus memesan paket Umrah Anda dengan perusahaan Umrah atau agen perjalanan berlisensi. Kementerian Haji dan Umrah mengatakan sedang bekerja dalam koordinasi dengan otoritas terkait lainnya untuk menciptakan lingkungan yang aman dan difasilitasi bagi para pengunjung selama perjalanan mereka.

Dan, koordinasi juga telah dilakukan dengan maskapai penerbangan nasional, maskapai Saudia, untuk menyediakan kapasitas kursi yang diperlukan. Hal ini sesuai dengan rencana tindakan pencegahan dan protokol kesehatan yang disetujui.

Berapa batasan usia yang disetujui untuk bepergian ke Makkah untuk melakukan umrah?

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi mengatakan setiap peziarah yang ingin mengunjungi Mekah untuk Umrah harus berusia antara 18 hingga 50 tahun.

Kapan saya harus menjalani tes COVID-19?

Sertifikat pemeriksaan PCR dengan hasil negatif yang dikeluarkan oleh laboratorium terpercaya di negara asal jamaah umrah harus disediakan dan tidak melebihi 72 jam dari waktu mengikuti ujian hingga waktu pemberangkatan ke Arab Saudi.

Apa yang akan terjadi setelah saya mendarat di Arab Saudi?

Kementerian Haji dan Umrah mengatakan bahwa setiap peziarah harus dikarantina selama 3 hari setelah tiba di Kerajaan di hotel tempat mereka tinggal.

Apakah ada pendaftaran sebelumnya yang harus saya ketahui?

Perusahaan Umrah akan bertanggung jawab untuk memverifikasi keabsahan semua data paspor dan informasi pelaksana Umrah yang dimasukkan ke dalam sistem Umrah, dan semua data yang telah disiapkan sebelumnya harus dimasukkan maksimal 24 jam sebelum tanggal kedatangan dengan masuknya maskapai yang dikonfirmasi. Data tiket setiap jamaah umrah dan informasi akomodasi mereka.

IHRAM

Habib dan Keturunan Nabi Muhammad, Tetap Wajib Bertaqwa dan Belajar Islam

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang habib dan keturunan Nabi Muhammad, tetap wajib bertaqwa dan belajar islam.
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz ana mau bertanya, banyak seseorang dan termasuk teman-teman saya bahwa mengatakan saya sayyid atau habib yang merupakan keturunan Rasulullah, tapi saya sendiri tidak tahu apa itu benar atau tidak, cara menyikapinnya bagaimana Ustadz?
Agar tidak terjadi kesalahpahaman?
Syukron Ustadz, Mohon Penjelasannya.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Status seseorang sebagai sayid atau keturunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kemuliaan. Karena itu artinya ia menisbatkan dirinya kepada manusia paling mulia. Dan kaum muslimin diperintahkan untuk menghormati mereka, mencintai serta menolong mereka, disebutkan dalam salah satu fatwa :

ومن حقوق آل البيت محبتهم ونصرتهم وإكرامهم، والصلاة عليهم في التشهد الأخير، كما أمر به صلى الله عليه وسلم، فيقول المصلي: اللهم صلى على محمد وعلى آل محمد

“Dan diantara hak-hak ahlil bait nabi adalah mencintai mereka, menolong serta memuliakan mereka. Serta bershalawat kepada mereka saat tasyahud akhir sebagaimana diperintahkan oleh nabi. Maka seorang yang shalat membaca :
Ya Allah limpahkanlah shalawat bagi nabi Muhammad dan keluarganya.”

(Fatawa Islamweb no. 2685).

Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu anhua menyatakan :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih aku sukai untuk aku sambung (silaturahmi) daripada kerabatku sendiri.”
(HR. Bukhari : 3712, Muslim : 1759).

Imam Syafi’i pula menyatakan :

يـــــا أهل بيت رســول الله حُبكم ….. فرضٌ من الله في القرآنِ أنزله
يكفيكم من عظيم الفخـــر أنكم ….. من لم يصل عليكم لا صلاة له

“Wahai ahli bait Rasulullah, mencintai kalian
adalah kewajiban yang ditetapkan Allah di dalam al-Quran yang diturunkan-Nya
Cukup bagi kalian dari kebanggaan terbesar yang ada
bahwa orang yang tidak bershalawat kepada kalian (di dalam shalat), maka tidaklah sah shalatnya.”
(I’anatut Thalibin : 1/200).

Akan tetapi penisbatan atau klaim sebagai keturunan nabi ini banyak disalahgunakan oleh manusia. Untuk mendapatkan simpati kaum muslimin dengan cara-cara mungkar. Diantaranya yang pernah dilakukan oleh sekte Ubaidiyin yang mengklaim secara dusta bahwa mereka adalah keturunan Fatimah radhiyallahu anha, padahal hakikatnya mereka adalah orang-orang zindiq yang kental bernuansa majusi.

Dan karena memang sangat sulit sekali pembuktian atas hal tersebut. Namun yang mesti kita fahami bersama, bahwa kemuliaan nasab itu tidak menjamin keselamatan seseorang di dunia dan akhirat. Bukankah Anak Nuh juga putra dari seorang nabi?
Dan masih banyak sekali contoh yang lain dalam masalah ini. Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa.”
(QS al-Hujurat : 13)

Allah ta’ala juga berfirman :

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.”
(QS. Al Mu’minun: 101).

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا أُمَّ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ اشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَا مِنْ اللَّهِ لَا أَمْلِكُ لَكُمَا مِنْ اللَّهِ شَيْئًا سَلَانِي مِنْ مَالِي مَا شِئْتُمَا

“Wahai Bani Abdi Manaf, selamatkan diri kalian dari adzab Allah!. Wahai Bani ‘Abdi al-Muthallib, selamatkan diri kalian dari adzab Allah!. Wahai Ummu Zubair bin ‘Awwam, bibi Rasulullah, wahai Fathimah bintu Muhammad, selamatkan diri kalian dari adzab Allah. Aku tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku harta sesuka kalian”
(HR. Bukhari : 3527).

Maka yang terpenting bagi setiap orang Islam apakah dia orang biasa maupun sayyid adalah berlomba dalam kebaikan, mempelajari sunnah-sunnah nabi, mengamalkan serta mendakwahkannya kepada manusia dan bersabar di atas jalan dakwah ini.

Menjadi pengusung dakwah tauhid, menjaga kewibawaan dakwah tauhid serta berupaya untuk meredam berbagai praktek kesyirikan dan kebid’ahan yang menodai tauhid serta sunnah. Karena itulah bukti cinta kita kepada Allah dan Rasul Nya.

Semoga bermanfaat,
Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Abul Aswad Al Bayati حفظه الله
Senin, 02 Rabiul Awwal 1442 H/ 19 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Faidah Seputar Tauhid

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Hakikat tauhid yang menjadi tujuan penciptaan manusia

Tauhid rububiyyah adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Misalnya, meyakini Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemberi rezeki, penguasa, dan pemilik seluruh alam, yang memuliakan dan merendahkan, yang mahakuasa atas segala sesuatu, yang mengatur siang dan malam, dan yang menghidupkan dan mematikan. Allah Ta’ala telah menetapkan fitrah pada seluruh manusia untuk mengakui keesaan Allah Ta’ala dalam hal rububiyyah ini. Bahkan kaum musyrikin sekalipun yang melakukan ibadah kepada selain-Nya juga mengakui keesaan-Nya dalam hal rububiyyah [1].

Barangsiapa yang mengakui tauhid rububiyyah, maka wajib baginya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala – semata – sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Barangsiapa yang mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah pencipta dirinya, pemberi rezeki baginya, dan yang mencurahkan kepadanya segala bentuk kenikmatan, maka wajib atasnya untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala atas hal itu dengan cara beribadah kepada-Nya semata dan tidak kepada selain-Nya [2].

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil (bodoh) dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan Anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam …” [3].

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ ٢٥

“Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu (Muhammad) seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tiada sesembahan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiyaa: 25)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dakwah para rasul ialah mengajak kepada tauhid dan meninggalkan syirik. Setiap rasul berkata kepada kaumnya,

قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓۖ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا مُفۡتَرُونَ ٥٠

“Wahai kaumku, sembahlah Allah (semata), tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Hud: 50)

Inilah kalimat yang diucapkan oleh Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad, dan segenap rasul ‘alaihimush shalatu was salam [4].

Tauhid yang menjadi tujuan penciptaan dan hikmah diutusnya para rasul itu adalah tauhid uluhiyyah atau disebut juga tauhid al-qashd wa ath-thalab, yaitu mengesakan Allah dalam hal keinginan dan tuntutan, mengesakan Allah dalam beribadah. Maksudnya, beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Adapun tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat, disebut juga tauhid al-‘ilmi wal i’tiqad, maka kebanyakan umat manusia telah mengakuinya. Dalam hal tauhid uluhiyyah, atau tauhid ibadah, kebanyakan mereka menentangnya. Ketika rasul berkata kepada mereka,

قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ

“(Hud berkata), “Sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raf: 65)

mereka (kaum Nabi Hud) berkata,

قَالُوٓاْ أَجِئۡتَنَا لِنَعۡبُدَ ٱللَّهَ وَحۡدَهُۥ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعۡبُدُ ءَابَآؤُنَا

“Mereka berkata, ‘Apakah kamu datang kepada kami agar kami hanya beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?’” (QS. Al-A’raf: 70)

Orang-orang musyrik Quraisy pun mengatakan,

أَجَعَلَ ٱلۡأٓلِهَةَ إِلَٰهٗا وَٰحِدًاۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٌ عُجَابٞ ٥

“Apakah dia (Muhammad) hendak menjadikan sesembahan yang banyak ini menjadi satu sesembahan saja. Sesungguhnya hal ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5) [5]

Tauhid inilah jenis tauhid yang paling agung. Tauhid yang paling penting. Tauhid ini pun telah mencakup jenis-jenis tauhid yang lainnya (yaitu tauhid rububiyyah dan asma’ wa shifat, pent). Tauhid inilah yang menjadi tujuan penciptaan jin dan manusia serta misi dakwah para rasul. Tauhid inilah yang menjadi muatan pokok kitab-kitab yang diturunkan Allah. Di atas perkara tauhid inilah ditegakkan hisab kelak di akhirat. Disebabkan persoalan tauhid inilah orang akan masuk surga atau neraka. Dan dalam hal tauhid inilah, akan terjadi persengketaan antara para rasul dengan umat-umatnya kelak di hari kiamat [6].

Pembagian tauhid menjadi tiga 

Mentauhidkan Allah Ta’ala dalam hal rububiyyah maksudnya adalah meyakini bahwa Allah itu esa dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya seperti mencipta, memberikan rezeki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur segala urusan di alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam perkara-perkara ini [7].

Mentauhidkan Allah dalam hal uluhiyyah maksudnya adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti dalam berdoa, merasa takut, berharap, tawakal, isti’anahisti’adzahistighotsah, menyembelih, bernazar, dan sebagainya. Oleh sebab itu, ibadah-ibadah itu tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya siapa pun ia; apakah dia malaikat ataupun nabi, terlebih lagi selain mereka [7].

Mentauhidkan Allah Ta’ala dalam hal asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan segala nama dan sifat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala sendiri atau oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaan-Nya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tanpa tamtsil (menyerupakan), tanpa tahrif (menyelewengkan), tanpa ta’wil (menyimpangkan), dan tanpa ta’thil (menolak), serta menyucikan Allah Ta’ala dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya [7].

Pembagian tauhid ini bisa diketahui dari hasil penelitian dan pengkajian secara komprehensif terhadap dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah [7]. Pembagian tauhid menjadi tiga semacam ini adalah perkara yang menjadi ketetapan dalam madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka barangsiapa menambahkan menjadi empat atau lima macam itu merupakan tambahan dari dirinya sendiri. Karena para ulama membagi tauhid menjadi tiga berdasarkan kesimpulan dari Al-Kitab dan As-Sunnah [8].

Semua ayat yang membicarakan tentang perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala, maka itu tercakup dalam tauhid rububiyyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang ibadah, perintah untuk beribadah dan ajakan kepadanya, maka itu mengandung tauhid uluhiyyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka itu mengandung tauhid asma’ wa shifat [9].

Hubungan (kaitan) antara ketiga macam tauhid tersebut di atas

Kaitan antara ketiga macam tauhid ini adalah; bahwa tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat mengonsekuensikan tauhid uluhiyyah. Adapun tauhid uluhiyyah mengandung keduanya. Artinya, barangsiapa yang mengakui keesaan Allah dalam hal uluhiyyah, maka secara otomatis dia pun mengakui keesaan Allah Ta’ala dalam hal rububiyyah dan asma’ wa shifat.

Orang yang meyakini bahwa Allah Ta’ala lah sesembahan yang benar (sehingga dia pun menujukan ibadah hanya kepada-Nya), maka dia tentu tidak akan mengingkari bahwa Allah lah Dzat yang menciptakan dan memberikan rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, dan bahwasanya Allah memiliki nama-nama yang terindah dan sifat-sifat yang mulia [10].

Adapun orang yang mengakui tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat, maka wajib baginya untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyyah). Orang-orang kafir yang didakwahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui tauhid rububiyyah. Akan tetapi, pengakuan ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka supaya mereka beribadah kepada Allah Ta’ala semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Oleh sebab itu, di dalam Al-Qur’an seringkali disebutkan penetapan tauhid rububiyyah sebagaimana yang telah diakui oleh orang-orang kafir dalam rangka mewajibkan mereka untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dalam hal ibadah [10].

Di antara ketiga macam tauhid di atas, maka yang paling dituntut adalah tauhid uluhiyyah. Sebab itulah perkara yang menjadi muatan pokok dakwah para rasul dan sebab utama diturunkannya kitab-kitab, dan karena itu pula ditegakkan jihad fi sabilillah. Hal ini supaya hanya Allah Ta’ala yang disembah dan segala sesembahan selain-Nya ditinggalkan [9].

Seandainya tauhid rububiyyah itu sudah cukup, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu memerangi orang-orang kafir di masa itu. Bahkan itu juga berarti tidak ada kebutuhan untuk diutusnya para rasul. Maka ini menunjukkan bahwa sesungguhnya yang paling dituntut dan paling pokok adalah tauhid uluhiyyah. Adapun tauhid rububiyyah, maka itu adalah dalil atau landasan untuknya [11].

Demikian sedikit catatan. Semoga bermanfaat.

Penulis: Ari Wahyudi

Muslim.or.id

Catatan Kaki:

[1] Lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam ‘Aqidatu at-Tauhid, hal. 22-24.

[2] Lihat keterangan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin dalam Tahdzib Tashil Al-‘Aqidah al-Islamiyah, hal. 27.

[3] Lihat At-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22.

[4] Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 19.

[5] Lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4.

[6] Lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 54.

[7] Lihat Kutub wa Rasa’il, Abdil Muhsin, 3: 28.

[8] Lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 28.

[9] Lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29.

[10] Lihat Kutub wa Rasa’il, Abdil Muhsin, 3: 30-31.

[11] Lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 30.

Isi Piagam Madinah Beserta Penjelasannya

Setelah hijrahnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam ke kota madinah, dan berdirinya pondasi-pondasi masyarakat islam disana, maka hal yang dianggap penting setelahnya adalah mengatur relasi antara kaum muslimin dan non muslim yang sama-sama tinggal di madinah.

Aturan tersebut dibuat untuk mewujudkan keamanan dan keselamatan bersama, oleh karenanya, aturan dan undang-undang ini satu sisi ditujukan untuk mengatur hubungan sesama muslim itu sendiri, dan di sisi yang lain juga digunakan untuk mengatur hubungan kaum muslimin dengan tetangga mereka dari kabilah-kabilah lain non muslim yang tinggal bersama di madinah.

Dan karena keberadaan kabilah-kabilah yahudi adalah kabilah yang terbanyak di madinah, ini menjadikan nantinya pasal-pasal yang berkaitan dengan pengaturan hubungan dengan mereka dalam piagam madinah jumlahnya lebih banyak.

Dengan meneliti dan mengamati pasal-pasal yang terdapat pada piagam madinah, kita mendapati bahwa piagam tersebut sebagian mengandung pasal-pasal khusus untuk kaum muhajirin dan anshor, juga ada pasal-pasal khusus bagi yahudi yang mengatur relasi antara mereka dengan kaum mukminin, juga ada pasal-pasal umum yang lainnya mencakup aturan untuk semuanya.

1. Pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak kaum muslimin.

A. Menerangkan bahwa kaum mukminin adalah satu kesatuan ummat, pasal ini mencakup semua kaum mukminin, baik muhajirin dan anshor, dan orang-orang yang mengikuti mereka yang bergabung dengan mereka dan ikut berjihad bersama, mereka adalah satu ummat yang sama, mereka terikat dengan tali aqidah yang sama, kiblat, loyalitas dan arah mereka satu, yang dengannya menghapuskan segala bentuk fanatisme golongan dan ikatan lain selain ikatan aqidah, segala bentuk perbedaan yang menghalangi persatuan kaum mukminin harus dihapuskan.

B. Setiap kelompok dari kaum mukminin saling membantu satu sama lainnya dalam masalah penebusan tawanan (jika ada dari mereka yang tertawan oleh musuh), mereka juga tidak meninggalkan begitu saja seorang mukmin yang memiliki beban tanggungan hutang, melainkan mereka harus saling membantu untuk melunasinya, begitu juga dalam masalah bantuan pembayaran kaffarah ataupun penebusan tawanan.

Pasal ini menegaskan adanya prinsip solidaritas sosial diantara orang-orang beriman, adanya kewajiban untuk menolong orang-orang lemah dan membutuhkan.

C. Termasuk dari pasal penting dalam piagam madinah tersebut: bahwa orang-orang yang beriman lagi bertakwa, mereka bersatu padu bersikap atas orang yang melampaui batas diantara mereka, atau kepada orang yang merenggut harta tanpa haq, secara dzolim, penuh permusuhan dan menimbulkan kerusakan di tengah kaum mukminin. Mereka harus sepakat memberi hukuman atas pelaku perbuatan buruk tersebut, bahkan walaupun yang melakukan hal itu adalah salah satu dari keturunan mereka sendiri. Pasal ini mewajibkan bagi orang-orang yang beriman untuk memberi pertolongan kepada orang-orang terdzolimi, dan wajibnya memberi hukuman kepada para perusak dan orang-orang yang melampaui batas.

Penyebutan lafadz “orang beriman dan bertakwa” pada pasal ini sebabnya karena merekalah orang-orang yang paling bersemangat menerapkan syariat dibandingkan yang selainnya.

D. Pasal selanjutnya: seorang mukmin tidak boleh menghukum mati mukmin yang lain karena ia menghilangkan nyawa seorang kafir, juga tidak boleh menolong/membela orang kafir untuk menindas orang mukmin. Pada pasal ini menegaskan penguatan hubungan antara orang-orang beriman, dan kelaziman untuk saling loyal diantara mereka, juga pasal ini menerangkan bahwa darah/nyawa seorang kafir tidak sepadan dengan darah orang beriman.

2. Pasal-pasal terkait hubungan sesama yahudi dan hubungan mereka dengan kaum mukminin.

E. Orang-orang yahudi bersama orang-orang beriman membayar iuran selagi mereka dalam kondisi perang, ini berkaitan dengan pembayaran iuran modal/dana perang bersama, sebagai anggaran perang untuk melindungi kota madinah.

F. Bahwa qabilah yahudi bani auf terhitung satu ummat bersama orang-orang beriman, namun bagi yahudi hak untuk memegang keyakinan mereka, dan bagi mukminin hak untuk memeluk agama mereka, dan untuk sebagian qabilah yahudi bani najjar dan qabilah lain selain mereka, mempunyai hak sebagaimana qabilah bani auf, kecuali bagi orang yang mendzolimi diri mereka sendiri, melakukan kemungkaran, maka tidak ada sesuatu yang membinasakan kecuali ulah diri mereka sendiri.

Pasal ini memberikan batasan hubungan antara yahudi dengan kelompok mukminin, mereka (yahudi) dianggap sebagai bagian penduduk negeri islam (madinah), kebebasan beragama mereka ditanggung selagi mereka masih konsisten patuh menunaikan aturan-aturan wajib yang disepakati.

G. Tidak boleh memberikan suaka/bantuan kepada musyrik quroys dan sekutu mereka, pasal ini khusus mengatur masalah relasi antara yahudi dengan orang musyrik lainnya, mereka (yahudi) tidak diizinkan menjalin persekutuan dengan quroys dan qabilah selainnya yang memusuhi islam.

H. Tidak seorangpun dari kalangan yahudi boleh keluar kecuali atas seizin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, konsekuensi dari pasal ini adalah terhalanginya yahudi dari melakukan aktifitas militer untuk melawan mukminin, ini di luar dari lingkup dan batasan kota madinah, karena jikalau yahudi melakukan aktifitas itu, bisa berpengaruh pada stabilitas keamanan dan perekonomian madinah.

I. Masing-masing dari yahudi menanggung nafkah mereka sendiri, sebagaimana mukminin menanggung beban nafkah mereka sendiri, dan bagi mereka semua untuk saling menolong dan membantu jika ada yang memerangi pemilik kesepakatan piagam madinah ini, bagi mereka untuk saling menasehati dan menolong orang yang terdzolimi.

3. Pasal-pasal umum untuk semua.

J. Hal yang terjadi diantara para pihak yang menyepakati piagam madinah berupa perselisihan yang berpotensi memunculkan kerusakan, maka dikembalikan urusannya kepada Aturan Allah dan RasulNya shallallahu alaihi wa sallam.

Pasal ini menegaskan tentang rujukan tertinggi dalam setiap urusan dan perkara yang ada di madinah, sebagai antisipasi munculnya pergolakan dan krisis di interen penduduk madinah.

K. Kota yatsrib/madinah adalah kota yang haram atas penduduknya, haram maksudnya adalah tidak boleh dicederai, digerogoti kehormatannya, tidak ditebang pohonnya, juga tidak diburu hewannya.

Pasal ini menjelaskan batas wilayah tanah haram madinah, penanggungan keamanan di dalamnya, juga penentuan batasan tidak bolehnya memunculkan pergolakan dan permasalahan yang mengancam keamanan dan stabilitas di madinah.


Pasal-pasal yang ada dalam piagam ini dibangun diatas nash-nash yang valid, di atas kaidah-kaidah syari dan maslahat yang diakui secara pandangan agama, diantaranya firman Allah ta’ala:

لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
(Al-Mumtahanah:8)

Juga hadist Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

المسلمون تتكافأ دماؤهم يسعى بذمّتهم أدناهم و يجيرو عليهم أقصاهم وهم يدٌ على من سواهم يردُّ مشدّهم على مضعفهم و مسرعهم على قاعدهم لا يقتل مؤمن بكافر ولا ذو عهد في عهدهم

“Darah kaum muslimin itu sederajat, yang terbawah dari mereka berusaha menjaga dzimmah (perjanjian) mereka dan yang teratas mereka memberi perlindungan. Mereka sama dalam memberikan suaka kepada selain mereka. Yang kuat membantu yang lemah, yang cepat menggandeng yang lambat. Tidak boleh seorang mukmin dibunuh karena membunuh orang kafir. Dan tidak boleh kafir mu’ahad dibunuh dalam masa perjanjian.”
(H.R Ahmad dan Abu Dawud dan disohihkan oleh al-Albany).

Seorang yang jeli melihat pasal-pasal pada piagam ini akan mengetahui betapa adilnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam berinteraksi dengan orang-orang yahudi, dan betapa aturan-aturan jahiliah semua diruntuhkan dan dihapuskan, dengan mulai menanamkan pondasi-pondasi keislaman di tengah masyarakat, sebagaimana prinsip-prinsip islam tersebut mencakup semua aspek yang dibutuhkan oleh sebuah negara, semua hal yang berkaitan dengan aturan untuk meluruskan dan membetulkan sebuah negara dalam sisi manajemen dan perundangan, semua ada, aturan mengenai relasi antara setiap individu masyarakat dengan negara juga ada, sebagaimana aturan yang menata hubungan sosial antara sesama masyarakat pun ada.

Sungguh sejatinya sangat memungkinkan bahwa piagam madinah ini akan memberikan buah dan hasil positif antara mukminin dan yahudi andai saja mereka (yahudi) tidak memiliki tabiat khianat, dimana justru akhirnya mereka sendiri yang menempuh banyak cara untuk menipu dan mengkhianati Rasulillah shallallahu alaihi wa sallam dan orang-orang beriman, mereka menghancurkan nilai-nilai islam, mendustakan piagam madinah yang telah disepakati, namun usaha mereka untuk menipu kaum muslimin endingnya adalah kegagalan, sebab kegagalan mereka diantaranya karena hikmah Allah yang diberikan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan pengalaman beliau dalam mengatur urusan negara.

Tulisan ini diterjemahkan dari website “islamweb/الشبكة الاسلامية” lihat link berikut: Sumber

Wallahu a’lam

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Wahai Dunia Inilah Sayyidil Wujud Muhammad! (Bag 4)

(4) Sisi kemanusiaan beliau ketika menghadapi orang yang berdosa dan bersalah.

Sering orang memuji dan bersikap ramah terhadap orang yang berbuat kebaikan tapi ia bersikap keras terhadap orang yang berbuat salah. Tapi Nabi Muhammad Saw tidak pernah bersikap yang tidak indah bahkan kepada orang yang bersalah.

Ingatkah kita ketika seorang pemuda datang dan meminta izin untuk melakukan perbuatan zina. Semua sahabat yang mendengarnya pun marah karena pemuda ini sangat tidak sopan dihadapan Rasulullah Saw.

Tiba-tiba Rasulullah Saw berkata, “Biarkan antara aku dan dia.”

Kemudian dengan kata-kata yang sangat lembut dan teguran yang penuh kasih sayang, beliau menasehati pemuda tersebut. Tak lama kemudian pemuda itu pulang dan ia pun benci terhadap perbuatan zina tersebut.

Ingatkah kita ketika seseorang dari dusun yang tidak mengenal adab di dalam masjid tiba-tiba kencing di dalam masjid. Orang-orang disana dibuat marah dengan sikapnya, namun Rasulullah Saw hanya berkata, “Biarkan dia dan siramlah masjid ini agar kembali bersih.”

Lelaki dusun itu terharu karena Rasulullah Saw tidak marah seperti yang lain. Lalu dengan kepolosannya ia berdoa, “Ya Allah berilah kasih sayang untukku dan Muhammad dan jangan beri yang lain.”

Rasulullah Saw berkata, “Jangan engkau berdoa seperti itu. Mintalah untukku, untukmu dan untuk seluruh manusia.”

Ingatkah kita dengan seorang pemuda bersama Salamah. Ketika Fathu Mekah Rasul Saw memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan. Tiba-tiba Salamah yang masih muda ini mengejek suara Bilal yang sedang adzan.

Tak lama kemudian Rasul Saw memanggil Salamah. Ia pun ketakutan karena ia yakin Rasul Saw pasti akan memarahinya. Tapi tak disangka, ketika ia datang Rasulullah Saw menyambutnya dengan hangat lalu beliau berkata :

“Aku dengan suaramu sangatlah indah wahai Salamah.”

Dengan penuh rasa malu Salamah menjawab, “Iya wahai Rasulullah.”

Dengan lembut Rasul Saw berkata, “Maukah engkau aku ajarkan adzan ?”

Salamah terkejut dan berkata, “Benarkah engkau akan mengajarkanku adzan wahai Rasulullah ?”

Beliau menjawab, “Iya.”

Dan akhirnya Salamah menjadi Muadzin di Mekah setelah Rasulullah Saw bersama Bilal dan para sahabatnya kembali ke Madinah.

(5). Sisi kemanusiaan beliau ketika menghadapi tawanan.

Rasulullah Saw tetap memberikan makanan, minuman dan tempat tinggal yang layak kepada tawanan yang sebelumnya memusuhi beliau. Bahkan tak sedikit dari tawanan tersebut yang masuk Islam karena perlakuan baik Rasulullah Saw kepada mereka.

Ingatkah kita dengan kisah Saffanah putri Hatim ketika ia di tawan. Ia menghadap kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Muhammad, aku adalah Saffanah putri Hatim. Ayahku adalah seorang yang biasa membantu dan menolong orang-orang yang membutuhkan.”

Rasulullah Saw menjawab, “Aku bebaskan engkau karena ayahmu.”

“Apakah hanya aku?” tanya Saffanah.

“Engkau dan orang-orang yang kau pilih dari kabilahmu.” jawab Rasulullah Saw.

Ingatkah kita ketika orang-orang yang selama bertahun-tahun memusuhi Rasulullah Saw merasa ketakukan disaat Fathu Mekah. Tak disangka, Rasulullah Saw berkata kepada mereka :

“Pergilah, aku telah bebaskan kalian dan aku telah memaafkan kalian.”

Dan banyak sekali kisah-kisah beliau dalam menghadapi tawanan. Walau mereka adalah orang-orang yang memerangi Rasulullah Saw tapi jiwa kemanusiaan beliau mengalahkan semua itu.

(6). Sisi kemanusiaan beliau terhadap wanita.

Adat Jahiliyah sangat merendahkan dan melecehkan wanita, bahkan bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Kemudian Rasulullah Saw datang dan mendobrak semua adat busuk itu.

Beliau bersabda :

مَا أَكرَمَ النِّسَاء إِلَّا كَرِيم وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلَّا لَئِيم

“Tidaklah seorang memuliakan wanita kecuali ia adalah orang mulia. Dan tidaklah ia menghinakan wanita kecuali dia adalah orang yang hina.”

Dan begitu pula dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyamakan posisi wanita dan lelaki di hadapan Allah Swt seperti dalam ibadah dan selainnya.

Inilah sekilas gambaran indahnya kemanusiaan yang ditampilkan oleh Sayyidul Wujud Muhammad Saw. Dunia belum mengenal hak-hak manusia tapi Rasulullah Saw telah memperkenalkannya dengan keindahan Islam.

Mari kita petik pelajaran dari Rasulullah Saw tentang bagaimana cara memanusiakan manusia dan menghormati sesama. Tentang bagaimana menjaga kedamaian dan mensejahterakan sesama. Dan tentang bagaimana membela orang-orang tertindas dan melawan kaum yang semena-mena.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

7 Amalan yang Pahalanya Setara Haji dan Umroh

Pergi ke tanah suci merupakan impian semua umat Muslim. Namun, untuk melaksanakan ibadah haji atau umroh tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama.

Dilansir dari laman rumahfiqih.com oleh Ustadz Hanif Luthfi, dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Ibadah umroh ke ibadah umroh berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga, (HR Bukhari dan Muslim).

Ustadz Hanif Luthfi menjelaskan ada tujuh amalan yang jika diamalkan bisa berpahala haji atau umroh. Amalan ini ada yang ringan dan bisa dilakukan kapanpun.

1. Umroh di bulan Ramadhan

Dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata Rasulullah pernah bertanya pada seorang wanita, “Apa alasanmu sehingga tidak ikut berhaji bersama kami?”. Wanita itu menjawab “Aku punya tugas untuk memberi minum pada seekor unta di mana unta tersebut ditunggangi oleh ayah fulan dan anaknya yang ditunggangi suami dan anaknya. Ia meninggalkan unta tadi tanpa diberi minum, lantas kamilah yang bertugas membawakan air pada unta tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda, “Jika Ramadhan tiba, berumrohlah saat itu karena umroh Ramadhan senilai dengan haji,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi berkata, “Yang dimaksud adalah umrah Ramadhan mendapati pahala seperti pahala haji. Namun bukan berarti umrah Ramadhan sama dengan haji secara keseluruhan. Sehingga jika seseorang punya kewajiban haji, lalu ia berumrah di bulan Ramadhan, maka umrah tersebut tidak bisa menggantikan haji tadi,”(Syarh Shahih Muslim, 9:2).

2. Berbakti kepada orang tua

Dari Anas bin Malik r.a., ia berkata “Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah SAW dan ia sangat ingin pergi berjihad namun tidak mampu. Rasulullah bertanya, apakah salah satu dari kedua orang tuanya masih hidup, ia menjawab ibunya masih hidup.

Rasul pun berkata kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah dengan berbuat baik pada ibumu. Jika engkau berbuat baik padanya, maka statusnya adalah seperti berhaji, berumroh, dan berjihad,” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 5/234/4463 da n Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman 6/179/7835).

3. Sholat fardhu jamaah di Masjid

Dari Abu Umamah r.a., Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa yang berjalan menuju shalat wajib berjamaah, maka ia seperti berhaji. Siapa yang berjalan menuju shalat sunnah, maka ia seperti melakukan umrah yang sunnah,”(HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir).

Dalam hadits lain, dari Abu Umamah r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci menuju shalat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji. Barangsiapa keluar untuk shalat Sunnah dhuha, yang dia tidak melakukannya kecuali karena itu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumroh. Dan (melakukan) shalat setelah shalat lainnya, tidak melakukan perkara sia-sia antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘illiyyin (kitab catatan amal orang-orang shalih),”(HR. Abu Daud; Ahmad).

4. Melakukan sholat dhuha atau isyraq

Sholat dua rakaat di waktu awal hari, dimulai dengan shalat shubuh berjamaah di masjid, tidak pulang ke rumah melainkan duduk berdzikir, sampai matahari benar-benar terbit, maka pahalanya setara haji dan umroh. Dijelaskan dari hadits dari Abu Umamah r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjamah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna,” (HR Thabrani).

5. Menghadiri majelis imu di masjid

Dari Abu Umamah r.a., Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa yang berangkat ke masjid yang ia inginkan hanyalah untuk belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan, ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna hajinya,” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir).

6. Membaca tasbih, tahmid, dan takbir setelah sholat

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Ada orang-orang miskin datang menghadap Nabi SAW. Mereka berkata, orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah. Nabi Muhammad lantas berkata, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya dapat terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap akhir shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.” Kami pun berselisih. Sebagian kami bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali padanya. Rasulullah SAW bersabda, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali,” (HR. Bukhari, no. 843).

7. Bertekad untuk berhaji

Bagi umat Muslim yang memiliki uzur namun mempunyai tekad kuat dan sudah ada usaha untuk melakukannya, maka dicatat seperti melakukannya. Misal, ada yang sudah mendaftarkan diri untuk berhaji, namun ia meninggal dunia sebelum berangkat, maka ia akan mendaptkan pahala haji.

Sama seperti yang Rasulullah SAW katakan, dari Jabir r.a., ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi Muhammad SAW, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena mendapatkan uzur sakit,” (HR. Muslim). 

Sumber: https://www.rumahfiqih.com/fikrah-578-7-amalan-pahalanya-setara-ibadah-haji-dan-umrah-.html

IHRAM



Hukum Ucapan Baarakallah Fii Umrik Saat Ulang Tahun

Ust, skrg klo tiba hari ulang tahun, tmn2 pada doain baarakallah fii Umrik (mg Allah berkahi umurmu). Sebagai ganti happy birthday to you, agar islami katanya. Sbnrnya hukum nya boleh kah Ust?

Jawaban:

Bismillah wal hamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala rasulillaah, wa ba’du.

Kita sedikit mengulas tentang hukum ulang tahun. Walaupun alhamdulillah, banyak tulisan dan ceramah para ustadz, yang menjelaskan tentang hukum ulang tahun. Tapi tidak mengapa kita singgung kembali, sebagai pengantar menemukan jawaban pertanyaan di atas.

Hukum ulang tahun dalam Islam adalah haram. Karena dalam ulang tahun, mengandung unsur menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan keras,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud, shahih)

Sekarang kita coba menyentuh inti dari jawaban pertanyaan di atas:

Jika ulang tahun yang dirayakan sebagai perayaan biasa (diniati mubah) saja, artinya tidak ada niat ibadah, hukumnya haram, terlebih jika ulang tahun diniatkan sebagai ibadah, lebih parah keharamannya. Karena ulang tahun seperti ini telah:

Pertama, menodai ibadah dengan perbuatan tasyabbuh dengan orang kafir.
Dan jelas, bahwa dosa yang dikerjakan dalam saat-saat ibadah, lebih besar dosanya daripada di luar momentum ibadah.

Kedua, terjatuh pada perbuatan bid’ah.
Karena saat ulang tahun diniatkan sebagai ibadah, maka kegiatan ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bernilai bid’ah. Merayakan ulang tahun apakah ada tuntunannya dari Nabi? Dari Abu Bakr As-Shidiq? Umar bin Khattab? ‘Utsman bin Affan? Ali bin Abi Thalib dan sahabat Nabi lainnya?

63 tahun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia ini. Namun, tak pernah ada riwayat yang menjelaskan beliau merayakan ulang tahun.

Adapun soal puasa sunah senin, Nabi lakukan bukan karena Nabi merayakan ulang tahunnya. Tapi dalam rangka ibadah, mengingat mulianya hari itu. Hari yang dipilih Allah sebagai hari beliau menerima wahyu dan diangkatnya amal.

Beliau bersabda,

فيه ولدت وفيه أنزل علي

“Di hari Senin itu aku dilahirkan dan aku mendapatkan wahyu.” (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda,

تعرض الأعمال يوم الإثنين والخميس، فأحب أن يعرض عملي وأنا صائم

“Amal ibadah dilaporkan kepada Allah setiap hari Senin dan Kamis. Aku senang jika saat amalku sedang dilaporkan, aku sedang kondisi puasa.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Sehingga akibatnya, terkena ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan amal (ibadah) yang bukan berasal dari (ajaran) kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sejelek-jelek urusan adalah (urusan agama) yang diada-adakan, setiap (urusan agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An-Nasa’i, shahih)

Saat ulang tahun diungkapkan/dirayakan dengan doa baarakallah fii umrik (semoga Allah memberkahi umurmu), itu lebih kental nilai mubahnya atau ibadahnya? Tentu nilai ibadahnya. Karena nuansa islami dan semua muslim paham, bahwa doa adalah ibadah. Sehingga lengkaplah keburukan pada ulang tahun yang diyakini lebih ‘islami’ ini, keburukan tasyabbuh yang dikemas dengan ibadah. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tasyabbuh kena, bid’ah pun kena.

Maka, bungkus itu tidak merubah hakikat. Seperti riba yang disebut bunga. Atau suap yang dibahaskan sedekah. Zina yang disebut suka sama suka. Hukumnya tetap sama, haram.

Sama juga seperti ulang tahun yang dibahasakan “baarakallah fii Umrik”.
Fenomena ini pernah disinggung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ليشرَبنَّ ناسٌ من أمَّتي الخمرَ يُسمُّونَها بغيرِ اسمِه

“Di antara umatku benar-benar akan ada orang yang minum khamr (minuman keras), kemudian ia namai khamr dengan nama selain khamr.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, shahih)

Benar apa yang dikatakan oleh sebuah kaidah,

الأسماء لا تغيِّر الحقائق

“Nama/sebutan tidak merubah hakikat.”

Walhamdulillahi rabbil’aalamiin.

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc. (Pengajar di PP Hamalatul Quran DIY & Pengasuh TheHumairo.com)

KONSULTASI SYARIAH

Uang Bantuan UMKM dari Pemerintah Apakah Boleh Diambil?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang uang bantuan UMKM dari pemerintah apakah boleh diambil?
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Alloh selalu jaga ustadz dan keluarga serta kaum muslimin dimanapun berada, aamiin.

Ustadz kami ada usaha kecil kecilan di rumah. Selama pandemi ini ada bantuan UMKM sebesar 2.4 juta tetapi harus membuat proposal, tetapi kami ragu ragu karena pencairannya di Bank konvensional dan sumber dananya tidak tahu apakah dari bank konvensional tersebut atau Bank tersebut hanya mitra kerja saja dari sumber dana pemerintah itu.
mohon nasehatnya Ustadz karena kami TAKUT RIBA.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Jika dana tersebut merupakan murni bantuan dari pemerintah, maka tidak masalah anda menerimanya, dan tidak ada keharusan bagi anda untuk mencari sumber dana tersebut.
Walaupun dana tersebut merupakan dana riba, jika anda membutuhkan, maka anda berhak menerimanya.

BACA JUGA

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin pernah berfatwa ketika ditanya apakah boleh menerima nafkah dari ayah yang bekerja di bank ribawi:

خذوا النفقة من أبيكم، لكم الهناء وعليه العناء لأنكم تأخذون المال من أبيكم بحق؛ إذ هو عنده مال وليس عندكم مال، فأنتم تأخذونه بحق، وإن كان عناؤه وغرمه وإثمه على أبيكم فلا يهمكم، فها هو النبي -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- قبل الهدية من اليهود، وأكل طعام اليهود، واشترى من اليهود، مع أن اليهود معروفون بالربا وأكل السحت، لكن الرسول -عليه الصلاة والسلام- يأكل بطريق مباح، فإذا ملك بطريق مباح فلا بأس

“Ambilah nafkah dari ayah kalian, nikmatnya untuk kalian, dosa dia yang nanggung, karena kalian mendapatkan harta tersebut dengan cara yang dibenarkan. Karena harta tersebut berasal darinya bukan dari kalian.
Kalian mendapatkannya dengan cara yang dihalalkan, walaupun dosa, dan kerugiannya ditanggung olehnya, maka tidak hubungannya dengan kalian. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu menerima hadiah, makan dan membeli dagangan orang yahudi, padahal orang yahudi terkenal dengan muamalah riba. Akan tetapi nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakannya dengan jalur yang dibenarkan, jika barang tersebut dimiliki dengan cara yang mubah, maka tidak mengapa”
(Sumber : fatwa Syaikh Muhammad Bin Sholeh Al Utsaimin).

Wallahu a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Selasa, 17 Rabiul Awwal 1442 H / 03 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Wabah Corona, Tasawuf dan Tawakal

Akhir-akhir ini banyak ujaran bahwa kita umat Islam kurang tawakal jika tidak ke masjid hanya karena Corona. Katanya, mana sisi tasawuf dan takawal jika meninggalkan masjid dengan alasan demikian? Lalu benarkah kalau sepinya tanah suci akibat wabah corona juga tanda-tanda kiamat seperti yang dikatakan sebagian orang? Katanya di mana sisi syariatnya, sebab ini seolah-olah takut pada sesuatu yang diciptakan Allah.

Baik, mari kira uraikan satu persatu agar jelas. Jika corana bukan thaun yang dimaksud dalam hadis, maka keputusan pemerintah Saudi yang menutup Masjid Nabawi Syarif sudah benar secara fiqih. Karena khusus pada Madinah ada keistimewaan tentang thaun. Paling tidak secara zahir hadis, jika saya membaca secara khusus bab ini, kalau ada ulama yang mu’tamad (selain muashirin) menafsirkan lain maka saya akan ikut ulama itu, karena keluar dari khilaf lebih utama. Dan itu khusus untuk Madinah.

Adapun daerah lain, sudah tepat melakukan pelarangan shalat jamaah di masjid, itu bukan anjuran, tapi larangan, memaksa melakukannya itu haram hukumnya. Lah shalat jamaah di masjid kok haram? Siapa bilang shalat jamaah di masjid haram? Jangan memotong fatwa ulama, “shalat jamaah di masjid ketika masa wabah” yang diharamkan, karena bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain, bukan shalat jamaah di masjid yang haram tapi ada tambahan “ketika wabah”. Itulah bayan hukum syariat. Tentu jika fatwa ulama sudah keluar.

Jadi walau memaksa diri shalat jamaah di masjid saat keadaan wabah, di situlah manusia dicoba, apa dia shalat jamaah di masjid karena keinginannya atau karena perintah Allah? Apa karena sayang kepada tempat atau karena Tuhan yang memerintahkannya untuk memuliakan dan mencintai tempat tersebut, jika cinta masjid karena Allah swt bukan karena kepuasan pribadi, maka saat Tuhan memerintahkan untuk meninggalkan masjid kita harus meninggalkannya, karena kita tidak menyembah masjid yang sangat kita cintai, tapi kita menyembah Allah yang memerintahkan kita untuk mencintai masjid.

Ibarat orang wudhu, kadang kita harus meninggalkan wudhu karena perintah Allah, saat ada luka yang membuat kita celaka jika bersikeras wudhu misalnya. Maka ibadah kita adalah meninggalkan wudhu sambil menangis menginginkannya. Tak apa tetap mencintai wudhu, tapi kita harus lebih mencintai Dzat yang memerintahkan wudhu sampai kita mencintainya. Begitu juga dengan shalat jamaah.

Lalu dimanakah tawakalnya? Itulah bentuk tawakal yang sebenarnya, tawakal bukan menuruti keinginan hati, tapi menuruti keinginan Tuhan dan perintahnya, saat Tuhan memerintahkan a kita ikut, diperintahkan untuk meninggalkan juga ikut, diperintahkan untuk melakukan b ikut juga, seperti itulah kita bertawakal dan berserah diri pada Tuhan, kita hanya ikut pada perintahnya, walau itu berat. Tidak hanya fisik tapi juga berat hati. Perintah dan larangan Tuhan itulah yang dinamakan syariat.

Tasawuf kita itu adalah tasawuf yang diarahkan oleh syariat, tidak ada tasawuf tanpa syariat. Dalam ahlussunnah yang melihat konsep tasawuf yang terpisah dari syariat itu hanya dilakukan zindiq dan orang yang hilang akal atau minimal jahil.

Lalu masalah pengkhususan wabah thaun di Madinah, mungkin konsep tawakal bisa dipakai karena ada nash yang mengistimewakan Madinah, tapi tentu saja itu bagi orang yang punya keyakinan tinggi, adapun di luar itu kita tetap mengambil rukhsah, karena tidak semua orang tingkat keimanannya tinggi. Tapi lagi-lagi itu karena ada nash syariat. Yang tidak ada nash? Ya tidak boleh, sebab konsep tawakal harus sejalan dengan syariat.

Jadi ketika berbicara tentang salah satu konsep tasawuf yaitu tawakal, maka itu juga harus dengan syariat, karena bagaimana kita tawakal kalau kita tidak ikut perintah Dzat yang menjadi tempat kita bertawakal.

Kita bukan jabariyah. Mati memang takdir Allah, tapi menghindarinya pada waktu tertentu adalah perintah Allah, seperti kata Umar radhiyallahu anhu ketika wabah penyakit menyerang “kita hindari takdir Allah, menuju takdir Allah yang lain”. Itulah tawakal yang dipraktekan Sahabat Nabi saw.

Lalu kenapa mall dan cafe tidak ditutup? Ya di tempat itu tidak semua orang peduli dengan syariat Tuhan, masa yang di masjid harus ikut melanggar syariat tuhan sih? Jika ada orang lain melakukan yang haram, masa anda yang sering jamaah juga melakukan hal yang sama.

Jadi jika anda ingin ibadah saat ini, maka beribadahlah dengan cara yang lain, yaitu tetap di rumah. Karena itu perintah Tuhan untuk waktu ini, bukan shalat jamaah di masjid, ini yang dinamakan dalam fiqih dengan “ibadatul waqt” yaitu ibadah yang sesuai waktu. Sehingga pahala berdiam rumah saat ini lebih besar daripada shalat jamaah di masjid. Sebagaimana shalat sunat habis subuh dilarang, bahkan jika kita pengen banget shalat sunnah tetap tidak boleh. Karena pahala terbesar saat itu bukan shalat sunat tapi yang diperintahkan saat itu adalah zikir sampai syuruq (terbit mentari) lalu shalat dhuha 2 rakaat.

Syariat yang mirip dengan itulah yang kita praktekkan sekarang. Menyepelekan asbab itu sama dengan menyepelekan syariat, karena syariatlah yang mengatur sebab. Jadi jangan pisahkan antara tawakal dengan syariat. Karena dengan ikut syariatlah kira benar-benar bertawakal. Wallahu’alam.

BINCANG SYARIAH



26ribu Jemaah Umrah Tertunda, Penuhi Syarat Usia

Jakarta (Kemenag) — Pemerintah Arab Saudi berencana mulai menerima kedatangan jemaah umrah dari luar negaranya mulai 1 November 2020. Kebijakan ini kembali diambil setelah sejak 27 Februari, kedatangan jemaah umrah dari luar Saudi ditutup. Namun, Arab Saudi memberlakukan kriteria usia, 18 – 50 tahun. 

Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Arfi Hatim mengatakan, total ada 59.757 jemaah umrah Indonesia yang sudah mendapatkan nomor registrasi, namun terdampak oleh kebijakan Saudi karena pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) sehingga tertunda keberangkatannya. Mereka sudah mendaftar di Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan sudah diinput dalam Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (SISKOPATUH).

Dari jumlah itu, sebanyak 2.601 (4%) berusia di bawah 18 tahun, dan 30.828 (52%) jemaah berusia di atas 50 tahun. “Ada 26.328 jemaah atau 44% dari mereka yang sudah mendapat nomor registrasi, berusia 18 sampai 50 tahun. Mereka masuk dalam kriteria yang dipersyaratkan Saudi untuk berangkat umrah di masa pandemi ini,” terang Arfi di Jakarta, Kamis (29/10).

Untuk jemaah yang memenuhi kriteria usia tersebut, kata Arfi, sebanyak 21.418 orang sudah mendapatkan nomor porsi. Mereka adalah Jemaah yang sudah melakukan pembayaran. “Dari 21.418 jemaah, sebanyak 9.509 orang bahkan sudah lunas, sudah mendapat visa dan tiket keberangkatan saat terbitnya kebijakan penutupan oleh Saudi pada 27 Februari 2020,” lanjutnya.

Arfi mengatakan, jemaah yang tertunda keberangkatan dan memenuhi kriteria persyaratan akan diutamakan untuk berangkat jika Saudi memberi izin kepada Indonesia. Selain usia, ada sejumlah persyaratan lainnya yang juga harus dipenuhi, termasuk di antaranya adalah penerapan protokol kesehatan dan lainnya.

“Kami tengah memfinalkan rancangan Keputusan Menteri Agama atau KMA Penyelenggaraan Umrah di Masa Pandemi. Di situ mengatur juga persyaratan jemaah umrah. Tentu kami memperhatikan ketentuan Arab Saudi, termasuk juga ketentuan yang ditetapkan Kemenkes, Kemenkum HAM, Kemenhub, dan Satgas Covid-19 RI,” jelasnya.

“Bagi jemaah yang sudah mendaftar namun belum memenuhi syarat keberangkatan, dimohon bersabar, menunda keberangkatannya hingga pandemi berakhir,” harapnya.

(Humas)

KEMENAG RI