“Maka adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka Tuhan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Demikian itulah kemenangan yang nyata.” (QS.Al-Jatsiyah:30)
“Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS.An-Nur:52)
3. Taat kepada Allah dan Rasul serta berucap sesuatu yang benar.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.” (QS.Al-Ahzab:70)
Allah berfirman, “Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS.Al-Ma’idah:119)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS.At-Taubah:20)
“Lalu kamu jadikan mereka buah ejekan, sehingga kamu lupa mengingat Aku, dan kamu (selalu) menertawakan mereka, sesungguhnya pada hari ini Aku memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS.Al-Mu’minun:110-111)
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri mau-pun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (QS.At-Taubah:111)
Itulah beberapa ayat yang menyebutkan beberapa sebab-sebab agar seorang hamba bisa meraih kemenangan.
Berikut ini hadits Arbain Nawawi 15, penjelasan dan fiqih atau kandungan haditsnya. Arbain Nawawi (الأربعين النووية) adalah kumpulan hadits pilihan yang disusun oleh Imam An Nawawi rahimahullah. Jumlahnya hanya 42 hadits, tetapi mengandung pokok-pokok ajaran Islam.
Arbain Nawawi ke-15 dan Terjemah
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan Hadits
Sebagaimana hadits Arbain Nawawi ke-11, hadits ke-15 ini juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau memang paling banyak meriwayatkan hadits.
Hadits ini menghimpun akhlak mulia seorang muslim terhadap orang lain, terutama terhadap tetangga dan tamunya. Perbuatannya kepada orang lain dikaitkan erat dengan keimanannya. Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam Kitab Iman, meneguhkan bahwa iman itu keyakinan dan perbuatan. Orang yang imannya sempurna, pastilah ia menjaga lisan, memuliakan tetangga dan memuliakan tamu.
Kata liyashmut (ليصمت) terambil dari kata shamata (صمت) yang artinya diam.
Kata jaar (جار) artinya adalah tetangga. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan, batasan tetangga adalah semua orang yang menempati 40 rumah dari rumah kita. Baik ke kanan, ke kiri, ke belakang, maupun ke depan.
Sebagian ulama bahkan berpendapat tetangga adalah semua orang yang tinggal satu kampung dengannya. Hal ini berdasarkan firman Allah yang mengisyaratkan seluruh penduduk Madinah sebagai tetangga.
“Jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu) tidak menghentikan aksinya, niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” (QS. Al-Ahzab: 60)
Kata dlaif (ضيف) artinya adalah tamu. Yakni orang yang datang ke rumah kita, terutama yang berasal dari luar kota atau luar daerah. Sedangkan orang sekampung yang datang ke rumah kita memiliki istilah tersendiri yakni zaa-ir (زائر). Meskipun demikian keduanya tetap harus dimuliakan.
Kandungan Hadits dan Pelajaran Penting
Hadits ini mengandung banyak pelajaran penting. Terutama etika dasar seorang mukmin dalam berinteraksi dengan sesama manusia (hablun minan nas).
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa hadits ini juga termasuk jawami’ul kalim. Mencakup tiga hal yang menghimpun berbagai akhlak terpuji baik dalam ucapan maupun perbuatan.
Berikut ini poin-poin utama kandungan hadits Arbain Nawawi ke-15:
1. Bukti Kesempurnaan Iman
Iman bukan hanya keyakinan. Iman itu keyakinan dalam hati, perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota badan.
Hadits Arbain Nawawi 15 ini didahului dengan man kaana yu’minu billaahi wal yaumil aakhir (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ) yang menunjukkan bahwa perintah ini secara khusus ditujukan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat. Sekaligus menunjukkan bahwa apa yang disebutkan setelahnya adalah bukti kesempurnaan iman.
Ucapan yang baik, memuliakan tetangga dan memuliakan tamu adalah bukti kesempurnaan iman. Semakin baik seorang mukmin mengamalkan adab ini, semakin sempurna imannya.
“Tidak akan lurus iman seseorang hingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hatinya hingga lurus lisannya.” (HR. Ahmad; hasan)
2. Hubungan antar Anggota Masyarakat
Islam bukanlah agama individual. Ia tidak hanya mengatur hubungan individu dengan Allah, tetapi juga mengatur hubungan antar anggota masyarakat.
Islam menghendaki masyarakat yang rukun, damai serta saling membantu dalam ketaatan dan kebaikan. Karenanya ia mengatur hubungan antar anggota masyarakat dengan aturan yang mulia dan akhlak yang terpuji.
Saling menghormati, saling menghargai, saling memuliakan akan membuat masyarakat hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Sebaliknya, saling mencela dan menghina membuat masyarakat berpecah belah dan bermusuhan. Akhirnya timbul kerusakan besar dalam kehidupan.
Berkata yang baik, memuliakan tetangga dan memuliakan tamu adalah tiga etika utama dalam menjaga hubungan antar anggota masyarakat. Sekaligus menjadi pilar utama dalam membentuk masyarakat mulia. Masyarakat yang beriman dan bertaqwa sebagaimana Allah gambarkan dalam firman-Nya:
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. Al Hajj: 41)
3. Berkata yang Baik
Dalam hadits Arbain Nawawi 15 ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berkata yang baik atau diam.
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.
Ini merupakan adab berbicara yang paling utama. Jika berbicara, maka berbicaralah yang baik. Jika tidak bisa bicara yang baik, maka lebih baik diam. Sebab pembicaraan yang tidak baik bisa mengotori hati, menyakiti orang lain serta menimbulkan perpecahan dan permusuhan.
Pembicaraan yang tidak baik antara lain:
Dusta, kebohongan, hoax
Ghibah
Namimah
Fitnah
Mencela, menghina dan sejenisnya
Menyakiti orang lain
Pembicaraan yang mengumbar syahwat
Seorang muslim hendaklah menjaga lisannya sehingga hanya pembicaraan baik yang keluar dari lisannya. Tanpa menjaga lisan, takkan tercapai kesempurnaan iman.
Seorang muslim hendaklah menjaga lisannya sehingga hanya pembicaraan baik yang keluar dari lisannya. Jangan sampai ia membuat saudaranya terganggu atau merasa tidak aman. Rasulullah bersabda dalam hadits yang Imam Bukhari dan Imam Muslim riwayatkan:
Muslim sejati adalah orang yang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan seorang muslim perlu meninggalkan pembicaraan yang tidak bermanfaat (مالايعنيه) sebagaimana kandungan hadits Arbain Nawawi ke-12. Juga menghindari terlalu banyak bicara.
Janganlah kalian banyak bicara yang bukan dzikir kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan dzikir kepada Allah membuat hati menjadi keras. Dan orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang berhati keras. (HR Tirmidzi)
Maka renungkanlah nasehat Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu: “Barangsiapa yang banyak bicara, tentu banyak salahnya. Barangsiapa yang banyak salahnya, tentu banyak dosanya. Dan barangsiapa yang banyak dosanya, neraka lebih pantas untuknya.”
4. Menghormati Tetangga
Dalam hadits Arbain Nawawi 15 ini, Rasulullah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk memuliakan tetangganya.
Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.
Sebagaimana dijelaskan di atas, tetangga adalah orang yang tinggalnya 40 rumah di kanan, kiri, depan dan belakang rumah kita. Bahkan jika bisa lebih luas lagi, bisa berpegang pada pendapat yang mengatakan tetangga adalah seluruh penduduk di kampung tersebut.
Bagaimana cara memuliakan tetangga? Dengan berbuat baik dan tidak menyakiti mereka.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. An Nisa: 36)
Dalam ayat ini disebutkan dua kategori tetangga yakni tetangga dekat (الجار ذي القربى) dan tetangga jauh (الجار الجنب). Tetangga dekat adalah tetangga yang masih terikat kekerabatan. Sedangkan tetangga jauh adalah tetangga pada umumnya. Kepada keduanya, kita harus berbuat baik.
Ada banyak cara berbuat baik kepada tetangga. Pertama, menolong dan membantu kebutuhannya.
“Apabila kamu memasak, perbanyaklah kuahnya. Kemudian perhatian penghuni rumah tetanggamu, dan berikan sebagian masakan itu kepada mereka dengan baik.” (HR. Muslim)
Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.
Di antara adab dalam memuliakan tamu adalah menghidangkan jamuan untuknya. Menurut Imam Ahmad, yang wajib adalah selama sehari semalam. Bahkan ulama lainnya berpendapat tiga hari tiga malam, sebagaimana sabda Rasulullah:
“Jamuan untuk tamu adalah tiga hari dan hadiah (untuk bekal perjalanan) untuk sehari semalam. Tidak halal bagi seorang muslim menetap di rumah saudaranya kemudian membuatnya berdosa”.
Para sahabat bertanya: “Wahai, Rasulullah! Bagaimana ia membuatnya berdosa?” Beliau menjawab: “Ia (tamu tersebut) menetap padanya, namun tuan rumah tidak mempunyai sesuatu untuk memuliakannya.” (HR. Muslim)
Ini berlaku untuk tamu yang diistilahkan dengan dlaif (ضيف), yakni musafir dari luar kota atau luar daerah. Bukan yang mukim di kampung yang sama.
Di antara adab lain dalam memuliakan tamu adalah menyambutnya dengan wajah berseri-seri. Sebagaimana Rasulullah mencontohkan saat menyambut utusan Abi Qais:
Maka Ibrahim pergi kepada keluarganya, lalu ia datang membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu tersebut)… (QS. Adz-Dzariyat: 26-27)
Hendaklah mendahulukan yang tua daripada yang muda, mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang kiri. Mengajak tamu berbincang-bincang dengan pembicaraan yang baik sebagaimana poin awal hadits Arba’in Nawawi ke-15 ini.
Jika tamu menginap, hendaklah tuan rumah tidak tidur sebelum tamu (bersiap) tidur. Dan jika tamu pulang, hendaklah diantar sampai ke depan rumah.
Demikian luar biasanya Islam dalam memuliakan tamu. Setelah Rasulullah, para Sahabat Nabi menjadi orang terdepan yang memberikan keteladanan. Thalhah dan Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhum merupakan salah satu pasangan fenomenal dalam memuliakan tamu.
Meskipun tidak memiliki apa-apa, hanya ada makanan yang sedianya untuk anak, mereka berikan makanan itu kepada tamu. Mereka mematikan lampu agar tidak kelihatan bahwa tuan rumah sesungguhnya tidak memiliki makanan lain untuk dimakan.
Sebaliknya, jika posisi kita sebagai tamu, kita harus mengetahui kondisi tuan rumah. Jangan sampai menyusahkan mereka.
“… Tidak halal seorang bertamu hingga menyulitkan tuan rumah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah indahnya Islam. Inilah indahnya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah mudahkan kita semua untuk mengamalkan hadits Arbain Nawawi 15 ini. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Menghilangkan penderitaan orang Muslim punya keistimewaan.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Bagi seorang muslim yang membantu penderitaan muslim lainnya, mereka akan mendapatkan sejumah keistimewaan. Mereka akan mendapatkan balasannya di Hari Akhir.
Dalam pesan Telegram dari ustadz lulusan Universitas Islam Madinah, Firanda Andirja disebutkan,
Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang menghilangkan dari seorang Muslim penderitaannya dari penderitaan-penderitaan di dunia, maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya dari penderitaan-penderitaan hari Kiamat. Barangsiapa yang memudahkan bagi orang yang mengalami kesulitan karena terlilit utang, maka Allah akan memudahkan baginya urusan di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib orang Islam, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba tersebut jika seorang hamba menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan kaidah yang sangat agung yaitu
الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ
“Balasan sesuai dengan amal perbuatan.”
Barangsiapa yang melakukan kebaikan, maka Allāh akan balas dengan kebaikan. Barangsiapa yang melakukan keburukan, maka Allah akan balas dengan keburukan. Perhatikan hadits ini!
– Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan orang lain, maka Allah akan menghilangkan penderitaannya.
– Barangsiapa yang memudahkan orang yang mengalami kesulitan, maka Allah akan mengilangkan kesulitannya.
– Barangsiapa yang menutup aurat seorang Muslim, maka Allah akan menutup auratnya.
– Barangsiapa menolong seorang hamba, maka Allah akan menolongnya.
Ini semua menunjukkan bahwasanya “balasan seusai dengan perbuatan”.
“Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan seorang muslim dari penderitaan-penderitaannya di dunia maka Allah ﷻ akan menghilangkan penderitaanya pada hari kiamat kelak.”
Di sini Rasulullah ﷺ tidak mengatakan “Allah akan menghilangkan penderitaannya di dunia dan di akhirat”, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam hanya mencukupkan “Allah akan menghilangkan penderitaannya di hari kiamat kelak.”
Kenapa bisa demikian? Hal ini dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, beliau menyebutkan bahwasanya, “Karena penderitaan di dunia tidak ada apa-apanya (tidak ada bandingannya) jika dibandingkan dengan penderitaan pada hari kiamat kelak.”
Sesungguhnya penderitaan pada hari kiamat kelak sangatlah berat. Oleh karenanya, Allah menyediakan bagi orang yang menghilangkan penderitaan saudaranya di dunia, Allah akan menghilangkan penderitaannya di akhirat.
Kenapa? Penderitaan di dunia masih bisa dihadapi tapi penderitaan di akhirat maka sangat mengerikan. Tidak ada orang yang bisa menghadapi penderitaan di akhirat, kecuali jika ditolong oleh Allāh ﷻ.
Seperti dalam hadits disebutkan,
Rasulullah ﷺ mengatakan bahwasanya, “Allah akan mengumpulkan seluruh manusia sejak awal sampai akhir di satu dataran; Matahari akan direndahkan oleh Allah ﷻ; Maka orang-orang akan mengalami penderitaan dan kesulitan dan penderitaan yang mereka tidak mampu untuk menghadapinya, mereka tidak mampu untuk memikulnya; Maka sebagian orang berkata kepada yang lainnya, “Tidakkah kalian melihat yang kalian rasakan, tidakkah kalian melihat siapa yang bisa memberi syafa’at bagi kita di sisi Rabb kita.” (HR. Bukhari dan. Muslim)
Ini adalah hadits tentang syafa’at yang menjelaskan manusia dalam kondisi sangat sulit tatkala itu, karena matahari diturunkan dalam jarak satu mil.
Oleh karenanya, ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah ﷻ,
Di sini Rasulullah ﷺ mengkhususkan “Barangsiapa yg menghilangkan penderitaan seorang mukmin di dunia maka Allah akan menghilangkan penderitaannya di akhirat.
Dalam Islam, ketika kita bertemu atau bersama orang lain, maka kita sangat dianjurkan untuk menampakkan wajah ceria dan senantiasa tersenyum. Sebaliknya, kita dilarang menampakkan wajah cemberut. Dalam beberapa hadis disebutkan beberapa keutamaan tersenyum ketika bertemu atau bersama orang lain. Berikut ini beberapa hadis keutamaan tersenyum:
Pertama, tersenyum adalah termasuk sedekah. Ini sebagamaina disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi, bahwa Nabi Saw bersabda;
تبسُّمك في وجه أخيك لك صدقة، وأمرك بالمعروف ونهيك عن المنكر صدقة، وإرشادك الرَّجل في أرض الضَّلال لك صدقة، وبصرك للرَّجل الرَّديء البصر لك صدقة، وإماطتك الحجر والشَّوكة والعظم عن الطريق لك صدقة، وإفراغك من دلوك في دلو أخيك لك صدقة
Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah. Engkau memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Engkau menunjukkan kepada seseorang jalan di wilayah yang dia tidak ketahui adalah sedekah. Engkau membantu memberikan petunjuk kepada orang yang penglihatannya buruk adalah sedekah. Engkau memindahkan batu, duri, atau tulang dari jalanan itu sedekah. Engkau memenuhi air di tempayan saudaramu dengan air dari tempayanmu itu sedekah.
Kedua, tersenyum adalah sunnah Rasulullah Saw. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari, dari Jarir bin Abdillah, dia bercerita;
Janganlah engkau meremehkan kebaikan sedikitpun, meskipun hanya dengan bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang berseri.
Keempat, tersenyum merupakan sarana paling baik untuk menarik simpati orang lain. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Hakim, dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;
إنكم لا تسعون الناس بأموالكم وَلْيَسَعُهُمْ منكم بَسْطُ الوجه وحسن الخلق
Kamu tidak akan mampu berbuat baik kepadamanusia dengan hartamu, akan tetapi kamu bisa berbuat baik kepada mereka dengan wajah ceria dan budi pekerti yang baik.
Dalam Islam, ketika kita memiliki kelebihan harta seperti uang dan lainnya, maka kita dianjurkan untuk memberikan sebagian harta tersebut kepada orang lain, terutama kepada orang fakir miskin. Berdasarkan beberapa hadis-hadis Nabi Saw, terdapat beberapa keutamaan memberi makan kepada orang miskin.
Keutamaan memberikan makan yang Pertama, memberi makan orang miskin mendapatkan jaminan surga. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;
Siapakah di antara kalian yang pada hari ini berpuasa? Abu Bakar berkata; Aku. Beliau bertanya lagi; Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengiringi jenazah? Maka Abu Bakar berkata lagi; Aku. Beliau kembali bertanya; Siapakah di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin? Maka Abu Bakar mengatakan; Aku. Lalu beliau bertanya lagi; Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit. Abu Bakar kembali mengatakan; Aku. Maka Rasulullah Saw pun bersabda; Tidaklah ciri-ciri itu terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti akan masuk surga.
Kedua, mendapatkan kamar khusus dan istimewa di surga. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi dari Sayidina Ali, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;
Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya. Lantas seorang a’rabi berdiri sambil berkata; Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan, wahai Rasululullah? Rasulullah menjawab; Untuk orang yang berkata baik dan benar, orang yang memberi makan, dan orang yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.
Ketiga, mendapatkan makanan buah-buahan surga. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud, dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;
Muslim mana saja yang memberi pakaian orang Islam lain yang tidak memiliki pakaian, niscaya Allah akan memberinya pakaian dari hijaunya surga. Muslim mana saja yang memberi makan orang Islam yang kelaparan, niscaya Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan di surga. Lalu muslim mana saja yang memberi minum orang yang kehausan, niscaya Allah akan memberinya minuman dari Al-Rahiq Al-Makhtum.
Hasan al-Bashri adalah diantara pembesar ulama tabi’in menengah. Beliau wafat pada tahun 110 H dalam usia 88 tahun, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi Rahimahullāh (lihat Thabaqāt ‘Ulamā’ al-Hadits, Juz 1 hal. 140-142). Abu Burdah berkata, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih mirip dengan para sahabat Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam melebihi dirinya.” (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 143), Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali mengatakan, “Dia itulah -Hasan al-Bashri- orang yang ucapan-ucapannya mirip ucapan para nabi” (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 144).
Guru dan murid beliau
Berikut ini sebagian guru-guru Hasan al-Bashri: ‘Imran bin Hushain, al-Mughirah bin Syu’bah, Abu Bakrah, an-Nu’man bin Basyir, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Abdullah bin ‘Amr, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dsb. (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 150).
Berikut ini sebagian murid-murid beliau: Humaid ath-Thawil, Ayyub as-Sakhtiyani, Qotadah, Bakr bin Abdullah al-Muzani, Sa’ad bin Ibrahim, Ibnu ‘Aun, al-Mu’alla bin Ziyad, Yunus bin ‘Ubaid, dsb (lihat Min A’lām al-Salaf, Juz 1 hal. 150).
Sebagian nasihat dan mutiara hikmah beliau
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa ‘dia sedang ada keperluan’.” (lihat al-Ikhlās wa al-Niyyah, hal.65)
al-Hasan rahimahullāh mengatakan, “Kalau bukan karena keberadaan para ulama niscaya keadaan umat manusia tidak ada bedanya dengan binatang.” (lihat Mukhtashar Minhāj al-Qāshidīn, hal. 15)
Hasan al-Bashri rahimahullāh mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan keberadaan mereka jauh lebih banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.” (lihat Da’ā’im Minhāj Nubuwwah, hal. 279)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sungguh, apabila aku dijatuhkan dari langit ke permukaan bumi ini lebih aku sukai daripada mengatakan: Segala urusan berada di tanganku!” (lihat Aqwāl Tābi’in fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān [1/134])
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Barangsiapa mendustakan takdir sesungguhnya dia telah mendustakan al-Qur’an.” (lihat Aqwāl Tābi’in fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān [1/138])
Dikatakan kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apa yang harus kami lakukan? Kami berteman dengan orang-orang yang selalu menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami terbang melayang.” Maka beliau menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya jika kamu bergaul dengan orang-orang yang selalu menakut-nakuti kamu sampai akhirnya kamu benar-benar merasakan keamanan; lebih baik daripada berteman dengan orang-orang yang selalu membuatmu merasa aman sampai akhirnya justru menyeretmu ke dalam keadaan yang menakutkan.” (lihat Aina Nahnu min Hā’ulā’i, hal. 16)
Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa mengucapkan lā ilāha illallāh maka dia pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan lā ilāha illallāh kemudian dia menunaikan konsekuensi dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitāb al-Tauhīd; Risālah Kalimāt al-Ikhlās wa Tahqīq Ma’nāhā oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullāh, hal. 40)
al-Hasan rahimahullāh mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat al-Risalah al-Mugniyyah, hal. 62).
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya bisa jadi ada seorang yang senantiasa berjihad walaupun tidak pernah menyabetkan pedang -di medan perang- suatu hari pun.” (lihat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm [6/264] cet. Dār Thaibah)
al-Hasan rahimahullāh menangis sejadi-jadinya, maka ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Sa’id, apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena takut kalau Allah melemparkan aku ke dalam neraka dan tidak memperdulikan nasibku lagi.” (lihat Aina Nahnu min Hā’ulā’i, hal. 75)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Wahai anak Adam. Sesungguhnya engkau adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu maka hilanglah sebagian dari dirimu.” (lihat Ma’ālim fi Tharīq Thalab al-‘Ilmi, hal. 35)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya orang yang fāqih itu adalah orang yang zuhud kepada dunia dan sangat memburu akhirat. Orang yang paham tentang agamanya dan senantiasa beribadah kepada Rabbnya. Orang yang berhati-hati sehingga menahan diri dari menodai kehormatan dan harga diri kaum muslimin. Orang yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta harta mereka dan senantiasa mengharapkan kebaikan bagi mereka.” (lihat Mukhtashar Minhāj al-Qāshidīn, hal. 28)
al-Hasan rahimahullāh mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” (lihat Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Hikam, hal. 211)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (lihat Aqwāl at-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1124)
al-Hasan rahimahullāh menafsirkan makna firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Wahai Rabb kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.” Beliau mengatakan, “Kebaikan di dunia adalah ilmu dan ibadah. Adapun kebaikan di akhirat adalah surga.” (lihat Akhlāq al-‘Ulamā’, hal. 40)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “al-Qur’an itu diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi orang-orang justru membatasi amalan hanya dengan membacanya.” (lihat al-Muntaqā al-Nafis min Talbīs Iblīs, hal. 116)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya orang yang benar-benar faqih/paham agama adalah yang senantiasa merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat al-Muntaqā al-Nafis min Talbīs Iblīs, hal. 136)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Tidaklah memahami agamanya orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (lihat Aina Nahnu min Hā’ulā’i [2/84])
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sesungguhnya orang beriman bersangka baik kepada Rabbnya sehingga dia pun membaguskan amal, adapun orang munafik bersangka buruk kepada Rabbnya sehingga dia pun memperburuk amal.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1157)
Hasan al-Bashri rahimahullāh menjelaskan tentang sifat orang-orang beriman yang disebutkan dalam firman Allah [QS. Al-Mu’minun: 60] yang memberikan apa yang bisa mereka berikan dalam keadaan hatinya merasa takut. Al-Hasan berkata, “Artinya, mereka melakukan segala bentuk amal kebajikan sementara mereka khawatir apabila hal itu belum bisa menyelamatkan diri mereka dari azab Rabb mereka ‘azza wa jalla.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1160)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Sebagian orang enggan untuk mudāwamah [konsisten dalam beramal] . Demi Allah, bukanlah seorang mukmin orang yang hanya beramal selama sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi seorang mukmin kecuali kematian.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1160)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Iman yang sejati adalah keimanan orang yang merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla walaupun dia tidak melihat-Nya. Dia berharap terhadap kebaikan yang ditawarkan oleh Allah. Dan meninggalkan segala yang membuat murka Allah.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1161)
Hasan al-Bashri rahimahullāh mengatakan, “Iman adalah ucapan. Dan tidak ada ucapan kecuali harus disertai dengan amalan. Tidak ada ucapan dan amalan kecuali harus dilandasi dengan niat. Tidak ada ucapan, amalan dan niat kecuali harus dilandasi dengan al-Sunnah.” Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1153)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir tertimpa kemunafikan maka dia adalah orang munafik.” (lihat Aqwāl al-Tābi’īn fi Masā’il al-Tauhīd wa al-Īmān, hal. 1218)
Hasan al-Bashri rahimahullāh berkata, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dengan merasa takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan merasa aman.”.” (lihat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm [5/350] cet. Maktabah al-Taufiqiyah).
Demikianlah sekelumit faidah yang bisa kami sajikan dengan taufik dari Allah semata. Semoga bisa memberikan manfaat dan pencerahan bagi kita. Wa shallallāhu ‘alā Nabiyyinā Muhammadin wa ‘alā ālihi wa sallam. Walhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn.
Mazhab Maliki merupakan salah satu dari empat mazhab fikih yang paling berpengaruh terhadap perkembangan dunia Islam. Pendirinya, Imam Malik bin Anas (w. 801 M) merupakan tokoh ulama terkemuka asal kota Madinah.
Dalam perjalanannya, mazhab ini memiliki area penyebaran cukup luas, bahkan dianut oleh mayoritas Muslim Afrika Utara atau yang di kenal pada abad pertengahan dengan Maghrib Islami (wilayah Islam bagian barat) suatu wilayah yang sekarang mencakup negara Libya, Tunis, Maroko, Al Jazair dan Spanyol. Afrika Utara sendiri memiliki populasi padat penduduk sebab wilayahnya yang luas.
Jika dilihat secara seksama, antara Maghrib Islami dan Madinah sebagai tempat kelahiran Mazhab Maliki, memiliki karakteristik yang amat berbeda, baik dari segi geografis, sosial budaya maupun politik.
Kota Madinah dihuni suku Arab dan Yahudi yang tunduk dibawah pengaruh agama Semit, sedangkan Maghrib Islami didiami suku Barbar yang ada di bawah pengaruh imperium Romawi dan Bizantium. Secara geografis pun kedua wilayah punya karakteristik tersendiri. Kota Madinah terletak di dataran tinggi, sedangkan Maghrib Islami berada di pesisir pantai.
Walaupun terdapat banyak perbedaan diantara keduanya, namun faktanya mayoritas penduduk Maghrib ini memilih Mazhab Maliki untuk panduan kehidupan beragama.
Tentunya hal ini tidak terjadi begitu saja, ada sebab – sebab tertentu yang mendahuluinya. Najmuddin Hantati seorang dosen di Universitas ez Zitouna Tunis dalam karyanya Mazhab Maliki Bil Maghrib Islami mengatakan bahwa penyebaran ini dilandasi oleh berbagai faktor, di antaranya:
Peran Imam Sahnun
Sejumlah pakar sejarah sepakat bahwa Imam Sahnun memainkan peranan penting terhadap penyebaran Mazhab Maliki di Afrika Utara. Hal ini tidak terlepas dari kedalaman pemahaman komprehensifnya mengenai Mazhab Maliki hasil dari pengembaraan ilmiahnya menuju Maghrib dan Masyriq. (Baca: Ibnu Sahnun; Pioner Pendidikan Islam Asal Tunisia)
Kecerdasan ini ditopang oleh akhlakul karimah sehingga membuatnya mudah diterima oleh masyarakat dari segala kalangan. Tugasnya sebagai seorang pengajar di universitas maupun madrasah-madrasah turut membantu proses penyebaran Mazhab Maliki.
Selain itu, ia pernah menduduki posisi hakim pemerintahan. Melalui kebijakannya, sejumlah ulama Mazhab Maliki ditugaskan sebagai hakim di wilayah bagian. Para hakim ini menghukumi suatu peristiwa sesuai dengan tuntunan Mazhab Maliki. Dengan proses pengaplikasian ini, pemahaman masyarakat Afrika mengenai Mazhab Maliki kian bertambah pesat.
Kedekatan Imam Malik dengan murid- murid asal Afrika
Dalam catatan sejarah, Imam Malik memiliki sekitar tiga puluh murid dari Afrika termasuk yang paling terkenal yaitu Ali bin Ziyad (w. 183 H), Bahlul bin Rasyid (w.183 H), Abdulloh bin Farrukh (w.185 H), Abdullah bin Ghanim (190 H) dan Asad bin Furat (w.213 H).
Imam Malik cukup memiliki kedekatan dengan murid – murid asal Afrika ini. Komunikasi antar guru dan murid ini pun tidak terbatas saat proses belajar mengajar saja, melaikan terjalin hingga di luar jam pelajaran.https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?guci=2.2.0.0.2.2.0.0&client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=280&adk=320563640&adf=904557689&pi=t.aa~a.86673156~i.27~rp.4&w=696&fwrn=4&fwrnh=100&lmt=1612630094&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=8600742471&psa=1&ad_type=text_image&format=696×280&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fkhazanah%2Ffaktor-mazhab-maliki-di-afrika-utara%2F&flash=0&fwr=0&pra=3&rh=174&rw=696&rpe=1&resp_fmts=3&wgl=1&fa=27&adsid=ChAIgJn5gAYQze31ubyaiP19EioA2vGA9jGgElVkw8c5DNW2aMTjWeBrqRRRR6EUpb_btUC6DXAO_Jcfur4&dt=1612630094851&bpp=3&bdt=2339&idt=-M&shv=r20210202&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3D5ac3879318488a40-2299a475bfc50009%3AT%3D1611023891%3ART%3D1611023891%3AS%3DALNI_MYbBqWMsIUeyynIsMJIAAo4V4zlow&prev_fmts=0x0%2C696x174%2C696x280&nras=3&correlator=2071916083425&frm=20&pv=1&ga_vid=1084666844.1608538875&ga_sid=1612630094&ga_hid=1879809595&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=1&u_java=0&u_h=1024&u_w=1280&u_ah=984&u_aw=1280&u_cd=24&u_nplug=2&u_nmime=2&adx=98&ady=3081&biw=1263&bih=824&scr_x=0&scr_y=0&eid=21068769%2C21068893&oid=3&pvsid=3799200200011033&pem=771&rx=0&eae=0&fc=1408&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1280%2C0%2C1280%2C984%2C1280%2C824&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&jar=2021-02-06-16&ifi=6&uci=a!6&btvi=3&fsb=1&xpc=C9GFoatLcd&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=74
Tidak jarang ketika ada persoalan menyangkut Maghrib, murid – murid akan bertanya dan berdiskusi dengan Imam Malik baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui surat atau utusan). Selain itu, kecerdasan dan kepintaran para murid nya ini, menambah kekaguman dan rasa hormat Imam Malik.
Ia pun seringkali mendorong mereka untuk menyebarkan ilmu – ilmu yang telah dipelajari ke daerahnya masing – masing. Murid – murid inilah yang menjadi garda terdepan penyebaran Mazhab Maliki ke seluruh penjuru dunia.
Kesesuaian antara landasan yang dipakai dalam Mazhab Maliki dengan realita keadaan sosial politik Maghribi
Karakter masyarakat Maghribi mempunyai kekhususan tersendiri sehingga memerlukan mazhab yang sesuai dengan ciri khas tersebut. Berikut tiga situasi dan kondisi Maghribi pada abad 1 hijriah serta kecocokannya dengan Mazhab Maliki.
Pertama, masyarakat Maghribi sangat fanatik terhadap Sunnah dan Atsar Ulama serta bersebrangan dengan pemikiran kelompok Khowarij dan Mu’tazilah. Hal tersebut mirip dengan mazhab Maliki yang terlahir di Madinah sebagai salah satu tempat turunnya wahyu dan serupa dalam hal memerangi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah.
Kedua, Maghrib Islami sering dilanda konflik politik dengan meletusnya sejumlah pemberontakan yang dilakukan oleh kaum radikal. Peristiwa ini menyadarkan masyarakat akan pentingnya sebuah persatuan dan pentingnya menjaga ruh umat Islam. Hal ini sesuai dengan ajaran mazhab Maliki yang menitikberatkan umat Islam untuk taat kepada pemimpin dan menjaga persatuan.https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?guci=2.2.0.0.2.2.0.0&client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=280&adk=320563640&adf=3299203680&pi=t.aa~a.86673156~i.39~rp.4&w=696&fwrn=4&fwrnh=100&lmt=1612630108&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=8600742471&psa=1&ad_type=text_image&format=696×280&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fkhazanah%2Ffaktor-mazhab-maliki-di-afrika-utara%2F&flash=0&fwr=0&pra=3&rh=174&rw=696&rpe=1&resp_fmts=3&wgl=1&fa=27&adsid=ChAIgJn5gAYQze31ubyaiP19EioA2vGA9jGgElVkw8c5DNW2aMTjWeBrqRRRR6EUpb_btUC6DXAO_Jcfur4&dt=1612630094796&bpp=4&bdt=2283&idt=4&shv=r20210202&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3D5ac3879318488a40-2299a475bfc50009%3AT%3D1611023891%3ART%3D1611023891%3AS%3DALNI_MYbBqWMsIUeyynIsMJIAAo4V4zlow&prev_fmts=0x0%2C696x174%2C696x280%2C696x280%2C324x84&nras=5&correlator=2071916083425&frm=20&pv=1&ga_vid=1084666844.1608538875&ga_sid=1612630094&ga_hid=1879809595&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=1&u_java=0&u_h=1024&u_w=1280&u_ah=984&u_aw=1280&u_cd=24&u_nplug=2&u_nmime=2&adx=98&ady=3731&biw=1263&bih=824&scr_x=0&scr_y=479&eid=21068769%2C21068893&oid=3&psts=AGkb-H8LeoXQVuFrGLHg1NCP9Mozu7d2HXfiiI7KUd4bdr3_ZHTjXkFDKk8roTX4l1PoxPvfQbzR3QTwyVP6%2CAGkb-H9i5v9vssoyCMKYKG_S3wUcpwb6eNEw_ODctQHtzZny_6Yt9I_zP8VYqBkO132O5Grhl24LOwmR4yby&pvsid=3799200200011033&pem=771&rx=0&eae=0&fc=1408&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1280%2C0%2C1280%2C984%2C1280%2C824&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&jar=2021-02-06-16&ifi=7&uci=a!7&btvi=5&fsb=1&xpc=QwPig57nye&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=14154
Ketiga, Mazhab Maliki mempunyai banyak landasan yang dipakai untuk menentukan suatu hukum salah satunya adalah ‘urf (adat kebiasaan). Ini membuat para mufti dapat menentukan solusi terbaik sesuai dengan sumber hukum dan realita kondisi masyarakat setempat.
Peran Pelajar, Peziarah dan Jamaah Haji.
Seiring berjalannya waktu, wilayah Afrika Utara semakin kaya akan peradaban Islam. Disisi lain rasa ingin tau masyarakat tentang khazanah ilmu pengetahuan Islam kian memuncak.
Namun, karena keterbatasan jumlah tenaga pengajar (Sahabat dan Tabiin) masyarakat mulai berinisiatif untuk melakukan perjalanan ilmiah ke Madinah dan sekitarnya. Madinah dipilih sebab di kota tersebut baik Sahabat maupun Tabiin lebih mudah ditemukan.
Tekad untuk menuntut ilmu ke negeri seberang ini diperkuat dengan maraknya sikap fanatik terhadap Sunnah, Riwayat dan Atsar ulama sehingga muncul keinginan besar untuk mempelajari ajaran Islam langsung dari sumbernya. Dalam hal ini para Sahabat dan Tabiin sebagai penerus Rasulullah Saw.
Setibanya di Madinah, para pelajar ini berguru kepada Imam Malik dan Ulama – ulama Maliki lainnya yang saat itu memang mendominasi kota Madinah. Para murid Imam Malik yang telah selesai mengembara, kemudian kembali ke tanah Afrika Utara dan menyebarluaskan ilmu – ilmu Islam yang tidak lain bernuansa Maliki.
Selain para pelajar, para jemaah haji dari Maghrib atau para peziarah yang ingin berziarah ke makam Rasululloh Saw juga mempelajari Mazhab Maliki dari Ulama – ulama Maliki yang banyak tersebar di Hijaz. Bahkan tidak jarang mereka berguru langsung kepada Imam Malik. Gelombang besar pergerakan ilmiah ini berdampak nyata terhadap tingkat pertumbuhan penyebaran Mazhab Maliki di Afrika Utara.
Peran Politik
Pada umumnya, penyebaran suatu mazhab di sebuah wilayah tidak terlepas dari peran politik pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Seperti yang terjadi ketika Abu Yusuf menjabat sebagai pemimpin Afrika Utara, ia mengutus para Hakim Hanafi untuk ditempatkan di seluruh wilayahnya. Al hasil, mazhab Hanafi kala itu dianut oleh mayoritas masyrakat.
Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama sebab peran Mazhab Hanafi tergantikan oleh Mazhab Maliki. Cara yang sama di lakukan oleh Yahya bin Yahya ketika menyebarkan Mazhab Maliki di Spanyol.
Hal ini sedikit berbeda dengan yang terjadi saat penyebaran Mazhab Maliki di Afrika Utara. Pemerintah setempat tidak menjadikan Mazhab Maliki sebagai Mazhab resmi negara. Mazhab tersebut menyebar luas melalui peran murid – murid Imam Malik, seperti Ali bin Ziyad, Buhlul, Imam Sahnun dan lain sebagainya.
Ali bin Ziyad adalah orang pertama yang mengenalkan mazhab Maliki di Afrika lewat pengajaran Muwattha kepada masyarakat setempat. Di masanya, perluasan Mazhab Maliki tidak sebesar era Imam Sahnun. Penyebabnya Ali bin Ziyad lebih fokus terhadap masyarakat dilingkungannya yaitu di daerah Tunis, yang kini menjadi ibu kota Tunisia ketimbang beralih ke ibu kota Afrika Utara, Kairouan.
Padahal saat itu kesempatan untuk menjabat sebagai hakim di pusat pemerintahan terbuka lebar mengingat Ali bin Ziyad adalah salah satu ulama berpengaruh sekaligus murid langsung Imam Malik.
Di sisi lain, berkat keterbukaan serta ketekunan Imam Sahnun dalam mempelajari Mazhab Maliki secara murni menjadi nilai tambah tersendiri di mata masyarakat. Dengan begitu, di masanya Mazhab Maliki mampu tersebar luas.
Adapun pengutusan Hakim Maliki ke berbagai wilayah di Afrika bersifat penyempurnaan karena sebelum itu Mazhab Maliki telah tersebar luas berkat pengaruh kuat murid – murid Imam Malik.
Syekh ‘Abd al-Fattah al-Yafi‘i membahas masalah tabarrukan dalam Islam secara komprehensif dan komparatif dalam at-Tabarruk bi ash–Shalihin bain al-Mujizin wa al-Mani‘in (2010). Beliau meneliti secara akademis masalah tabarrukan dengan orang-orang saleh dan atribut-atributnya (seperti bajunya, peluhnya, rambutnya, ludahnya, sisa-sisa makanan dan minumannya dan lain sebagainya) menurut ulama yang membolehkan dan ulama yang melarang dan menyajikan dalil-dalil mereka masing-masing secara runtut (sistematis).
Dalam penelitian ini, sebagaimana disebutkan secara ringkas di bagian cover belakang, beliau menyajikan sekitar tiga ratus dalil para ulama yang membolehkan tabarrukan dengan orang-orang saleh dan bekas-bekasnya. Beberapa dalil tersebut meliputi hadis, atsar (perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah saw., seperti para sahabat dan tabi‘in), pendapat para ulama, dan praktik-praktik tabarrukan. Bahkan masih terdapat beberapa atsar dan pendapat para ulama lain yang sengaja tidak disebutkan dalam penelitian tersebut karena khawatir terlalu panjang. (Baca: Hukum Minum Bekas Air Wudhu Kiai dan Orang Saleh)
Melalui penelitian ini, beliau menegaskan bahwa tabarrukan dengan orang-orang saleh dan bekas-bekasnya adalah masalah furu‘ (cabang), bukan ushul al-i‘tiqad (keyakinan dasar Islam yang pokok). Menurutnya, masalah furu‘ seperti tabarrukan selama-lamanya tidak bisa dijadikan landasan dan legitimasi untuk saling mengafirkan, membid‘ahkan, dan bercerai-berai di antara sesama Muslim.
Beliau menegaskan bahwa di zaman modern sekarang ini umat Islam seharusnya sama-sama bergandengan tangan, menjalin persatuan yang kokoh, dan menghindarkan diri dari perpecahan (bukan perbedaan). Meminjam istilah Sayyid Muhammad Rasyid Ridh: nata‘awanu fima ittafaqna ‘alaih wa ya‘dziru ba‘dhuna ba‘dhan fima ikhtalafna fihi (kita saling bantu-membantu dalam masalah yang kita sepakati dan saling menghormati terhadap masalah yang kita perselisihkan).
Oleh kerena itu, Syekh ‘Abd al-Fattah al-Yafi‘i menyayangkan sebagian orang yang membesar-besarkan masalah tabarrukan dan menempatkan masalah tersebut di luar tempatnya. Bahkan mereka menganggap masalah tersebut sebagai bagian dari ushul al-i‘tiqad. Sehingga mereka mengafirkan orang-orang yang memiliki tradisi atau kebiasaan tabarrukan dengan orang-orang saleh dan bekas-bekasnya. Sebab, hal ini pada gilirannya akan menyulut konflik dan perpecahan di antara sesama Muslim yang sejatinya bersaudara.
Dalam konteks Indonesia, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) seringkali berhadapan dengan kalangan Salafi, baik dari segi wacana maupun aksi. Hal ini berkaitan dengan tuduhan kalangan Salafi-Wahhabi yang menganggap beberapa amaliah masyarakat NU sebagai sesat, bid‘ah, syirik, dan murtad (Achmad Syahid, Islam Nusantara: Relasi Agama-Budaya dan Tendensi Kuasa Ulama, 2019: 121).
Hal senada juga diungkapkan oleh Achmad Suchaimi dalam pengantar buku KH Ali Maksum Membela Kebenaran Amaliah Nahdhiyyin. Menurutnya, masyarakat NU (Nahdliyin) seringkali berhadapan dengan kalangan Kaum Modernis, Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), dan Salafi-Wahhabi.
Sebab, mereka sering menuduh beberapa praktik keagamaan kalangan Nahdliyin sebagai bid‘ah, sesat, kufur, dan syirik. Sehingga hal ini tidak jarang menimbulkan keresahan, perpecahan, dan bentrok fisik antara sesama Muslim. Padahal praktik keagamaan yang dipersoalkan tersebut hanyalah bersifat furû‘iyyah (cabang-cabang agama), bukan uṣûliyyah (pokok-pokok agama).
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyajikan sejarah dan teladan Imam asy-Syafi‘i ra. yang biasa tabarrukan dengan Imam Abu Ḥanîfah ra. (tokoh utama mazhab Ḥanafî). Padahal beliau seringkali bersebrangan dengan Imam Abu Ḥanifah ra. dalam masalah fikih. Bahkan beliau pernah mengkritik secara keras konsep istiḥsan yang dikembangkan dan dijadikan sebagai salah satu metode penemuan hukum Islam oleh Imam Abu Ḥanifah ra. dan para pengikutnya (Muḥammad Abu Zahrah, asy-Syafi‘i: Ḥayatuhu wa ‘Aṣruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu, 1978: 300-308).
Namun demikian, perbedaan masalah fikih dan ushul fikih ini tidak membuat Imam asy-Syâfi‘î ra. jemawa dan benci kepada Imam Abu Ḥanîfah ra. Beliau tetap rendah hati (tawaduk) dan bahkan “berguru” secara ruhani kepada Imam Abu Ḥanifah ra.
Disebutkan bahwa Imam asy-Syâfi‘î ra. setiap hari ziarah ke makam Imam Abû Ḥanîfah ra. dalam rangka tabarrukan dengannya. Ketika beliau memiliki hajat tertentu, maka beliau melaksanakan salat sunat dua rakaat dan kemudian menghampiri makam Imam Abu Ḥanîfah ra. Beliau berdoa kepada Allah atas hajat yang diinginkan tersebut di samping makam Imam Abu Ḥanifah ra. Tidak lama setelah itu, Allah mengabulkan permintaan Imam asy-Syâfi‘î ra. tersebut (at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn, hlm. 83).
Dalam hal ini, tidak heran apabila ulama sekelas Imam asy-Syâfi‘î ra. tabarrukan dengan Imam Abû Ḥanîfah ra. Sebab, Imam Abû Ḥanîfah ra. sewaktu masih hidup selain dikenal sebagai ahli fikih ternama, juga dikenal sebagai ulama yang wara dan hebat secara spiritual. Habib Zain bin Smith menyebutkan bahwa Imam Abû Ḥanîfah ra. menghidupkan malam-malamnya dengan salat satu rakaat yang diisi dengan membaca al-Qur’an.
Ketika bulan Ramadan, beliau khatam al-Qur’an sebanyak 120 kali dengan rincian: siang khatam 60 kali (sehari khatam 2 kali) dan dan malam khatam 60 kali (semalam khatam 2 kali) selama bulan Ramadan. Bahkan beliau pernah mengkhatamkan al-Qur’an di tempat wafatnya kelak sebanyak 7000 kali (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 186-187).
Selain itu, Imam asy-Syâfi‘î ra. pernah tabarrukan dengan baju santrinya, Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. (tokoh utama mazhab Ḥanbalî). Disebutkan bahwa Imam asy-Syâfi‘î ra. bermimpi Rasulullah saw. dan menyuruh sang Imam seraya berkata: “tulislah sebuah surat dan sampaikan salamku kepada Aḥmad bin Ḥanbal. Katakan kepadanya bahwa kamu (Aḥmad bin Ḥanbal) akan mengalami ujian berat. Kamu akan dipaksa agar mengakui pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Namun, kamu jangan sekali-kali melayani kemauan mereka, maka Allah akan mengangkat derajat ilmumu sampai hari kiamat (at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn, hlm. 81).”
Imam asy-Syâfi‘î ra. pun menulis surat tersebut dan menyuruh ar-Rabî‘ mengantarkannya kepada Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. Setelah diterima, Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. menangis membaca isi surat tersebut. Bahagia atas kedatangan surat tersebut, akhirnya Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. melepaskan bajunya dan menyerahkannya kepada ar-Rabî‘ agar diberikan kepada Imam asy-Syâfi‘î ra. (hlm. 81).
Setelah diterima, maka Imam asy-Syâfi‘î ra. mencium dan mengusapkan baju tersebut kepada kedua matanya. Kemudian, beliau merendam baju tersebut dan memerasnya. Beliau menyimpan air perasan tersebut dalam sebuah botol. Hal ini dilakukan dalam rangka tabarrukan dengan Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra.
Oleh karena itu, Imam asy-Syâfi‘î ra. setiap hari membasuh wajahnya dengan air yang berada dalam botol tersebut. Dalam kesempatan lain, ketika ada sahabatnya yang sakit, maka Imam asy-Syâfi‘î ra. memberikan sebagian air tersebut kepada si sakit. Ketika si sakit mengusapkan air tersebut kepada tubuhnya, maka Allah menyembuhkannya seketika itu melalui air perasan baju Imam Aḥmad bin Ḥanbal ra. tersebut (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, hlm. 569-570 dan at-Tabarruk bi aṣ-Ṣâliḥîn, hlm. 82). Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…
Apakah perbedaan antar mazhab yang empat? Adakah mazhab yang lebih baik dari yang lain?
Jawaban:
Semua mazhab yang empat menginginkan kebenaran. Mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi Rahimahumullah semuanya bertujuan mengikuti kebenaran sesuai petunjuk Alquran dan sunah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, sikap ta’ashub (fanatik terhadap mazhab tertentu -pent.) merupakan perbuatan yang tercela.
Adapun mazhab lain yang masyhur dikenal selain 4 mazhab ini adalah mazhab az-Dzahiri. Begitu pula dikenal mazhab yang lain seperti al-Jaririyyah, al-Laitsiyyah, al-Sauriyah (yang merupakan pengikut Sufyan at-Tsauri dan pengikut al-Laits ibn Jarir), juga mazhab ar-Rahawiyyah (namun saat ini tidak ada lagi) yang merupakan pengikut Ishaq bin Rahawiyyah.
Bagaimanapun, yang terpenting dalam bermazhab adalah mengikuti kebenaran. Mazhab yang empat, mazhab az-Zahiriyyah serta mazhab-mazhab sebelumnya (yang tidak lagi menjadi rujukan); semuanya bertujuan untuk mengikuti kebenaran. Kadangkala masing-masing mazhab berbeda pendapat tentang suatu perkara agama. Perbedaan yang alot namun sarat hikmah tersebut disebabkan karena semuanya merujuk pada dalil Alquran dan Assunah sehingga pada akhirnya mazhab-mazhab ini dikenal oleh umat di dunia. Bertambahlah pengikut masing-masing mazhab tersebut yang kemudian populer dalam beberapa perkara agama.
Pendapat satu mazhab terkadang berbeda pandangan dengan pendapat mazhab lainnya sebab kadangkala suatu dalil ada yang jelas bagi satu mazhab (maknanya -pent.), tetapi tersembunyi bagi mazhab lainnya.
Adapun perkara yang diperselisihkan merupakan perkara cabang (furu’) dan tidak ada perbedaan dalam permasalahan pokok (landasan agama atau ushul). Akan tetapi, sikap ta’ashub terhadap suatu pendapat mazhab yang tertentu tanpa keyakinan akan kebenaran yang terkandung di dalamnya merupakan perbuatan yang tercela. Karena telah umum diketahui bahwa semua mazhab bertujuan mengikuti kebenaran yang berpedoman pada petunjuk Alqur’n dan Assunah serta konsisten di bawah manhaj yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.