Menelisik Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban

Tahun ini, malam nisfu Sya’ban jatuh pada Ahad (28/3).

Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan yang memiliki keistimewaan di antara bulan-bulan lain. Terlebih, menjelang bulan suci Ramadhan, biasanya umat Muslim di beberapa negara merayakan malam nisfu sya’ban yang terjadi pada pertengahan Sya’ban.

Biasanya, nisfu sya’ban jatuh pada tanggal ke-15 sebelum bulan suci Ramadhan. Tahun ini, malam nisfu Sya’ban jatuh pada Ahad (28/3).

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Sarwat menjelaskan dalam situs resminya, bulan Sya’ban mempunyai kekhususan sendiri yang didapat berdasarkan hadits-hadits shahih. Di antaranya, pada bulan ini amal shaleh setiap hamba akan diangkat ke langit.

Dari Usamah bin Zaid berkata, saya bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban.” Rasulullah menjawab, “Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa,” (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’I, dan Ibnu Huzaimah).

Selain itu, bulan Sya’ban seolah menjadi awal mula untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Jadi, kita perlu menyiapkan bekal ibadah untuk menyambut bulan Ramadhan.

Dalam hal ini, Rasulullah mencontohkan untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah. Aisyah berkata, “Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban,” (HR Muslim).

Terkait dengan keutamaan malam pertengahan Sya’ban atau nisfu Sya’ban, para ulama berbeda pendapat tentang kekuatan derajat periwayatannya dari dalilnya. Sebagian kalangan menggunakan hadits dhaif dengan alasan jika hadits tersebut tidak terlalu parah kelemahannya boleh digunakan untuk landasan ibadah yang bersifat keutamaan. Sementara yang lain, bersikap agak ketat dalam menyeleksi hadits-hadits yang dianggap dhaif.

Di antara hadits-hadits yang dianggap dhaif misalnya. “Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu Sya’ban kepada hamba-hamba-Nya serta mengabulkan doa mereka, kecuali sebagian ahli maksiat.”

Riwayat hadits tersebut tidak mencapai derajat shahih. Beberapa kalangan ulama memberi derajay hasan dan yang lainnya tegas memberi derajat dhaif. Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu Sya’ban. Begitu pula Ibnu Katsir telah mendhaifkan hadits yang menjelaskan tentang malam nisfu Sya’ban, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu sampai bulan Sya’ban tahun depan.

Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu Sya’ban, seperti yang kerap kali umat Islam lakukan, yaitu rangkaian ritual, tidak ada satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat. Seperti yang diketahui, sebagian umat Islam mengkhususkan malam itu dengan membaca surat Yasin atau melakukan sholat sunnah dua rakaat. Praktik tersebut dilakukan juga selain di Indonesia, contohnya Mesir dan Yaman. 

https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-573-amalan-nisfu-syaban.html

KHAZANAH REPUBLIKA

Tafsir Surah Hud Ayat 15-16: Jangan Terburu-buru Meminta Balasan Amal Baik

Surah Hud ayat 15-16 pada dasarnya berbicara mengenai tuntunan dari Allah agar kita tidak meminta balasan amal baik secara terburu-buru. Ilustrasinya itu seorang karyawan yang telah menjalankan tugas dan pekerjaannya merupakan orang yang memiliki hak berupa upah atas pekerjaannya. Andai haknya berupa upah itu dijanjikan setelah pekerjaannya selesai, katakanlah diberikan di akhir bulan, maka ia akan menerima hak itu di akhir bulan. Berbeda halnya apabila ia telah meminta haknya terlebih dahulu sebelum saat yang ditentukan, seperti memintanya di awal bulan atau di pertengahan bulan, maka ia tak akan memperoleh haknya lagi di akhir bulan.

Uraian tersebut juga dapat dijadikan sebagai perumpamaan atas tugas kehambaan kita kepada Allah Swt. Sekadar sebagai gambaran untuk memudahkan pemahaman kita atas konsep ganjaran amal baik ketika menghambakan diri kepada Allah Swt. Apabila seorang hamba hanya meminta kenyamanan hidup di dunia sebagai balasan atas amal baik yang telah dilakukannya, maka bisa saja Allah memberikan hal itu secara kontan dan tanpa pengurangan sedikit pun. Akan tetapi mungkin saja ia tidak akan memanen amal-amalnya baiknya yang dilipat-gandakan itu ketika di akhirat.

Surah Hud ayat 15-16 yang dimaksud adalah sebagai berikut:

مَن كَانَ یُرِیدُ ٱلۡحَیَوٰةَ ٱلدُّنۡیَا وَزِینَتَهَا نُوَفِّ إِلَیۡهِمۡ أَعۡمَـٰلَهُمۡ فِیهَا وَهُمۡ فِیهَا لَا یُبۡخَسُونَ (15) أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ لَیۡسَ لَهُمۡ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِیهَا وَبَـٰطِلࣱ مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ (16)

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. (15) Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. (16)” [Q.S. Hud (11): 15 – 16]

Sebenarnya memang terdapat perbedaan pendapat di antara ulama ahli tafsir menyangkut siapa golongan yang dimaksud dalam kedua ayat di atas. Sebagian ahli tafsir berpandangan bahwa kedua ayat di atas menjelaskan tentang balasan bagi orang-orang kafir yang hanya mendapatkan kenikmatan di dunia tetapi dilanggengkan di neraka. Sebagian lain berpendapat bahwa kedua ayat di atas menjelaskan tentang balasan bagi orang yang riya’ dalam beramal baik.

Jika merujuk penjelasan Syekh Ahmad ash-Shawi dalam Hasyiyah ash-Shawi, mengarahkannya ke makna umum itu lebih utama, yakni diberlakukan ayat tersebut bagi pelaku riya’. Sehingga konsekuensi maknanya ialah keumuman cakupan ayat tersebut, yakni baik orang kafir, orang munafik, maupun orang beriman yang beramal disertai perasaan riya’, meski yang dilakukan merupakan amal ketaatan.

Lebih lanjut Syekh Ahmad ash-Shawi menjelaskan bahwa, dampak makna selanjutnya apabila ayat ini diarahkan hanya untuk orang kafir, maka ganjaran neraka sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 16 berlaku selamanya. Sedangkan apabila diarahkan untuk pelaku riya’ secara umum, maka bisa jadi ganjaran neraka itu hanya bersifat sementara selama orang yang dimaksud masih beriman kepada Allah Swt.

Berkenaan dengan ayat di atas, Imam al-Aufi meriwayatkan penjelasan Ibnu Abbas, sebagaimana yang dikutip Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, bahwa seorang hamba yang suka riya’ dan pamrih dalam beramal, maka pahala mereka hanya akan di berikan di dunia. Kemudian disebutkan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi bahwa gambaran riya’ dan pamrih dalam beribadah itu sama halnya dengan menyekutukan Allah Swt., dalam hal ini sekala kecilnya ialah menyekutukan Allah dengan kepentingannya sendiri.

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang semisal dengan makna ayat di atas, seperti dalam surah Asy-Syura [42] ayat 20: “Barang siapa yang menginginkan keuntungan akhirat, Kami akan menambah keuntungan itu baginya. Dan barang siapa menginginkan keuntungan dunia,  Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”

Oleh karenanya, apabila seorang hamba terburu-buru meminta balasan dari amal kebaikannya secara kontan di dunia, maka itu sejatinya permintaan yang merugikan dirinya sendiri. Karena ketulusan dalam menjalankan ibadah dijanjikan oleh Allah Swt., suatu tambahan atau kelipatan dari amal yang diperbuatnya. Sedangkan jika meminta balasan di dunia, ia tidak dijanjikan bagian lagi di akhirat. Padahal normalnya seorang pekerja selain mengharapkan upah yang sesuai, tentu mengharapkan adanya bonus dari pekerjaannya.

Berdasar surah Hud ayat 15-16 itu kita juga mengetahui bahwa meski seorang hamba tidak tulus dalam melakukan ibadah, atau tidak sepenuh hati dalam menghambahakan diri, tetap saja Allah memberikan apa yang ia inginkan. Bahkan tanpa menguranginya sedikit pun. Meski dalam ayat di atas juga dinyatakan bahwa tiada ganjaran di akhirat bagi yang tak membawa ketulusan, bukan berarti Allah tak kuasa untuk memberinya kenikmatan di akhirat baginya. Karena selama seseorang masih memegang ketauhidan, selama itu pula Allah menjanjikan tempat kemuliaan. Wallahu a’lam bish shawab.

BINCANG SYARIAH

Anda Boleh Berbuat Dosa Asal Lima Ini Terpenuhi

SUNGGUH, apa pun yang telah, sedang dan bakal terjadi adalah bagian dari kehendak Allah. Tak ada daya maupun upaya makhluk untuk melawan atau mengelak dari kehendak dan kodrat-Nya. Tak ada atom atau partikel sekecil apapun yang bisa lolos dari kedaulatan mutlak pemerintahan Allah.
Siapa saja yang merasa mampu menipu atau lolos dari kehendak Ilahi sesungguhnya telah kehilangan akal sehat dan terjerat oleh ego. Iblis yang paling pendusta dan penipu sekali pun sudah mengakui berlakunya kehendak Allah dalam segala sesuatu di hadapan Baginda Nabi Muhammad. Makhluk terkutuk itu berkata, “Wahai Utusan Allah, aku hanya ingin kau tahu bahwa Allah menciptakanmu untuk memberi petunjuk, tapi kau sendiri tidak bisa memberikannya kepada seseorang; lalu Allah menciptakanku untuk menyesatkan, tapi aku sendiri tidak bisa menyesatkan.”

Allah menjalankan pemerintahan alam wujud ini tanpa saingan dan sandingan. Dia melakukan segalanya tanpa pertanggungjawaban. Allah berfirman, “Dia (yaitu Allah) tidak akan ditanya mengenai apa yang dilakukan-Nya, namun merekalah yang akan ditanya (QS 21: 23).

Suatu kali cucu Nabi, Hussein bin Ali melihat seseorang datang menemui ayahnya, Ali bin Abi Thalib dan berteriak, “Aku adalah pendosa, tapi aku sulit menepis rangsangan untuk melakukannya lagi. Berilah aku nasihat.”

Ali menasihatinya dengan perkataan berikut, “Bila kau bisa beroleh lima prasyarat ini, lakukan dosa sesuka hatimu: pertama, berhentilah mengambil rizki yang disediakan oleh Allah; kedua, keluarlah dari kerajaan Allah; ketiga, carilah tempat yang Allah tidak lihat; keempat, satukan daya untuk mencegah malaikat kematiaan mencabut nyawamu; dan kelima, kumpulkan kekuatan untuk melawan Malik, malaikat yang menjaga pintu neraka, agar dia tidak melemparmu ke dalamnya. Jika kau sempurnakan kelima prasyarat ini, berdosalah sesukamu.” [islamindonesia]

INILAH MOZAIK

Hukum Takbir Setelah Salam dalam Shalat

Pertanyaan:

Apa hukumnya takbir setelah salam pada salat fardhu?

Jawaban:

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ’ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ‘amma ba’du

Terdapat riwayat dalam Shahih Muslim, dan selainnya dari Tsauban Radhiyallahu’anhu, ia berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذا انصرف من صلاته، استغفر ثلاثًا، وقال: اللهم أنت السلام، ومنك السلام، تباركت ذا الجلال والإكرام. قال الوليد: فقلت للأوزاعي: كيف الاستغفار؟ قال: تقول: أستغفر الله، أستغفر الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai dari salat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar tiga kali, dan beliau Shallallahu ‘alihi wa sallam membaca: /Allaahumma antassalaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam/ (Artinya: Ya Allah Engkau-lah As-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian). Al-Walid berkata, ‘Aku berkata kepada Al-Auza’i, ‘Bagaimana cara beristighfar?’ Ia berkata, ‘Ucapkan: Astaghfirullah, astaghfirullah”” (HR. Muslim no. 591).

Dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, mereka ditanya,

“Apakah disyariatkan bagi orang yang salat setelah salam membaca, ‘Allahu akbar‘ sebelum beristighfar tiga kali, berdasarkan pada lafaz (takbir) pada hadis ibnu abbas Radhiyallahu ’anhuma,

كنت أعرف انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير

‘Aku mengetahui salat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berakhir dengan mendengar takbir’ (Muttafaq ‘alaih). Jika tidak boleh demikian, maka apa yang dimaksud dengan takbir pada hadis tersebut?”

Al Lajnah Ad Daimah menjawab,

“Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai dari salat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan beristighfar tiga kali, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: /Allaahumma antassalaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam/ (Artinya: Ya Allah Engkau-lah As-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian). Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan dengan zikir-zikir yang lain.

Adapun takbir yang disebutkan dalam hadis tersebut, yang dimaksud adalah bacaan, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wallahuakbar’, yang dibaca setelah shalat sebanyak 33 kali. Dan demikianlah cara mengkompromikan hadis-hadis yang membahas hal tersebut.”

Di dalam syarah Sunan Abu Dawud karya Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, disebutkan,

“Abu Dawud membawakan lafaz hadis ini – yaitu hadis takbir setelah salat – maksudnya adalah bertakbir dan berzikir dengan mengeraskan suara. Karena dalam satu riwayat disebutkan ‘takbir’ dalam lafaz hadisnya, dan disebutkan ‘zikir’ di riwayat yang kedua. Dan zikir itu lebih umum daripada takbir. Karena zikir itu mencakup takbir dan juga yang selain takbir.

Dan Abu Dawud setelah membawakan riwayat pertama, beliau juga membawakan riwayat dari Ibnu Abbas,

كان يعلم انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير

‘Dia mengetahui salat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berakhir dengan mendengar takbir.’

Maksudnya adalah orang yang terlambat mendatangi shalat jamaah, dia akan mendengar takbir yang diucapkan imam. Dan penyebutan ‘takbir’ tidak disebutkan bahwasanya itu diucapkan setelah salam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam membaca, ‘Astaghfirullah, astaghfirullah’, kemudian dilanjutkan, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wallahuakbar’. Inilah yang valid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu takbir diucapkan bersamaan dengan tasbih dan tahmid.

Maka yang terdapat pada riwayat adalah,

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا سلم، استغفر ثلاثًا، ثم قال: اللهم أنت السلام، ومنك السلام، تباركت يا ذا الجلال والإكرام

‘Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai dari salat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan beristighfar tiga kali, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: /Allaahumma antassalaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam/ (Ya Allah Engkau-lah As-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian).’

Kemudian riwayat kedua menyebutkan lafadz ‘zikir’ yang mencakup takbir dan selain takbir. Makna lafaz ‘zikir’ tersebut sesuai dengan yang terdapat pada riwayat-riwayat lainnya. Ini semua menunjukkan bahwa setelah salat, hendaknya berzikir. Yang diawali istighfar, kemudian ‘Allahumma antassalam wa minkas salam ….’ Dan pada riwayat ini terdapat penyebutan ‘takbir’ yang takbir ini dimaknai sebagai takbir yang ucapkan bersama dengan tasbih dan tahmid setelah salat” (selesai nukilan dari Syarah Sunan Abu Daud).

Kesimpulannya, amalan yang dibaca langsung setelah salat fardhu adalah membaca istighfra 3 kali, sebagaimana yang telah kita ketahui. Sedangkan takbir yang dibaca langsung setelah salam pada salat fardhu merupakan amalan yang tidak ditemukan petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahua’lam

***

Penerjamah: Rafif Zufarihsan

Artikel: Muslim.or.id

Bolehkah Suami Menikmati Penghasilan Istri?

Tanggung jawab terbesar suami yang menjadi hak istri adalah memberikan nafkah kepadanya. Oleh karena itu, Islam menuntut kepada para suami agar keluar rumah mencari rezeki untuk memenuhi tanggung jawab tersebut. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan tanggung jawab memberi nafkah istri ini, di antaranya:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS al-Baqarah: 233)

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS at-Thalaq: 6)

Di dalam hadis dari Muawiyah bin Haidah, beliau bertanya kepada Nabi saw: “ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?”

Nabi saw menjawab:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Sementara istri tidak diwajibkan kepadanya untuk memberi nafkah keluarga. Maka, tidak ada kewajiban baginya untuk bekerja mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika pun bekerja di luar rumah, istri tentu harus mendapat izin dari suaminya.

Penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja istri itu bisa berdampak positif atau negatif terhadap keluarga. Artinya, penghasilan istri itu bisa menguatkan sendi-sendi perekonomian keluar atau bahkan sebaliknya, ia bisa menjadi ancaman.

Jika istri juga memiliki penghasilan dari usahanya sendiri, sejatinya itu adalah hak istri. Suami tidak mempunyai hak sedikitpun. Kelemahan fisik, atau statusnya sebagai istri tidak berarti boleh menikimati penghasilannya begitu saja.

Syekh Abdullah bin Abdur Rahman al Jibrin pernah ditanya tentang hukum suami yang mengambil uang (harta) milik istrinya, untuk digabungkan dengan uangnya (suami). Menjawab pertanyaan seperti ini, Syekh al Jibrin mengatakan, tidak disangsikan lagi, isteri lebih berhak dengan mahar dan harta yang ia miliki, baik melalui usaha yang ia lakukan, hibah, warisan, dan lain sebagainya. Itu merupakan hartanya, dan menjadi miliknya. Dia yang paling berhak untuk melakukan apa saja dengan hartanya itu, tanpa ada campur tangan pihak lainnya.

Karena penghasilan istri menjadi hak dia sepenuhnya, sehingga perlakuan kepadanya sama halnya dengan kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridaan dan kerelaannya. Demikian itu sama halnya ketika istri telah rela memberikan mahar kepadanya suaminya. Sebagaimana firman Allah:

وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS an-Nisa: 4)

Ayat di atas, ditujukan kepada para suami, bukan kepada para wali wanita. Inilah pendapat yang shahih.

Idealnya, antara suami dan istri terjalin kasih sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga keutuhan rumah tangga tidak bisa diukur dengan uang. Kerja sama dan saling mendukung antara suami istri harus tetap terjaga.

BINCANG SYARIAH

Hukum Suami Tidak Makan Masakan Istri

Di antara permasalahan yang sering terjadi di dalam rumah tangga dan sering dikeluhkan oleh seorang istri adalah suami tidak mau makan masakan istri. Dia lebih suka makan di tempat lain, seperti di warung makan dan lainnya. Tentu hal ini membuat hati seorang istri kecewa dan sedih. Sebenarnya, bagaimana hukum suami tidak makan masakan istri ini?

Pada dasarnya, seorang suami tidak memiliki kewajiban makan masakan istri atau makan bersama istri. Menurut para ulama, makan masakan istri atau makan bersama istri bagi suami hanya sunnah, tidak wajib.

Ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syarafuddin Abu Naja Al-Hajawi dalam kitab Al-Iqna’ li ThalibiL Intifa’ berikut;

يستحب الأكل مع الزوجة

Disunnahkan makan bersama istri.

Hanya saja, meski sunnah, namun suami dalam Islam sangat dituntut untuk selalu berbuat baik kepada istrinya dan menyenangkan hatinya, baik dengan perkataan dan perbuatan, termasuk di antaranya dengan menghargai dan memakan masakannya. Jika istri senang bila suami makan masakannya, maka sudah seharusnya seorang suami memakannya.

Ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Nisa’ ayat 19 berikut;

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Dan bergaullah dengan para istri dengan baik. Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai berikut;

طيِّبُوا أقوالكم لهن وحَسّنُوا أفعالكم وهيئاتكم بحسب قدرتكم كما تحب ذلك منها ، فافعل أنت بها مثله ..وكان من أخلاقه صلى الله عليه وسلم أنه جَمِيل العِشْرَة دائم البِشْرِ ، يُداعِبُ أهلَه ، ويَتَلَطَّفُ بهم ، ويُوسِّعُهُم نَفَقَته ، ويُضاحِك نساءَه ، حتى إنه كان يسابق عائشة أم المؤمنين يَتَوَدَّدُ إليها بذلك ، ويجتمع نساؤه كل ليلة في بيت التي يبيت عندها رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فيأكل معهن العشاء في بعض الأحيان ، ثم تنصرف كل واحدة إلى منزلها

Artinya:

Hendaknya kalian memperindah ucapan kalian pada para istri, dan berbuat baik dengan perbuatan dan tingkah laku sesuai kemampuan kalian, sebagaimana kamu ingin dapatkan dari mereka. Maka lakukanlah sebagaimana kamu ingin diperlakukan oleh mereka..Di antara akhlak Rasulullah Saw adalah beliau baik pergaulannya dan selalu ceria, bergurau dengan istrinya, berlemah lembut dengannya, mencukupi nafkahnya, membuat istrinya tertawa, bahkan beliau bermain lomba lari dengan Aisyah untuk menyenangkan hatinya, dan beliau juga selalu berkumpul dengan para istrinya setiap malam dalam sebuah rumah dimana beliau bermalam, kemudian kadang-kadang beliau makan malam bersama mereka, lalu mereka pergi ke rumah masing-masing.

BINCANG SYARIAH

Andakah Istri Yang Pandai Bersyukur Itu?

Tak semua wanita ditakdirkan memiliki suami yang berlimpah harta dan mempunyai segala hal yang diimpikan banyak wanita. Sebagaimana juga tak sedikit sosok suami yang kehidupan ekonominya kurang, meski ia tengah berusaha untuk berikhtiar menempuh jalan-jalan yang halal yang diperintahkan syariat. Di sinilah keberadaan pasutri, terutama istri harus memilki kekuatan iman untuk selalu mensyukuri pemberian suami. Tak sepatutnya para istri membandingkan kondisinya dengan pasangan yang lain yang lebih mapan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى اِمْرَأَةٍ لَا تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لَا تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ

Allah tidak akan melihat istri yang tidak mensyukuri suaminya padahal ia membutuhkannya.” (HR. An-Nasa`i dari Abdulah bin Amru, di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no.289)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Dawud. Di-shahih-kan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 416)

Istri shalihah adalah figur wanita yang memberi kedamaian batin pada suaminya. Ia akan berkata: “Suamiku jangan engkau bersedih, sungguh aku akan menutup rapat mataku dari mereka yang memiliki kekayaan dan gaji besar. Dari manusia yang sering mengekspos segala kenikmatan dunia di media sosial, berupa hidangan lezat, pakaian berkelas, dan berbagai komentar viral yang ‘like‘ di status-status mereka. Sungguh memandangmu adalah sebuah kebahagiaan tak terkira meski hidup kita serba seadanya.”

Istri idaman suami akan selalu melihat ke bawah untuk urusan dunia agar hatinya terjaga serta tak tersibukkan untuk selalu mengejar kenikmatan dunia dengan melupakan tujuan utama hidupnya, beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam kondisi senang maupun susah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هو أَسفَل مِنْكُمْ وَلا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوقَكُم؛ فهُوَ أَجْدَرُ أَن لا تَزْدَرُوا نعمةَ اللَّه عَلَيْكُ

Lihat orang di bawahmu dan janganlah melihat orang yang lebih tinggi darimu, karena melihat ke bawah itu lebih membantu diri kalian untuk tidak mengingkari kenikmatan Allah atas kalian.” (HR. Muslim no. 2963)

Seberat apapun ujian pasutri hendaklah bersyukur kepada Allah dengan selalu mengucapkan “Alhamdulillah”. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

كَانَ إذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ : الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ ، وَ إِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ : الحَمْدُ لِلهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melihat sesuatu yang beliau sukai, beliau mengucapkan : “Alhamdulillah alladzi bini’matihi tatimmush shalihat (segala puji bagi Allah yang atas nikmat-Nya amalan-amalan shalih bisa disempurnakan).” Dan jika melihat sesuatu yang tidak beliau sukai, beliau mengucapkan: “Alhamdulillah ‘ala kulli hal (segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan).”” (HR. Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah no. 3803, ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath no. 6663, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 4727 dan Silsilah ash-Shahihah no. 265)

Wanita yang berusaha membiasakan diri bersyukur pada Allah ‘Azza wa Jalla dan berterima kasih pada suaminya, insya Allah kehidupan pernikahannya akan bahagia dan harmonis, karena mengembalikan segala kesulitan hidupnya pada Dzat Yang Maha Kuasa. Hatinya akan tenang sebagaimana peri kehidupan para istri Rasul mulia dan para shahabiyah terdahulu.

Istri yang selalu menjadikan syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla sebagai perhiasan hidup, niscaya akan dicintai Allah ‘Azza wa Jalla, dikasihi suaminya, dan mampu memberikan rona kedamaian di manapun ia berada.
Terimalah suami apa adanya dan bergaullah dengan baik, fokuslah pada kebaikan suami agar Anda selalu bahagia. Suami adalah sosok terdekat Anda yang akan membantu Anda dalam meraih ketakwaan yang sejati. Dialah teman seperjuangan lahir batin untuk meneruskan perjalanan ini hingga keduanya menjadi penghuni surga, insya Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا ينظرُ اللَّهُ إلى امرأةٍ لا تشكُرُ لزوجِها وَهيَ لا تستَغني عنهُ

Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan ia tidak merasa cukup dengan apa yang diberikan suaminya.” (HR. An-Nasa`i no. 9086 dalam as-Sunan al-Kubra, al-Baihaqi no. 14720 dalam Sunan al-Kubra [7/480], di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 1944)

Jadilah istri mulia yang selalu merasa cukup dengan rezeki yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla. Hindari banyak mengeluh yang bisa mengurangi kadar rasa syukurmu. Ingatlah selalu kabar gembira yang semakin mengokohkan untuk selalu menjadi hamba yang bersyukur. Allah berfirman:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim : 7)
Semoga Allah memberi taufik.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

MUSLIMAH

Referensi:
1. Surat Terbuka Untuk Para Istri, Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2014.
2. One Heart, Rumah Tangga Satu Hati Satu Langkah, Zaenal Abidin bin Syamsudin, Pustaka Imam Bonjol, Jakarta, 2013.

Nasihat Ibnu Al-Utsaimin Tentang Istidraj

Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:

فلما نسوا ما ذكروا به فتحنا عليهم أبواب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوتوا أخذنا هم بغتة فإذا هم مبلسون

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS. Al-An’am : 44).

Dunia dengan segala kemegahannya seringkali membuat silau hingga tenggelam serta sibuk dalam buaian kebahagiaan. Sebagai mukmin yang memiliki jiwa bersih hendaknya lebih jeli kala menghadapi saat-saat indah ini, karena jika ia tak menyadari semua itu bisa berubah menjadi prahara. Realitanya, tak sedikit manusia terlena dengan kesenangan semu ini, bahkan melakukan dosa, maka inilah istidraj.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila engkau melihat seorang hamba masih mendapatkan karunia dunia dari Allah sesuka hatinya sementara ia masih gemar melakukan maksiat sesungguhnya karunia itu tidak lain adalah istidraj” (HR. Ahmad dalam [4/145], dari hadits Uqbah bin Amir radhiallahu’anhu). Maka waspadalah terhadap istidraj!

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberikan nasehat yang indah tentang hal ini: “Allah memberikan kesempatan kepada seseorang hamba yang berbuat zalim dan tidak menyegerakan siksanya. Ini merupakan ujian, kita memohon semoga melindungi kita semua. Diantara sikap istidraj adalah diberi kesempatan untuk berbuat zalim dan tidak segera dihukum, sehingga dia melakukan banyak kezaliman kepada manusia. Jika Allah mengazabnya dengan azab yang pedih. Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman:

وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى و هي ظلمة إن أخذه أليم شديد

Dan begitulah azab Tuhanmu, apabia Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya adalah sangat pedih lagi keras”. (QS. Huud: 62).

Kepada orang yang zalim hendaklah dia tidak terperdaya oleh dirinya sendiri dan tidak pula dengan karunia Allah yang diberikan kepadanya karena semua itu hakikatnya musibah di atas musibah. Karena jika manusia dihukum oleh Allah dengan segera atas kezalimannya mungkin dia akan selalu ingat dan meninggalkan kezaliman. Tetapi jika dia masih diberi kesempatan terus untuk berbuat zalim dan melakukan perbuatan dosa maka kezalimannya terus bertambah dan dosa-dosanya menumpuk sehingga hukumannya semakin berat. Kita memohon kepada Allah semoga kita diberi karunia untuk bisa mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran-Nya dan semoga Allah melindungi dari kezaliman diri kita dan kezaliman orang lain. Innahu Jawwaadun Kariim” (Syarah Riyadhus Shalihin, Juz I hadits no.1191 hal 953-934)

Inilah nasehat indah agar kaum mukminin selalu berhati-hati agar tidak berbuat zalim. Dan tidaklah pantas kita terpedaya orang-orang yang dibukakan pintu-pintu kenikmatan dunia namun mereka melupakan karunia Allah Ta’ala, tidak mensyukurinya bahkan memanfaatkannya di jalan-jalan yang dibenci Allah ‘Azza wa Jalla.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat : “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap diri kalian. Tetapi yang aku khawatirkan justru apabila dunia ini dibentangkannya kepada kalian, sebagaimana dahulu juga dibentangkan di hadapan umat-umat sebelum kalian. Lalu kalianpun memperebutkannya. Hingga akhirnya dunia ini membinasakan kalian sebagaimana dahulu dunia itupun membuat mereka binasa” (HR. Ahmad no.539, Al-Hakim [2/582], dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Wallahul muwaffiq.

Referensi:
1. Saat Hidayah Menyapa, Fariq Gasim Anuz, Daun Publising, Cirebon, 2010
2. Sandiwara Langit, Abu Umar Basyier, Shofa Publika, Magelang, 2008

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Artikel Muslimah.or.id

Mengapa Allah Mengunci Hati Manusia?

 Allah Swt Berfirman :

بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا

“Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka.” (QS.An-Nisa’:155)

كَذَٰلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ

“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS.Ghafir:35)

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? (QS.al-Jatsiyah:23)

Semua ayat di atas menunjukkan bahwa sebab dari terkuncinya hati manusia adalah kekufuran, kesombongan, selalu mengikuti hawa nafsu dan perlawanan terhadap kebenaran. Dalam kondisi semacam ini sebenarnya manusia sedang melempar perbuatannya kepda dirinya sendiri.

Dalam kehidupan manusia, ketika seseorang melakukan sesuatu secara berulang akan menjadi sebuah “kebiasaan”. Dan jika dilakukan terus menerus akan menjadi sebuah “karakter”, sehingga telah menjadi bagian dalam hidupnya bahkan seakan ia tidak bisa lepas darinya.

Begitulah ketika seseorang sering melakukan dosa maka hal itu akan menjadi kebiasaan dan jika dilakukan terus menerus akan menjadi karakter yang sulit sekali untuk terlepas darinya.

Sejak awal manusia punya kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Ketika ia terus memilih jalan yang menyimpang maka keburukan telah menjadi karakter dalam dirinya. Inilah yang disebut hatinya dikunci oleh Allah. Yaitu sebuah kondisi dimana keburukan telah menjadi karakter dalam diri seseorang sehingga sulit sekali baginya untuk keluar dari kondisi ini.

Terkuncinya hati adalah karena pilihannya sendiri sehingga ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Sama persis seperti seorang yang menutup matanya dan menutup telinganya dengan sengaja agar ia tidak bisa mendengar dan melihat.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Adakah Rasul dari Kalangan Jin?

Pada artikel ini kami akan menjelaskan pendapat para ulama tentang keberadaan rasul dari kalangan jin. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama berkaitan dengan masalah apakah terdapat rasul dari kalangan jin. Perbedaan pendapat terbagi menjadi dua, ada yang berpendapat terdapat rasul dari kalangan jin, dan ada pendapat yang mengatakan tidak. Selain penjalasan itu, kami bawakan pula pendapat yang lebih kuat di antara keduanya. Simak penjelasan berikut ini.

Pendapat pertama, terdapat rasul dari kalangan jin

Pendapat ini dinisbatkan kepada Adh-Dhahak, Muqaatil, dan dipilih oleh Ibnu Hazm Rahimahumullah.

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالإِنسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَاء يَوْمِكُمْ هَـذَا قَالُواْ شَهِدْنَا عَلَى أَنفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُواْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُواْ كَافِرِينَ

“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata, ‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’, kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-An’am [6]: 130).

Maksud dari ayat,

رُسُلٌ مِّنكُمْ

“rasul-rasul dari golongan kamu sendiri”; adalah “dari golongan jin dan manusia.”

Dari ayat ini, para ulama tersebut mengatakan bahwa Allah Ta’ala mengabarkan bahwa dari golongan jin juga terdapat rasul yang diutus kepada mereka. Sebagaimana dari golongan manusia juga terdapat rasul yang diutus kepada mereka.

Akan tetapi, para ulama yang mengatakan bahwa tidak ada rasul dari golongan jin memberikan argumentasi untuk membantah hal ini. Mereka mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah “rasul dari salah satu dari dua golongan yang disebutkan”.

Hal ini sama seperti firman Allah Ta’ala,

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu” (QS. Ar-Rahman [55]: 19).

Kemudian Allah Ta’ala mengatakan,

يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ

“Dari keduanya keluar mutiara dan marjan” (QS. Ar-Rahman [55]: 22).

Mutiara dan marjan hanyalah keluar dari air laut, bukan dari air tawar. Makna ayat tersebut adalah “keluar dari salah satu di antara keduanya” (Lihat Tafsir Ath-Thabari, 12: 122).

Dari sisi bahasa Arab, jika rasul itu berasal dari golongan manusia, kemudian jin diperintahkan untuk mengikuti rasul dari golongan manusia tersebut, tidak masalah jika diungkapkan dengan kalimat,

أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ

“Apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri.”

Semisal dengan ungkapan ini adalah jika dikatakan kepada orang Arab dan non-Arab,

ألم يجئكم رسل منكم يا معشر العرب و العجم

“Apakah belum datang kepada kalian wahai bangsa Arab dan non-Arab?”

Kalimat ini tidaklah menunjukkan bahwa untuk bangsa Arab ada rasul tersendiri, dan untuk bangsa non-Arab ada rasul yang lain.

Pendapat kedua, tidak ada rasul dari kalangan jin

Mereka berpendapat Rasul hanya khusus berasal dari golongan manusia. Adapun jin, yang ada hanyalah pemberi peringatan. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, juga merupakan pendapat Mujahid, dan dipiliholeh Ibnu Abi Zamanin, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Katsir Rahimahumullah.

Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَراً مِّنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِم مُّنذِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Quran. Maka ketika mereka menghadiri pembacaan-(nya), lalu mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).’ Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan” (QS. Al-Ahqaf [46]: 29).

Mujahid Rahimahullah berkata, “Rasul itu berasal dari golongan manusia, sedangkan pemberi peringatan dari golongan jin.” Beliau kemudian membaca ayat,

وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِم مُّنذِرِينَ

“ … mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.”

Mereka (pemberi peringatan dari golongan jin) adalah yang mendengarkan perkataan rasul (manusia) kemudian menyampaikan kepada kalangan mereka sendiri (sesama jin) tentang apa yang mereka dengar” (Lihat Tafsir Ats-Tsa’labi, 4: 191).

Dalil lainnya adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya. Dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.”

وَرُسُلاً قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِن قَبْلُ وَرُسُلاً لَّمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيماً

“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزاً حَكِيماً

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nisa’ [4]: 163-165).

Allah Ta’ala juga berfirman berkaitan dengan Nabi Ibrahim ‘Alaihis salaam,

وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ وَآتَيْنَاهُ أَجْرَهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan Kami anugerahkan kepda Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasannya di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang salih” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 27).

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala membatasi kenabian dan kitab suci hanya pada Nabi Ibrahim ‘Alaihis salaam dan keturunannya. Namun tidak ada satu pun ulama yang mengatakan bahwa ada kenabian (rasul) dari golongan jin sebelum diutusnya Nabi Ibrahim ‘Alaihis salaam.

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah bahwa tidak ada rasul dari golongan jin. Di antara golongan jin hanya terdapat pemberi peringatan saja, berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa terdapat rasul dari golongan jin adalah pendapat yang ganjil (syadz), yang tidak pernah dikatakan oleh ulama salaf terdahulu. Penisbatan pendapat tersebut kepada Adh-Dhahak rahimahullah juga tidak sahih dari sisi sanad (jalur periwayatan).

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id