Lima Amalan di Bulan Syaban

Ada sejumlah amalan di bulan Syaban.

Syaban adalah bulan yang diberkahi. Setiap muslim harus memanfaatkan kesempatan, melakukan yang terbaik untuk  memaksimalkan ibadah di bulan ini.

Melansir laman aboutislam.net, ulama asal Kanada Syekh Ahmad Kutty menjelaskan lima amalan yang dapat dilakukan saat bulan Syaban diantaranya, 

Pertama, puasa sangat dianjurkan di bulan ini, terutama di 10 hari pertama. Namun, dianjurkan harus berhenti berpuasa karena kita semakin dekat dengan Ramadhan . Dengan cara ini, kita menjauhkan diri dari menggabungkan puasa Syaban dengan puasa Ramadhan.

Kedua, membaca Al qur’an adalah amalan besar lainnya untuk dipraktikkan. Sebagian  salaf  menyebut bulan ini sebagai bulan pengajian.

Ketiga, perbanyak zikir dan konsisteb untuk terus melakukannya.

Keempat,  menambah ilmu pengetahuan. Kita dapat menggunakan waktu dengan baik untuk menambah pengetahuan kita tentang Ramadhan dan aturan dan  adab  (ajaran) puasa Ramadhan. Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, berkata, “Tidak ada manfaat yang didapat dari ibadah tanpa ilmu.”

Kelima, perbanyak doa.  Adapaun doa yang sering dipanjatkan adalah,  Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Syaban dan bawa kami ke Ramadhan .”

Telah diriwayatkan oleh para sahabat bahwa Nabi lebih banyak berpuasa di bulan Syaban daripada bulan lainnya (kecuali Ramadhan). Sebagaimana disebutkan oleh para ulama, itu adalah persiapan untuk Ramadhan.

Sumber:

IHRAM

Puasa Qadha Ramadhan Selama Satu Bulan Syaban, Bolehkah?

Lantas bagaimana hukumnya jika ada seseorang yang memiliki utang puasa lebih dari 30 hari dari tahun-tahun sebelumnya, kemudian ingin melakukan puasa qadha 30 hari penuh selama bulan Syaban? Lembaga fatwa Mesir Dar al-Iftaa memberi penjelasan mengenai hal ini.

“Ya, secara syariat diperbolehkan untuk membayar utang puasa di bulan Syaban, dengan berpuasa pada sebagian atau sebulan penuh,” demikian penjelasan Dar al-Iftaa seperti dilansir Youm7, Kamis (3/3).

Dari Abu Salamah, dia berkata, “Saya mendengar bahwa Aisyah RA berkata, ‘Saya pernah mempunyai utang puasa bulan Ramadhan, lalu aku tidak mampu meng-qadha-nya, kecuali di bulan Syaban.” (HR Bukhari)

Kemudian, apakah benar ada larangan berpuasa di paruh kedua bulan Syaban? Komite Fatwa Dewan Riset Islam Al Azhar Mesir menyampaikan, para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Misalnya, jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa atau bernazar untuk berpuasa atau harus meng-qadha puasa Ramadhan sebelumnya, maka tidak ada salahnya jika dia berpuasa pada awal, tengah, atau akhir Syaban.

Sebagian ulama menyebutkan, bagi yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa atau hal-hal seperti disebutkan pada pendapat pertama itu, maka tidak diwajibkan berpuasa pada separuh kedua Syaban. Tetapi jika telah berpuasa pada separuh pertama Syaban, maka diperbolehkan berpuasa

Dewan Fatwa mengutip pendapat Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fath Al-Bary, bahwa Al Qurtubi mengatakan, tidak ada pertentangan antara hadits larangan puasa pada separuh kedua Syaban dan larangan puasa yang bisa mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari. Begitu juga antara hadits yang menyambungkan Syaban dan Ramadhan, juga tidak ada pertentangan.

Pengharaman tersebut adalah bagi mereka yang tidak biasa melaksanakan ibadah puasa. Namun, mereka yang biasa melakukan ibadah puasa punya tanggung jawab untuk berpuasa di paruh kedua Syaban, karena bagaimana pun, puasa yang dilakukannya adalah untuk menjaga kebiasaan baik tersebut.

IHRAM

Proses Penciptaan Langit dan Bumi

Allah menciptakan di atas bumi apa saja yang dibutuhkan manusia dari pepohonan, sungai, jalan-jalan, makanan dan sejenisnya dalam waktu dua hari, yaitu hari Selasa dan Rabu

BANYAK riwayat yang berbeda-beda yang menceritakan tentang sejarah penciptaan langit dan bumi. Ayat di atas secara lahir menggambarkan bahwa penciptaan bumi terlebih dahulu sebelum penciptaan langit.

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS: al-Baqarah {2} : 29).

Bagaimana hakekatnya?

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Arsy Allah di atas air. Pada waktu belum ada makhluk lainnya ketika Allah ingin menciptakan makhluk lain, Dia mengeluarkan kabut dari air tersebut, kemudian kabut tersebut membumbung tinggi ke atas, maka disebut dengan langit.

Kemudian air yang di bawahnya mengering, dari situlah diciptakan bumi, kemudian dijadikan tujuh lapis dalam waktu dua hari, Ahad dan Senin. Ketika bumi tersebut bergoncang, Allah ciptakan gunung di atasnya supaya tidak bergoncang lagi. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah  Subhanahu wa ta’ala :

وَأَلۡقَىٰ فِي ٱلۡأَرۡضِ رَوَٰسِيَ أَن تَمِيدَ بِكُمۡ وَأَنۡهَٰرٗا وَسُبُلٗا لَّعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ

“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” (QS: an-Nahl {16}: 15)

Kemudian menciptakan di atas bumi apa saja yang dibutuhkan manusia dari pepohonan, sungai, jalan-jalan, makanan dan sejenisnya dalam waktu dua hari, yaitu hari Selasa dan Rabu. Itulah yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

قُلۡ أَئِنَّكُمۡ لَتَكۡفُرُونَ بِٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَرۡضَ فِي يَوۡمَيۡنِ وَتَجۡعَلُونَ لَهُۥٓ أَندَادٗاۚ ذَٰلِكَ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  وَجَعَلَ فِيهَا رَوَٰسِيَ مِن فَوۡقِهَا وَبَٰرَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَآ أَقۡوَٰتَهَا فِيٓ أَرۡبَعَةِ أَيَّامٖ سَوَآءٗ لِّلسَّآئِلِينَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam”. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS: Fushshilat: 9-10).

Kemudian Allah menuju langit yang waktu itu masih berbentuk kabut, kemudian Allah jadikan kabut tersebut satu langit, setelah itu Allah pisahkan menjadi tujuh langit dalam waktu dua hari, yaitu hari Kamis dan Jum’at. Ini yang dimaksud firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ وَهِيَ دُخَانٞ فَقَالَ لَهَا وَلِلۡأَرۡضِ ٱئۡتِيَا طَوۡعًا أَوۡ كَرۡهٗا قَالَتَآ أَتَيۡنَا طَآئِعِينَ  فَقَضَىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَاتٖ فِي يَوۡمَيۡنِ وَأَوۡحَىٰ فِي كُلِّ سَمَآءٍ أَمۡرَهَاۚ وَزَيَّنَّا ٱلسَّمَآءَ ٱلدُّنۡيَا بِمَصَٰبِيحَ وَحِفۡظٗاۚ ذَٰلِكَ تَقۡدِيرُ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡعَلِيمِ

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Fushshilat {41} : 11-12).

Disebut Hari Jum’at, karena Allah mengumpulkan penciptaan langit dan bumi pada hari itu dan memberikan wahyu dan perintah-Nya pada setiap langit dan bumi. Kemudian menghiasi langit yang terdekat (dengan bumi), dengan bintang-bintang yang berfungsi sebagai lampu-lampu penerang dan penjaga dari syetan-syetan yang mencuri pendengaran.

Setelah selesai menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari, Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS: al-Hadid {57} : 4).

Jumlah Langit dan Bumi

Jumlah langit ada tujuh, sebagaimana yang tersebut dalam Surah al-Baqarah ayat 29 di atas dan ayat-ayat lainnya.  Adapun jumlah bumi, al-Qur’an tidak menyebutnya secara jelas, kecuali dalam satu ayat, firman Allah Subhanahu wa ta’ala :

ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖ وَمِنَ ٱلۡأَرۡضِ مِثۡلَهُنَّۖ

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS: at-Thalaq {65} : 12).

Maksudnya Allah yang menciptakan bumi dengan jumlah tujuh bumi. Ini dikuatkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ  bersabda:

لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلاَّ طَوَّقَهُ اللَّهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ‏ ‏.‏

“Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari Kiamat kelak.” (HR: Muslim).

Hadits-hadits tentang jumlah bumi yang tujuh sangat banyak, hadits di atas sudah mewakilinya. Wallahu A’lam.*/Dr Ahmad Zain an-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Bagaimana Apabila Berhutang tapi Lupa Kepada Siapa?

Apabila seseorang berhutang kepada teman atau kerabat disaat sedang membutuhkan, maka baginya wajib untuk melunasi ketika sudah memiliki uang atau sesuai dengan janji yang telah disepakati. Tetapi, bagaimana jika dia lupa dengan siapa berhutang? Apa yang harus dilakukan untuk melunasi hutang? Untuk menjawabnya mari simak ulasan berikut ini!

Saat hendak berhutang, seseorang perlu mempunyai niat yang kuat untuk bisa membayarnya sesuai dengan janji yang telah disepakati. Hal ini sesuai hadits dari Abu Hurairah berikut,

   مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ  

Artinya: “Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya” (HR Bukhari).

Melupakan hutang merupakan salah satu dosa dan maksiat bila sebabnya muncul dari orang yang berhutang, seperti tidak berusaha mengingat dan membayar hutang. 

Akan tetapi, apabila sudah berusaha mengingat dan mencari tahu secara maksimal namun belum juga mengetahuinya, maka yang harus dilakukan adalah menyedekahkan sejumlah uang yang sekiranya setara dengan jumlah hutang untuk kemaslahatan umum, seperti untuk pembangunan masjid, dengan niat membayar hutang. 

Apabila suatu saat pemilik piutang datang dan meminta hutang tersebut, maka hendaknya memberitahunya tentang sedekah dengan menggunakan uang pelunasan hutang tersebut. Jika dia rela dengan sedekah itu, maka orang yang berhutang telah terbebas dari hutangnya, namun bila ia tetap meminta haknya, maka wajib untuk melunasi hutang tersebut.

Hal ini sebagaimana dalam keterangan Syekh Sulaiman al-Jamal kitabnya Hasyiyatul Jamal ala Syarh al-Minhaj, juz 5, halaman 307,

 ثم رأيت في منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التي بين العباد إما في المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجزعن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه في أني رضيه عنه يوم القيامة. 

Artinya : “Kemudian aku melihat dalam kitab Minhaj al-‘Abidin karya al-Ghazali dijelaskan bahwa dosa yang terjadi antar hamba-hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya bila memungkinkan. Jika dia tidak mampu membayar karena fakir maka ia harus meminta kerelaan pemilik piutang. 

Bila tidak mampu meminta kerelaan karena pemilik harta tidak diketahui keberadaannya atau karena telah meninggal dunia tapi masih mampu untuk bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya. 

Dan bila masih tidak mampu bersedekah, maka perbanyaklah berbuat kebajikan, dan menyerahkan segala urusan pada Allah, rendahkanlah diri di hadapan-Nya agar kelak di hari kiamat Allah meridhai tanggungan harta yang masih belum terlunaskan.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang melupakan hutangnya adalah menyedekahkan sejumlah uang yang sekiranya setara dengan jumlah hutang untuk kemaslahatan umum, seperti untuk pembangunan masjid, dengan niat membayar hutang.

Demikian bagaimana apabila berhutang tapi lupa kepada siapa? Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Kita Iri Padanya

DAI itu milik umat ketika sehat, milik istri ketika sakit, dan milik Allah karena kita semua milik-Nya dan kepada-Nyalah kita akan kembali. Sebenarnya kita sedih ditinggal Ustadz Syuhada Bahri.

Seorang dai sekaligus Bapak Para Dai (Abu Duat). Bahkan kemarin siang dalam sambutannya Ustadz Abdul Wahid Alwi menyebut almarhum termasuk ulul azmi minaddu’at, di antara dai yang sabar menghadapi sulitnya tantangan dakwah.

Betapa banyak jasa beliau mendakwahi dan mengislamkan orang-orang di pedalaman. Hampir seluruh pelosok tanah air pernah beliau datangi, bukan untuk berwisata, tapi untuk berdakwah.

Khususnya Timor timur sebelum lepas dari NKRI. Pernah beliau berkata kepada kami, beliau hapal betul sampai gang-gang kecil di kota Dili saking seringnya di sana.

Tidak cuma berdakwah, tapi beliau juga mengirim dai-dari ke pelosok, pulau-pulau terpencil dan wilayah perbatasan tanah air. Sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah periode 2007-2014, beliau meneruskan kebijakan -Allahu yarham Pak Natsir yang dari dulu mengirimkan dai ke pelosok.

Hanya saja di jaman Ustadz Syuhada dainya bergelar S1 yang sebelumnya digembleng di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah M. Natsir di Tambun, Bekasi.

Di jaman kepemimpinan Ustadz Syuhada juga dilaksanakan Program KSU, Kaderisasi Seribu Ulama (yang sekarang diadopsi Baznas), dengan tujuan mencetak 200 doktor, 400 magister dan 400 non-gelar (mulazamah).

Dari tahun 2007 sd 2014, di mana kerjasama dengan Baznas terhenti, program ini sudah menghasilkan 69 doktor dan 254 magister yang tersebar di berbagai ormas, tidak cuma di Dewan Dakwah. Tahun 2021 program kaderisasi ulama di bawah Ketua Umum Dr. Adian Husaini kembali dilanjutkan.

Di setiap pembekalan terhadap peserta KSU, Ustadz Syuhada sering menekankan pentingnya niat (nawaitu) dalam berjuang. Dan contoh yang beliau berikan adalah Perang Uhud.

“Satu  orang saja tidak lurus niatnya, pertolongan Allah tidak akan datang,” kata beliau.

Sebagaimana kita ketahui, dalam Perang Uhud ada 35 tentara Islam yang niatnya tidak lurus karena silau dengan harta, sehingga kaum muslimin akhirnya menderita kekalahan waktu itu. Berkaca dari situ Ustadz Syuhada berpesan, “Kalau ada satu orang saja niatnya tidak lurus, hanya ingin mengejar gelar doktor, jangan harap pertolongan Allah akan tiba!” Demikian beliau mengarahkan kadernya yang level intelektual.

Selepas menjalankan amanat sebagai ketua umum Dewan Dakwah tidak membuat beliau berhenti berdakwah. Beliau tetap berdakwah dan terus berdakwah, karena memang itulah DNA beliau.

Ustadz Syuhada juga bersama Ketua Umum Parmusi, organisasi yang dulu bergerak di bidang politik praktis, mengubah organisasi tersebut menjadi organisasi yang fokus di bidang dakwah. Bahkan dari tahun 2017 sampai sekarang beliau sudah membina 5000 dai di berbagai daerah bawah Parmusi.

Soal pembangunan masjid, termasuk masjid al-Muhajirin di depan rumahnya, tidak terhitung banyaknya beliau membantu. Dewan dakwah sendiri sampai sekarang sudah membantu pembangunan 800-an masjid di seluruh penjuru tanah air. Belum lagi sekolah dan pesantren yang berada di bawah Dewan Dakwah.

Hidup Ustadz Syuhada memang untuk dakwah dan umat. Maka kata beliau, dai ini milik umat.

Baru kalau beliau sakit, di rumah saja tidak bisa kemana-mana menjadi milik dan dirawat istri.

Minggu lalu, saya sempet menjenguk beliau di kediamannya. Beliau hanya tiduran di tempat tidur dengan bantuan oksigen sambil mendengarkan bacaan murotal, istrinyalah -Bu Dewi yang merawatnya.

Kememarin,  saya menyaksikan orang-orang menshalatkan beliau di masjid al-Muhajirin bergantian tak habis-habis. Pada saat pelepasan ke Masjid al-Furqan juga kata-kata persaksian yang disampaikan membuat orang banyak menangis.

Saya memang tidak mengiringinya ke masjid al-Furqan di Jl. Kramat Raya 45 Salemba, markas Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia karena sedang kurang sehat. Tapi saya menyaksikan secara live dari video kawan di Facebook.

Begitu banyak orang yang menshalatkan di sana termasuk pak Gubernur DKI, Anies Baswedan, Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva dan banyak orang penting lainnya. Kembali, untaian kata orang-orang yang memberikan sambutan membuat kita semua terharu.

Beliau yang sudah banyak meninggalkan legacy (warisan) bagi dakwah Islam dan NKRI, wafat di hari Jumat, sayyidul ayyam, hari baik. Juga wafat di bulan Rajab, bulan haram, bulan mulia. Almarhum dishalatkan dan didoakan oleh banyak orang-orang baik di tempat mulia, di masjid al-Furqon Kramat Raya. Itulah tanda kebaikan wafatnya beliau.

Kita sedih ditinggal beliau. Tapi sebenarnya kita iri kepadanya.

Almarhum meninggal dengan cara dan kesempatan yang baik setelah meninggalkan kebaikan yang banyak. Semoga hamba yang jauh kedudukan dengan almarhum ini kelak Allah kumpulkan bersamanya di Surga, bersama Nabi, para shiddiqin, dan orang-orang shalih lainnya. Amiin.*

Dosen UIKA-Bogor dan Peneliti INSISTS

HIDAYATULLAH

Fikih Kasus Kriminal yang Dilaporkan kepada Ulil Amri

Dalam fikih, dibedakan antara kasus kriminal yang sudah dilaporkan kepada ululamri (pemerintah) dengan yang belum dilaporkan. Untuk kasus kriminal terdapat hukuman hadd-nya. Apabila sudah dilaporkan kepada ululamri maka ketika itu hukuman hadd wajib ditegakkan. Adapun yang belium dilaporkan kepada ululamri maka tidak wajib ditegakkan hadd dan bisa dimaafkan.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu beliau berkata,

إني لَأذكرُ أولَ رجلٍ قطعه رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، أُتِيَ بسارقٍ فأمر بقطعِه ، فكأنما أسِفَ وجهُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، فقالوا : يا رسولَ اللهِ كأنك كرهتَ قطعَه ؟ قال: وما يمنعُني ؟ ! لا تكونوا أعوانًا للشيطان على أخيكم إنه لا ينبغي للإمامِ إذا انتهى إليه حدٌّ إلا أن يقيمَه إنَّ اللهَ عفُوٌّ يحبُّ العفْوَ { وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ}

“Aku ingat suatu ketika ada lelaki yang dipotong tangannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika itu dihadapkan kepada beliau seorang pencuri, lalu dipotonglah tangan pencuri tersebut.

Namun seolah-olah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyesal telah memotong tangan orang tersebut. Maka para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak suka untuk memotong tangan orang tadi?’

Nabi bersabda, ‘Apa yang menghalangiku untuk tidak memotongnya? Janganlah kalian menjadi penolong setan untuk menggoda saudara kalian (untuk tidak menegakkan hadd, pent.). Sesungguhnya tidak boleh bagi seorang pemimpin jika kasus kriminal telah dihadapkan kepadanya lalu ia tidak menegakkan hadd.

Sesungguhnya Allah itu Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan. Allah berfirman (yang artinya), ‘dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’” (QS. An Nur: 22)” (HR. Ahmad [6/100], di-hasan-kan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [4/182]).

Hadis ini menunjukkan bahwa jika kasus kriminal yang terdapat hukuman hadd sudah dilaporkan kepada ululamri, maka wajib bagi ululamri untuk menegakkan hadd (hukuman) dan tidak ada celah untuk memaafkan walaupun sangat ingin untuk memaafkan.

Syekh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan bahwa menegakkan hukuman hadd adalah termasuk perkara penting. Bahwasanya dalam hal ini tidak diperbolehkan syafa’ah setelah perkaranya sampai kepada penguasa. Bahkan hukuman hadd tersebut wajib dijalankan, jika memang perkaranya sampai kepada penguasa. Sehingga timbul efek jera di tengah masyarakat dari melakukan apa yang diharamkan Allah. Itu juga merupakan sebab dari istikamahnya masyarakat dalam melakukan apa yang Allah perintahkan, dan dalam rangka menegakkan hak Allah Subhanahu wa ta’ala” (http://www.binbaz.org.sa/mat/11950).

Ibnu Daqiq Al-Ied ketika menjelaskan hadis Bukhari-Muslim yang panjang tentang wanita Mahzumiyyah yang dipotong tangannya, beliau menjelaskan, “Hadis ini adalah dalil terlarangnya memberi syafaat untuk sebuah hukuman hadd setelah perkaranya sampai di tangan hakim/penguasa. Di dalam hadis ini juga terdapat penggambaran betapa fatalnya perbuatan al-muhabah (nepotisme) terhadap orang-orang terhormat dalam pelanggaran hak-hak Allah Ta’ala” (Ihkamul Ahkam, 2/248).

Baca Juga: Apakah Ulil Amri Yang Wajib Ditaati Hanya Yang Berhukum Dengan Kitabullah?

Kasus yang belum dilaporkan

Adapun selama belum dilaporkan kepada ululamri, maka disitulah celah untuk memaafkan. Terutama bagi orang-orang baik yang tergelincir pada kesalahan. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94).

Di dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم ، إلا الحدود

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Disahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 638).

Ali Al-Qari berkata, “Para ulama telah sepakat mengenai haramnya syafaat dalam urusan hadd setelah perkaranya sampai di tangan imam (hakim) berdasarkan hadis ini. Hal itu dikarenakan dalam hadis ini ada larangan memberikan syafaat. Adapun sebelum perkaranya sampai di tangan imam (hakim), sebagian besar ulama membolehkannya jika orang yang melakukan maksiat tersebut bukan orang yang biasa berbuat keburukan atau orang yang suka mengganggu orang lain. Adapun maksiat yang dikenai hukuman ta’zir (bukan hadd), maka boleh ada syafaat (orang dekat bagi terpidana, pent.) dan boleh (bagi hakim, pent) untuk memberikan syafaat, baik perkaranya sampai ke imam ataukah tidak, karena ia lebih ringan (dari hadd). Bahkan hukumnya mustahab (dianjurkan) jika pelaku maksiat tersebut bukan orang yang biasa memberikan gangguan” (Mirqatul Mafatih, 6/2367).

An-Nawawi mengatakan, “Maksudnya adalah menutupi kesalahan orang yang memiliki nama baik dan semisal mereka yang tidak dikenal gemar melakukan gangguan dan kerusakan. Adapun orang yang gemar melakukan gangguan dan kerusakan maka dianjurkan untuk tidak ditutup-tutupi kesalahannya. Bahkan dianjurkan untuk diajukan perkaranya kepada waliyul amri jika tidak dikhawatirkan terjadi mafsadah” (Syarah Shahih Muslim, 16/135).

Oleh karena itu, terkadang perlu dimaafkan dan terkadang perlu dilaporkan.

Di antara akhlak yang mulia adalah seseorang memaafkan orang yang berbuat zalim. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali-Imran: 134).

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, “Di antara bentuk bermuamalah dengan akhlak mulia kepada orang lain adalah jika anda dizalimi atau diperlakukan dengan buruk oleh seseorang, maka anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan orang lain” (Makarimul Akhlak, hal. 25).

Sehingga tidak ragu lagi bahwa memaafkan itu lebih utama secara umum. Namun, memaafkan itu tidak selamanya lebih baik dan utama. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan melakukan perbaikan maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Asy Syura: 40).

Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, “Dalam ayat ini Allah menggandengkan pemaafan dengan ishlah (perbaikan). Maka pemaafan itu terkadang tidak memberikan perbaikan.

Terkadang orang yang berbuat jahat pada anda adalah orang yang bejat, yang dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang buruk dan rusak. Jika anda memaafkannya, maka ia akan semakin menjadi-jadi dalam melakukan keburukannya dan semakin rusak. Maka yang lebih utama dalam kondisi ini, anda hukum orang ini atas perbuatan jahat yang ia lakukan. Karena dengan demikian akan terjadi ishlah (perbaikan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan,

الإصلاح واجب والعفو مندوب, فإذا في العفو فوات الإصلاح فمعنى ذلك أننا قدمنا مندوبا على الواجب. هذا لا تأتي به الشريعة

Ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Hal seperti ini tidak ada dalam syariat.’

Sungguh benar apa yang beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) sebutkan, rahimahullah” (Makarimul Akhlak, hal. 27).

Maka terkadang, tidak memaafkan dan menjatuhkan hukuman itu lebih utama. Jika memang hukuman tersebut akan menjadi kebaikan bagi si pelaku, kebaikan bagi masyarakat atau kebaikan bagi agama.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/72592-fikih-kasus-kriminal-yang-dilaporkan-kepada-ulil-amri.html

Hukum Menggunakan Pengeras Suara Masjid untuk Pengumuman

Lumrah terjadi di desa-desa, masyarakat menggunakan pengeras suara masjid untuk pengumuman suatu pemberitahuan yang biasanya terkait dengan adanya orang yang meninggal, posyandu, atau untuk memanggil anggota majlis taklim atau manakiban. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak lama dan masih eksis hingga kini, sebab masih dinilai efektif untuk mengumpulkan orang banyak. Padahal kita tahu semua bahwa barang-barang yang ada dalam masjid merupakan barang-barang wakaf, bolehkah tindakan masyarakat tersebut? (Baca: Hukum Iqamah dengan Pengeras Suara)

Sebagaimana yang kita ketahui, masjid merupakan tempat yang diwakafkan untuk shalat dengan niat menjadikannya masjid. Oleh karena itu, segala inventaris, termasuk pengeras suara, yang ada dalam masjid juga menjadi barang wakaf. Dan bila pihak yang mewakafkan (wakif) mensyaratkan pengeras suara tersebut harus digunakan untuk keperluan masjid, maka tidak boleh digunakan untuk umum, sebagaimana disebutkan dalam kitab  Fathul Wahhab (2/442)

(وَلَوْ شَرَطَ) الوَاقِفُ (شَيْئًا) يُقْصَدُ كَشَرْطِ أَنْ لَا يُؤْجَرَ أَوْ أَنْ يُفَضَّلَ أَحَدٌ أَوْ يُسَوَّى أَوْ اخْتِصَاصِ نَحْوِ مَسْجِدٍ كَمَدْرَسَةٍ وَرِبَاطٍ بِطَائِفَةٍ كَشَافِعِيَّةٍ (اتُّبِعَ شَرْطُهُ) رِعَايَةً لِغَرْضِهِ وَعَمَلًا بِشَرْطِهِ

“Seandainya seorang wakif mensyaratkan sesuatu dengan tujuan tertentu seperti syarat tidak boleh disewakan, atau harus memprioritaskan seseorang, atau menyaratakannya, atau syarat mengkhususkan untuk masjid, madrasah, ribath (pondok) khusus golongan tertentu seperti untuk golongan mazhab Syafi’i, maka syarat tersebut harus diikuti, sebagai bentuk menjaga tujuan sang wakif, serta mengamalkan syaratnya”.

Namun, bila wakif tidak memberikan syarat tertentu tentang penggunaan pengeras suara, maka hukumnya boleh digunakan untuk kegiatan yang mengandung kemaslahatan kaum muslim. Batas penggunaannya disesuaikan dengan ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di msyarakat, sebab ‘urf hukumnya sama dengan syarat dari wakif. Hal demikian dijelaskan dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (3/88) serta Hasyiyah I’anat at-Thalibin (3/202):

وَأَنَّ الـمَسْجِدَ حُرٌّ يَمْلِكُ فَلَا يَجُوْزُ التَّصَرُّفُ فِيهِ إِلَّا بِمَا فِيْهِ مَصْلَحَةٌ تَعُوْدُ عَلَيْهِ أَوْ عَلَى عُمُوْمِ الـمُسْلِمِيْنَ

“Sesungguhnya masjid itu seperti orang merdeka yang bisa memiliki sesuatu, maka tidak boleh menggunakan harta masjid kecuali dengan hal yang di dalamnya terdapat maslahat yang kembali kepada masjid atau kepada kaum muslim secara umum”

حَيْثُ أَجْمَلَ الْوَاقِفُ شَرْطَهُ اتَّبَعَ فِيْهِ العُرْفَ الـمُطَرَّدَ فِيْ زَمَانِهِ لِأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ شَرْطِهِ ثُمَّ مَا كَانَ أَقْرَبَ إِلَى مَقَاصِدِ الوَاقِفِيْنَ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِمْ كَلَامُهُمْ.

“Jika wakif tidak memperinci syaratnya, maka penggunaan harta wakaf mengikuti kebiasaan yang berlaku pada masa wakif tersebut. Kebiasaan yang berlaku itu hukumnya sama dengan syarat dari pewakaf. Lalu (jika tidak ada tidak ada kebiasaan yang berlaku), maka yang menjadi pertimbangan adalah apa yang paling mendekati tujuan wakif sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan ulama”

Terakhir, KH. Jakfar shadiq Pasuruan juga menjelaskan dalam kitabnya, Risalatul Amajid fi Ahkamil Masajid (29) tentang kebolehan menggunakan pengeras suara asalkan tidak dibawa di luar masjid, serta mendapatkan izin dari nazhir atau pengelola masjid:

أَقُوْلُ وَفُهِمَ مِمَّا ذُكِرَ أَنَّ نَقْلَ نَحْوِ الـمُكَبِّرِ لِلصَّوْتِ لِلْمَسْجِدِ وَاسْتِعْمَالَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ الـمَسْجِدِ غَيْرُ جَائِزٍ اهـ

وَاسْتَدْرَكَهُ الأُسْتَاذُ الـمُؤَلِّفُ وَفَّقَهُ اللهُ بِقَوْلِهِ: وَمُرَادِيْ بِهِ أَنَّ الاِسْتِعْمَالَ لِغَيْرِ الـمَسْجِدِ كَأَنْ اسْتُعْمِلَ لِلْوَلِيْمَةِ فِيْ البُيُوْتِ أَوْ غَيْرِهَا خَارِجَ الـمَسْجِدِ غَيْرُ جَائِزٍ. أَمَّا الاِسْتِعْمَالُ فِيْ الـمَسْجِدِ فَجَائِزٌ مَا دَامَ الاِسْتِعْمَالُ مَأْذُوْنًا شَرْعًا لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الاِسْتِعْمَالِ لِلْمَسْجِدِ

“Saya berkata:’ bisa dipahami dari penjelasan yang telah disebutkan tadi, bahwa memindahkan pengeras suara milik masjid serta penggunaannya selain untuk kepentingan masjid itu hukumnya tidak boleh.’

Guru pengarang (semoga Allah memberikan pertolongan padanya) menyusul perkataan beliau tadi dengan dawuh: ‘Maksud saya dengan perkataan tadi adalah bahwa penggunaan selain untuk masjid, seperti digunakan untuk walimah di rumah atau tempat lainnya di luar masjid hukumnya tidak boleh. Sedangkan apabila digunakan di dalam masjid maka hukumnya boleh selama mendapatkan izin secara syariat karena hal itu termasuk penggunaan untuk masjid juga.”

Wallahu A’lam

BINCANG SYARIAH

Imam Al-Ghazali Ungkap Enam Tempat Pemicu Riya

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, mencoba menjelaskan gambaran seputar riya’. Pamer atau riya merupakan salah satu perilaku yang tidak disukai Allah SWT. Untuk menghindari hal ini, utamanya dalam hal beribadah, bukanlah hal yang gampang.

Abu Hamid al-Ghazali dalam Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102, menyebut “Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya”. Dalam kitab yang sama di halaman 100-101, Imam al-Ghazali menerangkan secara lengkap enam tempat yang berpotensi menumbuhkan rasa riya’.

1. Badan dan raut muka

Imam al-Ghazali menyampaikan beberapa contoh yang berkaitan dengan hal ini. Salah satunya, menampakkan badan yang kurus dan lemah, agar orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa, dan lainnya.

Memperlihatkan raut muka sedih juga termasuk dalam perilaku pamer, dengan tujuan agar terlihat seperti orang yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia.

2. Penampilan

Contoh dari hal ini adalah mencukur kumis agar terlihat lebih menawan dan mempesona, sehingga banyak orang terpukau. Contoh lainnya adalah menundukkan kepala saat berjalan, bergerak dan melangkah secara elegan, dengan harapan tampak lebih berwibawa.

Atau, seseorang bisa saja menampakkan bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya.

3. Cara berpakaian

Orang yang ingin pamer biasanya terlihat mengenakan pakaian lengan panjang dengan lengan baju yang terlipat, dengan alasan agar terlihat lebih keren.

Atau kebalikannya, sengaja menggunakan baju yang lusuh dengan beberapa tambalan, tujuannya agar terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.

 4. Riya’ dalam hal ucapan

Jebakan ini kerapkali menjebak para dai. Karena itu, lebih baik bagi seseorang untuk berhati-hati dengan ucapannya, karena orang alim sekalipun tidak terlepas dari penyakit ini.

Maka, wajar jika Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadist riwayat Mu’âdz bin Jabal, “Termasuk ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara daripada mendengar”. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).

5. Pamer dalam perbuatan

Beberapa bentuk dari poin ini adalah memperlama durasi rukuk dan sujud, atau menampilkan kepada khalayak saat bersedekah, puasa, atau haji.

Semua contoh itu sangat potensial dalam memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh ketika melenceng dari niat luhur, kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.

6. Banyaknya murid atau guru yang dipamerkan

Perilaku riya bisa tumbuh karena banyaknya murid, teman, maupun guru yang bisa dipamerkan. Orang yang sering berkunjung kepada para gurunya, membuat ia memiliki gambaran atau branding diri yang baik di mata umat.

Sekilas membaca penjelasan Imam al-Ghazali tentang enam potensi yang menyebabkan riya’, seolah membuat gambaran untuk beramal shaleh menjadi susah. Beramal lillahi ta’ala, murni karena Allah semata memang tidak mudah.

Hal ini semata bukan karena Allah SWT mempersulit aksesnya, tetapi karena hati manusia penuh oleh nuansa syaithani, egoisme dan mabuk dunia. Yang demikian membuat seseorang menjadi sulit dalam menemukan kemurnian ibadah yang sebenarnya.

“Sebagai hamba Allah SWT, tentu orang tidak boleh berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai, atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya,” tulis Ust Ahmad Dirgahayu. 

Terakhir, ia menyebut kunci dari beribadah adalah tidak sampai berhenti karena terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan tidak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya. 

IHRAM

Tayammum Karena Sakit, Apakah Wajib Qadla’ Shalat?

Syariat memberikan dispensasi kepada pemeluknya berupa kebolehan tayammum ketika jatuh sakit. Bukan sembarang sakit melainkan sakit pada anggota tubuh yang menurut diagnosa dokter tidak boleh terkena air. Oleh-karenanya pada kondisi tersebut seorang muslim bisa menunaikan shalat tanpa harus berwudu terlebih dahulu.

Pertanyaannya kemudian, apakah shalat yang dilakukan dengan tayammum tersebut wajib diqadla’ begitu sembuh? Simak ulasan berikut ini.

Dalam konteks tayamum, secara implisit para ulama membagi tubuh yang sakit menjadi dua kategori; satu, tubuh yang diperban; dua, tubuh yang tidak diperban.

Untuk seseorang yang bagian tubuhnya tidak diperban, dia tidak wajib mengqadla’ shalatnya ketika sudah pulih dari sakitnya. Syekh Syamsuddin al-Syarbini dalam kitabnya Mugni al-Muhtaj juz I halaman 275 menjelaskan;

أَوْ تَيَمَّمَ لِمَرَضٍ يَمْنَعُ الْمَاءَ مُطْلَقًا أَيْ فِي جَمِيعِ أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ أَوْ يَمْنَعُهُ فِي عُضْوٍ مِنْ أَعْضَائِهَا وَلَا سَاتِرَ عَلَى ذَلِكَ الْعُضْوِ مِنْ لُصُوقٍ أَوْ نَحْوِهِ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، سَوَاءٌ أَكَانَ حَاضِرًا أَمْ مُسَافِرًا؛ لِأَنَّ الْمَرَضَ عُذْرٌ عَامٌّ تَشُقُّ مَعَهُ الْإِعَادَةُ. وَقَدْ قَالَ تَعَالَى:وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ 

“Jika seseorang bertayammum lantaran sakit pada seluruh atau sebagian tubuhnya dan sakit tersebut tidak bisa terkena air serta tidak dibalut perban atau semacamnya, maka dia tidak wajib mengqadla’ shalatnya. Karena sakit adalah suatu udzur, jika diharuskan qadla maka itu malah menyulitkannya.”

Hal ini selaras dengan al-Quran ayat 78 surat al-Hajj; “Dan Allah tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama”

إلَّا أَنْ يَكُونَ بِجُرْحِهِ دَمٌ كَثِيرٌ بِحَيْثُ لَا يُعْفَى عَنْهُ وَيَخَافُ مِنْ غَسْلِهِ مَحْذُورًا مِمَّا مَرَّ، فَيُصَلِّي مَعَهُ وَيَقْضِي لِعَدَمِ الْعَفْوِ عَنْ الْكَثِيرِ فِيمَا رَجَّحَهُ الرَّافِعِيّ

“Terkecuali pada tubuhnya terdapat luka yang mengeluarkan darah begitu banyak sehingga tidak dima’fu (ditolerir) dalam tinjauan fikih. Maka pada kondisi tersebut, dia wajib mengqadla’ shalatnya.”

Sementara untuk seseorang yang anggota tubuhnya diperban, dia tidak wajib mengqadla’ shalatnya jika; pertama, perban tidak berada pada anggota tayammum (wajah dan kedua tangan sampai siku-siku).

Syarat kedua, ukuran perban tidak over (tidak melebihi ukuran yang dibutuhkan).  Terakhir, Perban dipasang dalam kondisi suci.

Dari ketiga syarat ini, hanya syarat pertama yang harus selalu terpenuhi sedangkan syarat kedua dan ketiga tidak. Dengan kata lain, jika syarat kedua terpenuhi maka syarat ketiga tidak harus terpenuhi dan jika syarat ketiga terpenuhi maka syarat kedua tidak harus terpenuhi. (Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu [Juz I/ Hal: 508]).

Oleh-karenanya jika tidak memenuhi syarat-syarat di atas maka shalat-shalat yang dilakukan dengan tayammum wajib diqadla’ ketika sudah sembuh. Wallahu a’lam bi al-sawab.

BINCANG SYARIAH

Dua Pendapat tentang Boleh Tidaknya Sewa Menyewa Saat Haji

Syaikh Sa’id bin Abdul Qadir Salim Basyanfar mengatakan, ada dua pendapat ulama tentang hukum sewa-menyewa dalam ibadah haji. Pendapat pertama, hukumnya boleh dan itu merupakan pendapat Imam Malik, Imam Syaf i, Imam Ibnul Mundzir, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad.

“Sementara pendapat kedua, hukumnya tidak boleh. Itu adalah pendapat mazhab Hanafi, Imam Ishaq, dan riwayat yang terkenal dari mazhab Imam Ahmad,” tulis Syaikh Sa’id bin Abdul Qadir Salim Basyanfar dalam kitabnya AlMughnie.

Untuk memperkuat argumentasi bahwa kelompoi pertala yang membolehkan sewa menyewa dalam haji, Syaikh Sa’id bin Abdul Qadir Salim Basyanfar menyampaikan dalil yang membolehkan dari hadist Rasulullah SAW: 

Rasulullah SAW bersabda: “Paling benar yang kamu ambil dalam upah adalah upah mengajar kitabullah/Alquran,” (Hadis riwayat Imam Bukhari).

Dalil kedua, para sahabat Rasulullah SAW mengambil upah bayaran atas doa-doa yang mereka bacakan dari kitabullah/Alquran, lalu mereka memberitakan hal itu kepada Rasulullah SAW. 

“Beliau membenarkan mereka semua,” katanya.

Dalil ketiga, setiap kegiatan yang dalam kegiatan itu boleh diterapkan sistem perwakilan, boleh juga diterapkan sistem sewa menyewa. 

Sementara, dalil kelompok kedua yang tidak membolehkan adalah berdasarkan hadis dari Ubadah bin Shamit dan sabda Nabi SAW kepada Utsman bin Ash:

Dari Ubadah bin Shamit, ia mengatakan pernah bertanya, wahai Rasulullah aku diberi hadiah panah oleh seorang laki-laki yang ia itu termasuk orang-orang yang aku ajari Alkitab dan Alquran dan bukan dalam bentuk uang lalu aku gunakan busur panah itu di jalan Allah. ” Rasulullah bersabda. “Jika engkau menginginkan dikalungkan pada lehermu api neraka, terimalah hadiah itu.” (Hadis riwayat Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Nabi SAW bersabda kepada Utsman bin ‘Ash, Angkatlah olehmu seorang tukang adzan yang ia itu tidak mengambil upah atas pekerjannya adzan itu.” (Hadis riwayat Imam Abu Dawud, Imam an Nasa’i, Imam Tirrmudzi, Imam Ibnu Majah, dan Imam Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya. Imam Turmudzi berkata, “Hadis itu hasan sahih.”)

IHRAM