Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, sembahlah Tuhanmu, dan lakukanlah kebaikan agar kamu beruntung. (QS Al-Hajj: 77)
Maksud ayat ini adalah orang beriman diperintahkan untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Mengetahui keadaan manusia. Wahai orang-orang yang beriman, karena kamu sudah membenarkan dan meyakini bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah, maka rukuk, sujud, dan beribadahlah kepada Tuhanmu dengan melaksanakan sholat wajib dan berbagai sholat sunnah. Sebagai dampak ketekunan beribadah tersebut, maka berbuatlah kebaikan kepada sesama manusia agar kamu beruntung dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, pada ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar, pertama, mengerjakan sholat pada waktu-waktu yang telah ditentukan, lengkap dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Pada ayat ini sholat disebut dengan rukuk dan sujud, karena rukuk dan sujud itu merupakan ciri khas dari sholat dan termasuk dalam rukun-rukunnya.
Perintah kedua dalam ayat ini, menghambakan diri, bertobat kepada Allah, dan beribadah kepada-Nya merupakan perwujudan dari keimanan di hati sanubari yang telah merasakan kebesaran, kekuasaan dan keagungan Allah, karena diri manusia sangat tergantung kepada-Nya. Hanya Dialah yang menciptakan, memelihara kelangsungan hidup dan mengatur seluruh makhluk-Nya. Beribadah kepada Tuhan ada yang dilakukan secara langsung, seperti sholat, puasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat dan menunaikan ibadah haji. Ada pula ibadah yang dilakukan tidak secara langsung, seperti berbuat baik kepada sesama manusia, tolong menolong, mengolah alam yang diciptakan Allah untuk kepentingan manusia.
Perintah ketiga, mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti memperkuat hubungan silaturahmi, berbudi pekerti yang baik, hormat menghormati, kasih-mengasihi sesama manusia. Termasuk melaksanakan perintah Allah. Jika manusia mengerjakan tiga macam perintah di atas, maka mereka akan berhasil dalam kehidupan memperoleh kebahagiaan ketentraman hidup, dan di akhirat mereka akan memperoleh surga yang penuh kenikmatan.
Tulisan ini akan membahas tentang ekofeminisme dan Tuhan yang feminim. Jika kita memikirkan tentang feminisme,credo pertama yang kita pikirkan adalah feminisme Beauvoir yang mengadopsi eksistensialisme Sartre. Penggabungan dua gagasan ini kemudian melahirkan: feminisme-eksistensialisme.
Tidak seperti feminisme-eksistensialis, ekofeminisme percaya kalau manusia memiliki fitrah yang mereka bawa sejak lahir, yaitu kualitas-kualitas feminin (yang mewakili cinta, kepedulian, pengasuhan, dan pemeliharaan) dan kualitas-kualitas maskulin yang mewakili ketegasan, kekuasaan, dominasi, dan kekuatan.
Sartre mengatakan bahwa esensi atau fitrah manusia pada dasarnya tidak ada. Esensi atau fitrah baru ada nanti ketika manusia mengukuhkan eksistensinya. Jadi eksistensi mendahului esensi. Nah, gagasan ini diambil oleh Beauvoir dan dimasukkan ke dalam ide feminismenya: Beauvoir mengatakan bahwa esensi atau fitrah, baik laki-laki maupun perempuan, itu tidak ada.
Artinya, perempuan tidak ditakdirkan menjadi ibu rumah tangga, mengasuh keluarga, dan/atau tunduk pada laki-laki (suaminya). Sama halnya, laki-laki juga tidak ditakdirkan menjadi seorang suami, kepala keluarga, dan/atau menguasai perempuan.
The Second Sex
Dalam ‘The Second Sex’ nya, Beauvoir menjelaskan lebih jauh: Bahwa yang namanya norma-norma feminisme atau maskulin itu tidak ada. Perempuan tidak harus menjadi feminin, pendiam, pemalu, pasif, dan manut sama laki-laki. Sama, laki-laki juga tidak harus menjadi maco dan hobi berkelahi biar disebut laki-laki. Semua sifat-sifat tersebut hanya lah konstruk masyarakat yang dibebankan kepada kita.
Sampai di sini kita bisa memahami bahwa feminisme eksistensialis cenderung berfokus untuk menghilangkan stereotip gender di tingkat individu terlebih dahulu. (Baca: Isyarat Al-Quran tentang Mengolah Hasil Bumi)
Gagasan ini dalam aktivisme dan wacana-wacana seputar gender equality tentu sangat laris digunakan. Bagaimana tidak? Dengan mengakui bahwa perempuan tidak memiliki fitrah atau sifat alami, perempuan tidak perlu lagi merasa malu dengan diri sendiri. Tidak perlu tunduk pada otoritas laki-laki. Dan tidak perlu menjadi seperti apa yang masyarakat inginkan.
Meskipun demikian, bukan berarti feminisme ini bebas dari serangan kelompok lain. Banyak kelompok feminisme mengklaim bahwa menghilangkan stereotip gender di tingkat individu saja itu tidak cukup jika sistemnya sejak awal sudah patriarki. Percuma. Sebab tidak peduli apa yang perempuan pikirkan tentang diri dia, sistem patriarki akan tetap berjalan.
Untuk lanjut membaca silahkan klik tautang Mubadalah.id berikut.
Artikel ini akan membahas tentang fatwa MUI tentang hukum muamalah melalui media sosial. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberikan kemudahan dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi di tengah masyarakat.
Kemudahan berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui media digital berbasis media sosial dapat mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia, seperti mempererat tali silaturahmi, untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan kegiatan positif lainnya
Penggunaan media digital, khususnya yang berbasis media sosial di tengah masyarakat seringkali tidak disertai dengan tanggung jawab sehingga tidak jarang menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax¸ fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial.
Berdasarkan permasalahan ini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menetapkan fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial untuk digunakan sebagai pedoman.
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
Bermuamalah adalah proses interaksi antar individu atau kelompok yang terkait dengan hubungan antar sesama manusia (hablun minannaas) meliputi pembuatan (produksi), penyebaran (distribusi), akses (konsumsi), dan penggunaan informasi dan komunikasi.
Media Sosial adalah media elektronik, yang digunakan untuk berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi dalam bentuk blog, jejaring sosial, forum, dunia virtual, dan bentuk lain.
Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non elektronik.
Ghibah adalah penyampaian informasi faktual tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukainya.
Fitnah (buhtan) adalah informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)
Namimah adalah adu domba antara satu dengan yang lain dengan menceritakan perbuatan orang lain yang berusaha menjelekkan yang lainnya kemudian berdampak pada saling membenci.
Ranah publik adalah wilayah yang diketahui sebagai wilayah terbuka yang bersifat publik, termasuk dalam media sosial seperti twitter, facebook, grup media sosial, dan sejenisnya. Wadah grup diskusi di grup media sosial masuk kategori ranah publik.
Kedua : Ketentuan Hukum
Dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu ‘an al-munkar).
Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan.
Mempererat persaudaraan (ukhuwwah), baik persaudaraan keIslaman (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).
Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah.
Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk:
Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.
Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup.
Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i.
Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
Memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.
Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.
Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
Aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.
Ketiga : Pedoman Bermuamalah
A. Pedoman Umum
Media sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silaturrahmi, menyebarkan informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan untuk kegiatan positif di bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial serta budaya.
Bermuamalah melalui media sosial harus dilakukan tanpa melanggar ketentuan agama dan ketentuan peraturan perundangundangan.
Hal yang harus diperhatikan dalam menyikapi konten/informasi di media sosial, antara lain:
Konten/informasi yang berasal dari media sosial memiliki kemungkinan benar dan salah.
Konten/informasi yang baik belum tentu benar.
Konten/informasi yang benar belum tentu bermanfaat.
Konten/informasi yang bermanfaat belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik.
Tidak semua konten/informasi yang benar itu boleh dan pantas disebar ke ranah publik.
B. Pedoman Verifikasi Konten/Informasi
Setiap orang yang memperoleh konten/informasi melalui media sosial (baik yang positif maupun negatif) tidak boleh langsung menyebarkannya sebelum diverifikasi dan dilakukan proses tabayyun serta dipastikan kemanfaatannya.
Proses tabayyun terhadap konten/informasi bisa dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
Dipastikan aspek sumber informasi (sanad)nya, yang meliputi kepribadian, reputasi, kelayakan dan keterpercayaannya.
Dipastikan aspek kebenaran konten (matan)nya, yang meliputi isi dan maksudnya.
Dipastikan konteks tempat dan waktu serta latar belakang saat informasi tersebut disampaikan.
Cara memastikan kebenaran informasi antara lain dengan langkah :
Bertanya kepada sumber informasi jika diketahui
Permintaan klarifikasi kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kompetensi.
Upaya tabayyun dilakukan secara tertutup kepada pihak yang terkait, tidak dilakukan secara terbuka di ranah publik (seperti melalui group media sosial), yang bisa menyebabkan konten/informasi yang belum jelas kebenarannya tersebut beredar luar ke publik.
Konten/informasi yang berisi pujian, sanjungan, dan atau hal-hal positif tentang seseorang atau kelompok belum tentu benar, karenanya juga harus dilakukan tabayyun.
Pedoman Pembuatan Konten/Informasi
Pembuatan konten/informasi yang akan disampaikan ke ranah publik harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:
menggunakan kalimat, grafis, gambar, suara dan/atau yang simpel, mudah difahami, tidak multitafsir, dan tidak menyakiti orang lain.
konten/informasi harus benar, sudah terverifikasi kebenarannya dengan merujuk pada pedoman verifikasi informasi sebagaimana bagian A pedoman bermuamalah dalam Fatwa ini.
konten yang dibuat menyajikan informasi yang bermanfaat.
Konten/informasi yang dibuat menjadi sarana amar ma‟ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas.
konten/informasi yang dibuat berdampak baik bagi penerima dalam mewujudkan kemaslahatan serta menghindarkan diri dari kemafsadatan.
memilih diksi yang tidak provokatif serta tidak membangkitkan kebencian dan permusuhan.
kontennya tidak berisi hoax, fitnah, ghibah, namimah, bullying, gosip, ujaran kebencian, dan hal lain yang terlarang, baik secara agama maupun ketentuan peraturan perundang-undangan.
kontennya tidak menyebabkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang secara syar’i, seperti pornografi, visualisasi kekerasan yang terlarang, umpatan, dan provokasi.
Kontennya tidak berisi hal-hal pribadi yang tidak layak untuk disebarkan ke ranah publik.
Cara memastikan kemanfaatan konten/informasi antara lain dengan jalan sebagai berikut:
bisa mendorong kepada kebaikan (al-birr) dan ketakwaan (altaqwa).
bisa mempererat persaudaraan (ukhuwwah) dan cinta kasih (mahabbah)
bisa menambah ilmu pengetahuan d. bisa mendorong untuk melakukan ajaran Islam dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi laranganNya.
tidak melahirkan kebencian (al-baghdla’) dan permusuhan (al-‘adawah).
Setiap muslim dilarang mencari-cari aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain, baik individu maupun kelompok, kecuali untuk tujuan yang dibenarkan secara syar’y seperti untuk penegakan hukum atau mendamaikan orang yang bertikai (ishlah dzati al-bain).
Tidak boleh menjadikan penyediaan konten/informasi yang berisi tentang hoax, aib, ujaran kebencian, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi atau kelompok sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, seperti profesi buzzer yang mencari keutungan dari kegiatan terlarang tersebut.
Pedoman Penyebaran Konten/Informasi
Konten/informasi yang akan disebarkan kepada khalayak umum harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Konten/informasi tersebut benar, baik dari sisi isi, sumber, waktu dan tempat, latar belakang serta konteks informasi disampaikan.
Bermanfaat, baik bagi diri penyebar maupun bagi orang atau kelompok yang akan menerima informasi tersebut.
Bersifat umum, yaitu informasi tersebut cocok dan layak diketahui oleh masyarakat dari seluruh lapisan sesuai dengan keragaman orang/khalayak yang akan menjadi target sebaran informasi.
Tepat waktu dan tempat (muqtadlal hal), yaitu informasi yang akan disebar harus sesuai dengan waktu dan tempatnya karena informasi benar yang disampaikan pada waktu dan/atau tempat yang berbeda bisa memiliki perbedaan makna.
Tepat konteks, informasi yang terkait dengan konteks tertentu tidak boleh dilepaskan dari konteksnya, terlebih ditempatkan pada konteks yang berbeda yang memiliki kemungkinan pengertian yang berbeda.
Memiliki hak, orang tersebut memiliki hak untuk penyebaran, tidak melanggar hak seperti hak kekayaan intelektual dan tidak melanggar hak privacy.
Cara memastikan kebenaran dan kemanfaatan informasi merujuk pada ketentuan bagian B angka 3 dan bagian C angka 2 dalam Fatwa ini.
Tidak boleh menyebarkan informasi yang berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis yang tidak layak sebar kepada khalayak.
Tidak boleh menyebarkan informasi untuk menutupi kesalahan, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.
Tidak boleh menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke ranah publik, seperti ciuman suami istri dan pose foto tanpa menutup aurat.
Setiap orang yang memperoleh informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain tidak boleh menyebarkannya kepada khalayak, meski dengan alasan tabayyun.
Setiap orang yang mengetahui adanya penyebaran informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain harus melakukan pencegahan.
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dengan cara mengingatkan penyebar secara tertutup, menghapus informasi, serta mengingkari tindakan yang tidak benar tersebut.
Orang yang bersalah telah menyebarkan informasi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis kepada khalayak, baik sengaja atau tidak tahu, harus bertaubat dengan meminta mapun kepada Allah (istighfar) serta; (i) meminta maaf kepada pihak yang dirugikan (ii) menyesali perbuatannya; (iii) dan komitmen tidak akan mengulangi.
Keempat : Rekomendasi
Pemerintah dan DPR-RI perlu merumuskan peraturan perundang-undangan untuk mencegah konten informasi yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan, semangat persatuan dan nilai luhur kemanusiaan.
Masyarakat dan pemangku kebijakan harus memastikan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi didayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan.
Pemerintah perlu meningkatkan upaya mengedukasi masyarakat untuk membangun literasi penggunaan media digital, khususnya media sosial dan membangun kesadaran serta tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat berperadaban (mutamaddin).
Para Ulama dan tokoh agama harus terus mensosialisasikan penggunaan media sosial secara bertanggung jawab dengan mendorong pemanfaatannya untuk kemaslahatan umat dan mencegah mafsadat yang ditimbulkan.
Masyarakat perlu terlibat secara lebih luas dalam memanfaatkan media sosial untuk kemaslahatan umum.
Pemerintah perlu memberikan teladan untuk menyampaikan informasi yang benar, bermanfaat, dan jujur kepada masyarakat agar melahirkan kepercayaan dari publik.
Kelima : Ketentuan Penutup
Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Berikut Fatwa Lengkap MUI tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Semoga Fatwa MUI tentang hukum muamalah melalui media sosial memberikan manfaat bagi masyarakat umum, terutama pedagang di medsos.
Menghilangkan nyawa orang lain merupakan perbuatan maksiat yang masuk dalam kategori dosa besar. Pelaku, penyuruh, atau pembantu pembunuhan sama-sama dianggap sebagai pelaku maksiat. Dalam Islam, sanksi bagi pelaku pembunuhan dalam perspektif Islam.
Pasalnya, larangan membunuh itu didasarkan pada berbagai ayat dan dalil yang menunjukkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup. Dalam al-Qur’an surah al-An’am ayat 151 Allah Swt melarang melakukan pembunuhan kecuali dengan hak. Makna hak di sini adalah sesuai dengan ketentuan hukum.
Seperti eksekutor yang menjalankan perintah putusan hakim. Di surah al-Nisa ayat 93 juga Allah Swt menegaskan bahwa orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja akan dihukum di neraka secara kekal.
Kejahatan pembunuhan dalam pidana Islam masuk dalam kategori qishash. Qishash adalah kejahatan dalam bentuk menghilangkan nyawa atau melukai atau menganiaya badan orang lain. Ada juga pandangan yang mengatakan bahwa qishash adalah menjatuhkan sanksi persis dengan perbuatan pidana yang dilakukan.
Dalam hal menghilangkan nyawa orang lain, pidana Islam membaginya ke dalam tiga bentuk. 1) Pembunuhan sengaja, 2) pembunuhan semi sengaja, dan 3) pembunuhan tidak sengaja atau tersalah.
Pembunuhan sengaja adalah menghilangkan nyawa orang lain dengan alat dan niat/tujuan menghilangkan nyawa korban. Pembunuhan semi sengaja berniat menghilangkan nyawa orang lain dengan alat bukan membunuh.
Pembunuhan tidak sengaja/tersalah adalah menghilangkan nyawa orang lain tanpa ada niatan untuk menghilangkan nyawa orang tersebut. Misalkan orang yang sedang berburu, ternyata senjatanya mengenai orang lain dan mengakibatkan kematian pada orang tersebut.
Sanksi bagi pembunuh
Ada tiga bentuk sanksi yang dijatuhkan pada pelaku pembunuhan. Ketiga bentuk hukuman tersebut adalah hukuman mati, hukuman diyat, dan kaffarat.
Hukuman mati bagi pelaku pembunuhan sengaja. Penjatuhan sanksi bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja diatur dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 187-189, dan al-Maidah ayat 45. Penjatuhan sanksi setimpal dengan kejahatan yang dilakukan.
Untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku pembunuhan mesti memperhatikan motivasi, cara, faktor pendorong dan teknis melakukan pembunuhan. Hukuman mati dijatuhkan pada kasus pembunuhan sengaja dan terencana.
Pembunuhan semi sengaja adalah pembunuhan yang sengaja namun menggunakan alat bukan untuk membunuh. Pembunuhan semi sengaja dijatuhi hukuman sanksi diyat sedang dan kaffarat. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja atau tersalah hukumannya adalah diyat ringan dan kaffarat.
Diyat merupakan denda yang dibebankan kepada pelaku untuk dibayarkan kepada korban. Diyat ini terbagi pada diyat berat, diyat sedang dan diyat ringan tergantung pada kategori pembunuhan yang dilakukan.
Penjatuhan sanksi tersebut bertujuan untuk memberikan pembelajaran bagi pelaku dan masyarakat. Tujuannya agar tidak terulang kembali kejahatan tersebut. Selain itu penjatuhan sanksi ini juga bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada korban dan keluarga korban terhadap dampak yang akan diterima oleh korban atau keluarga korban pasca peristiwa tersebut.
Hak keluarga korban
Berbeda dengan hukum pidana di Indonesia, dalam hukum pidana Islam keluarga sangat berperan penting dalam penjatuhan sanksi bagi pelaku pembunuhan. Pemaafan keluarga korban dapat mengubah hukuman pelaku pembunuhan.
Ketika keluarga memberikan maaf maka sanksi yang dijatuhkan berubah menjadi diyat. Pemaafan terhadap pelaku pembunuhan ini tidak dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia. Penentuan sanksi sepenuhnya menjadi kewenangan hakim.
Pemaafan adalah hak keluarga korban. Orang yang dapat memberikan maaf adalah wali korban. Untuk itu dalam proses penyelesaian pidana Islam terdapat musyawarah. Tujuannya agar dapat penyelesaian yang lebih baik terhadap keluarga korban, pelaku dan juga masyarakat pada umumnya.
Demikian secara singkat ketentuan sanksi bagi pelaku pembunuhan dalam Islam. Tentu ada beberapa penjelasan lebih rinci terkait dengan pembunuhan ini, akan kami jelaskan dalam tulisan lainnya.
Pasalnya, dalam kehidupan sehari-hari, uang menjadi salah satu alat transaksi vital dalam masyarakat. Seringkali, seseorang menyiapkan beberapa lembar uang yang diselipkan ke kantong baju sebagai persiapan transaksi kecil seperti membayar parkir dan lainnya.
Akan Tetapi, tanpa disadari uang juga secara tidak sengaja dibawa saat melakukan sholat. Hal ini membuat was-was orang yang melakukan sholat karena tidak tahu asal-usul uang tersebut dan berkemungkinan terkena najis. Lantas, bagaimanakah hukum membawa uang dan barang lain yang diragukan kesuciannya saat sholat?
Dalam literatur kitab fikih, termasuk dari syarat sahnya sholat adalah sucinya badan, pakaian dan tempat dari najis. Seseorang yang dengan sengaja membawa barang yang diyakini najis, maka sholatnya dihukumi tidak sah.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul qorib, halaman 9 berikut,
فصل – وشرائط الصلاة قبل الدخول فيها خمسة أشياء طهارة الأعضاء من الحدث والنجس وسترالعورة بلباس طاهر والوقوف على مكان طاهر والعلم بدخول الوقت واستقبال القبلة
Artinya : “ Fasal- Termasuk dari sarat sah sebelum melakukan sholat ada lima macam. Sucinya anggota badan dari hadas dan najis, menutup aurat dengan pakaian yang suci, berdiam ditempat yang suci, mengetahui masuknya waktu sholat, dan menghadap kiblat.”
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa apabila seseorang meyakini membawa barang yang terkena najis saat sholat, maka sholatnya dihukumi tidak sah dan dia wajib mengulang sholatnya. Tetapi, apabila dia masih ragu mengenai kesucian barang yang dibawa maka dikembalikan pada hukum asalnya yaitu suci.
Sebagaimana dalam kitab Qaidah muhimmah, juz 1, halaman 104 berikut,
أن ما أصله الطهارة وغلب على الظن تنجسه لغلبة النجاسة في مثله فيه قولان معروفان بقولي الأصل والظاهر أو الغالب أرجحهما أنه طاهر عملا بالأصل المتيقن لأنه أضبط من الغالب المختلف بالأحوال والأزمان
Artinya : “ Benda yang pada asalnya suci dan diduga terkena najis maka terdapat dua pendapat ulama. Pendapat yang lebih unggul dari keduanya adalah dihukumi suci karena mengamalkan kepada asalnya karena hal tersebut lebih terukur dari pada dugaan yang berbeda-beda tergantung dari kondisi dan zaman.”
Namun demikian, Apabila muncul dugaan bahwa uang tersebut berkemungkinan besar terkena najis, maka dia disunnahkan untuk menyucikannya atau apabila dirasa sulit maka tidak perlu membawanya saat sholat. Hal ini sebagaimana dalam keterangan kitab Tukhfatul Mukhtaj, juz 2, halaman 131,
Artinya : “Disunnahkan mencuci sesuatu yang dekat kemungkinan terkena najis. Adapun ulama’ yang mengatakan mencuci pakaian baru termasuk bid’ah tercela diarahkan pada pakaian yang tidak seperti itu yaitu tidak berkemungkinan terkena najis.”
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa, apabila seseorang meyakini membawa uang yang terkena najis saat sholat, maka sholatnya dihukumi tidak sah dan dia wajib mengulang sholatnya. Tetapi, apabila dia masih ragu mengenai kesucian uang yang dibawa maka dikembalikan pada hukum asalnya yaitu suci.
Demikian penjelasan mengenai hukum membawa uang dan barang lain yang diragukan kesuciannya saat sholat.
Tawakkal adalah menyandarkan hati kepada Allah ketika mencari maslahat atau menghindari mudarat dalam perkara duniawi dan ukhrawi
AT-TAWAKKAL adalah kata dalam bahasa Arab. Kata ini berasal dari bentuk kelima dari akar و ك ل (waw – kaf- lam). Yang berarti menyerahkan diri kepada, mengandalkan/ bergantung pada, atau memiliki kepercayaan pada orang lain.
Kata masdarnya (kata benda verbal) adalah tawakkul. Kata tawakal kemudian menjadi 1 dari 99 Asmaul Husna. Allah adalah الوكيل/ al-wakiil.
Ibnu Atsir mengatakan kita akan menemukan nama al-wakiil di deretan nama-nama Allah yang agung. Karena dialah yang Maha Menjaga dan Menjamin Rezeki seluruh hambaNya.
Ia adalah penjamin kehidupan para hambaNya. Ia yang mengurus urusan hamba-hambaNya yang sholih, yang berpaling kepadanya dan bergantung padanya, dia mencukupkan mereka dan memperkaya mereka.
Jadi esensi makna الوكيل/ al-wakiil tercermin dengan melakukan sendiri perkara yang berkaitan – dalam mengayomi rezeki misalnya – dengan pihak yang dijagaNya. Asy-Syinqithi menginterpretasikan bahwa makna al-wakiil berhubungan dengan makna dasari dari wakiil/ و ك ل (waw-kaf-lam).
Wakil adalah pihak kedua yang diserahi urusan oleh pihak pertama. Jadi penyerahan ini bertujuan mencari kemaslahatan dan mencegah munculnya keburukan.
Tawakal adalah jalan terindah dan teragung bagi para hamba pilihan. Tawakkal adalah menyandarkan hati kepada Allah ketika mencari maslahat atau menghindari mudarat dalam perkara duniawi dan ukhrawi.
Mukmin yang bertawakkal akan menyerahkan seluruh urusan kepada Allah ﷻ dan mewujudkan keimanannya dengan meyakini bahwa Allah yang mampu memberi atau tidak memberi sesuatu dan mendatangkan manfaat atau marabahaya. Allah ﷻ memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk bertawakal. Allah ﷻ dan Rasul-Nya memerintahkan para mukmin untuk memiliki akhlak mulia ini.
“Katakanlah, ‘Dialah yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan kepadaNya kami bertawakal. Maka kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS: Al-Mulk: 29).
“Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup, yang tidak mati dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hambaNya.” (QS: Al-Furqon: 58)
Allah ﷻ telah menyebutkan kata tawakal hanya untuk orang-orang yang dekat dengan-Nya, orang-orang yang mulia di sisi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Keimanan mereka harus disertai dengan tawakkal. Ketika tidak disertai dengan tawakkal.
Ketika tidak disertai dengan tawakal, keimanan itu tidak sempurna. Orang yang tidak bertawakal cenderung memiliki yang tipis.
Allah ﷻ menjelaskan karakter orang yang beriman dan bertawakkal dalam QS Al Anfal 2.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah kuat imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal.” (QS: Al-Anfal:2)
Allah ﷻ juga memberi tahukan kepada para Rosul-Nya bahwa tawakkal adalah tempat bertopang dan bersandar mereka. Karena itu, Allah ﷻ memerintahkan mereka untuk memelihara tawakkal di dalam diri mereka.
“Dan Musa berkata, ‘Wahai kaumku! Apabila kamu beriman kepada Allah, bertawakallah kepada-Nya. Jika kamu benar-benar muslim (berserah diri). ‘Lalu mereka berkata, ‘Kepada Allah-lah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum zalim.” (QS: Yunus : 84-85).*/Haryono Madari, sumber: Ensiklopedia Akhlak Muhammad
dalam kondisi sakit, umat Islam pun harus melaksanakan shalat karena shalat merupakan suatu kewajiban yang ditempuh untuk mendapat ridha Allah SWT. Oleh karena itu, tata cara shalat duduk juga perlu kalian ketahui sebagai umat Islam.
Tentu kalian selalu berdoa untuk dilimpahkan kesehatan, tapi yang namanya musibah berupa sakit tak pernah kalian ketahui kapan datangnya.
Dengan mengetahui tata cara shalat duduk, kalian juga akan mengetahui betapa Islam memberi keringanan bagi setiap pemeluknya dalam menjalankan perintah. Penjelasan mengenai hal tersebut bisa dilihat dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 286 berikut ini,
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai batas kemampuannya.”
Terdapat pula penjelasan mengenai tata cara shalat duduk sesuai petunjuk Nabi Muhammad SAW berikut ini,
“Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari Imran bin Hushain RA, ia berkata, ‘Aku menderita penyakit wasir, lalu aku bertanya tentang shalat (dalam kondisi sakit) kepada Nabi ﷺ, kemudian beliau menjawab, ‘Shalatlah dengan berdiri, bila tidak mampu maka dengan duduk, dan bila tidak mampu maka dengan tidur miring,’” (HR Al-Bukhari Jamius Shahih Bukhari, [Kairo, Mathba’ah Al-Amiriyyah: 1286 H], 4/377).
Nah, untuk mengetahui tata cara shalat duduk beserta penjelasannya, langsung saja simak informasi yang dilansir dari berbagai sumber berikut ini.
1. Tata Cara Shalat Duduk bagi Orang Sakit: Shalat Bagi Orang Sakit
Allah SWT telah berfirman bahwa tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai batas kemampuannya, itu berarti Allah akan selalu memberi kesempatan kepada hamba-Nya saat ingin mendekatkan diri pada-Nya.
Shalat tetap wajib dilakukan sepanjang kesadaran masih sehat, maka seseorang yang tidak mampu melakukannya sebagaimana mestinya tidak berarti boleh meninggalkan shalat. Oleh karena itu, terdapat ketentuan atau tata cara shalat duduk bagi orang yang sakit.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari nu.or id, para fuqaha (ulama ahli fiqih) telah merumuskan secara detail mengenai tata cara shalat duduk ini. Siapapun yang shalat dengan posisi duduk tentu harus mengikuti rumusan para ulama ahli fiqih sehingga dengan demikian ibadah kita terbimbing oleh ahlinya.
Batasan kebolehan berdasarkan tata cara shalat duduk didasarkan pada masyaqqah sadidah (kesulitan berat) yang dirasakan yaitu kesulitan yang pada umumnya seseorang tidak sanggup menanggung/menahan, walau kesulitan itu belum mencapai batas uzur kebolehan bertayamum. Mengenai masyaqqah sadidah para ulama berbeda pendapat:
1. Menurut Ibnu Hajar tidak sekadar masyaqqat yang menghilangkan kekhusyukan bahkan harus lebih dari itu. 2. Menurut Muhammad Ramli adalah masyaqqat yang sudah sampai menghilangkan kekhusyukan. 3. Menurut As-Syarqawi adalah masyaqqat yang menghilangkan kesempurnaan khusyuk.
“Lalu apabila seseorang tidak kuasa berdiri dengan gambaran sampai timbul masyaqqah sadidah atau zhahirah (kesulitan berat atau yang jelas)-dua ungkapan yang berbeda tetapi maksudnya sama-, yaitu kesulitan yang pada umumnya tidak dapat ditahan walaupun tidak sampai -uzur-membolehkan tayamum seperti rasa berputar-putar pada kepala (kliyeng-kliyeng, mumet).
Tata Cara Shalat Duduk bagi Orang Sakit
Apakah maksud masyaqqah sadidah itu adalah yang menghilangkan kekhusyukan? Ibnu Hajar berkata, ‘bukan’ Muhammad Ramli berkata, ‘iya’ bahkan As-Syarqawi berkata, masyaqqat yang menghilangkan kesempurnaan khusyu, maka seseorang boleh shalat duduk dengan cara apa saja yang diinginkan dan tidak mengurangi pahala berdiri,” (Busyra al-Karim bi Syarh Masail al-Ta’lim, halaman 200). Advertisements
Adapun khusyuk memiliki keragaman definisi, antara lain sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
“Khusyu dalam shalat yaitu memusatkan perhatian, berpaling dari selain Allah, dan merenung terhadap apa yang dibaca oleh lisannya baik bacaan (Al-Quran) dan zikir,” (Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Tafsir Al-Baghowi, [Dar Thaibah, 1417 H/1997 M], juz V, halaman 409).
Ulama tidak memberikan ketentuan perihal posisi duduk pengganti rukun berdiri sehingga seseorang boleh duduk di kursi, namun yang utama adalah duduk iftirasy (duduk sebagaimana tasyahhud awwal). Harus dimengerti bahwa duduk adalah pengganti rukun berdiri sehingga posisi duduk hanya boleh dilakukan di saat benar-benar merasakan masyaqqat jika shalat dengan posisi berdiri.
2. Tata Cara Shalat Duduk bagi Orang Sakit: Tata Cara Bersuci Bagi Orang Sakit
Suci merupakan salah satu syarat sah shalat yang berarti tetap harus dijalani bagi umat islam yang akan beribadah walau dalam keadaan sakit. Menjalankan shalat dengan mengikuti tata cara shalat duduk berarti juga bisa mengikuti tata cara bersuci bagi orang sakit berikut ini.
1. Wajib bagi orang yang sakit untuk mandi, sebagai bentuk membersihkan diri dari hadas besar lalu berwudhu untuk menghilangkan hadas kecil.
2. Jika tidak mampu mengambil air wudhu karena suatu halangan atau khawatir sakitnya akan bertambah parah, maka diperbolehkan tayamum.
3. Tata cara tayamum: membaca niat tayamum, lalu menepuk kedua tangan pada area yang suci. Kemudian mengusap wajah serta tepukan kedua untuk mengusap tangan.
4. Apabila orang yang sakit tidak mampu melakukan tayamum dan wudhu, dapat dibantu ditayamumkan oleh orang lain. Seseorang yang menepukkan dan mengusapkan pada orang yang sakit. Begitu pula dengan cara mewudhukannya.
5. Apabila orang yang sakit memiliki luka atau digips, maka usapkan air cukup sekali saja sebagai ganti membasuhnya.
6. Pastikan orang yang sakit menggunakan pakaian yang bersih ketika akan menunaikan shalat . Tidak terkena najis atau kotoran yang bisa membatalkan. Jika tidak memungkinkan, maka bisa shalat seadanya.
7. Shalat di tempat yang suci juga, jika ada najis sebaiknya diganti atau dibersihkan. Bisa juga menghamparkan kain bersih untuk alas shalatnya. []
Hampir semua orang lupa dan mungkin salah kaprah tentang sedekah. Seolah menjadi lebih utama ketika bersedekah kepada orang yang lemah melalui lembaga amal dan filantropi yang kita tidak mengetahui sasarannya. Atau ada iklan tentang sedekah satu keluarga, satu kampung, kelompok atau negara tertentu yang membutuhkan sedekah dan bantuan kemanusiaan kita.
Banyak di antara kita tersentuh hatinya melihat iklan, selebaran, dan postingan seseorang dan lembaga untuk membantu meringankan beban orang lain. Tersentuh sangat wajar dan insaniyah. Peduli dan tergugah adalah sikap yang sangat dianjurkan.
Namun, kadang kita lupa dan tidak tergugah sama sekali terhadap penderitaan orang terdekat. Kerabat membutuhkan seolah tidak menjadi kepedulian, tetapi ketika melihat mereka yang nan jauh di sana membutuhkan uluran tangan seolah sangat mudah dan tergugah.
Tentu tidak ada larangan untuk memberikan bantuan kepada yang membutuhkan yang jauh di sana yang mungkin terkena dampak perang, konflik, bencana dan sebagainya. Namun, sudahkah kita lihat kanan kiri dan samping rumah kita? Sudahkah mereka memiliki kecukupan? Kenapa penderitaan dan kekurangan mereka tidak menggugah diri kita?
Melindungi Sekitarmu dari Kelaparan
Islam menerapkan prinsip yang menurut saya sangat luar biasa. Setiap orang mempunyai tanggungjawab untuk melindungi kerabat dan sekitarnya dari kemiskinan dan kelaparan. Bayangkan jika prinsip ini diterapkan di mana semua orang yang mampu melindungi kerabat dan lingkungan sekitarnya sebelum memikirkan yang jauh di sana.
Al-quran pun berkali memberikan pelajaran penting untuk memprioritaskan bantuan kepada yang dekat. Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS. An Nur: 22).Baca Juga: Perhatikan! Mengolok-olok dan Merendahkan Bukan Perilaku Islami
Dalam urutan untuk membantu meringankan beban, Al-Quran juga memberikan pedoman sebagai berikut : Al-Baqarah (2) ayat 215, “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.”
Dalam berbagai hadist pun Nabi memerintahkan untuk memberikan bantuan dan sedekah kepada yang terdekat sebelum yang jauh. Inilah kenapa mayoritas ulama menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Syarah Muhaddzab bersepakat bahwa sedekah lebih utama kepada sanak famili dan yang terdekat dibandingkan orang lain.
Jika prinsip yang terdekat dijalankan tentu semua orang mempunyai tanggungjawab terhadap keluarga, kerabat, tetangga dan lingkungan sekitarnya. Semua orang mempunyai kepedulian untuk melindungi yang terdekat agar tidak melarat. Jika semua orang melindungi yang terdekat niscaya tidak ada yang jauh pun yang melarat karena sudah dilindungi oleh keluarga terdekat masing-masing.
Bahkan Rasulullah sangat tidak suka orang yang melalaikan kerabat dan yang terdekat sementara ia justru membantu yang jauh di sana. ” ….Wahai umat Muhammad, demi Allah yang telah mengutusku dengan kebenaran, Allah tidak akan menerima sedekah seseorang yang mempunyai kerabat yang membutuhkan bantuannya, sementara ia memberikan sedekah atau bantuan itu kepada orang lain. Dan demi Allah yang jiwaku berada dalam genggamannya, Allah tidak akan memandangnya di hari kiamat nanti” . (HR. Thabrani).
Itulah terkadang terjadi salah kaprah. Banyak ajakan bersedekah dan membantu meringankan beban orang lain sementara kita lupa kerabat dan tetangga yang membutuhkan. Lebih tergugah dengan ajakan dan seruan membantu mereka yang jauh di sana, tetapi abai terhadap mereka yang terdekat yang membutuhkan.B
Hikmah melindungi yang terdekat adalah terjalinnya silaturrahmi yang terus menerus dilakukan. Tidak hanya pahala sedekah, tetapi pahala silaturrahmi yang menjadi anjuran kuat dalam Islam bisa dilakukan sekaligus.
Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah kepada orang miskin hanya mendapatkan pahala sedekah saja, sedang sedekah kepada sanak kerabat mengandung dua keutamaan, yaitu sedekah dan menyambung tali kekerabatan.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar ash-shiddiq Radhiyallahu Anhu termasuk di antara orang-orang yang awal masuk ke dalam islam.
Dikutip dari buku ‘Inilah Faktanya’ karya Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis, Dari Abu Darda’ Radhiyallahu Anhu, ia bercerita: “Ketika aku sedang duduk-duduk bersama Nabi ﷺ, tampak Abu Bakar datang sambil mengangkat bagian bawah pakaiannya hingga lututnya kelihatan. Melihat hal itu, Nabi berkomentar: ‘Temanmu ini (Abu Bakar) habis bertengkar.’ Tidak lama kemudian, Abu Bakar mengucapkan salam dan berkata:
‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya antara diriku dan Ibnul Khaththab (Umar) terjadi suatu masalah kecil. Aku buru-buru memarahinya tadi, tetapi aku pun menyesalinya. Karena itulah aku meminta maaf kepadanya, namun ia menolak. Karena itu pula, aku datang menemuimu (untuk mengadukan masalah ini).’
Beliau lalu bersabda: ‘Allah Azza wa Jalla akan mengampunimu, hai Abu Bakar.’ Beliau mengatakannya hingga tiga kali.
Sementara di pihak lain, rupanya Umar juga menyesal karena tidak memaafkan Abu Bakar. Karena itulah ia mendatangi rumah Abu Bakar dan bertanya kepada keluarganya: ‘Apakah Abu Bakar ada?’ Mereka menjawab: “Tidak ada.’ Maka, Umar pun datang menemui Rasulullah ﷺ dan memberi salam. Melihat kedatangannya, raut wajah Nabi ﷺ berubah (karena marah) sampai-sampai Abu Bakar iba kalau-kalau beliau memarahi Umar. Abu Bakar pun berlutut dan memohon: ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, aku yang telah berbuat zhalim (kepada Umar).’ Abu Bakar mengatakannya hingga dua kali.
Dalam kondisi demikian, beliau bersabda:
‘Allah Azza wa Jalla mengutusku kepada kalian kemudian kalian mengatakan: ‘Engkau (Muhammad) dusta’, namun Abu Bakar berkata: ‘Ia (Muhammad) benar’. Ia telah melindungiku dengan diri dan hartanya. Bisakah kalian membiarkan Sahabatku ini bersamaku?’ (Maksudnya tidak melukai hatinya). Beliau mengatakannya dua kali. Maka, setelah kejadian ini, Abu Bakar tidak pernah disakiti lagi.” (Shahihul Bukhari)
Dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu Anhu, ia bertutur: “Aku mendapati Rasulullah ﷺ (pada masa awal Islam), sementara tidak ada yang menjadi pengikutnya ketika itu kecuali lima hamba sahaya, dua perempuan, dan Abu Bakar.” (Shahihul Bukhari)
Beberapa pekan tersebar gambar dan video pembunuhan dengan cara yang bisa dibilang kejam dan sadis di sosial media. Membunuh dengan cara menyembelih sampai terlepas kepala (bahkan dikatakan bahwa pisaunya agak tumpul), menembak kepala langsung, menyiksa dengan siksaan yang mungkin beberapa orang tidak kuat melihatnya. Nampak video tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang mengaku sedang memperjuangkan Islam. Padahal cara membunuh dengan sadis dan kejam seperti itu bukanlah ajaran Islam. Islam adalah ajaran yang penuh kasih sayang dan rahmah serat membuat lapang dada dan sejuk hati bagi yang menjalankannya dengan ajaran yang benar.
Bahkan ajaran Islam tidak mengajarkan untuk membunuh manusia secara serampangan. Karena nyawa urusannya besar dalam Islam, baik itu nyawa seorang muslim atau non-muslim. Islam adalah agama yang adil, ada larangan membunuh non-muslim bahkan ada ancaman keras jika membunuh non-muslim sembarangan. Yang dibunuh hanyalah non-muslim yang memerangi kaum muslimin (kafir harbiy).
Tidak boleh sembarangan asal membunuh
Islam mengajarkan agar tidak sembarangan membunuh baik seorang muslim ataupun non-muslim, kecuali non-muslim yang memerangi kaum muslimin maka boleh dibunuh. Lebih-lebih yang dibunuh adalah seorang Muslim. Maka perkaranya cukup besar.
“Lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan pembunuhan terhadap seorang muslim.”1
Bahkan ancamannya cukup keras jika membunuh seornag Muslim jika sengaja, yaitu bisa lama sekali tinggal di neraka dalam waktu yang cukup panjang. Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam. Ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutukinya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. an-Nisa`: 93)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “maksud kekal (di neraka) di sini adalah kekal dengan waktu yang lama, bukan sebagaiman kekalnya orang kafir. Karena kekal ada dua yaitu (salah satunya) kekal yang abadi dan tidak ada batasnya. Ini adalah kekekalan bagi orang kafir di neraka.”2
Demikian juga kita dilarang sembarangan membunuh non-muslim tanpa hak. Karena agama Islam adalah agama yang adil. Bahkan perbuatan demikian diancam tidak mencium bau surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قتل معاهداً لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاماً
“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian perlindungan (mu’ahad), maka dia tidak akan mencium wangi surga. Sungguh, wangi surga itu tercium sejauh jarak empat puluh tahun.”3
Membunuh dengan cara yang baik
Jika memang dibenarkan untuk membunuh (misalnya membunuh orang kafir yang memerangi kaum muslimin), maka Islam mengajarkan harus membunuh dengan cara yang baik yaitu dengan cara yang tidak menyakiti. Bahkan, jika membunuh binatang yang disembelih saja harus dengan cara yang baik. Maka apalagi akan membunuh manusia, tentu harus lebih baik lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap sesuatu, jika kamu membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu dan senangkanlah hewan sembelihanmu.”4
Syaikh bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Dalil ini menunjukkan haramnya menyiksa hewan dengan berbagai macam jenis siksaan”5
Maka tidak boleh menyiksa manusia dengan berbagai siksaan untuk membuatnya mati. Dalam video yang beredar tersebut ada juga yang pembunuhan dengan mematahkan leher atau menyembelih secara perlahan, maka ini dilarang keras dalam Islam. Kepada hewan saja dilarang apalagi kepada manusia. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak diperbolehkan mematahkan leher dengan siksaan yang pedih, kita tidak perlu melakukan penyiksaan.”6
Yang perlu diperhatikan juga bahwa ancaman di akherat kelak lebih dahsyat dan pembunuh akan dituntut pada hari kiamat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang membunuh dan korban yang dibunuh akan didatangkan pada hari kiamat dengan menenteng kepala temannya (pembunuh) – dalam riwayat lain: Dia (korban) membawa orang yang membunuh, sementara urat lehernya bercucuran darah – dia mengatakan: ‘Ya Allah, tanya orang ini, mengapa dia membunuh saya’.”7
Demikian semoga bermanfaat.
@Gedung Radiopoetro, FK UGM, Yogyakarta tercinta
—
Catatan kaki
1 HR. Nasai 3987, Turmudzi 1395 dan dishahihkan oleh al-Albani
2 Majmu’ Fatawa wal Maqalat Syaikh Bin Baz 9/380
3 HR. Bukhari 3166
4 HR. Muslim no.1955
5 Majmu’ Fatawa juz 23, no. 63
6 Syarh Arbain An-Nawawiyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
7 HR. Ibnu Majah 2621 dan dishahihkan oleh al-Albani