Tawakal

Tawakkal adalah menyandarkan hati kepada Allah ketika mencari maslahat atau menghindari mudarat dalam perkara duniawi dan ukhrawi

AT-TAWAKKAL adalah kata dalam bahasa Arab. Kata ini berasal dari bentuk kelima dari akar و ك ل (waw – kaf-  lam). Yang berarti menyerahkan diri kepada, mengandalkan/ bergantung pada, atau memiliki kepercayaan pada orang lain.

Kata masdarnya (kata benda verbal) adalah tawakkul.  Kata tawakal kemudian menjadi 1 dari 99 Asmaul Husna. Allah adalah الوكيل/ al-wakiil.

Ibnu Atsir mengatakan kita akan menemukan nama al-wakiil di deretan nama-nama Allah yang agung. Karena dialah yang Maha Menjaga dan Menjamin Rezeki seluruh hambaNya.

Ia adalah penjamin kehidupan para hambaNya. Ia yang mengurus urusan hamba-hambaNya yang sholih, yang berpaling kepadanya dan bergantung padanya, dia mencukupkan mereka dan memperkaya mereka.

Jadi esensi makna الوكيل/ al-wakiil tercermin dengan melakukan sendiri perkara yang berkaitan – dalam mengayomi rezeki misalnya – dengan pihak yang dijagaNya. Asy-Syinqithi menginterpretasikan bahwa makna al-wakiil berhubungan dengan makna dasari dari wakiil/ و ك ل (waw-kaf-lam).

Wakil adalah pihak kedua yang diserahi urusan oleh pihak pertama. Jadi penyerahan ini bertujuan mencari kemaslahatan dan mencegah munculnya keburukan.

Tawakal adalah jalan terindah dan teragung bagi para hamba pilihan. Tawakkal adalah menyandarkan hati kepada Allah ketika mencari maslahat atau menghindari mudarat dalam perkara duniawi dan ukhrawi.

Mukmin yang bertawakkal akan menyerahkan seluruh urusan kepada Allah ﷻ dan mewujudkan keimanannya dengan  meyakini bahwa Allah yang mampu memberi atau  tidak memberi sesuatu dan mendatangkan manfaat atau marabahaya. Allah ﷻ  memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk bertawakal. Allah ﷻ dan Rasul-Nya memerintahkan para mukmin untuk memiliki akhlak mulia ini.

قُلْ هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ءَامَنَّا بِهِۦ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا ۖ فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ هُوَ فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

“Katakanlah, ‘Dialah yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan kepadaNya kami bertawakal. Maka kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS: Al-Mulk: 29).

فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۖ إِنَّكَ عَلَى ٱلْحَقِّ ٱلْمُبِينِ

“Sebab itu bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu (Muhammad) berada di atas kebenaran yang nyata.” (QS: An-Naml: 79).

وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا

“Dan bertaqwalah kepada Allah, cukuplah Allah yang menjadi pelindung.” (QS: An-Nisaa: 81)

وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱلْحَىِّ ٱلَّذِى لَا يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِۦ ۚ وَكَفَىٰ بِهِۦ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًا

“Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup, yang tidak mati dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hambaNya.” (QS: Al-Furqon: 58)

Allah ﷻ telah menyebutkan kata tawakal hanya untuk orang-orang yang dekat dengan-Nya, orang-orang yang mulia di sisi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya. Keimanan mereka harus disertai dengan tawakkal. Ketika tidak disertai dengan tawakkal.

Ketika tidak disertai dengan tawakal, keimanan itu tidak sempurna. Orang yang tidak bertawakal cenderung memiliki yang tipis.

Allah ﷻ menjelaskan karakter orang yang beriman dan bertawakkal dalam QS Al Anfal 2.

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah  kuat imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal.” (QS: Al-Anfal:2)

Allah ﷻ juga memberi tahukan kepada para Rosul-Nya bahwa tawakkal adalah tempat bertopang dan bersandar mereka. Karena itu, Allah ﷻ memerintahkan mereka untuk memelihara tawakkal di dalam diri mereka.

وَقَالَ مُوسَىٰ يَٰقَوْمِ إِن كُنتُمْ ءَامَنتُم بِٱللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوٓا۟ إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ

فَقَالُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Dan Musa berkata, ‘Wahai kaumku! Apabila kamu beriman kepada Allah, bertawakallah kepada-Nya. Jika kamu benar-benar muslim (berserah diri). ‘Lalu mereka berkata, ‘Kepada Allah-lah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum zalim.” (QS: Yunus : 84-85).*/Haryono Madari, sumber: Ensiklopedia Akhlak Muhammad

HIDAYATULLAH

Contoh Tawakal yang Benar untuk Keberangkatan Haji

Syariat telah menegaskan haji adalah bagi orang yang memiliki bekal. Dalam surat Albaqarah ayat 197 sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi menuliskan daman kitabnya Fadhilah Haji bagaimana contoh bekal takwa yang benar. Untuk menguraikan contoh ini Syekh Maulana menuliskan kisah ketakwaab Abu Bakar Siddiq.

Ketika perang tabuk, Rasulullah SAW menyuruh para sahabat untuk membantu tentara Islam yang hendak berangkat ke medan perang. Abu Bakar ra membawa apa saja yang ada di rumahnya.”Tidak ada sesuatu pun yang tinggal di rumahnya,” tulis Syekh Maulana Muhammad Zakariyya.

Kisah yang kedua menceritakan tentang seorang sahabat yang datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa sepotong emas sebesar telur ayam. Sambil menyerahkannya kepada Rasulullah SAW berkata. “Saya sedekahkan dan saya sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.” 

Rasulullah memalingkan wajahnya dari orang itu, dan dia datang di depan Rasulullah lagi dan berkata seperti semula. Namun demikian Rasulullah memalingkan wajahnya dari orang itu, dan orang itu datang berulang kali di depan Rasulullah  sambil berkata seperti semula.

Pada kedatangan yang keempat kalinya Rasulullah mengambil potongan emas tersebut kemudian melemparkannya dengan keras. Andai saja terkena pemiliknya pasti akan melukainya.

Kemudian Rasulullah bersabda. “Sebagian orang menyedekahkan semua apa yang ia miliki lalu meminta-minta kepada manusia.”

Syekh Maulana Muhammad Zakariyyah mengatakan, dari dua kisah ini bisa diketahui dengan benar kapan tawakal itu dibenarkan. 

Barang siapa yang dalam keadaan tangan kosong mampu bersabar, tidak mengadukan keadaannya kepada manusia, dan tidak meminta-minta kepada orang lain, maka yang pasti dibolehkan untuk pergi haji dengan bertawakal.

Dan barangsiapa yang tidak seperti itu, tetapi menjadi beban bagi orang lain, tidak mampu bersabar, dan tidak pandai bersyukur, maka tidak patut baginya untuk pergi haji dengan bertawakal saja tanpa membawa bekal.

IHRAM

Apa Saja Ciri-ciri Tawadhu?

Manusia adalah makhluk lernah yang tidak berarti apa- apa di hadapan Allah Swt. Manusia membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah Swt.

Tanpa rahmat, karunia dan nikrnat dari Allah Swt., manusia tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan tidak akan pernah ada di atas permukaan bumi ini.

Sikap Rendah Hati

Pengertian tawadhu secara etimologi, kata tawadhu berasal dari kata wadh’a yang berarti merendahkan, serta juga berasal dari kata “ittadha’a” dengan arti merendahkan diri.

Disamping itu, kata tawadhu juga diartikan dengan rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah, tawadhu adalah menampakan kerendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan.

Bahkan, ada juga yang mengartikan tawadhu sebagai tindakan berupa mengagungkan orang karena keutamaannya, menerima kebenaran dan seterusnya.

Orang yang tawadhu menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan lain-lain sebagainya, semuanya adalah karunia dari Allah Swt.

Sikap rendah hati akan memudahkan individu untuk memaafkan orang lain yang telah menyakitinya. Orang yang memiliki sikap rendah hati atau tawadhu juga akan membuka diri terhadap berbagai hal.

Orang yang terbuka akan mau dan tak malu untuk mengakui bahwa dirinya mungkin pernah melakukan kesalahan pada orang lain sehingga menyebabkan orang lain bertindak tidak menyenangkan.

Sikap rendah hati akan membuat seseorang lebih mudah memahami masalah yang terjadi. Apabila masalah bisa dipahami dengan sebaik-baiknya, maka maaf pun mudah diberikan untuk orang yang telah menyakiti.

Itulah mengapa sifat tawadhu penting dimiliki oleh setiap individu, terutama individu yang memiliki banyak ilmu pengetahuan, seperti para pelajar, santri, dan mahasiswa.

Tawadhu yang dimiliki individu dipengaruhi sejumlah faktor, seperti religiusitas dan kecerdasan emosi.

Religiositas adalah suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya berfikir, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata istilah yang menunjuk langsung pada kata tawadhu. Akan tetapi, yang disebutkan adalah beberapa kata yang memiliki kesamaan arti dan maksud sama dengan kata tawadhu.

Ada kata rendah diri, merendahkan, atau rendahkanlah, tidak sombong, lemah lembut, dan seterusnya.

Sikap tawadhu’ tidak akan membuat derajat seseorang menjadi rendah, malah dia akan dihormati dan dihargai. Masyarakat akan senang dan tidak ragu bergaul dengannya.

Dalam buku Psikologi Islami Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi (2011) karya Dr. Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso dituliskan tentang religiositas adalah tingkat keyakinan, pelaksanaan ibadah, perilaku keseharian, pengalaman, dan pengetahuan agama seseorang yang dimotivasi oleh kekuatan spiritual.

Kecerdasan emosi adalah faktor lain yang memengaruhi sikap rendah hati atau tawadhu. Kecerdasan emosi bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami emosi yang dirasakannya.

Selain itu, tawadhu juga bisa diartikan sebagai kemampuan mengendalikan diri dan emosi yang dirasakan, mempunyai daya tahan dalam menghadapi problematika.

Seseorang yang memiliki sikap rendah hati juga akan mampu menyemangati diri, memahami perasaan dan emosi orang lain, dan mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain.

Individu yang memiliki kecerdasan emosi yang baik mampu untuk mengidentifikasi intensitas perasaan atau emosi baik itu pada diri sendiri maupun orang lain.

Ada lima aspek dalam kecerdasan emosi yakni memahami emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, memahami emosi orang lain, dan membina hubungan sosial dengan orang lain.

Lantas apa hubungannya kecerdasan emosi dengan sikap tawadhu?

Hubungannya adalah bahwa pemahaman seseorang akan dirinya menjadikan seseorang tidak bersikap angkuh atau sombong terhadap orang lain. Itulah mengapa semua orang mesti memiliki sikap rendah hati dalam dirinya.

Ciri-ciri Tawakkal

Sikap rendah hati bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari apabila seseorang telah memahami bagaimana dan apa saja ciri-ciri rendah hati.

Sebagai makhluk sosial, manusia menjalin komunikasi, menjalin hubungan, bekerjasama dengan orang lain, menerima pertolongan dan memberi pertolongan.

Saat berinteraksi dengan orang lain, sikap yang positif sangat dibutuhkan. Sementara sifat yang sebaliknya, seperti sombong dan berbangga diri, sangat merusak relasi dengan orang lain.

Salah satu sikap positif yang sangat dianjurkan dalam relasi dengan orang lain adalah rendah hati atau tawadhu.

Ajaran agama Islam menganjurkan manusia agar menghidupkan sifat tawadhu atau rendah hati dalam kehidupan sehari-hari.

Nabi Muhammad saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu sehingga seseorang tidak merasa bangga lagi sombong terhadap orang lain dan tidak pula berlaku aniaya kepada orang lain” (H.R. Imam Muslim dalam al-Uwaisyah).

Rendah hati adalah sikap yang dimiliki seseorang dimana ia tidak memandang dirinya lebih tinggi dari orang lain.

Sikap untuk merendahkan diri tanpa meremehkan harga diri, sehingga orang lain tidak memandang rendah atau tidak meremehkan yang bersangkutan juga merupakan pengertian lain dari rendah hati.

Sementara itu, apa yang dimaksud tawadhu adalah merendahkan diri dan berperilaku lembut, di mana perilakunya tidak bertujuan untuk dilihat sebagai orang yang terpuji namun semata-mata hanya mengharap ridha dari Allah SWT.

Dalam buku Semulia Akhlak Nabi (2014), Amru Khalid mengartikan bahwa rendah diri atau tawadhu adalah bentuk ketundukan kepada kebenaran.

Kebenaran yang dimaksud adalah kebenran yang datang dari manapun sumbernya, menjalin interaksi dengan kelembutan, dan tidak membedakan satu dan yang lainnya.

Masih menurut Amru Khalid dan masih dalam buku yang sama, ada beberapa ciri tawadhu. Apa saja ciri-ciri rendah hati yang dituliskan? Berikut ciri-cirinya:

Pertama, mengenal diri sendiri.

Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah Hadis yang berbunyi: “Barangsiapa mengenal dirinya pasti ia akan bertawadhu kepada Allah” (HR. Imam al-Syafi’i).

Kedua, mengenal Allah, Sang Pencipta.

Mengenal Allah mencakup empat bagian, yaitu mengenal keberadaannya, keesaan rububiyah, keesaan uluhiyah (hak Allah untuk diibadahi) serta mengenal namanama dan sifat-sifat Allah.

Ketiga, mengaplikasikan tawadhu dalam hal-hal berikut: tawadhu dalam berpakaian, tawadhu kepada pembantu, tawadhu dalam membangun rumah, tawadhu terhadap para kerabat terutama yang miskin, tawadhu terhadap orang di bawah, tawadhu terhadap guru, tawadhu terhadap orang yang diajar, tawadhu kepada orangtua.

Perlu diingat bahwa rendah diri adalah tentang aspek ketulusan, keadilan, serta kesederhanaan yang memiliki kontribusi penting dalam membangun kerjasama dan hubungan interpersonal.

Sikap tawadhu cenderung mengundang rasa simpatik kepada sesama manusia. Oleh sebab itu, setiap Muslim hendaknya memiliki ciri-ciri rendah diri seperti apa yang telah disebutkan dalam rangka meneladani Nabi Muhammad Saw.

Orang yang memiliki sifat tawadhu akan mengakui kesalahan dan merasa pengetahuannya masih kurang sehingga terbuka untuk menerima ide-ide baru dan nasihat yang bijaksana dari orang lain.

Ciri orang yang mempunyai sikap tawadhu ketika berhadapan dengan Allah Swt. yaitu ketika berdoa, berdzikir, dan memohon dengan suara tidak keras, takut, dan penuh harap sehingga biasanya orang yang tawadhu akan bersikap selalu optimis.

Ciri orang yang mempunyai sikap tawadhu dengan orang yaitu kepada orang tua dan orang lain, ketika berhadapan dengan orang-orang, yang bersikap tawadhu akan patuh, sayang, penuh hormat, dan suka membantu terhadap orang tua.

Sikap tawadhu dengan orang lain adalah tidak menyakiti, suka menolong,dan menyayangi. Ciri orang yang bersikap tawadhu dalam dirinya tidak menyombongkan dan membanggakan diri sendiri.[]

BINCANG SYARIAH

Kunci Rezeki itu Tawakal kepada Allah

Kunci rezeki mudah datang adalah dengan seorang muslim bertawakal kepada Allah.

Contohlah bagaimana burung tawakal dalam mencari rezeki.

Hadits Ke-49 dari Jamiul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab

الحَدِيْثُ التَّاسِعُ وَالأَرْبَعُوْنَ

عَنْ عُمرَ بن الخطَّابِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ : (( لَو أَنَّكُمْ تَوكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرزُقُ الطَّيرَ ، تَغدُو خِماصاً ، وتَروحُ بِطَاناً )) رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّانَ فِي ” صَحِيْحِهِ ” وَالحَاكِمُ ، وَقَالَ التِّرمِذِيُّ : حَسَنٌ صَحِيْحٌ .

Hadits Ke-49

Dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali di waktu sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya, dan Al-Hakim. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih). [HR. Ahmad, 1:30; Tirmidzi, no. 2344; Ibnu Majah, no. 4164; dan Ibnu Hibban, no. 402. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat dan perawinya tsiqqah, terpercaya, termasuk perawi shahihain, selain ‘Abdullah bin Hubairah yang merupakan perawi Imam Muslim].

Faedah hadits

Pertama: Hadits ini menjadi dalil pokok dalam masalah tawakal.

Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tawakal itu jadi sebab terbesar datangnya rezeki.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:496-497)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Nabi shallalahu ‘alaihi wa salam membacakan ayat ini pada Abu Dzarr, beliau berkata kepadanya,

لَوْ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَخَذُوْا بِهَا لَكَفَتْهُمْ

“Seandainya manusia seluruhnya memperhatikan ayat ini, tentu hal itu akan mencukupi mereka.” Maksudnya, seandainya kaum muslimin merealisasikan takwa dan tawakal dengan benar, urusan dunia dan agama mereka akan tercukupi. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:497)

Kedua: Inti dari tawakal adalah benar dalam menyandarkan hati kepada Allah dalam meraih maslahat atau menolak mudarat, berlaku dalam perkara dunia maupun akhirat seluruhnya. Dalam tawakal, kita menyandarkan seluruh urusan kepada Allah. Dalam tawakal, kita merealisasikan iman dengan benar yaitu meyakini bahwa tidak ada yang memberi, tidak ada yang mencegah, tidak ada yang mendatangkan mudarat, tidak ada yang mendatangkan manfaat selain Allah. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:497)

Ketiga: Mewujudkan tawakal bukan berarti tidak melakukan usaha sama sekali. Karena usaha juga diperintahkan untuk dilakukan. Berusaha sudah termasuk sunnatullah. Karena Allah memerintahkan untuk mencari sebab bersamaan dengan bertawakal kepada-Nya.

Keempat: Menempuh sebab dengan usaha badan kita merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati (batin) kita adalah bagian dari keimanan kepada Allah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:498.

Kelima: Buah dari tawakal adalah rida pada qadha’ (ketetapan) Allah. Oleh karenanya, sebagian ulama menafsirkan tawakal dengan rida kepada Allah. Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:508.

Referensi:

  1. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  2. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/25326-kunci-rezeki-tawakal-kepada-allah-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-49.html

Mendidik Jiwa Untuk Bertawakal

Dalam Al-Qur’an begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang nilai-nilai kebaikan. Ayat-ayat ingin membangun jiwa manusia dengan pondasi yang kokoh agar tidak mudah digoyahkan oleh rayuan dan tidak mampu dijatuhkan oleh tekanan.

Tawakal kepada Allah adalah salah satu pondasi yang wajib tertanam dalam jiwa seorang mukmin. Dengan bertawakal, seluruh kehidupan seseorang akan berubah. Dengan kepasrahan kepada Allah seluruh badai masalah akan dihadapi dengan penuh ketenangan dan ketegaran.

Allah swt berfirman :

وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحۡ بِحَمۡدِهِۦۚ وَكَفَىٰ بِهِۦ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًا

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.” (QS.Al-Furqan:58)

Tawakal kepada Allah akan membawa kita pada ketaatan dan kepasrahan mutlak kepada Yang Maha Kuasa.

Tawakal kepada Allah akan membawa seseorang untuk terus maju, karena ia selalu bersandar pada kekuatan Yang Maha Mampu, sehingga tidak ada satu pun rintangan yang mustahil ia lewati.

Tawakal kepada Allah membangun jiwa manusia menjadi jiwa yang pemberani dan tidak bergantung pada kekuasaan orang-orang durjana. Karena baginya, kekuatan sesungguhnya hanya milik Allah. Ia tidak sibuk dengan jabatan dan posisi dunia yang sesaat akan sirna.

Tawakal kepada Allah adalah sumber kekuatan yang menjauhkan seseorang dari kesombongan, kesewenangan dan kedurjanaan. Karena ia selalu sadar bahwa semua kelebihan yang ia miliki hanyalah pemberian Allah.

Tawakal membawa seseorang memiliki akhlak yang mulia sehingga ia fokus untuk bertakwa, selalu memberi maaf dan membantu orang lain dalam kehidupannya.

Takwa artinya kita memasrahkan semua urusan kita kepada Dzat Yang Maha Mampu, yang tidak akan mengecewakan siapapun yang mengandalkannya, yang akan selalu membimbimbing hamba-Nya menjalani jalan kesuksesan.

Coba lihat ayat yang kita sebutkan tadi :

وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati.”

Pasrahkan semua urusanmu hanya kepada-Nya. Jangan sampai engkau sibuk dengan rintangan dan kesedihan yang menghalangimu. Jangan sampai engkau sibuk dengan cercaan orang-orang yang menghinamu. Cukup Allah, Pemilik segala sesuatu. Tempat engkau menyandarkan segala masalahmu.

وَسَبِّحۡ بِحَمۡدِهِۦۚ

“Dan bertasbihlah dengan memuji-Nya.”

Ingatlah selalu untuk mengagungkan dan memuliakan Allah. Puji lah Dia selalu sehingga hatimu dipenuhi dengan kecintaan kepada-Nya dan tunduk pada kekuatan-Nya yang tak tertandingi.

وَكَفَىٰ بِهِۦ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًا

“Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.”

Dia-lah Yang Maha Mengetahui semua rahasia kita dan apa yang tersembunyi dalam hati kita. Tiada yang luput dari Ilmu-Nya. Dengan Rahmat-Nya, Allah akan mengampuni pendosa dan dengan Rahmat dan Keadilan-Nya, Allah akan memberikan siksa.

Bertawakal-lah kepada Dzat yang tidak pernah mati. Pasrahkan dirimu kepada Dzat yang kekuatannya tak terbatas, agar kita mampu menghadapi semua masalah yang merintangi kehidupan kita.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Mendudukkan Bagaimanakah Tawakkal yang Benar ketika Terjadi Wabah

Di masa terjadinya wabah SARS-CoV-2 ini, kita dapati sebagian orang yang bersikap cuek dan biasa-biasa tidak mau mengikuti saran dan himbauan pemerintah dan tenaga kesehatan untuk melakukan usaha-usaha pencegahan, berdalih dengan itulah yang sesuai dengan konsep tawakkal kepada Allah Ta’ala. 

Sikap seperti ini sungguh kita sayangkan, karena telah berbicara dalam perkara agama tanpa ilmu, yang bisa jadi itu lebih berbahaya dari wabah SARS-CoV-2 itu sendiri. Artikel singkat ini akan mengulas sedikit bagaimana mendudukkan tawakkal yang benar ketika terjadi wabah.

Kita Tetap Diperintahkan untuk Berusaha

Ketika sakit, syariat memerintahkan kita untuk berobat, bukan hanya pasrah saja kepada takdir, tanpa merasa perlu berbuat apa-apa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً، الْهَرَمُ

“Wahai sekalian hamba Allah, berobatlah! Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan juga obatnya, kecuali penyakit tua (pikun).” (HR. Tirmidzi no. 2038 dan Abu Dawud no. 3855, shahih)

Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihu wa sallam memerintahkan untuk memisahkan dan tidak mencampur antara hewan yang sakit dengan hewan yang sehat. Hal ini bertujuan agar hewan-hewan yang sehat tersebut tidak tertular dengan hewan yang sakit. Dengan perkataan lain, agar hewan yang masih sehat itu tidak ikut-ikutan sakit, si pemilik hewan harus melakukan tindakan (sebab atau usaha) tertentu dan tidak hanya pasrah saja.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ

“Janganlah mengumpulkan unta yang sakit dengan unta yang sehat.” (HR. Bukhari no. 5774 dan Muslim no. 2221)

Khusus berkaitan dengan penyakit menular, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

“Larilah dari orang yang terkena kusta, sebagaimana Engkau lari dari singa.” (HR. Ahmad no. 9722, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 783)

Hadits di atas jelas menunjukkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita menghindarkan diri dari penyakit menular, bukan malah sengaja mendatanginya. Apakah kita berani mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kurang rasa tawakkalnya kepada Allah Ta’ala?

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits-hadits yang memerintahkan untuk berobat,

وَفِي الْأَحَادِيثِ الصّحِيحَةِ الْأَمْرُ بِالتّدَاوِي وَأَنّهُ لَا يُنَافِي التّوَكّلَ كَمَا لَا يُنَافِيهِ دَفْعُ دَاءِ الْجَوْعِ وَالْعَطَشِ وَالْحَرّ وَالْبَرْدِ بِأَضْدَادِهَا بَلْ لَا تَتِمّ حَقِيقَةُ التّوْحِيدِ إلّا بِمُبَاشَرَةِ الْأَسْبَابِ الّتِي نَصَبَهَا اللّهُ مُقْتَضَيَاتٍ لِمُسَبّبَاتِهَا قَدَرًا وَشَرْعًا 

“Dalam hadits-hadits shahih di atas terdapat perintah untuk berobat. Berobat tidak bertentangan dengan tawakkal, sebagaimana menghilangkan rasa haus, lapar, panas, atau dingin dengan lawannya juga tidak bertentangan dengan tawakkal. Bahkan, hakikat tauhid tidaklah sempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang telah Allah Ta’ala tetapkan bisa mewujudkan musabbab menurut syariat dan realita.“ (Zaadul Ma’aad, 4: 14)

Dalam masalah ini, yang dimaksud dengan “sebab” adalah “berobat”; sedangkan yang dimaksud dengan “musabbab” adalah “kesembuhan”.

Dalam masa wabah ini, kita pun diperintahkan untuk melakukan usaha-usaha berobat (kalau sudah terkena penyakit) atau melakukan usaha-usaha pencegahan (kalau belum terkena penyakit). Ketika terbukti bahwa wabah SARS-CoV-2 ini menyebar melalui droplet (percikan ketika seseorang berbicara, bersin, atau batuk), aerosols (partikel yang melayang di udara), kontak dengan penderita melalui jarak dekat (close contacts), atau fomites (partikel virus yang menempel di benda-benda yang disentuh oleh penderita), maka para ulama pun memfatwakan untuk boleh shalat lima waktu di rumah atau bahkan dilarang untuk shalat lima waktu dan shalat jum’at di masjid. Semua ini adalah usaha yang bisa dilakukan sesuai dengan penelitian medis di bidang ini. Hal ini pun sesuai dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kami sebutkan sebelumnya,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

“Larilah dari orang yang terkena kusta, sebagaimana Engkau lari dari singa.” (HR. Ahmad no. 9722, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 783)

Sayangnya, sebagian orang menyindir dan mencaci fatwa-fatwa tersebut, seolah-olah bertentangan dengan sikap tawakkal kepada Allah Ta’ala. Padahal, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas, tauhid tidaklah sempurna kecuali seseorang itu melakukan sebab-sebab (usaha) yang diizinkan oleh syariat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang bersandar kepada Allah Ta’ala saja tanpa mau melakukan sebab (usaha tertentu), maka hal ini merupakan celaan terhadap hikmah (kebijaksanaan) Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala menjadikan sebab untuk segala sesuatu. Allah adalah Dzat Yang Maha bijaksana. Allah Ta’ala mengaitkan sebab dengan akibat (musabbab-nya). Hal ini sebagaimana orang yang bersandar kepada Allah untuk memiliki anak, namun dia tidak mau menikah. (Al-Qaulul Mufiid, 2: 28)

Orang yang tidak mau berusaha, berarti tidak menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya. Bagaimana tidak, dia ingin pintar, tapi tidak mau berusaha belajar. Atau ingin mendapatkan harta, tapi tidak mau bekerja mencari nafkah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَلِهَذَا قَالَ طَائِفَة من الْعلمَاء الِالْتِفَات إِلَى الْأَسْبَاب شرك فِي التَّوْحِيد ومحو الْأَسْبَاب أَن تكون أسبابا نقص فِي الْعقل والإعراض عَن الْأَسْبَاب بِالْكُلِّيَّةِ قدح فِي الشَّرْع وَإِنَّمَا التَّوَكُّل الْمَأْمُور بِهِ مَا يجْتَمع فِيهِ مقتضي التَّوْحِيد وَالْعقل وَالشَّرْع

“Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa hanya bersandar kepada sebab itu adalah syirik (yang bertentangan) dengan tauhid. Dan menihilkan sebab (yang berpengaruh) itu menunjukkan kurangnya akal. Tidak mau menempuh sebab (tidak mau berusaha sama sekali) itu menunjukkan celaan terhadap syariat (karena syariat memerintahkan untuk berusaha, pent.). Sehingga tawakkal yang diperintahkan itu adalah yang mengumpulkan konsekuensi tauhid, akal, dan syariat.” (Amraadhul Quluub, hal. 52)

Selain itu, orang-orang yang tidak berusaha mencegah terjadi perluasan wilayah wabah, bisa jadi telah menjerumuskan dirinya sendiri dan orang lain ke dalam kebinasaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)

Hati Tetap Bersandar dan Pasrah kepada Allah Ta’ala

Setelah manusia melakukan sebab-sebab tertentu, kewajiban manusia yang tidak bisa diabaikan adalah menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala, bahwa Allah yang menciptakan sebab-sebab tersebut. Bisa saja, setelah kita berusaha semaksimal mungkin sebatas kemampuan kita sebagai manusia, Allah tidak mengabulkannya sesuai dengan hikmah (kebijaksanaan) Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن يَمْسَسْكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَآدَّ لِفَضْلِهِۦ ۚ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi kami, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10]: 107)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ

“Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. Tirmidzi no. 2516, shahih)

Lihatlah bagaimana kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, yang Allah Ta’ala selamatkan ketika akan dibakar dengan api. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ

“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS. Al-Anbiya’: 68)

Raja Namrud telah mengambil usaha yang benar, yaitu menggunakan api ketika ingin membakar Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, dan tidak mencari air, atau debu, atau sebab yang lain. Akan tetapi, Namrud lupa bahwa Allah-lah yang menciptakan api dan Allah bisa saja mengubah api yang harusnya membakar, berubah menjadi api yang dingin dan menyejukkan. 

Berkaitan dengan masalah penyakit, Allah-lah Dzat yang menyembuhkan. Adapun manusia, diperintahkan untuk berusaha berobat semaksimal mungkin yang mereka mampu lakukan. Sebagaimana doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk sahabatnya yang sedang sakit,

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ البَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Engkaulah Asy-Syaafi (Dzat Yang menyembuhkan). Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” (HR. Bukhari no. 5675 dan Muslim no. 2191)

Ciri manusia yang sangat bergantung pada diri dan usahanya, dan melupakan Pencipta sebab (yaitu Allah Ta’ala) adalah dia sangat kecewa atau marah ketika dia gagal, padahal sudah merasa berusaha semaksimal mungkin dengan melakukan semua yang bisa dia lakukan. 

Oleh karena itu, di sinilah peran ustadz atau kyai, bahkan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, untuk senantiasa mengajak kaum muslimin mengingat Allah Ta’ala, setelah berusaha semaksimal mungkin mematuhi himbauan prosedur-prosedur pencegahan dari terkena wabah. 

Empat Golongan Manusia dalam Masalah Tawakkal

Berdasarkan uraian di atas, ada empat golongan manusia dalam masalah tawakkal:

Pertama, orang yang bergantung pada sebab dan usaha secara total, sama sekali tidak memiliki iman pada Rabb semesta alam, sang Pencipta sebab tersebut. Inilah “tawakkal” yang dianut oleh ‘aqlaniyyin (para pemuja akal), komunis, ateis, dan materialistis. Ini adalah sikap tawakal yang keliru.

Kedua, orang yang meninggalkan sebab dan usaha secara total alias pasrah secara totalitas. Mereka menyerahkan urusan hanya kepada Allah Ta’ala, namun tidak ada mau berusaha dan tidak mau mengambil sebab sama sekali. Inilah tawakkal ala kaum sufi. Ini juga tawakal yang keliru.

Dalam situasi wabah ini, kita dapati perkataan-perkataan sebagian orang, “Tidak perlu takut keluar rumah, shalat jamaah di masjid, atau melakukan pencegahan ini dan itu. Kalau memang ditakdirkan hidup ya hidup, kalau ditakdirkan mati ya mati.”

Ketiga, orang yang berkeyakinan bahwa sebab dan usaha itu sebetulnya tidak ada pengaruhnya sama sekali. Namun, terkadang mereka masih mau melakukan usaha. Ini adalah tawakkal ala Jabriyyah. Ini juga sikap tawakal yang keliru.

Keempat, orang yang mengusahakan sebab dan usaha lahiriyyah dengan anggota badan, namun hati bergantung penuh dan pasrah secara totalitas kepada Allah Ta’ala, bukan kepada sebab yang dia usahakan dengan anggota badannya. Dan meyakini bahwa setiap takdir telah Allah jadikan sebab-sebabnya. Inilah sikap tawakal yang benar, yang merupakan keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah. [1]

Berkaitan dengan masalah wabah ini, termasuk yang manakah kita?

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55347-mendudukkan-bagaimanakah-tawakkal-yang-benar-ketika-terjadi-wabah.html

Sabar dan Tawakal, Dua Tiang Keimanan

Allah swt berfirman :

ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ

“(yaitu) orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS.An-Nahl:42)

Dalam ayat ini Allah swt menggandengkan antara sabar dan tawakal. Sabar adalah tawakal adalah tiang yang mengokohkan keimanan kita.

Dalam beribadah perlu kesabaran, dalam berbuat baik perlu kesabaran bahkan dalam meninggalkan dosa dan rayuan setan juga perlu kesabaran.

Di sisi lain kita juga memerlukan tawakal dalam menghadapi berbagai problem kehidupan. Sehingga kita selalu menatap hari dengan penuh optimis, karena kita selalu bersandar kepada Yang Maha Kuat.

Tawakal menumbuhkan harapan dan membuang rasa takut. Karena kita sedang bergantung pada Yang Maha Kuasa, kita sedang berharap kepada Yang Maha Perkasa, sehingga tiada sesuatu yang mustahil bagi-Nya. Kita sedang bersandar kepada Yang Maha Hidup, Yang Tidak Pernah Mati.

وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati.” (QS.Al-Furqan, Ayat 58)

Nampaknya ketika Allah swt menggandengkan sabar dan tawakal seakan memberikan isyarat bahwa dunia ini dipenuhi cobaan dan ujian dan agar kita mampu melewati semua ini dan meraih Kerelaan Allah swt di surga, maka jangan pernah lepas dari dua senjata ini, yaitu sabar dan tawakal.

Semoga bermanfaat.

Empat Ciri Orang Tawakal

ADAPUN ciri-ciri dari tawakal di antaranya:

1. Mujahadah (Semangat yang kuat)

Sebagai seorang mukmin dan muslim dianjurkan untuk memiliki akhlak yang baik. Salah satunya tawakal. Guna terciptanya sosialisasi yang tentram, tenang, dan damai. Tawakal bukan hanya sekadar merasakan segala perkara kepada Allah Ta’ala, tetapi diawali dengan usaha-usaha ataupun jalan-jalannya yang kuat. Setelah itu serahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala. Di antara ciri orang yang bertawakal ialah memiliki semangat yang kuat. Mempunyai semangat yang kuat merupakan salah satu akhlak orang mukmin yang dianjurkan oleh Islam.

Orang mukmin yang menempuh cara semacam ini adalah orang yang lebih bagus dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla daripada orang yang lemah semangatnya, tidak mau bekerja keras dan mengerjakan atau mencari pekerjaan yang berfaedah. Sepantasnyalah setiap orang untuk meningkatkan ilmu, budi pekerti, serta kemasyarakatan dan perekonomiannya.

2. Bersyukur

Ciri lain orang yang bertawakal ialah ia senantiasa bersyukur kepada Allah Ta’ala. Apabila ia sukses ataupun berhasil dalam segala urusan ataupun ia mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan ia tak luput untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Ta’ala, karena ia menyadari dan meyakini bahwa semua yang ia dapatkan itu adalah takdir Allah dan kehendak-Nya. Dengan bersyukur pula ia akan selalu merasa puas, senang dan bahagia.

Firman Allah Ta’ala: “Bersyukurlah kepada-Ku niscaya akan aku tambah nikmatnya, tapi jika tidak bersyukur sesungguhnya azabku teramat pedih.”

3. Bersabar

Ciri orang yang bertawakal selanjutnya ialah selalu bersabar. Sebagai orang mukmin yang bertawakal kepada Allah Ta’ala ia akan bersabar, baik dalam proses maupun dalam hasil. Karena dengan inilah ia akan bahagia dan tenang atas apa yang di terimanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya sebagai berikut: “Orang yang bahagia ialah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah dan orang yang terkena ujian dan cobaan dia bersabar.” (HR. Ahmad dan Abu dawud)

4. Intropeksi Diri (Muhasabah)

Orang yang bertawakal salah satu sikapnya ialah intropeksi diri. Dimana ia akan intropeksi diri apabila ia kurang sukses daam menjalankan sesuatu ia tidak membuat dirinya “drop”, melainkan ia selalu intropeksi pada diri, dapat dikatakan muhasabah. Senantiasa mengoreksi apa yang telah dilakukannya. Setelah itu ia akan berusaha menghindari faktor penyebab suatu kegagalan tersebut serta senantiasa memberikan yang terbaik pada dirinya.[]

Doa Agar Tawakkal dan Mendapat Ampunan dari Allah

Bagaimana agar kita dimudahkan tawakkal kepada Allah, juga mendapatkan ampunan dari-Nya? Doa dari kitab Riyadhus Sholihin ini bisa diamalkan.

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Ad-Da’awaaat (16. Kitab Kumpulan Doa), Bab 250. Keutamaan Doa

Hadits #1480

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ كَانَ يَقُوْلُ

اللَّهُمَّ لكَ أسْلَمْتُ، وبِكَ آمَنْتُ، وعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وإلَيْكَ أنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وإلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ المقَدِّمُ وَأَنْتَ المؤَخِّرُ لاَإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

زَادَ بَعْضُ الرُّوَّاةِ:وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ALLOOHUMMA LAKA ASLAMTU, WA BIKA AAMANTU, WA ‘ALAIKA TAWAKKALTU, WA ILAIKA ANABTU, WA BIKA KHOOSOMTU, WA ILAIKA HAAKAMTU, FAGH-FIRLII MAA QODDAMTU WA MAA AKHKHORTU, WA MAA ASRORTU WA MAA A’LANTU, ANTAL MUQODDIMU WA ANTAL MUAKHKHIRU, LAA ILAHA ILLA ANTA (artinya: Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali, kepada-Mu aku mengadu, dan kepada-Mu aku berhukum. Maka, ampunilah dosaku yang telah aku lakukan dan yang kemudian aku lakukan, yang aku sembunyikan dan yang aku tampakkan. Engkaulah yang mendahulukan dan Engkaulah yang mengakhirkan. Engkaulah Rabbku, tidak ada ilah yang hak diibadahi kecuali Engkau).”

Sebagian periwayat menambahkan, “WA LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH (artinya: tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).”(Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6317 dan Muslim, no. 769]

Faedah Hadits

  1. Seorang hamba sangat butuh kepada Allah.
  2. Wajib tawakkal kepada Allah semata, karena Allah disifati dengan sifat yang sempurna, maka Allah-lah yang pantas dijadikan tempat bersandar.
  3. Hendaklah mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa seperti doa yang diucapkan ini mencakup ungkapan iman dan rasa yakin yang kuat, doa ini pun sifatnya jawaami’ul kalim (ringkas, namun sarat makna).
  4. Doa ini mengajarkan untuk meminta ampun kepada Allah terhadap dosa yang telah dilakukan dan moga terhindar dari dosa pada masa akan datang. Begitu pula doa ini berisi meminta ampunan terhadap dosa yang tersembunyi dan dosa yang nampak.

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21170-doa-agar-tawakkal-dan-mendapat-ampunan-dari-allah.html

Antara Ibadah dan Tawakal

Pada akhir Surat Hud kita akan temukan sebuah ayat singkat yang mencakup akidah, syariat dan kabar dari Allah swt.

وَلِلَّهِ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُۥ فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ

“Dan milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS.Hud:123)

Ayat ini ingin memberi kita beberapa pelajaran berharga, yaitu :

1. Segala urusan hanya kembali kepada Allah swt.

Ketika Allah menjelaskan “Segala urusan akan kembali kepada-Nya“, artinya Allah sedang memperingatkan bahwa sekecil apapun perbuatanmu akan mendapat balasan. Maka setiap perbuatan kita hendaknya memiliki tujuan agar bisa menyelamatkan kita kelak di hari pembalasan.

2. Seluruh fasilitas dan kenikmatan yang diberikan kepada kita adalah milik-Nya.

Kapan saja Allah bisa memberikan kenikmatan dan kemampuan untuk menikmatinya. Dan kapanpun Allah mampu untuk mencabut seluruh kenikmatan itu. Karena segala urusan hanya kembali kepada-Nya.

3. Fokuskan ibadahmu hanya kepada Allah dan buang perhatianmu kepada selain-Nya.

Tapi yang menarik ayat ini menggandengkan antara ibadah dan tawakal. “Sembahlah Dia dan bertawakal lah kepada-Nya.”

Ketahuilah bahwa seorang hamba belum mencapai ibadah yang sebenarnya sebelum memiliki rasa tawakal kepada Allah.

Dan seseorang yang memiliki tawakal yang kuat maka ia telah mencapai tingkat ibadah yang tinggi dihadapan-Nya.

Karena hanya orang yang pasrah dan tawakal yang akan meraih semua kemuliaan serta kecukupan dari-Nya.

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.Ath-Thalaq:3)

4. Dan Allah mengakhiri ayat ini dengan “Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Tidak ada satu pun yang terlewat dari pandangan Allah swt.

Semua yang kita lakukan tidak akan pernah lepas dari pantauan-Nya. Jangan pernah kita bersandiwara dalam perbuatan ataupun kata-kata. Karena semua itu tidak akan pernah lepas dari pandangan Allah swt.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN