Berapa Kali Kita Mengkhatamkan Al-Quran?

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sifat Rasulullah, para sahabat, salafuna shaleh, dan orang-orang mukmin yang memiliki ketakwaan kepada Allah, Nabi menganjurkan mengkhatamkan sebulan sekali

Hidayatullah.com l DI SAAT kecil, kita sering rajin ke masjid, mushollah untuk membaca al-Quran hingga sampai khatam. Tradisi mengkhatamkan Al-Quran adalah tradisi masyarakat muslim Indonesia yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun.

    عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ : الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ – قَالَ : وَمَا الْحَالُّ الْمُرْتَحِلُ؟ قَالَ الَّذِي يَضْرِبُ مِنْ أَوَّلِ الْقُرْآنِ إِلَى آخِرِهِ كُلَّمَا حَلَّ ارْتَحَلَ

    .(رواه الترمذي : 2872 – سنن الترمذي – بَاب مَا جَاءَ أَنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ – الجزء : 10 – صفحة : 202)

“Dari Ibnu Abbas r.a., beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ. “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi: 2872, Sunan Tirmidzi, Bab maa jaa-a annal-Qur’an unzila ‘alaa sab’ati ahruf, juz 10, hal.202).

Generasi sahabat dapat menjadi generasi terbaik (baca; khairul qurun) adalah karena mereka memiliki ihtimam yang sangat besar terhadap Al-Qur’an. Sayid Qutub dalam bukunya Ma’alim Fii Ath-Thariq menyebutkan tiga faktor yang menjadi rahasia mereka mencapai generasi terbaik seperti itu.

Pertama karena mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber pegangan hidup, sekaligus membuang jauh-jauh berbagai sumber-sumber kehidupan lainnya. Kedua, ketika membacanya mereka tidak memiliki tujuan-tujuan untuk tsaqafah, pengetahuan, menikmati keindahan ataupun tujuan-tujuan lainnya.

Namun tujuan mereka hanya semata-mata untuk mengimplementasikan apa yang diinginkan Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliyah.

Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran ataupun kebudayaan.

Tilawatul qur’an; itulah kunci utama kesuksesan mereka. Imam Hasan Al-Banna mengatakan, “Usahakan agar Anda memiliki wirid harian yang diambil dari kitabullah Minimal satu juz per hari dan berusahalah agar jangan mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari sebulan dan jangan kurang dari tiga hari.”

Keutamaan membaca al-Qur’an

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi memaparkan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan membaca Al-Qur’an. Di antaranya:

1. Akan menjadi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.

Dari Abu Amamah ra, aku mendengar Rasulullah ﷺ. bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (HR. Muslim)

2. Mendapatkan predikat insan terbaik

Dari Usman bin Affan ra, Rasulullah ﷺ. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. TirMidzi)

3. Mendapatkan pahala akan bersama malaikat di akhirat, bagi yang mahir mambacanya.

Dari Aisyah ra, berkata; bahwa Rasulullah ﷺ. Bersabda yang artinya, “Orang yang membaca Al-Qur’an dan ia mahir membacanya, maka kelak ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi taat kepada Allah.” (HR. Bukhari Muslim).

4. Mendapatkan pahala dua kali lipat, bagi yang belum lancar.

“Dan orang yang membaca Al-Qur’an, sedang ia masih terbata-bata lagi berat dalam membacanya, maka ia akan mendapatkan dua pahala.” (HR. Bukhari Muslim)

5. Akan diangkat derajatnya oleh Allah

Dari Umar bin Khatab ra. Rasulullah ﷺ. bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allahswt. akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an), dengan dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim)

6. Mendapatkan sakinah, rahmat, dikelilingi malaikat, dan dipuji Allah di hadapan makhluk-Nya.

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah ﷺ. Bersabda;

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka ketengangan, akan dilingkupi pada diri mereka dengan rahmat, akan dilingkari oleh para malaikat, dan Allah pun akan menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di dekat-Nya.” (HR. Muslim)

Keutamaan mengkhatamkan al-Qur’an

a. Merupakan amalan yang paling dicintai Allah

Dari Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ., “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi).

b. Orang yang mengikuti khataman Al-Qur’an, seperti mengikuti pembagian ghanimah

Dari Abu Qilabah, Rasulullah ﷺ. Mengatakan yang artinya; “Barangsiapa yang menyaksikan (mengikuti) bacaan Al-Qur’an ketika dibuka (dimulai), maka seakan-akan ia mengikuti kemenangan (futuh) fi sabilillah. Dan barangsiapa yang mengikuti pengkhataman Al-Qur’an maka seakan-akan ia mengikuti pembagian ghanimah.” (HR. Addarimi)

c. Mendapatkan doa/shalawat dari malaikat

Dari Mus’ab bin Sa’d, dari Sa’d bin Abi Waqas, beliau mengatakan, “Apabila Al-Qur’an dikhatamkan bertepatan pada permulaan malam, maka malaikat akan bersalawat (berdoa) untuknya hingga subuh. Dan apabila khatam bertepatan pada akhir malam, maka malaikat akan bershalawat/ berdoa untuknya hingga sore hati.” (HR. Addarimi.)

d. Mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sunnah Rasulullah ﷺ. Hal ini tergambar dari hadits berikut, yang artinya: Dari Abdullah bin Amru bin Ash, beliau berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ., berapa lama aku sebaiknya membaca Al-Qur’an?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam satu bulan.” Aku berkata lagi, “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam dua puluh hari.” Aku berkata lagi, “Aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima belas hari.” “Aku masih lebih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam sepuluh hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Namun beliau tidak memberikan izin bagiku. (HR. Tirmidzi).

Waktu mengkhatamkan Al-Qur’an

a. Keutamaan waktu yang dibutuhkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an

Dari Abdullah bin Amru bin Ash, dari Rasulullah ﷺ., beliau berkata, “Puasalah tiga hari dalam satu bulan.” Aku berkata, “Aku mampu untuk lebih banyak dari itu, wahai Rasulullah.” Namun beliau tetap melarang, hingga akhirnya beliau mengatakan, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan bacalah Al-Qur’an (khatamkanlah) dalam sebulan.” Aku berkata, “Aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau terus malarang hingga batas tiga hari. (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan batasan waktu paling Minimal dalam membaca Al-Qur’an. Karena dalam hadits lain terkadang beliau membatasi hanya boleh dalam 5 hari, dan dalam hadits yang lain dalam tujuh hari. Maka dari sini dapat disimpulkan, batasan paling cepat dalam mengkhatamkan Al-qur’an adalah tiga hari.

b. Larangan untuk mengkhatamkan kurang dari tiga hari

Hadits di atas juga mengisyaratkan larangan Rasulullah ﷺ. untuk mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. Hikmah di balik larangan tersebut, Rasulullah ﷺ. katakan dalam hadits lain sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Amru, beliau mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ. bersabda, “Tidak akan dapat memahaMi/menghayati Al-Qur’an, orang yang membacanya kurang dari tiga hari.” (HR. Abu Daud)

c. Rasulullah ﷺ. tidak pernah mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu malam

Dari Aisyah ra, beliau mengatakan, “Aku tidak pernah tahu Rasulullah ﷺ. mengkhatamkan Al-Qur’an secara keseluruhan pada malam hingga fajar.” (HR. Ibnu Majah)

Sunnah dalam teknis mengkhatamkan Al-Qur’an

Adalah Anas bin Malik, beliau memiliki kebiasaan apabila telah mendekati kekhataman dalam membaca Al-Qur’an, beliau menyisakan beberapa ayat untuk mengajak keluarganya guna mengkhatamkan bersama.

Dari Tsabit al-Bunnani, beliau mengatakan bahwa Anas bin Malik jika sudah mendekati dalam mengkhatamkan Al-Qur’an pada malam hari, beliau menyisakan sedikit dari Al-Qur’an, hingga ketika subuh hari beliau mengumpulkan keluarganya dan mengkhatamkannya bersama mereka. (HR. Darimi).

Hikmah yang dapat dipetik dari hadits Anas di atas, adalah bahwa ketika khatam Al-Qur’an merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah. Dengan mengumpulkan seluruh anggota keluarga, akan dapat memberikan berkah kepada seluruh anggota keluarga. Karena, semuanya berdoa secara bersamaan kepada Allah mengharapkan rahmat dan berkah dari-Nya.

Kiat agar senantiasa dapat mengkhatamkan Al-Qur’an

Ada beberapa kiat yang barangkali dapat membantu dalam mengkhatamkan Al-Qur’an, di antaranya adalah:

1. Memiliki ‘azam’ yang kuat untuk dapat mengkhatamkannya dalam satu bulan. Atau dengan kata lain meMiliki azam untuk membacanya satu juz dalam satu hari.

2. Melatih diri dengan bertahap untuk dapat tilawah satu juz dalam satu hari. Misalnya untuk sekali membaca (tanpa berhenti) ditargetkan setengah juz, baik pada waktu pagi ataupun petang hari. Jika sudah dapat memenuhi target, diupayakan ditingkatkan lagi menjadi satu juz untuk sekali membaca.

3. Mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an yang tidak dapat diganggu gugat, kecuali jika terdapat sebuah urusan yang teramat sangat penting. Hal ini dapat membantu kita untuk senantiasa komitmen membacanya setiap hari. Waktu yang terbaik menurut penulis adalah ba’da subuh.

4. Menikmati bacaan yang sedang dilantunkan oleh lisan kita. Lebih baik lagi jika kita meMiliki lagu tersendiri yang stabil, yang meringankan lisan kita untuk melantunkannya. Kondisi seperti ini membantu menghilangkan kejenuhan ketika membacanya.

5. Usahakan untuk senantiasa membersihkan diri (baca: berwudhu’) terlebih dahulu sebelum kita membaca Al-Qur’an. Karena kondisi berwudhu’, sedikit banyak akan membantu menenangkan hati yang tentunya membantu dalam keistiqamahan membaca Al-Qur’an.

6. Membaca-baca kembali mengenai interaksi generasi awal umat Islam, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik dari segi tilawah, pemahaman ataupun pengaplikasiannya.

7. Memberikan iqab atau hukuman secara pribadi, jika tidak dapat memenuhi target membaca Al-Qur’an. Misalnya dengan kewajiban infaq, menghafal surat tertentu, dan lain sebagainya, yang disesuaikan dengan kondisi pribadi kita.

8. Diberikan motivasi dalam lingkungan keluarga jika ada salah seorang anggota keluarganya yang mengkhatamkan al-Qur’an, dengan bertasyakuran atau dengan memberikan ucapan selamat dan hadiah.

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sifat Rasulullah, para sahabat, salafuna shaleh, dan orang-orang mukmin yang memiliki ketakwaan kepada Allah. Seyogyanya, kita juga dapat memposisikan Al-Qur’an sebagaimana mereka memiliki semangat, meskipun kita jauh dari mereka.

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS: An-Ankabut: 69).

*/Fahmi Salim Zubair

HIDAYATULLAH

Nabi Muhammad ﷺ, Model Terbaik Pembina Peradaban Manusia

Islam mendapatkan Nabi seperti Muhammad ﷺ sebuah anugerah besar yang tidak diperoleh oleh umat-umat para nabi terdahulu, kesempurnaan Nabi ﷺ bersifat abadi dan kamil adalah model terbaik peradaban dunia

Kaum Muslim yang berpegang teguh kepada akhlak Nabi Muhammad ﷺ tidak mengalami krisis identitas. Karena, uswah Nabi Muhammad bersifat abadi. Hal ini berbeda dengan masyarakat Barat sekular yang tidak memiliki teladan yang pasti.

Beberapa para tokoh cendekiawan dan ahli ilmu pengetahuan Barat memiliki masalah etika pribadi yang buruk. Sehingga ada ketidak seimbangan antara ilmu dan etikanya. Tapi pemikiran Barat sekuler tidak pernah ada pikiran etika itu bersumber dari agama. Auguste Comte (w.1857), dijuluki bapak Sosiologi modern, dikisahkan memiliki persoalan prilaku pribadi. Filosof Prancis yang dikenal dengan filsafat positivisme ini – yang dipakai dalam metodologi ilmiah hingga sekarang – dikenal sebagai orang yang kejam, tempramental, dan arogan. Pernah dibawa ke rumah sakit jiwa, lalu kabur sebelum sembuh.

Jean-Jacques Rousseau (w. 1778) memiliki kekasih yang memberi kesan buruk. Sophie, kekasihnya di usia tua memberi kesaksian tidak baik terhadap Rousseau. ‘Rousseau adalah orang yang cukup buruk untuk menakuti saya dan cinta tidak membuatnya lebih menarik. Dia adalah seorang tokoh yang menyedihkan dan saya memperlakukannya dengan kelembutan dan kebaikan. Dia adalah orang gila yang menarik’. Hingga kini, ia dicatat tokoh ahli filsafat politik.

Karl Marx (w.1883), ahli filsafat aliran kiri yang menjadi rujukan kaum komunis juga dicatat sejarah pada usia mudanya suka mabuk-mabukan. Ketika kuliah di Universitas Bonn Jerman, ia menghabiskan hari-harinya untuk membuat onar, mabuk-mabukan, hingga berkelahi (tawuran).

Sampai-sampai orang tuanya memindahkan sekolah ke Universitas Berlin. Ternyata, kebiasaan buruknya berlanjut hingga usia tuanya.

Ketiga tokoh di atas adalah contoh dari sekian banyak ahli ilmu pengetahuan Barat yang memiliki masalah etika buruk. Ketiga tokoh ini sampai di abad modern menjadi rujukan dan buku-bukunya dipelajari.

Bahkan tak tidak sedikit orang mengidolakannya. Tetapi, bagi orang-orang yang mengambil ilmunya berpikir sederhana saja. “Ambil ilmunya, jangan tiru perilakunya.”

Ini Jelas aneh dan ironi. Ini suatu yang mustahil dalam tradisi kita, Islam.

Sosok tokoh seperti itu tentu saja tidak ideal dijadikan model oleh para pengikutnya, atau umat manusia. Cacat di sisi prilaku, pasti akan membuat ‘luka’ dalam pengetahuan yang dimiliki.

Karena itu, peradaban Barat tidak pernah mencapai kemapanan etika, sehingga menjadi peradaban yang ‘tidak selesai’.  Barat tidak ideal untuk diikuti.

Siapa tokoh paling puncak dalam peradaban Barat yang menjadi model bagi masyarakatnya untuk ditiru? Tidak pernah ada kepastian atau kesepakatan.

Dalam hal ini, Islam memiliki sosok yang memang disipakan untuk menjadi tokoh puncak pembangunan peradaban. Nabi Muhammad ﷺ adalah anugerah terbesar yang diberikan Allah Swt untuk umat manusia.

Karena menjadi model abadi bagi peradaban manusia, maka segala sisi diberi Baginda Nabi kesempurnaan hingga menjadi insanu kamil (manusia sempurna). Syekh al-Buthi menjelaskan, Nabi Muhamad ﷺ dipilih dari suku terbaik, dari rahim terbaik.

Kata Syekh al-Buthi, Allah Swt memberi keistimewaan kepada bangsa Arab daripada bangsa-bangsa lain yang ada di bumi. Selama zaman fatrah (masa kekosongan dunia tidak ada Nabi) yang cukup lama itu, kerusakan manusia merata di seluruh bumi.

Dari bangsa Persia, Romawi, Yunani, Hindia, dan lain-lain masing-masing berlomba-lomba melakukan kerusakan menyerupai binatang. Adapun kerusakan dari bangsa Arab lebih ringan, jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa tersebut (dalam Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqhu As-Sirah an-Nabawiyah, hal. 31).

Syekh al-Buthi menjelaskan alasan minimnya kerusakan yang terjadi pada bangsa Arab pada zaman itu. Jazirah Arab relatif tenang dan cenderung sepi dikunjungi bangsa-bangsa lain.

Sehingga, hal ini lumayan jauh dari pengaruh bangsa-bangsa asing lain dari luar jazirah. Kunjungan bangsa lain tidak sampai mukim lama, biasanya untuk keperluan perdagangan.

Jika ditemui kerusakan perilaku jahiliyah, maka tidak menjadi kebiasaan yang benar-benar merati secara keseluruhan. Masih ada kelompok-kelompok – khususnya yang mukim di Makkah – yang menjaga tradisi kebaikan dari nenek moyangnya.

Keluarga Abdullah dan Aminah – orang tua nabi ﷺ – tidak memiliki catatan cela dan cacat dari segi perilakunya. Mereka berdua dari suatu klan bangsa Quraisy yang tidak minum arak, dan tidak ada yang berzina. Mereka merupakan klan suci dari bangsa Quraisy.

Suku Qurasy sendiri merupakan qabilah terbaik dari bangsa Arab. Karena itulah, bangsa Arab di Hijaz memilih Quraisy sebagai penjaga Ka’bah. Secara turun-temurun.

Suku Quraisy dikenal memiliki kelebihan leadership (kemampuan memimpin) dan jujur. Sesuai dengan sabda Nabi ﷺ:

إنَّ اللهَ اصطفَى كِنانةَ من ولدِ إسماعيلَ . واصطفَى قريشًا من كنانةَ . واصطفَى من قريشٍ بني هاشمَ . واصطفاني من بني هاشمَ

“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari anak Nabi Isma’il. Dari keturunan Kinanan Allah memilih Quraisy. Dari keturunan Quraisy Allah memilih Hasyim. Dari Bani Hasyim Allah memilihku.” (HR. Muslim).

Maka, kelahiran Nabi ﷺ pun dinanti-nantikan banyak orang. Dari berbagai suku, bahkan hewan sekalipun menunggu.

Berita tentang nubuwah Nabi Muhammad ﷺ sudah “viral” di kalangan bani Israil dan orang Nasrani kala itu. Artinya, sosok Nabi Muhammad ﷺ melewati batas ruang dan waktu tertentu.

Imam Qadhi Iyadh menerangkan, bahwa dua abad sebelum Nabi Adam as diciptakan, ruh dan cahaya Nabi Muhammad sudah ada (Qadhi Iyadh, As-Syifa’ bi Ta’rifi Huquqi al-Musthafa, hal. 43).

Riwayat-riwayat tentang cahaya Nabi ﷺ yang lebih dulu ada dicatat dalam kitab Maulid Simthu al-Dhurar, karya Habib Ali Al-Habsyi. Berita-berita tentang keistimewaan Nabi Akhir Zaman itu sudah akrab di kalangan orang-orang beragama yang mengikuti nabi-nabi terdahulu.

Karena itu, begitu beliau lahir, maka semua makhluk menyambutnya. Sebab, enam abad lamanya bumi diselimuti kerusakan yang sangat parah dan sampai pada puncak kebejatan manusia.

Bumi seakan muak dengan segala kerusakan. Maka, begitu Nabi lahir ke bumi, maka makhluk yang ada di bumi dan langit menyambutnya dengan gembira. Habib Ali Al-Habsyi dalam Simthu al-Dhurar menerangkan riwayat bahwa hewan-hewan yang dipelihara bangsa Quraisy mengeluarkan suara-suara fasih (nathaqat bi fasihi al-‘ibarah). Seakan berbicara memberitakan akan datangnya rahmat bagi alam semesta.

Syekh Al-Buthi menulis, karena begitu hebatnya kemunculan Nabi ﷺ di bumi, maka sampai-sampai api bangsa Persia yang disembah sempat padam. Kursi raja Persia hampir saja jatuh karena kerasnya getaran seiring dengan kemunculan bayi bernama Muhammad bin Abdullah.

Fenomena alam ini sesungguhnya memberi isyarat bahwa kemajusian bangsa Persia akan padam. Diganti dengan terangnya cahaya Islam. Sekaligus akan takluknya kerajaan super power Persia oleh bangsa Muslim.

Maka wajar Abul Hasan Ali an-Nadawi dalam Madza Khasiral ‘Alam binkhitatil Muslimin berpendapat bahwa kemunculan Nabi ﷺ adalah cahaya pembangun peradaban manusia yang enam abad sempat hancur, dan kewafatan Nabi ﷺ adalah kerugian besar bagi dunia. Lebih-lebih setelah Muslim tidak lagi mengambil puncuk pimpinan dunia. Pelajaran penting dari buku an-Nadawi ini adalah pentingnya melahirkan sosok-sosok manusia yang meniru kesempurnaan Nabi untuk mengambil alih kepemimpinan peradaban dunia saat ini.

Nabi ﷺ adalah insan kamil (manusia sempurna). Prof. Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki menulis kitab khusus menelaah sisi kesempurnaan Nabi ﷺ, berjudul Muhammad Al-Insan Al-Kamil. Mulai dari kesempurnaan sisi batin, dan kesempurnaan sisi lahirnya. Termasuk akal dan kecerdasannya.

Sayid al-Maliki dalam kitab itu menerangkan, manusia di muka bumi ini yang paling cerdas dan paling tajam akalnya adalah Nabi Muhammad ﷺ.

Agama Islam mendapatkan Nabi seperti Muhammad ﷺ adalah anugerah besar yang tidak diperoleh oleh umat-umat para nabi terdahulu. Kesempurnaan Nabi ﷺ bersifat abadi. Karena itu, ia lebih pantas untuk dijadikan model (uswah) setiap saja dari umat manusia yang ingin menjadi bangsa yang baik.

Dalam hal ini Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menulis: “Beliau (Nabi ﷺ) mewakili wujud kesempurnaan dan penghabisan pada manusia. Beliau adalah teladan sempurna bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan, remaja, paruh baya, dan orang tua. Sehingga Muslim tidak mengalami krisis identitas, maupun pencarian tragis dan yang tak berbuah hasil karena memisahkan makna dan nasib” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, hal. 87).

Karena itu, peradaban umat Muslim tidak pernah mengalami krisis identitas. Mereka dari dahulu hingga kini tetap berjalan dan berada pada jalur yang tetap. Tidak berubah-ubah dan stabil.

Hal ini berbeda dengan masyarakat Barat sekular yang tidak menemukan sosok model abadinya. Sehingga mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, bergerak di dalam lingkaran ketidakbahagiaan yang tidak putus-putus di mana setiap generasi terus-menerus tidak puas dengan nilai-nilai kehidupannya sendiri.

Sedangkan umat Muslim memiliki budi-pekerti yang didasarkan oleh pandangan alam Islam yang berpusat pada Nabi Muhammad ﷺ sebagai modelnya. Masyarakat Muslim dipandu oleh peradaban berbudi yang suci yang disebut al-hadharah al-fadhilah sebuah peradaban yang penuh nilai-nilai akhlak suci (Wan Mohd Nor Wan Daud, Kenirwaktuan Nabi Muhammad di dalam Peradaban Islam).

Sementara masyarakat modern Barat sekular yang tidak menemukan kepastian nilai-nilai hidup itu lantas mencari-cari sendiri. Nilai Barat selalu berubah-ubah sesuai selera dan pilihan.

Antara tokoh satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Bahkan saling berselisih. Karena itulah peradaban masyarakat Barat itu peradaban yang ‘belum jadi’.

Peradaban Barat adalah peradaban yang tidak menemukan identitas jati diri yang abadi. Sesuatu yang selalu berganti-ganti membuat umat manusia kekurangan kebahagiannya, hal ini sangat berbanding terbalik dengan Islam.*

Oleh: Dr. Kholili Hasib

Penulis peneliti InPAS, pengajar di INI-DALWA, Bangil, Jawa Timur

HIDAYATULLAH

Kenapa Nabi Tidak Pernah Memukul Istri?

Meningkatnya kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga; KDRT (العُنْفُ الأُسَرِيُّ) mengingatkan perlunya intropeksi bagi setiap muslim. KDRT tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di dunia Arab dengan tekanan krisis global yang berdampak pada ekonomi setiap negara. Lembaga Riset Nasional Mesir menyimpulkan bahwa KDRT merupakan bentuk praktek kekerasan terbanyak di Mesir pada tahun 2022 dan perempuan sebagai pihak paling lemah dan terdampak. Di antara sebabnya adalah ketiadaan Undang-Undang/UU yang mengkriminalisasi prakter tersebut, jika pun ada tidak efektif. Lembaga Fatwa Mesir menyebut kekerasan fisik kepada istri bukan sikap kesatria, melainkan kriminal yang harus ditindak secara hukum.

Seorang Aktifis HAM Irak Busyro al-Ubaidi melalui sumber berita www.alaraby.com menyebut perempuan di Arab tidak hanya sering menerima kekerasan fisik, seksual dan psikologis, melainkan juga kekerasan politik dengan melokalisir peran politik mereka. Menurutnya, budaya patriarki membuat hak pilih perempuan terhalang untuk disuarakan. Dilihat dari kacamata Sudan, pernyataan Busyro tidak sepenuhnya benar mengingat partisipasi politik perempuan di Sudan sebagai bagian dari Arab  cukup besar. Meskipun dalam hal ini kekerasan fisik terhadap istri kadang terjadi secara tertutup dan tidak diberitakan di media sosial sebagaimana berita seorang perempuan yang dipukul oleh saudaranya hingga tulang hidungnya pecah dan meninggal dunia. Anehnya, tidak ada vonis sebagai tindakan kriminal.

Memperlakukan istri dengan baik, penuh cinta dan kasih sayang merupakan ajaran mulia sebagaimana termaktub dalam Surah al-Rum ayat 21. Nabi Muhammad Saw telah memberikan teladan bagaimana menyayangi istri dan secara lisan menyatakan: “sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya dan saya adalah terbaik diantara kalian semua dalam bermuamalah dengan istri”, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunannya.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad disebut tidak pernah memukul istri dan pembantu,  apalagi melakukan KDRT yang membekas pada fisik dan kejiwaan sang istri. Nabi sangat ramah, penyabar dan tidak pernah memukul siapapun kecuali dalam kondisi perang. Masalah sebisa mungkin diselesaikan dengan cara indah sebagaimana Allah itu indah dan mencintai keindahan. Menyelesaikan masalah rumah tangga dengan kekerasan merupakan cara orang-orang lemah dan tidak memiliki i’tikad baik.

Adapun kebolehan memukul istri sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, Surah an-Nisa’ ayat 24 adalah dalam batasan ketika istri terus menerus meninggalkan kewajibannya. Itu pun harus dengan pelan, pukulan tidak sampai membekas, apalagi melukai. Artinya, kebolehan memukul istri dalam Islam sifatnya tidak mutlak. Semestinya salah satu mengalah dan menahan diri sebelum melampiaskan kemarahan yang berujung pada penyesalan.

Hukuman fisik kepada Istri atau yang disebut KDRT menurut syariat adalah haram. KDRT dalam bentuk apapun tidak ada kaitannya dengan Islam. Sumber-sumber hukum Islam telah mendorong pentingnya menumbuhkan cinta dan kasih sayang berumah tangga. Jika kekerasaan seorang suami kepada istrinya sebanya sangat banyak dan bermacam-macam, maka Islam selalu menghadirkan solusi terbaik agar masalah “dapur” keluarga tidak sampai berujung kekerasan fisik maupun psikologis, apalagi sampai keluar batas rumah dan viral di media sosial. Disini pentingnya suplemen hati yang bisa berupa nasehat, dzikir atau menghadiri majelis ilmu. Prinsipnya, membina keluarga jangan sampai putus dari majelis ilmu.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi Muhammad Saw pernah menerima laporan dan pengaduan dari Hindun yang sedih karena suaminya Abu Sufyan sangat pelit, tidak mencukupi kebutuhan dirinya berserta anaknya. Kemudian   Hindun lapor kepada Nabi telah mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya. Ternyata Nabi membenarkan hal itu dan berkata: “ambil saja sekedar mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik”. Dalam hal ini, ukuran nafkah bisa ditentukan melalui tanda kerelaan suami istri, keputusan pengadilan atau melalui adat nafkah setempat. Nafkah juga bisa bertambah dan bisa berkurang sesuai situasi dan kondisi.

Jika KDRT dipicu oleh perselingkuhan, maka yang perlu disadari,  kesuksesan rumah tangga bukan ditentukan oleh persoalan hasrat (syahwat) semata, melainkan juga hal-hal lain yang bersifat ruhani atau intuitif. Jamak diketahui bahwa sejak zaman Nabi Adam manusia merupakan makhluk yang memiliki dua unsur sekaligus; fisik dan ruh. Sebagai makhluk biologis, manusia berasal dari tanah yang tidak memiliki taklif atau beban hukum sebagai hamba tanpa adanya ruh didalamnya. Keberadaan ruh ini yang kemudian membuat para Malaikat sujud kepada Adam.

Pentingnya dimensi ruhaniyah menjadikan satu suap nasi yang diberikan kepada istri bernilai pahala. Intusi tidak bisa dilepaskan dari materi sebagaimana Allah menjadikan “mawaddah wa rahmah” dalam kehidupan agamis suami istri. Sebuah hadis menyebutkan bahwa Allah melaknat para penikmat laki-laki maupun perempuan sebagaimana  orang yang suka menikah hanya untuk melampiaskan nafsu birahi. Padahal tujuan menikah secara umum adalah menjaga lima kebutuhan darurat; agama, keturunan, nyawa, akal dan harta.

Keluarga merupakan tempat satu-satunya meraih ketenangan hati dengan cara-cara manusiawi. Istilah lainnya, “rumahku adalah surgaku”. Jika suami atau istri nampak tidak tenang di rumah  sendiri pertanda ada masalah yang harus dicarikan solusinya. Kedisiplinan sosial harus ditanamkan di lingkup rumah tangga melalui cinta dan ketegasan. Sebab rumah tangga bahagia adalah rumah tangga yang bersyukur, terus mencari ilmu, memiliki target terukur dan seni bertutur serta membahagiakan orang lain dan tidak berat hati mensyiarkan agama Allah.

Rumah tangga yang tidak putus mencari ilmu adalah rumah tangga beruntung. Dengan modal “niat mencari ilmu sampai mati”, Allah memudahkan dirinya meraih husnul khatimah. Meningkatkan kualitas agama pun harus dengan ilmu sebagaimana sebelum nikah, laki-laki dianjurkan mencari istri yang agamis. Jika memilih istri karena kekayaan, kecantikan atau nasab tanpa pertimbangan agamanya, ibarat menggenggam pasir yang tidak ada nilainya. Faktor agama merupakan yang terpenting sebelum membina rumah tangga yang menjadi tiang penyangga   baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur

ISKAM KAFFAH

Kisah Tukang Bid’ah yang Rajin Ikut Perayaan Maulid Nabi

Telah diketahui bersama, sebagian kecil dari umat Islam ada yang beranggapan maulid Nabi bid’ah. Alasannya klasik, yakni karena Nabi tidak pernah melakukannya. Sebuah argumen yang dangkal karena al Qur’an dan hadits memerintahkan untuk mensyukuri setiap karunia Allah yang diberikan kepada manusia, termasuk kelahiran Nabi Agung, Muhammad bin Abdullah.

Ada satu kisah menarik bagaimana Allah menegur mereka. Suatu ketika, Sayyid Alwi al Maliki menghadiri perayaan Maulid Nabi di Palestina. Beliau heran melihat salah seorang jamaah yang berdiri dari sejak awal pembacaan maulid sampai selesai.

Beliau bertanya kepada orang itu kenapa melakukan hal tersebut. Orang itu bercerita tentang apa yang pernah dialaminya. Dulu, di saat menghadiri maulid Nabi dirinya enggan untuk berdiri, termasuk saat pembacaan “mahallul qiyam” di mana semua orang berdiri semua untuk menghormati Baginda Nabi, karena menurutnya hal tersebut adalah bid’ah.

Lanjutnya, tiba-tiba saat semua orang berdiri ia melihat kehadiran Rasulullah lewat di sampingnya. Beliau berkata kepadanya, “Kamu tak perlu berdiri, duduk saja di tempatmu”.

Setelah itu dirinya mencoba untuk berdiri namun seluruh kekuatannya seakan sirna, ia tidak mampu untuk berdiri. Setelah kejadian tersebut, ia sering sakit-sakitan. Dirinya berjanji atau bernazar kalau Allah menyembuhkan penyakitnya, maka setiap ada perayaan maulid Nabi dirinya akan berdiri dari awal pembacaan maulid sampai selesai.

Begitulah cara Allah menegur mereka yang enggan merayakan maulid Nabi dan tidak berdiri ketika “mahallul qiyam” untuk bershalawat dan sebagai penghormatan kepada baginda Nabi.

Kalau kita mau berpikir, maulid Nabi memiliki kemaslahatan untuk persatuan umat Islam. Yang paling penting bukan perdebatan tentang kekuatan dalilnya sebab hukum merayakan maulid Nabi sudah jelas kebolehannya. Tetapi, yang harus kita sadari maulid Nabi memiliki kekuatan untuk menyatukan kita semua.

Ada banyak hikmah yang bisa dipetik dalam perayaan maulid Nabi. Di antaranya, terjalinnya keakraban dan keharmonisan jalinan silaturahmi. Momentum maulid di samping untuk memupuk kecintaan kepada junjungan kita, juga menguatkan persaudaraan dan kecintaan terhadap sesama umat Islam.

Bukankah semua umat Islam bagaikan satu tubuh, apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit seluruh anggota yang lain merasakannya juga?

Karenanya, kisah di atas menjadi alarm pengingat terhadap kita semua. Menuduh sesuatu yang baik sebagai sesuatu yang dilarang merupakan perbuatan tercela. Apabila kita melakukan hal itu, Allah akan menegur kita dengan cara yang tak terduga. Salah satunya seperti Allah menegur seseorang dalam kisah di atas.

ISLAM KAFFAH

Mesir dan Saudi Bahas Tata Cara Penyelenggaraan Musim Haji

Menteri Dalam Negeri Mesir Mahmoud Tawfiq bertemu dengan Menteri Haji dan Umrah Saudi Tawfiq bin Fawzan Al-Rabiah. Keduanya membahas seputar kerjasama antara kedua kementerian dalam menyelenggarakan musim haji.

Al-Rabiah mengunjungi Kairo sebagai kepala delegasi tingkat tinggi dari Kementerian Haji dan Umrah Saudi. Mengingat hubungan historis yang erat antara kedua negara, Tawfiq menyambut baik kunjungan menteri Saudi dan delegasi pendampingnya ke Kairo.

Dilansir di Arab News, Senin (10/10/2022), Al-Rabiah menyampaikan apresiasinya atas upaya dan langkah-langkah yang diambil setiap tahun oleh Kementerian Dalam Negeri Mesir untuk mengatur, mempersiapkan dan mengawasi misi haji Mesir.

Tak hanya itu, ia juga menyampaikan aspirasinya untuk mengidentifikasi hambatan yang mungkin dihadapi jamaah haji Mesir selama musim haji dan usulan untuk mengatasinya.

Dalam kesempatan yang sama, Tawfiq memuji upaya Kerajaan Saudi untuk melayani peziarah dan memberi mereka semua perawatan yang dibutuhkan.

Ia menekankan keseriusan kementerian dalam membangun komunikasi dan meningkatkan mekanisme kerja sama dan konsultasi dengan Kementerian Haji dan Umrah Saudi, serta memfasilitasi jamaah haji Mesir dalam menunaikan ibadah haji.

Penerbangan umrah pertama dari Mesir pada 6 Oktober lalu dari Bandara Internasional Kairo merupakan implementasi lanjutan dari keputusan Kabinet Mesi,r untuk mulai mengelompokkan penerbangan umrah pada 1 Oktober.

Anggota Majelis Umum Kamar Perusahaan Pariwisata, Osama Khairy, mengatakan perjalanan umrah pertama telah diluncurkan dan semua perjalanan tiba di Makkah dan Madinah tanpa masalah. “Portal umrah Mesir adalah alasan utama keberhasilan musim umrah musim ini,” ujar dia.

IHRAM

Jagalah “An-Nawafil” Kita, Gapailah Cinta-Nya, dan Terimalah Anugerah-Nya

Ketika kita memiliki banyak karunia Allah, baik berupa ilmu, harta, maupun kekayaan, tentunya kita adalah orang yang paling dermawan terhadap orang-orang terdekat kita. Atau sebaliknya, ketika kita dekat dengan seseorang yang memiliki banyak karunia Allah tersebut, tentu kita lebih mudah untuk mendapatkan percikannya.

Saudaraku, bagaimana jika kita dekat dengan Zat Yang Mahabesar dengan segala karunia-Nya yang tak terbatas. Allah Ta’ala Yang Mahapemurah dan mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya. Tidakkah kita menginginkan agar lebih dekat dengan-Nya? Tidakkah kita menginginkan agar dicintai oleh-Nya?

Menjadi hamba yang dicintai oleh Allah Ta’ala semestinya menjadi hal yang kita impi-impikan. Semestinya kita menyadari, betapa saat ini banyak ujian dan cobaan yang menimpa kita, baik secara personal maupun cobaan yang menimpa bangsa dan agama ini. Kepada siapakah kita berlindung dan memohon pertolongan, selain kepada Allah?

Kabar gembira bagi penjaga an-nawafil”

Ya, jadilah hamba yang dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada kita tentang bagaimana cara agar menjadi hamba yang dicintai oleh Allah. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ

“Dan hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk melihat, menjadi tangan yang dia gunakan untuk memegang, dan menjadi kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, sungguh akan Aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, sungguh akan Aku lindungi.“ (HR. Bukhari no. 6502 dari Abu Hurairah)

Masya Allah! Saudaraku, amal-amal sunah adalah kunci dari cara mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan cinta-Nya. Renungkanlah, bagaimana pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki kita disebutkan oleh Allah sebagai perwakilan dari organ tubuh yang dengan-Nya Allah membersamai kita. Kemudian Allah Ta’ala pun menjamin bahwa orang-orang yang telah mendapatkan cinta-Nya dengan amal-amal sunah tersebut akan dikabulkan segala permintaannya dan Allah pun akan melindunginya.

Oleh karenanya, untuk memulai memperoleh derajat hamba yang dicintai oleh Allah Ta’ala, penting bagi kita untuk mendalami makna amal-amal sunah sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi tersebut.

Mendalami makna an-nawafil”

Mari kita perhatikan kalimat  ( وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ). Kita perlu mendalami makna an-nawafil yang dimaksudkan disini. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjelaskan terkait dengan an-nawafil. [1]

Beliau rahimahullah menjawab,

An-Nawafil yang selalu dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan salat wajib berjumlah 12 rakaat. Inilah yang kemudian disebut dengan rawatib, yaitu: 4 rakaat sebelum salat zuhur dengan dua kali salam, 2 rakaat setelah zuhur, 2 rakaat setelah maghrib,  2 rakaat setelah isya, dan 2 rakaat sebelum subuh.

Adapun tempat yang paling afdal melaksanakan ibadah nawafil ini adalah di rumah. Namun, jika dilaksanakan di masjid, maka tidak ada larangan. Sedangkan apabila dalam keadaan safar, maka yang paling afdal adalah memanfaatkan rukhsah atas an-nawafil ini, yaitu dengan meninggalkannya, kecuali 2 rakaat sebelum subuh dan witir.

Perlu diketahui pula bahwa, salat sunah sebelum asar, sebelum magrib, dan sebelum isya juga merupakan ibadah yang dianjurkan, meskipun tidak termasuk rawatib. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رحم الله امرأً صلى أربعًا قبل العصر

“(Semoga) Allah memberi rahmat orang yang salat empat rakaat sebelum asar.” (HR. Abu dawud, Tirmidzi, dan Ahmad)

Dalam hadis lain, dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صلوا قبل المغرب، صلوا قبل المغرب، ثم قال في الثالثة: لمن شاء

“Salatlah sebelum magrib, salatlah sebelum magrib.” Kemudian beliau bersabda pada yang ketiga, “Bagi siapa yang mau.” (HR. Ibnul Mulaqqin dalam kitab Badrul Munir, 4: 293)

Dari Abdullah bin Mughaffal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda,

بيْنَ كُلِّ أذانَيْنِ صَلاةٌ، بيْنَ كُلِّ أذانَيْنِ صَلاةٌ، ثُمَّ قالَ في الثَّالِثَةِ: لِمَن شاءَ.

“Di antara setiap dua azan (ada) salat, di antara setiap dua azan (ada) salat.” Kemudian beliau menekankan pada kali ketiga (dengan tambahan), “Bagi siapa yang menghendakinya.” (HR. Bukhari no. 627)

Memohon keistikamahan

Demikianlah, Allah Ta’ala telah memberikan kepada kita petunjuk tentang bagaimana mendekatkan diri kepada-Nya melalui amalan-amalan sunah sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya, tekadkanlah dalam hati untuk mempertahankan dan menjaga ibadah an-nawafil menjadi rutinitas kita setiap hari. Dan jangan lupa untuk senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan anugerah keistikomahan dalam meniti langkah-langkah menuju keridaan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Maka istikomahlah (tetaplah kamu pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 112)

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ

Dari Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun setelah Anda.’ Beliau menjawab, ‘Katakanlah, ‘Aku beriman’, lalu istikomahlah.’” (HR Muslim no. 38; Ahmad 3: 413; Tirmidzi, no. 2410; Ibnu Majah, no. 3972)

Kita sadari bahwa menjaga keistikomahan dalam melaksanakan ibadah an-nawafil ini butuh perjuangan yang besar. Ketika rasa malas melanda, godaan setan menerpa, dan dorongan syahwat mencoba menguasai diri, maka di situ pula keimanan kita sedang diuji. Oleh karenanya, jika bukan karena kasih sayang dan taufik dari Allah, sudah barang tentu mustahil bagi kita untuk bisa istikamah. Padahal, kita sangat membutuhkan cinta Allah.

Wallahu a’lam

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79141-jagalah-an-nawafil-kita-gapailah-cinta-nya-terimalah-anugerah-nya.html

5 Penyebab Azab Kubur

BANYAK penyebab azab kubur kepada seseorang.

Sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim  dalam kitabnya Ar-Ruh menyatakan: “Secara global, mereka diadzab karena kejahilan mereka tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melaksanakan perintah-Nya, dan karena perbuatan mereka melanggar larangan-Nya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab ruh yang mengenal-Nya, mencintai-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya.

Demikian juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab satu badan pun yang ruh tersebut memiliki ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) selama-lamanya. Sesungguhnya adzab kubur dan adzab akhirat adalah akibat kemarahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemurkaan-Nya terhadap hamba-Nya. Maka barangsiapa yang menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala marah dan murka di dunia ini, lalu dia tidak bertaubat dan mati dalam keadaan demikian, niscaya dia akan mendapatkan adzab di alam barzakh sesuai dengan kemarahan dan kemurkaan-Nya.” (Ar-Ruh hal. 115)

Di antara sebab-sebab adzab kubur secara terperinci adalah sebagai berikut:

1 Penyebab Azab Kubur: Ghibah

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَّا عَرَجَ بِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ

“Tatkala Rabbku memi’rajkanku (menaikkan ke langit), aku melewati beberapa kaum yang memiliki kuku dari tembaga, dalam keadaan mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka dengan kukunya. Maka aku bertanya: ‘Siapakah mereka ini wahai Jibril?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging (suka mengghibah) dan menjatuhkan kehormatan manusia’.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 533. Hadits ini juga dicantumkan dalam Ash-Shahihul Musnad karya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu)

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu menyatakan: “Sebagian ulama menyebutkan rahasia dikhususkannya (penyebab adzab kubur) air kencing, namimah (adu domba), dan ghibah (menggunjing). Rahasianya adalah bahwa alam kubur itu adalah tahap awal alam akhirat. Di dalamnya terdapat beberapa contoh yang akan terjadi pada hari kiamat, seperti siksaan ataupun balasan yang baik. Sedangkan perbuatan maksiat yang akan disiksa karenanya ada dua macam: terkait dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan terkait dengan hak hamba. Hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pertama kali akan diselesaikan pada hari kiamat adalah shalat, sedangkan yang terkait dengan hak-hak hamba adalah darah.

Adapun di alam barzakh, yang akan diputuskan adalah pintu-pintu dari kedua hak ini dan perantaranya. Maka, syarat sahnya shalat adalah bersuci dari hadats dan najis. Sedangkan pintu tumpahnya darah adalah namimah (adu domba) dan menjatuhkan kehormatan orang lain. Keduanya adalah dua jenis perkara menyakitkan yang paling ringan, maka diawali di alam barzakh dengan evaluasi serta siksaan karena keduanya.” (Ahwalul Qubur hal. 89)

2 Penyebab Azab Kubur: Kemunafikan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ

“Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada adzab yang besar.” (At-Taubah: 101)

3 Penyebab Azab Kubur: Tidak menjaga diri dari air kencing dan mengadu domba

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَرَّ النَّبِيُّ n بِقَبْرَينِ فَقَالَ: إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ. فَأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً. فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، لِمَا فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya keduanya sedang diadzab, dan tidaklah keduanya diadzab disebabkan suatu perkara yang besar (menurut kalian). Salah satunya tidak menjaga diri dari percikan air kencing, sedangkan yang lain suka mengadu domba antara manusia.” Beliau lalu mengambil sebuah pelepah kurma yang masih basah, kemudian beliau belah menjadi dua bagian dan beliau tancapkan satu bagian pada masing-masing kuburan. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini?” Beliau menjawab: “Mudah-mudahan diringankan adzab tersebut dari keduanya selama pelepah kurma itu belum kering.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

4 Penyebab Azab Kubur: Niyahah (meratapi jenazah)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya mayit itu akan diadzab karena ratapan keluarganya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim:

الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ

“Mayit itu akan diadzab di kuburnya dengan sebab ratapan atasnya.”

Jumhur ulama berpendapat, hadits ini dibawa kepada pemahaman bahwa mayit yang ditimpa adzab karena ratapan keluarganya adalah orang yang berwasiat supaya diratapi, atau dia tidak berwasiat untuk tidak diratapi padahal dia tahu bahwa kebiasaan mereka adalah meratapi orang mati. Oleh karena itu Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata: “Apabila dia telah melarang mereka (keluarganya) meratapi ketika dia hidup, lalu mereka melakukannya setelah kematiannya, maka dia tidak akan ditimpa adzab sedikit pun.” (Umdatul Qari’, 4/78)

Adzab di sini menurut mereka maknanya adalah hukuman. (Ahkamul Jana’iz, hal. 41)

5 Penyebab Azab Kubur: Kekafiran dan kesyirikan

Sebagaimana adzab yang menimpa Fir’aun dan bala tentaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَوَقَاهُ اللهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ. النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا ءَالَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ

“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh adzab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras’.” (Ghafir: 45-46). []

SUMBER: QURANDANSUNNAH

ISLAMPOS

Al-’aql: Pembeda Haq dan Bathil

Mari kembali kepada fitrah, mari gunakan pikiran kita agar layak menjadi manusia yang mampu membedakan benar haq dan bathil

Hidayatullah.com l DALAM Al-Quran disebutkan, kita pernah mengakui sebuah pengakuan sekaligus perjanjian besar, boleh disebut dengan mitsaq yaitu pengakuan seluruh manusia bahwa penisbatan Allah sebagai Rabb, Allah berfirman; Apakah Saya –Allah- benar benar Tuhanmu? (Al-Araf: 172) (Alastu bi robbikum?), seraya kita menjawab: Ya Kami setuju serta bersaksi (qolu; bala syahidnaa) inilah kejadian sebelum Allah memberikan eksistensi di dunia ini (‘alam ruh). Pada saat itu manusia dalam wujud ruh yang mampu berbicara –bernalar- (an-nafs an-nathiqoh).

Pengakuan ini adalah deklarasi mutlak bahwa fitrah manusia adalah mengakui Allah sebagai Rabb, atas pengakuan inilah manusia dilahirkan secara suci-bersih (fitrah); Rasulullah ﷺ bersabda; 

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?”(HR: Bukhari).

Menelaah kembali hadits ini, manusia diciptakan secara fitrah (suci), namun yang menjadikan Yahudi, Majusi dan Nasrani adalah faktor orang terdekatnya yaitu orang tua, atau ada potensi manusia yang menjauhkan dari fitrahnya itu.

Kelahiran manusia di bumi ini seperti yang Allah firmankan dalam QS at-Tiin. “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan” (Laqod kholaqnaa al-Insan fi Ahsani taqwiim).

Bahwa manusia telah diciptakan Allah dengan sebaik-baiknya termasuk di dalamnya kemampuan berbicara dengan nalar (nuthq) yang Allah ilhamkan kepada manusia sebagai pembeda entitas mahluk lainnya (hewan-tumbuhan) dengan istilah, “Manusia adalah hewan yang bernalar” (dzu nuthq)” atau al-insan hayawan nathiq, dalam hal ini bukan berarti manusia itu adalah hewan yang dipersepsikan dalam teori Darwin (baca; teori evolusi), namun bahasan ini lebih condong bahwa esensi dalam diri manusia terdapat sifat hewani, secara bersamaan manusia juga dilebihkan kemampuan berbicara dengan nalar (dzu nuthq).

Sekaligus dengan nalar inilah, sifat hewani manusia bisa ditekan. Ini membuktikan bahwa manusia mempunyai dimensi ruhiah yang tak terlihat, namun sangat kentara secara ekspresi lahiriah (dapat dilihat dan didengar) namun wujudnya tidak nyata, boleh disbut itu adalah akal (‘aql).

Akal (‘aql) secara etimolog mempunyai arti pengikatan, maksud dari pengikatan disini adalah akal (‘aql) berfungsi untuk mengikat objek ilmu (‘ilm) yang didapatkan. Akal (‘aql)adalah suatu substansi ruhiah yang memungkinkan untuk mengenali kebenaran dan mampu membedakan antara benar (haq)dan salah (bathil), sedangkan proses dari aktivitas akal (‘aql) dapat dikatakan sebagai berpikir (fikr).

Asal mula asasi dari akal (’aql) yang diberikan Allah kepada manusia mempunyai daya utama, yaitu usaha untuk menemui kebaikan –daya untuk memilih- (ikhtiyar) suatu upaya untuk memilih untuk mencapai kebaikan (khayr). Karena akal (‘aql) sejatinya akan menuntun manusia ke jalan yang benar serta pembeda baik (haq) dan buruk (bathil).

Namun secara bersamaan, akal (‘aql) membutuhkan bimbingan yang lebih tinggi darinya yaitu wahyu atau informasi yang valid (khabar shadiq) yang final dari Allah yang disyarah oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dari wahyu, akal (‘aql) akan mempunyai daya pembeda (furqon) antara benar (haq) dan salam (bathil), kemudian diproses dalam aktifitas berpikir (fikr), pada tahap selanjutnnya, dituangkan meliputi basic belief, pikiran (fikroh), perkataan (qaul), perbuatan (‘amal) dan mengkristal menjadi pola kehidupan (minhajul hayah). 

Sehingga hal ini mampu membedakan antara haq dan bathil, karena sudah jelas mana petunjuk dan penyesat (…qod tabayyana ar-rusyd minal ghayy… al-Baqarah: 256). Mampu meningkatkan daya furqon (pembeda) dengan pedoman al-Qur’an sebagai wahyu (khabar shadiq), karena al-Qur’an bukan sekadar bacaan namun sejatinya untuk meningkatkan nalar salim yang tajam (…al-Qur’an huda li an-naas wa bayyinati min al-huda wa al-furqon [dalam al-Baqarah: 185]).

Dengan menginsyafi kembali makna fithrah (suci) yang disabdakan Rasulullah ﷺ, maka seyogyanya kita ingat kembali asal kita yaitu suci dan bersih. Namun karena kezaliman (zhulm) manusia sendiri-lah kita menjadi kotor sehingga perlu di-tazkiyah jiwanya dengan ibadah (‘ibadah).

Kemudian, menyadari kembali bahwa kita pernah bersaksi kepada Allah sebagai Rabb seluruh alam maka perlu disadari dengan hati tulus sejauh mana konsisten (istiqomah) dan adil (‘adl) dalam memegang janji (mitsaq) itu ( dalam al-‘Araf: 172). Dan wajib direnungi pula, dimanakah posisi kita sekarang berada, apakah masih dalam status hamba yang mengabdi (‘abd) dengan penuh hidmat (khidmah) secara ikhlas (mukhlisina lahu ad-diin: Surah al-Bayyinah)  berserah diri (thouhan) kepada-Nya atau posisi kita menjadi hamba yang terpaksa (karhan)?.

Lebih jauh, kita mampu merekonstruksi –membina- secara rapi dengan tertib (maratib) bangunan-bangunan ilmu dalam Islam yang diterima oleh akal (‘aql) bersumber dari wahyu (khabar shadiq) kemudian diproses dalam aktivitas pikiran (fikr). Meningkat lebih tinggi, cakap digunakan sebagai pandangan hidup terhadap dunia nyata (syahadah) dan ghaib (ghaybah) serta mampu membedakan benar (haq) dan salah (bathil) dalam skup teoris (qoidah) sekaligus praksis (amaliyah).

Kembali pada fitrah

Penutup, sebagai pesan dari penulis, maka mari kembali kepada fitrah manusia dengan mengingat perjanjian agung (mitsaq), berpikirlah (fikr) selayaknya manusia (insan) yang berakal (‘aql-‘aqil) seutuhnya, senantiasa berproses untuk mencari kebaikan (khayr) dengan upaya (ikhtiyar) sepenuh hati, serta mampu membedakan benar (haq) dan salah (bathil) dengan panduan informasi final dari Allah (khabar shadiq) yaitu wahyu bukan dengan nafsu. 

Sedangkan, jika berlandaskan nafsu maka sudah pasti menggiring kepada kezaliman (zhulm) dan kesesatan (dhollun). Selanjutnya dalam tahap teknis,  mampu mengoperasionalkan proses aktivitas akal yaitu berpikir (fikr) untuk panduan kehidupan (minhajul hayah) dengan pandangan hidup Islam (ru’yatul lil-Islam) yang akhir berujung pada kebahagiaan (sa’adah) abadi di akhirat kelak. Amin. Wallahu ‘Alam Bi Showab.*/ Alvin Qodri Lazuardy

HIDAYATULLAH

Disebutkan dalam Al-Qur’an, Inilah 5 Tahapan Kehidupan Manusia

Perjalanan kehidupan manusia bukan hanya alam dunia. Dalam risalah Islam, muslim mengenal beberapa alam kehidupan yang dilalui manusia. Apa saja tahapan kehidupan manusia yang harus dilalui tersebut?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika memulai pembicaraan tentang hari akhir dan akidah Ahlussunnah mengenai hari akhir, beliau berkata, “Dan termasuk beriman dengan hari akhir adalah beriman dengan segala sesuatu yang Nabi SAW kabarkan tentang apa yang terjadi setelah mati.”

ukum beriman kepada hari akhir adalah wajib dan kedudukannya dalam agama adalah merupakan salah satu rukun iman yang enam. Sering sekali Allah SWT menggabungkan antara iman kepada Allah SAW dengan beriman dengan hari akhir, iman dengan awal kehidupan dan iman dengan tempat kembali. Karena barangsiapa yang tidak beriman dengan hari akhir maka dia tidak mungkin beriman kepada Allah taala.

Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman dengan hari akhir niscaya dia tidak akan beramal. Karena tidaklah seseorang itu beramal melainkan karena dia berharap akan kemuliaan hari akhir dan karena takut azab dan siksaan, kalau dia tidak beriman dengan hari akhir maka dia menjadi seperti orang yang Allah SWT kisahkan:

“Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa.” ( QS Al­Jatsiyah : 24)

Menurut Al-Qur’an Asy­Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam bukunya berjudul “Ada Apa Setelah Kematian, Menelusuri Kejadian-kejadian di Hari Kiamat”, dinamakan dengan hari akhir karena sudah tidak ada hari lagi sesudahnya dan ini adalah tahapan akhir yang dialami manusia. Menurutnya, manusia itu mengalami lima tahapan kehidupan.

Berikut tahapan kehidupan manusia tersebut:

1 Tahapan kehidupan manusia: Ketiadaan

Tahapan ketiadaan adalah sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah taala:

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” ( QS Al­Insan :1)

Allah SWT juga berfirman:

“Wahai manusia jika kamu ragu kepada hari kebangkitan maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, kemudian dari segumpal darah kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna. Agar Kami jelaskan kepadamu dan kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi kemudian kamu menjadi dewasa. Dan di antaramu ada yang diwafatkan dan ada yang dipanjangkan umurnya hingga pikun supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang telah dia ketahui dahulu. Dan kamu lihat bumi itu kering dan apabila Kami turunkan air dari atasnya hiduplah bumi itu dan suburlah menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah.” (QS Al­Hajj : 5)

2 Tahapan kehidupan manusia: Alam rahim

Adapun tahapan alam rahim, sebagaimana firman Allah Taala: “Dia telah menciptakan kalian dalam perut­perut ibu­ibu kalian kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan”. ( QS Az­Zumar : 6)

3 Tahapan kehidupan manusia: Dunia

Tahapan kehidupan dunia, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari perut­perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui segala sesuatu dan Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati agar kalian bersyukur.” ( QS. An­Nahl ; 78)

Dan pada tahapan inilah yang menentukan bahagia dan celakanya, dan merupakan negeri ujian dan cobaan. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan agar menguji kalian siapa di antara kalian yang paling bagus amalannya.” ( QS. Al­Mulk: 2)

4 Tahapan kehidupan manusia: Alam Barzakh

Adapun tahapan alam barzakh, Allah SWT berfirman tentangnya:

“Dan dari belakang mereka ada barzakh (pembatas) sampai hari kebangkitan.” ( QS Al­Mu’minun: 100)

5 Tahapan kehidupan manusia: Akhirat

Adapun tahapan kehidupan akhirat adalah tahapan tujuan dan ujung dari semuanya. Allah SWT berfirman setelah menyebutkan tahapan­tahapan kehidupan manusia:

“Dan sesungguhnya setelah itu kalian akan menjadi mayit kemudian nanti di hari kiamat kalian akan dibangkitkan.” ( QS Al­Mukminun ; 16)

Syaikh Al-Utsaimin mengatakan beriman dengan segala yang dikabarkan Nabi ﷺ dari perkara yang akan terjadi setelah kematian, semua ini masuk dalam keimanan dengan hari akhir. Menurutnya, yang demikian itu, karena manusia apabila telah mati dia akan memasuki hari akhir tersebut, sehingga dikatakan: Orang yang telah mati itu telah terjadi kiamatnya. Dan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian adalah termasuk bagian dari hari akhir.

“Kalau demikian betapa dekatnya hari akhir dengan kita, tidaklah ada pembatas antara kita dengan hari akhir kecuali kematian,” katanya.

“Kemudian dia masuk ke dalam hari akhir yang mana tidak ada di sana kecuali balasan­balasan amalan. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk memperhatikan perkara ini. Pikirkanlah wahai manusia! Engkau dapati dirimu dalam bahaya, karena maut itu tidak seorangpun di antara kita yang mengetahui kedatangannya,” lanjutnya.

Terkadang seseorang keluar rumahnya akan tetapi dia tidak kembali lagi ke rumahnya. Terkadang ada manusia yang duduk di atas kursi kantornya tetapi dia tidak bisa bangkit lagi darinya. Terkadang seseorang tidur di atas kasurnya akan tetapi tidurnya membawanya ke tempat pemandian jenazah.

“Dan ini adalah perkara­perkara yang mewajibkan kita untuk memanfaatkan kesempatan umur kita agar bertaubat kepada Allah dan manusia itu terus menerus merasakan dirinya bertaubat kepada Allah dan kembali kepadaNya,” demikian kata Syaikh Al-Utsaimin. []

SUMBER: SINDONEWS

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21; Perintah untuk Menjadikan Nabi Teladan

Berikut ini artikel terkait refleksi tafsir surat Al-Ahzab ayat 21: perintah untuk menjadikan Nabi teladan. Momen perayaan maulid Nabi Muhammad Saw menggema di seluruh penjuru Indonesia.

Maka selayaknya bagi umat Islam untuk mengisinya dengan hal-hal yang bersifat positif dan baik. Salah satunya adalah dengan memperbanyak membaca sirah Nabi atau amalan baik lainnya.

Sebagaimana maklum diketahui, Nabi Muhammad Saw merupakan utusan terakhir yang membawa tugas dari Tuhan untuk menuntun umat manusia ke jalan yang diridhai-Nya. Selain sebagai pembawa risalah, Nabi Muhammad juga mengemban amanah sebagai suri tauladan bagi umatnya.

Nabi Muhammad Saw bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR. Al-Baihaqi)

Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Ahzab 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الأخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan banyak mengingat Allah”.

Mengenai tafsir surah al-Ahzab  ayat 21 di atas, Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya “Tafsir al-Qur’an al-Adzim” Juz VI hal 391 memberikan penafsiran terkait ayat tersebut dengan berkata:

هذه الأية الكريمة أصل كبير فى التأسى برسول الله صم فى أقواله وأفعاله وأحواله, ولهذا أمر الناس بالتأسى بالنبي صم يوم الأحزاب, فى صبره ومصابرته ومرابطته ومجاهدته وانتظاره الفرج من ربه عز وجل صلوات الله وسلامه عليه دائما إلى يوم الدين..

Ayat ini merupakan dasar yang paten dalam dijadikannya Nabi Muhammad Saw sebagai suri teladan baik dalam ucapan, perbuatan maupun keadaanya. Oleh karenanya, Allah memerintahkan umat manusia untuk menjadikan Nabi Saw sebagai suri teladan pada saat terjadinya perang Ahzab dalam segi kesabaran, keterhubungan, kesungguhan dalam menanti jalan keluar dari Tuhannya.”

Pada dasarnya meski ayat tersebut turun berkaitan dengan prosesi perang Ahzab. Namun, perintah untuk menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai panutan bersifat menyeluruh dan umum dalam segala kondisi. Dalam hal ini berlaku kaidah “al-Ibrah bi-umum al-Lafdz la bi-khusus as-Sabab” atau yang dijadikan pelajaran ialah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab turun.

Berkaitan dengan hal ini, Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab tafsirnya “Marah al-Labid” Juz II hal 181 menafsiri kata “uswah” pada ayat tersebut sebagai berikut:

أي خصلة حسنة حقها أن يقتدى بها على سبيل الإيجاب فى أمور الدين وعلى سبيل الإستحباب فى أمور الدنيا

Ialah pekerti baik yang seyogyanya diikuti secara wajib dalam persoalan agama dan dianjurkan dalam persoalan dunia”.

Dalam momentum maulid Nabi ini, penulis mengajak untuk kembali merefleksikan pesan yang tersingkap dari ayat 21 al-Ahzab di atas. Untuk dapat mengetahui dan mengikuti akhlak yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Saw maka selayaknya umat Islam untuk memperbanyak membaca sirah atau laku lampah Nabi Saw.

Dengan membaca sirah Nabi Saw, umat Islam akan mengetahui bagaimana indahnya akhlak yang dicontohkan oleh Nabi. Apalagi kini umat Islam dalam momen perayaan maulid Nabi Muhammad Saw maka seyogyanya untuk lebih giat lagi mengisinya dengan memperbanyak melakukan banyak kebaikan.

Demikian tafsir surat Al-Ahzab ayat 21, yang merupakan perintah untuk menjadikan Nabi Teladan. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH