Belajar Agama itu Ada Tahapannya, Jangan Jadi Islam Kagetan

Belakangan sedang tren hijrah. Sebutan orang-orang yang taubat, meninggalkan kebiasaan buruk masa lalu. Biasanya melanda muslim urban daerah perkotaan. Namun, sayangnya ketika sudah hijrah malah menjelekkan saudara sesama muslim. Sejatinya, belajar agama itu ada tahapannya, jangan jadi Islam kagetan.

Kamu kok bisa lancar baca al-Qur’an?”

“Kan belajarnya dari kecil.”

“Aku dulu juga ikut TPA pas masih SD. Waktu masuk SMP udah jarang banget. SMA udah nggak sama sekali. Sekarang apalagi.”

“Kamu mau belajar lagi nggak? Pelan-pelan aja, nggak harus langsung bisa.”

“Waah… Gimana yaa?”

Sebuah percakapan yang menarik. Inilah salah satu fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Hampir di setiap sudut perkampungan, dapat dengan mudah kita temukan banyak Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).

Pada sore hari, banyak anak kecil berjalan riang menuju langgar/surau atau rumah guru agama untuk belajar mengaji. Suara nyaring anak-anak yang sedang mengaji terdengar dimana-mana. Ada yang sudah lancar membaca al-Qur’an, ada juga yang masih terbata-taba. Pemandangan lainnya adalah para ibu yang rajin mengantarkan mereka ke TPA dan menunggu hingga selesai.

Beberapa bulan kemudian, pemandangan ibu-ibu mulai berkurang. Anak-anak mereka sudah semakin pede berangkat ke TPA. Bacaannya sudah semakin lancar, sehingga mereka tidak lagi merasa malu jika bacaannya salah seperti saat pertama belajar mengaji. Anak-anak tersebut kali ini memiliki target baru; mengkhatamkan jilid.

Ketika jilid dalam kitab-kitab belajar al-Qur’an telah dirampungkan dan dilancarkan, anak-anak akan memasuki proses mengaji al-Qur’an. Target berikutnya ialah khatam 30 juz. Mereka akan senang berlomba-lomba dengan teman sebaya tentang siapa yang nanti akan lebih dahulu khatam.

Anak-anak usia 3 sampai 12 tahun mendominasi tempat belajar mengaji. Ketika memasuki jenjang SMP, waktu mereka lebih banyak tersita oleh tugas sekolah. Akibatnya, anak-anak makin jarang mengaji. Padahal tak sedikit anak-anak yang belum terlalu lancar membaca al-Qur’an meski sudah memasuki usia SMP.

Di masa SMA, berkumpul dengan teman adalah prioritas. Kebiasaan ini juga mengakibatkan anak-anak tidak lagi punya waktu untuk mengaji al-Qur’an. Apalagi pengetahuan agama lainnya. Baca Juga:  Keistimewaan Ibu Menyusui dalam Islam

Fenomena ini sebenarnya menimbulkan kecemasan. Ketika seorang anak beranjak dewasa, alam berpikirnya sudah mulai kritis, ia akan mulai mempertanyakan banyak hal. Tak terkecuali mencoba menalar perkara agama yang kadang tidak dapat dicerna dengan nalar.

Ia yang selama sekolah merasa baik-baik saja tidak menambah pengetahuan agamanya, akan merasa kecewa apabila pertanyaannya tidak memperoleh jawaban yang memuaskan. Hingga ia merasa kehilangan pijakan.

Seakan-akan kehilangan jati diri. Lalu muncullah fenomena baru; tren hijrah. Di sisi lain ada yang menyatakan, cukuplah kita berTuhan, tidak perlu beragama. Sudah jelas, kedua hal ini adalah dampak dari adanya gap dalam belajar ilmu agama.

Di dalam masyarakat kita, belajar ilmu agama belum menjadi prioritas. Kebanggaan menjadi seorang sarjana lebih penting dari memahami tata cara bersuci. Bagi anak sekolah, mengerjakan PR lebih penting daripada mengaji aqidatul awwam.

Alasan sederhananya, PR yang diselesaikan menentukan nilai dan kelulusan di sekolah. Sementara mengaji aqidatul awwam atau ghoyah wat taqrib tidak memiliki target pencapaian. Cara berpikir kita masih dipengaruhi oleh angka, memang.

Pada dasarnya, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum sama pentingnya. Seorang anak yang hanya pernah belajar menghitung 1+1=2 tidak akan ujug-ujug bisa memahami formula . Sama halnya jika kosa kata Bahasa Arab yang diketahui baru sebatas ‘Hadza Baity’ lalu berambisi untuk bisa menerjemahkan hadis. Oleh karenanya, belajar agama itu harus bertahap.

Ilmu agama itu hierarkis. Dalam satu bidang keilmuan saja, ada berbagai macam literatur dengan bobot keilmuan yang berbeda-beda. Fiqih, misalnya. Anak SD dapat diajarkan kitab Mabadi’ul Fiqih yang mana materinya paling ringan.

Setelah menuntaskan kitab tersebut, dapat beralih ke Gayah wat Taqrib (biasanya dipelajari oleh siswa SMP/MTs). Pada tahap berikutnya ada Fathul Qarib, kemudian I’anatut Thalibin, dan lain-lain.

Tradisi keilmuan yang bertahap ini harus berjalan beriringan dengan sekolah formal. Di dunia kerja, mungkin orang merasa cukup bekal dengan sekolah. Tetapi dalam keseharian, kita memerlukan hukum serta nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup sekaligus pengisi jiwa.

Lakukan penanaman nilai-nilai agama sejak dini. Jangan terputus!! Datangi guru agama di kampung masing-masing. Belajarlah sedikit demi sedikit. Jangan terburu-buru!!

Mbak, aku udah umur 20 tahun. Telat nggak kalo baru belajar Aqidatul Awwam?”

“Tidak. Tidak ada kata terlambat untuk belajar.”

“Ada pesan lain?”

“Ada. Kalau sudah mengerti satu ilmu, jangan mudah menyalahkan orang yang berbeda. Dan juga, jangan kagetan.”

Demikian penjelasan belajar agama itu ada tahapannya, jangan jadi Islam kagetan. Semoga bermanfaat. (Baca: Buya Yahya; Kalau Hijrah Jangan Lebay)

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

Tiga Tingkatan Marah Menurut Imam Ghazali, Hanya Nomor Tiga yang Dilarang

Pada diri setiap orang terdapat kecenderungan untuk menolak kebinasaan dan ingin tetap eksis. Marah merupakan sebuah kekuatan untuk membela eksistensi diri yang muncul dari dalam batin. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyebutkan, Allah Ta’ala menciptakan marah dair unsur api dan menyimpannya dalam batin manusia.

Ketahulah marah ibarat sekam yang tersimpan dalam hati, seperti terselipnya bara di balik abu. Meski amarah merupakan sifat yang diberikan Allah untuk hamba-Nya, namun Rasulullah mengajarkan umatnya agar menahan amarah. Beliau bersabda

عَنْ أَبَيْ هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ». قَالُوا فَالشَّدِيدُ أَيُّمَ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ ». (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat.” Para sahabat pun bertanya, “Lalu orang yang paling kuat itu yang seperti apa wahai Rasulullah?.” Beliau bersabda, “Orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Muslim)

Menurut Imam Ghazali, dalam hal marah manusia memiliki tiga tingkatan. Yakni;

Pertama. Tidak memiliki rasa marah sama sekali. Dalam kondisi seperti ini seseorang telah kehilangan kekuatan atau menjadi lemah pada saat dibutuhkan akibat kekurangannya itu. Dan ini adalah sikap tercela. Sebagaimana diisyaratkan dalam ucapan Imam Syafi’i, “Siapa yang pada saat dibutuhkan untuk marah namun tidak bersikap tegas, maka ia laksana seekor keledai.”

Kedua. Marah yang terkontrol. Inilah yang ideal sebagaimana yang diucapkan Rasulullah dalam hadis di atas. Yaitu mengontrol amarah dengan bersikap tegas dan tidak bercampur emosi sesaat.

Ketiga. Marah yang berlebihan. Maksudnya ialah kemarahan yang melewati batas toleransi, sehingga orang yang bersangkutan harus kehilangan kontrol akalnya dan mengabaikan petunjuk syariat. Sehingga ia seperti orang yang sehilangan arah dan bertindak membabi-buta. Kemarahan ini sangat tercela dan dilarang dalam ajaran Islam, sebab secara lahiriah pelakunya berubah menjadi buruk dan batiniahnya terlihat lebih buruk lagi.

Meskipun sikap marah tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, setidaknya bisa diredam dan dialihkan. Terlebih jika tidak menyangkut persoalan prinsip dalam hidup. Caranya ialah, dengan mengenali nafsu diri sendiri dan menyadari bahwa tidak seharusnya ia tunduk pada nafsunya.

Wallahu’alam.

BINCANG SYARIAH

Trik Mengatasi Marah dari Imam Ghazali

Salah satu sifat yang tidak terpuji adalah marah jika memiliki efek yang buruk semisal menyakiti seseorang tanpa sebab yang dibenarkan. Maka syariat senantiasa mengingatkan untuk menghindari marah. Nah berikut ini enam trik mengatasi marah yang tak terkendali dari Imam Ghazali.

Namun demikian, manusia kesulitan untuk menghindari marah karena marah merupakan sifat manusiawi. Dengan kata lain, jika masih manusia, seseorang potensial akan mengalami marah dan bertindak anarkis.

Oleh sebab itu, syariat memberikan beberapa tips dan trik untuk mengatasi marah yang telah terlanjur mengusai diri dari Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin. Imam Ghazali menandaskan bahwa obat marah adalah dengan ilmu dan amal. Adapun obat ilmu terbagi menjadi lima sebagai berikut. (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, 3/173).

Pertama, adalah merenungi hadis-hadis Nabi yang menjanjikan keutamaan orang-orang yang bisa mengendalikan marah, pemaaf, sabar dan bisa menoleransi perbuatan orang lain yang tidak menyenangkan. Hal ini sebagaimana telah terjadi Umar bin Khattab ketika sedang marah kepada seorang lelaki, kemudian Malik bin Aus memperingati dengan menukilkan ayat al-Qur’an. Setelah itu, umar mencoba merenungi ayat yang telah dibacakan tersebut dan akhirnya bisa mengobati kemarahannya.

Kedua, menakut-nakuti dirinya sendiri akan siksa Allah swt. Dan orang yang marah mensugesti diri dengan mengatakan bahwa kekuatan Allah swt lebih besar dibandingkan kekuatannya untuk menyiksa orang.

Dan jika tetap melanjutkan tindakan marahnya bisa jadi ia akan disiksa di hari kiamat nanti. Konon, Nabi pernah marah namun Nabi tidak jadi memarahinya karena mengingat kisah-kisah orang terdahulu tentang siksa-siksa bagi orang yang marah.

Ketiga, mengingatkan dirinya sendiri dari konsekuensi-konsekuensi permusuhan. Mengingat implikasinya yang akan diperoleh, yaitu korban yang dimarahi akan berbahagia jika dia mengalami musibah atau kesulitan hidup. Maka dengan mengingat akibat-akibat marah yang akan dialami di dunia jika mengingat akibat akhirat tidak bisa mengobati marahnya.

Keempat, berfikir akan buruknya rupa ketika marah dengan cara mengingat raut wajahnya orang lain ketika marah dan merenungi betapa buruk ekspresinya orang yang marah hampir sama dengan hewan-hewan yang menyeramkan. Ia juga memberikan perbandingan jika marah maka sama dengan hewan-hewan yang menyeramkan tersebut sedangkan jika memaafkan mirip dengan para Nabi, wali dan para bijak bestari.

Kelima, memikirkan kembali sebab-sebab yang telah mendorongnya untuk marah dan tindakan anarkis. Keenam, untuk mengetahui bahwa kemarahannya berasal dari keheranannya pada aliran hal itu sesuai dengan kehendak Tuhan dan bukan sesuai dengan kehendaknya.

Jadi bagaimana dia bisa mengatakan bahwa tujuanku lebih utama dari kehendak Tuhan dan bahwa kemarahan Tuhan terhadapnya akan menjadi lebih besar daripada kemurkaannya.  Demikian trik mengatasi marah dari Imam Ghazali. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Ibnu Khaldun: Kondisi Iklim Pengaruhi Peradaban

Ibnu Khaldun meyakini, kondisi iklim memengaruhi kebudayaan. Argumentasinya adalah bagian bumi yang melahirkan peradaban pasti didukung adanya sumber daya alam setempat. Dalam Muqaddimah, ia memaparkan bahwa bumi dapat dibagi ke dalam tujuh wilayah.Dari jumlah tersebut, hanya tiga wilayah yang kondusif untuk tumbuhnya peradaban.

Ketiga wilayah itu terletak di antara dua area, yakni utara dan selatan, yang merepresentasikan masing-masing iklim dingin dan panas ekstrem. Di ketiga wilayah tersebut terbentang wilayah- wilayah yang kondusif, tetapi masih dibeda- bedakan pula berdasarkan hawa udaranya. Yang jelas, peradaban akan tumbuh lebih pesat di kawasan yang beriklim tidak ekstrem panas dan tidak pula ekstrem dingin. Tanah yang subur juga turut mendukung kemajuan masyarakat setempat.

Daerah-daerah dengan iklim moderat, menurut Ibnu Khaldun, dihuni oleh orang-orang yang dapat menghasilkan peradaban tinggi. Sebab, mereka memiliki budaya menetap. Prioritasnya bukanlah sekadar untuk bertahan hidup– seperti yang dialami masyarakat penghuni bagian-bumi beriklim ekstrem dingin maupun panas.

Dengan logika yang sama, masyarakat yang tinggal di gurun, umpamanya, akan memiliki ciri-ciri fisik yang lebih unggul daripada mereka yang tinggal di dataran yang beriklim sejuk dan subur. Sebab, kaum yang akrab dengan suasana padang pasir itu jauh dari pola kehidupan yang nyaman. Iklim yang sedang akan memberikan suasana hangat kepada fisik dan karakteristik orang-orang yang tinggal di sana. Keadaan itu pun mendukung kapasitas mereka dalam belajar.

Teori Ibnu Khaldun itu pada era kini menjadi perhatian para peneliti modern, terutama kaum saintis yang menyoroti krisis perubahan iklim (climate change). Akibat fenomena global iklim, sebagai contoh, banyak kawasan pesisir di seluruh dunia yang terancam tenggelam. Potensi gagal panen pun dikhawatirkan terjadi sehingga menimbulkan kelaparan atau paceklik pangan.Dalam perspektif sang sarjana Muslim, iklim yang baik diperlukan agar peradaban yang unggul dapat terwujud. Maka dari itu, masa depan dunia tidak akan aman sebelum climate change ini diatasi bersama-sama.

IHRAM

Ayat 1000 Dinar

Keutamaan khusus pada ayat atau surah tertentu

Beberapa ayat atau surah dalam Al-Qur’an disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan faedah tertentu. Misalnya adalah surah Al-Fatihah yang disebutkan sebagai salah satu rukun salat.

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak sah salat seorang hamba yang tidak membaca surah Al-Fatihah.” (HR. Bukhari 756 dan Muslim 394)

Atau ayat kursi yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menjadi sebab masuk surga.

من قرأ دبر كل صلاة مكتوبة آية الكرسي لم يمنعه من دخول الجنة إلا أن يموت

Barangsiapa membaca ayat Kursi setiap selesai salat fardu, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga, kecuali kematian.” (HR. An-Nasai 9848)

Para ulama memperbincangkan akan validitas sanadnya. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah mengonfirmasi validitas sanad hadis ini dengan mengatakan,

فهو إسناد على شرط البخاري

Sanad hadis ini sesuai dengan syarat Imam Bukhari.” (Tafsir Ibn Katsir 1/677).

Bahkan Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

 مَا تَرَكْتُهَا عَقِيبَ كُلِّ صَلَاةٍ

Aku tidak pernah meninggalkan membaca ayat Kursi setelah salat.” (Zaad Al-Ma’ad 1/294)

Begitu pun beberapa keutamaan yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam secara khusus untuk beberapa surah atau ayat dalam Al-Qur’an. Dan penyebutan keutamaan ini harus berdasarkan hadis yang sahih.

Tujuan utama Al-Qur’an diturunkan

Akan tetapi, ketiadaan keutamaan khusus tidak lantas menjadikan surah lain tidak utama. Setiap huruf dan ayat dalam Al-Qur’an adalah mulia. Karena tujuan diturunkan Al-Qur’an oleh Allah ‘Azza Wajalla adalah agar seseorang bisa mengamalkan dan menadaburinya. Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan,

إنما نزل القرآن ليعمل به ، فاتخذ الناس قراءته عملا

Sesungguhnya Al-Qur’an turun agar diamalkan. (Namun disayangkan, sebagian) manusia menjadikan pengamalan Al-Qur’an sekedar bacaan saja.” (Akhlaq Hamalat AlQuran hlm. 38).

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يؤتى بالقرآن يوم القيامة وأهله الذين كانوا يعملون به تقدمه سورة البقرة، وآل عمران

Al-Qur’an akan didatangkan di hari kiamat bersama ahlinya yaitu orang-orang yang beramal dengannya. Dan yang pertama kali adalah surah Al-Baqarah dan Ali Imran.” (HR Muslim 1338)

Allah ‘Azza wajalla berfirman,

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran mendapat pelajaran.” (QS. Sad: 29)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah mengatakan,

هذه الحكمة من إنزاله، ليتدبر الناس آياته، فيستخرجوا علمها ويتأملوا أسرارها وحكمها، فإنه بالتدبر فيه والتأمل لمعانيه، وإعادة الفكر فيها مرة بعد مرة، تدرك بركته وخيره، وهذا يدل على الحث على تدبر القرآن، وأنه من أفضل الأعمال، وأن القراءة المشتملة على التدبر أفضل من سرعة التلاوة التي لا يحصل بها هذا المقصود.

Inilah hikmah Al-Qur’an diturunkan, agar manusia merenungi dan menghayati ayat-ayat di dalamnya, mengurai kandungan, dan merenungi hikmah atau rahasia tentangnya. Sesungguhnya dengan cara menghayati kandungan maknanya, berusaha untuk mengulang-ulang perenungan, niscaya akan kau dapati keberkahan dan kebaikannya. Dan ini menunjukkan motivasi agar seseorang semangat dalam menadaburi Al-Qur’an. Sesungguh hal tersebut (tadabur Al-Qur’an) adalah sebaik-baik amalan. Membaca Al-Qur’an disertai dengan menghayati (tadabur) maknanya lebih baik dibandingkan dengan membaca cepat tanpa perenungan (tadabur).” (Tafsir As-Sa’diy)

Baca Juga: Tafsir Ayat Tentang “Pohon Kurma”? (Bag. 1)

Ayat 1000 Dinar?!

Bagaimana dengan ayat yang sering orang sebut dengan ayat 1000 dinar? Yaitu firman Allah ‘Azza wajalla,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan Allah berikan jalan keluar dan Allah berikan ia rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Adakah keutamaan khususnya? Kami tidak menjumpai hadis ataupun kitab tafsir para ulama yang menyebutkan bahwa ayat ini jika diamalkan secara khusus dengan tata cara tertentu bisa mengentaskan kesulitan seseorang. Namun, selama seseorang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan bebaskan ia dari segala kesulitan, baik dunia maupun akhirat.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika melewati ayat 2 dalam surah Ath-Thalaq beliau mengatakan,

ينجيه من كل كرب في الدنيا والآخرة

Allah ‘Azza wajalla akan membebaskannya dari setiap kesulitan dunia dan akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/146).

Rabi’ bin Haitsam rahimahullah mengatakan,

“Maksud dari ayat (يجعل له مخرجا) adalah (akan dibebaskan) dari seluruh kesulitan yang dianggap menghimpit oleh manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/146).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

ومن يتق الله فيما أمره به، وترك ما نهاه عنه، يجعل له من أمره مخرجا، ويرزقه من حيث لا يحتسب، أي: من جهة لا تخطر بباله

(Maksud adalah) barangsiapa bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya, maka Allah akan berikan jalan keluar untuk hamba tersebut dan memberi rezeki dari arah yang sebelumnya tidak disangka.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/146)

Maka, tanpa harus seseorang membacanya dengan tata cara tertentu atau hitungan tertentu ia akan mendapat jalan keluar dengan syarat bertakwa kepada Allah dan beramal saleh. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

من أكثر من الاستغفار جعل الله له من كل هم فرجا، ومن كل ضيق مخرجا، ورزقه من حيث لا يحتسب

Barangsiapa yang memperbanyak istigfar, maka Allah akan berikan jalan keluar dari segala macam kepayahan dan kesempitan. Dan Allah akan berikan rezeki dari arah yang tidak disangka.” (HR Ahmad 1/248)

Justru ketika seseorang membuat aturan baru dalam mengamalkan satu ayat tertentu dengan iming-iming tertentu yang tidak memiliki dasar yang sahih, maka ia telah berbuat bid’ah dalam agama. Imam Asy-Syathibi rahimahullah memberikan contoh perbuatan bid’ah adalah,

ومنها: التزام الكيفيات والهيئات المعينة كالذكر بهيئة الاجتماع على صوت واحد. ومنها: التزام العبادات المعينة في أوقات معينة لم يوجد لها ذلك التعيين في الشريعة

Di antaranya adalah mengharuskan tata cara atau bentuk tertentu seperti zikir secara berjamaah dengan satu suara. Contoh lain adalah menentukan satu ibadah tertentu di waktu tertentu yang tidak ada dalil dalam syariat tentangnya (yang mengkhususkan ibadah tertentu di waktu tertentu).” (Al-I’tisham 1/53)

Maka, solusinya ketika seorang berharap penyelesaian segala kesulitannya, baik berupa utang atau yang lainnya adalah ia bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Atau setelah membaca Al-Qur’an ia berdoa kepada Allah, baik untuk urusan dunia maupun akhiratnya.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قرأ القرآن فليسأل الله به

Barangsiapa membaca Al-Qur’an, maka mintalah (segala sesuatu) kepada Allah dengan bacaannya.” (Shahih At-Tirmidzi 2917)

Al-Mubarakfury rahimahullah mengatakan,

فليسأل الله به ـ أي فليطلب من الله تعالى بالقرآن ما شاء من أمور الدنيا والآخرة ـ أو المراد أنه إذا مر بآية رحمة فليسألها من الله تعالى، وإما أن يدعو الله عقيب القراءة بالأدعية المأثورة

Ayat ‘Maka hendaknya ia meminta kepada Allah dengan bacaan Al-Qur’annya’, maksudnya adalah Maka hendaklah ia meminta apapun yang ia inginkan kepada Allah, baik dunia maupun akhirat. Atau maksudnya adalah  ketika ia melewati ayat rahmat, maka mintalah rahmat kepada Allah. Atau maksudnya adalah berdoa kepada-Nya setelah membaca dengan doa-doa yang diajarkan (baik dalam Al-Qur’an maupun hadis).” (Tuhfatul Ahwadzi 8/189)

Semoga Allah berikan kita taufik untuk membaca dan mengamalkan Al-Qur’an. Aamiin

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/78949-ayat-1000-dinar.html