Jangan Kau Tolak Bencana dengan Bencana!

Tolak bencana, warga tanam kepala kerbau. Itulah judul berita yang tidak jarang kita temukan di media-media elektronik maupun cetak ketika muncul kekhawatiran datangnya bencana di tengah-tengah masyarakat.

Memang, tidak ada orang yang suka tertimpa bencana. Oleh sebab itu semua orang berupaya untuk menghindar dan menyelamatkan diri dari bencana. Akan tetapi, yang menjadi masalah -bahkan sumber petaka- adalah ketika sebagian orang justru menolak bencana dengan bencana, bahkan bencana yang lebih dahsyat!

Musibah adalah Takdir Allah

Saudaraku, musibah dan bencana merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah menulis takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim).

Sebagai seorang muslim, kita wajib mengimani takdir. Suatu ketika, malaikat Jibril datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang iman, maka di antara jawaban beliau adalah, “Hendaknya kamu beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim).

Iman kepada takdir adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar. Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma berkata tentang orang-orang yang mengingkari takdir di masanya, “Sampaikanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun tidak punya urusan denganku. Demi Allah, yang jiwa Ibnu Umar di tangan-Nya, seandainya mereka punya emas sebesar gunung Uhud kemudian mereka infakkan, maka Allah tidak akan menerimanya sampai mereka beriman terhadap takdir.” (lihat Kitab al-Iman, Shahih Muslim). Ini menunjukkan bahwa orang yang mengingkari takdir bukan termasuk orang beriman.

Berlindunglah Kepada Allah

Seorang hamba yang ingin selamat dari berbagai macam musibah dan bencana hendaknya hanya berlindung dan berdoa kepada Allah. Karena hanya Allah yang menguasai segala urusan di langit dan di bumi. Dia lah yang menguasai segala manfaat dan madharat.

Isti’adzah/meminta perlindungan merupakan salah satu bentuk doa. Sementara doa adalah ibadah; sehingga tidak boleh ia ditujukan kepada selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa itu adalah [intisari] ibadah.” (HR. Tirmidzi, hasan sahih). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabb kalian berfirman: Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah saja, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’: 36)

Seorang yang berdoa dan memohon perlindungan kepada selain Allah telah menujukan ibadah kepada yang tidak berhak menerimanya. Allah ta’ala berfirman mengenai sesembahan yang diseru selain-Nya (yang artinya), “Sesembahan-sesembahan yang kalian seru selain-Nya sama sekali tidak menguasai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Fathir: 13). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu menyeru/berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar kamu termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Yunus: 106)

Syirik Kezaliman Terbesar

Menujukan doa dan ibadah kepada selain Allah merupakan kekafiran, kemusyrikan, dan kezaliman. Kekafiran orang yang berdoa kepada selain Allah merupakan ketetapan al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menyeru/berdoa kepada sesembahan lain selain [berdoa] Allah, yang sama sekali tidak ada dalil yang membenarkannya, maka sesungguhnya perhitungannya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. al-Mukminun: 117).

Berdoa kepada selain Allah pun termasuk kezaliman, bahkan kezaliman yang terbesar. Karena ibadah adalah hak Allah. Barangsiapa yang menujukan ibadah kepada selain Allah berarti dia telah menujukan ibadah kepada yang tidak berhak menerimanya, dan itulah kezaliman. Hak Allah adalah hak pertama dan paling agung yang harus dipenuhi, sehingga tidak menunaikan hak Allah merupakan kezaliman yang paling besar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari sini anda bisa mengetahui bahwa slogan-slogan penegakan keadilan yang kerapkali didengungkan oleh sebagian kalangan namun dengan meminggirkan agenda tauhid dan pemberantasan syirik sesungguhnya merupakan seruan yang tidak adil dan tidak proporsional. Bagaimana mereka begitu geram tatkala melihat kezaliman kepada makhluk, sementara kezaliman terhadap hak Sang Khaliq justru dianggap remeh dan biasa-biasa saja?! Sungguh mengherankan…

Orang Musyrik Pun Berdoa Kepada Allah

Jangan Anda kira bahwa orang-orang musyrik tidak pernah berdoa kepada Allah. Bahkan, mereka berdoa kepada Allah siang dan malam. Hanya saja mereka mempersekutukan Allah di dalam doanya. Mereka berdoa kepada Allah, namun mereka juga berdoa kepada selain Allah. Apalagi dalam kondisi genting dan terjepit, mereka mengikhlaskan doanya untuk Allah semata. Walaupun tatkala Allah selamatkan mereka, mereka pun kembali berbuat syirik.

Allah ta’ala menceritakan hal itu dalam firman-Nya (yang artinya), “Maka apabila mereka menaiki perahu -di lautan dan diterpa badai- mereka pun berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/doa kepada-Nya. Namun, tatkala Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka pun kembali berbuat syirik.” (QS. al-’Ankabut: 65).

Hal ini menunjukkan bagaimana keyakinan orang-orang musyrik di kala itu. Mereka meyakini bahwa dalam keadaan terjepit tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan mereka kecuali Allah. Oleh sebab itu mereka berdoa hanya kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Maka bandingkanlah dengan sebagian orang pada masa sekarang ini yang berdoa, memohon perlindungan dan keselamatan kepada selain Allah, baik ketika lapang maupun sempit. Aduhai, alangkah bodohnya perbuatan mereka itu… Melebihi kebodohan orang-orang musyrik masa silam.

Mempersembahkan Sembelihan adalah Ibadah

Tidak boleh mempersembahkan sembelihan kepada selain Allah, karena hal itu merupakan kemusyrikan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah Rabb seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya…” (QS. al-An’aam: 162). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim)

Boleh saja menyembelih untuk selain Allah kalau bukan dalam rangka ritual persembahan. Seperti halnya menyembelih kambing untuk walimah/resepsi, untuk hidangan tamu, untuk makan-makan/pesta dan lain sebagainya. Dalil-dalil tentang hal itu sudah sangat jelas dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Adapun sembelihan dalam rangka taqarrub/pendekatan diri kepada Allah sudah ditentukan bentuk-bentuknya, seperti halnya qurban pada hari raya Iedul Adha.

Hukum asal perkara ibadah/ritual adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, pasti akan tetolak.” (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan, “Waspadalah dari perkara-perkara yang diada-adakan -dalam urusan agama-. Karena setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hasan sahih)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa menyembelih binatang -kerbau atau apapun jenisnya- kemudian menanam kepala atau bagian tubuhnya yang lain di tempat tertentu dengan alasan/niat untuk memohon keselamatan kepada Allah jelas termasuk perbuatan yang mengada-ada dan tidak ada tuntunannya. Karena tidak ada satupun dalil yang memerintahkan perbuatan semacam itu, baik di dalam al-Qur’an maupun di dalam as-Sunnah, tidak pula diamalkan oleh para Sahabat radhiyallahu’anhum. Lantas, ajaran siapakah ini?!

Belum lagi, jika kita telusuri lebih dalam. Ternyata perbuatan semacam ini biasanya dilandasi keyakinan adanya jin atau sosok makhluk gaib tertentu -selain Allah, yang mereka sebut dengan istilah gendruwo, kuntilanak, simbah, dhemit, lelembut, dsb- yang menguasai alam ini -entah itu di laut selatan, gunung tertentu, jembatan yang akan dibangun, sungai tertentu, pohon besar, dsb- yang mereka khawatirkan akan mendatangkan bahaya dan bencana apabila tidak diberikan persembahan (sesaji) kepadanya. Takut kuwalat, takut tertimpa malapetaka, itulah alasan mereka. Kalau seperti ini, jelas syirik hukumnya. Apabila pelakunya meninggal dan belum bertaubat darinya, di akhirat dia kekal tersiksa di dalam neraka, na’udzu billahi min dzalik!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang berbuat zalim (syirik) itu.” (QS. al-Maa’idah: 72)

Sebagian orang –semoga Allah menunjuki mereka– mungkin akan berdalih bahwa hal itu mereka lakukan semata-mata untuk melestarikan tradisi leluhur dan demi mengekspresikan rasa syukur. Aduhai, apakah ayat dan hadits akan kita tolak dengan tradisi leluhur? Apakah syukur itu diwujudkan dengan mempersekutukan Allah dan berbuat kekafiran kepada-Nya?

“Anda terlalu kaku, kita harus mengenal kearifan lokal dan menghargai budaya nenek moyang.” Sebagian orang bisa jadi berkomentar demikian. Siapakah yang kaku sesungguhnya? Orang yang setia kepada bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah ataukah orang yang bersikukuh mempertahankan pendapatnya yang bertentangan dengan agama? Siapkah yang arif? Orang yang mengikuti hawa nafsu dan perasaannya sembari membuang ayat dan hadits, ataukah orang yang menundukkan jiwa dan raganya kepada ajaran agama Allah yang hanif ini? Allahul musta’aan.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/8084-jangan-kau-tolak-bencana-dengan-bencana.html

Doa Sulit Tidur yang Dianjurkan Dibaca Hindari Insomnia

Doa sulit tidur bisa membantu kesulitan tidur yang dihadapi

Sulit tidur menjadi masalah yang banyak dikeluhkan orang-orang saat ini. Beragam alasan menyertainya, mulai dari gaya hidup atau mungkin juga karena memang penyakit yang menyebabkan hal ini 

Untuk menyelesaikan masalah ini, ada berbagai solusi yang biasanya dilakukan orang orang, mulai dari meminum obat tidur hingga solusi lain.

Tapi ternyata ada satu bacaan doa yang bisa diamalkan seseorang yang merasakan keluhan ini. Sebuah doa yang diambil dari Shahih Al-Jami’ yang dimasukkan dalam Ensiklopedia Doa dan Wirid Shahih karya Ahmad bin Abdullah Isa. Bacaan yang bisa diamalkan adalah:

لَا إِلَهَ إِلَّا الله الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ، رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيْزُ الْغَفَّارُ

Latin: “La ilaha illallahul wahidul qahhar, rabbus samawati wal ardhi wa ma bainahumal ‘azizul ghaffar.”

Artinya, “Tiada tuhan selain Allah yang esa dan maha perkasa, Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya yang Mahaperkasa lagi Mahapengampun.” 

Apabila kesulitan tidur itu karena adanya kecemasan atau ketakutan akan sesuatu, bisa juga membaca doa berikut: 

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَمِنْ شَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ

Latin: “A‘udzu bikalimatillahit tammati min ghadhabihi wa min syarri ibadihi wa min hamazatis syayatini wa an yahdhurun.” 

Artinya: “Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan para hamba-Nya, dan godaan setan. Aku pun berlindung kepada-Nya dari kepungan setan itu.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Sudahkah Anak Kita Diajarkan Akidah?

Tentu kita bahagia bila mempunyai anak yang berakidah kuat, apalagi bila akidah yang kuat tersebut terpancar dalam empat sikap dan perbuatan

MENURUT para ulama, secara umum Surat Luqman termasuk kelompok Surat Makiyah, setidaknya informasi itu terdapat  dalam Fath al-Qadir karya Syeikh As-Syaukani. Disebut surat “Luqman” karena pada ayat keduabelas Allah menyebut nama “Luqman”, sebagai tokoh sentral.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan  (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ‘Hai anakku, janganlah  kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS: Luqman [31]: 13)

Dikatakan, Allah memberikan nikmat dan ilmu pengetahuan kepadanya. Sebagai bukti syukur kepada-Nya, maka Luqman mentransformasikan ilmu-pengetahuan tersebut kepada anak-anaknya. Terutama yang berkaitan dengan akidah, muamalah, dan akhlak.

Menurut Musthafa al-Maraghi, Luqman termasuk orang yang sangat mencintai dan mengasihi anaknya. Memperkuat akidah, hanya menyembah Allah, dan tidak melakukan perbuatan syirik adalah fondasi utama dan pertama bagi Luqman dalam mendidik anaknya.

Bagi Luqman, perbuatan syirik adalah suatu kezaliman yang besar. Dikatakan zalim karena menempatkan sesuatu secara keliru, dan disebut dosa besar karena perbuatan tersebut menyandingkan makhluk dan Khalik secara sejajar.

Selain itu, prinsip memegang teguh akidah dan hanya mempertuhankan Allah akan berdampak pada ketenangan dan keamanan, lahir dan batin. Konsistensi ini (memegang teguh akidah) berkonsekuensi pula pada munculnya sikap teguh hati, kuat prinsip, penuh-selidik dan penuh-sangka baik.

Allah mengatakan;

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS: al-An’am [6]: 82).

Imam Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih, meriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari Anas ra. Ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Akan dikeluarkan dari neraka, orang yang menyebut Laa ilaaha Illallaah, apabila di dalam hatinya terdapat kebaikan (iman) seberat sya’irah (sejenis gandum). Akan dikeluarkan dari neraka orang yang menyebut Laa ilaaha Illallaah, apabila di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat burrah (gandum). Dan akan dikeluarkan dari neraka orang yang menyebut Laa ilaaha Illallaah, apabila di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat zarrah (biji sawi atau debu)”.

Kedua nash di atas menjelaskan betapa pentingnya menanamkan prinsip akidah yang benar sejak masa dini. Karena akidah yang kuat akan menjadi tameng hebat manakala sang anak bersentuhan dengan paham yang batil (mengandung keburukan dalam prinsip) dan fasik (mengandung kekeliruan dalam pelaksanaan).

Nabi ﷺ bersabda yang artinya, “Ajarkan kepada anak-anak kalian kalimat Laa ilaaha Illallaah sebagai kalimat pertama.” (HR: al-Hakim bersumber dari Ibn Abbas).

Tentang kasih sayang Luqman kepada anaknya, terdapat formula menarik bagi  para orangtua. Luqman memanggil anak-anaknya dengan panggilan cinta dan “nama kecil” (tashgir) yang menggugah hati sang anak.

Persepsi seperti ini dijelaskan oleh al-Lusi dalam Ruh al-Ma’ani, tepatnya tatkala Luqman memanggil anaknya dengan kata-kata: ya bunayya (wahai anak-anak kecilku: maksudnya yang aku sayangi dan cintai). Dalam tradisi di Tanah Air mungkin sama seperti Ujang di Sunda, Nduk di Jawa, atau Entong di Jakarta. Atau secara umum adalah “nama kecil ata nama kesayangan”.

Pertama, anak dengan sepenuh hati berbakti kepada kedua orangtua, termasuk memenuhi hak-hak orangtua. Ia memahami bahwa ibunya mengandung dalam keadaan lemah yang kian bertambah, lalu mengasuhnya mulai dari masa menyusui, menyapih hingga mampu berusaha sendiri.

Anak seperti ini memahami benar inti pesan al-Qur’an;

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”(QS: al-Isra’ [17]: 23).

Ciri lainnya, apabila orangtua memaksanya serta menekannya untuk menyekutukan Allah dengan yang lain dalam hal ibadah, yakni dengan hal-hal yang dia tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, maka secara sopan santun ia tidak mengikuti kehendak kedua orangtuanya itu.

Al-Qur’an menjelaskan,

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik…” (QS: Luqman [31]: 15).

Kedua, anak yang memiliki akidah yang kuat yakin benar bahwa dunia bukan segala-galanya, tapi segala hal bisa dilakukan di dunia untuk bekal di akhirat. Ia meyakini bahwa manusia akan dikembalikan kepada Allah dan harus mempertanggung jawabkan semua amalnya.

Semua perbuatan, baik atau buruk, kendati sebesar biji sawi sekalipun, tersembunyi atau kelihatan, atau berada di mana saja  pasti Allah mengetahuinya secara rinci dan akan dibalas sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya. (QS Luqman [31]: 16).

Ketiga, sang anak sangat rajin dalam menunaikan shalat (QS: Luqman [31]: 17). Ia meyakini bahwa Allah sejatinya ada, kendati tidak tampak oleh indera. Sebab sejatinya yang ada itu tidak harus tampak oleh mata, karena yang tampak oleh mata itu hakikatnya justru tidak ada.

Sementara Allah adalah Yang Maha Ada. Keber-ada-an Allah tidak tergantung oleh ada atau tidaknya yang lain. Ada atau tidak sesuatu yang lain, Allah tetap Ada. Inilah prinsip ihsan, “sembahlahlah Allah, seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu”.

Keempat, sang anak gemar berbuat baik, senantiasa bersabar, dan tidak berjalan di muka bumi dalam keadaan sombong, dan pandai menjaga lisan ketika berkata-kata (QS Luqman [31]: 18-19).

Tentu kita bahagia bila mempunyai anak yang berakidah kuat, apalagi bila akidah yang kuat tersebut terpancar dalam empat sikap dan perbuatan yang disebutkan di atas. Untuk meraihnya, tak bisa ditawar kita harus memberi pelajaran akidah kepada anak kita. Kini mari jawab, sudahkah anak Anda diberi pelajaran akidah?*/M. Syamsul Yakin

HIDAYATULLAH

Surga Istri pada Suami, Surga Suami pada Ibunya

SUAMIKU,
Aku sangat mengerti bila kau harus patuh pada ibumu
Aku juga ridho, kau baktikan diri pada beliau

Tetapi aku ingin bertanya;
Seseorang yang jika seluruh harta dan jiwamu kau serahkan padanya namun belum sepadan dibanding setetes peluhnya itu adalah ibumu saja, atau juga ibuku?
Seseorang yang harus kau muliakan tiga kali setelah ayah, itu ibumu saja ataukah juga ibuku?

Suamiku,
Aku meninggalkan ibuku,
Memutuskan haknya atas diriku kemudian datang kepadamu,
Sedangkan kau harus tetap taat pada ibumu

Aku ingin bertanya;
Apakah setelah aku menjadi istrimu, ibuku tidak menjadi ibumu sehingga kau tidak harus taat padanya?
Haruskah kita memuliakan seorang ibu sedang di sana satu ibu merana dan istrimu merasa sebatang kara?

Suamiku,
Maafkan jika pertanyaan ini sungguh lancang
Sebab kau adalah suami yang baik dan anak yang berbakti
Hanya saja, mungkin melalui tulisan ini; di luar sana ada hati istri-istri yang merasa terwakili []

Pracimantoro, 7 Desember 2017

Oleh: Sinta Wahyu
sintawahyu2@gmail.com

ISLAMPOS

Makna Moderat dalam Islam

Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas. Karakteristik moderat adalah karakter yang paling menonjol dalam agama Islam selain ta‘adul, dan tawazun. Berikut makna moderat dalam Islam.

Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi wasathiyah.

Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur‘an surat al-Baqarah ayat 143:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah;

dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia“.

Selain ayat di atas, ada beberapa ayat yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah yaitu dalam surat al-Isra’ ayat 29 dan ayat 110 ;

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ ٱلْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا

Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.

قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱللَّهَ أَوِ ٱدْعُوا۟ ٱلرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدْعُوا۟ فَلَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَٱبْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا

Artinya: Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu“.

Makna Moderat dalam Islam

Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
Pertama, keadilan di antara dua kezaliman atau kebenaran di antara dua kebatilan seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme.

Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang mempercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang mempercayai Tuhan Yang Esa.

Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah berfirman ;

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian“.

Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memperhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memperhatikan keduanya.

Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql.

Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid.

Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu‘, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.

Ketiga, realistis (wâqi‘iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealis. Islam mempunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal.

Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada realitas yang terjadi, melainkan justru memperhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas.

Contoh wasathiyyah dalam arti realitas ini adalah pemberlakuan hukum azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi darurat atau hajat. Karakteristik moderat dalam agama Islam yang Ahlussunnah wal Jama‘ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj.

Demikian penjelasan terkait makna moderat dalam Islam. Semoga bermanfaat. (Baca juga: Haji Rasul: Pemikir Islam Moderat dari Tanah Minangkabau).

Tulisan ini telah terbit di BincangMuslimah.com

Hukum Ghosting dalam Islam

Dalam beberapa tahun belakangan kata ghosting menjadi trend yang ramai diungkapkan, khususnya oleh para kaula muda. Nah, artikel ini akan membahas hukum ghosting dalam Islam, karena ketika direnungi kembali sikap ghosting bisa mengakibatkan trauma kepada orang yang ditinggalkan (ghosting).

Dilansir dari Wikipedia.com istilah ghosting banyak diungkapkan untuk menggambarkan hilangnya komunikasi kepada pasangan atau teman tanpa memberikan alasan yang jelas di balik adanya sikap tersebut. 

Sebagai agama yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, Islam sangat memperhatikan gerak gerik sosial umatnya, hal ini tidak hanya berlaku sesama umat muslimnya namun juga hubungan antar beragama. Bagaimana kita kita harus bisa menjaga perasaan dan tidak menyakiti sesama manusianya.

Sebagaimana hadits Rasulullah Saw yang sering kita dengar :

‌لا ‌يؤمن ‌أحدكم ‌حتى ‌يحب لأخيه ما يحب لنفسه

Artinya; “Tidaklah beriman siapa salah satu dari kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadist di atas bisa diambil kesimpulan bahwa kita harus bisa saling menjaga perasaan sesama manusia karena pada kenyataannya syariat tidak hanya menuntut kita untuk saleh ritual namun juga bagaimana kita harus bisa saleh sosial. 

Hukum Ghosting dalam Islam

Sikap ghosting ini biasanya dilakukan tanpa atas dasar tanggung jawab dari sang pelaku, mereka justru akan seenaknya meninggalkan pasangan atau temannya setelah memberikan rangkaian kata yang berkonotasi kepastian dan kesetiaan. 

Alih alih menepati janji yang telah diungkapkan justru pelaku ghosting malah meninggalkan pasangannya dengan cara memutus komunikasi secara tiba tiba. Hal ini bisa dikatakan sebagai dusta bagi para pelaku ghosting dan hal ini sangat menyimpang dari nilai sosial yang juga ditekankan oleh syariat. 

Karena tak tanggung tanggung syariat mengecap orang yang melakukan dusta sebagai orang yang munafik, sebagaimana hadist Rasulullah Saw.;

“عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: “‌آيَةُ ‌الْمُنَافِقِ ‌ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإذَا اؤْتُمِنَ خَانَ”.

  Artinya; “ Dari Abu Hurairah RA; bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda ; Tanda orang munafik ada tiga apabila berbicara dia berdusta, dan apabila berjanji dia mengingkari, kemudian apabila dipercaya dia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan mengacu kepada hadist di atas dapat disimpulkan bahwa ghosting  dihukumi sebagai suatu perilaku khianat yang itu dilarang oleh syariat. 

Solusinya adalah, jika sudah merasa tidak nyaman dengan pasangan atau teman, sikap yang harus kita lakukan adalah membicarakan dengan santun bahwa telah memilih jalan untuk memutuskan hubungan. Karena tak dapat dipungkiri bahwa ghosting bisa mengakibatkan trauma kepada para korbannya.

Demikian penjelasan mengenai hukum ghosting dalam Islam. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Waspadai Bisikan Setan Saat Menuntut Ilmu

Suatu ketika, sufi Abu Yazid al- Busthami (804-874 M) berkata, dirinya telah bermujahadah selama 30 tahun, tetapi tidak pernah merasakan perjuangan yang lebih berat dari mencari ilmu dan mencegah bahaya yang mengikutinya.

Sufi tersebut berpesan, jangan sampai teperdaya oleh setan yang berkata, Jika sudah jelas akan ada bahaya besar dalam menuntut ilmu maka meninggalkan hal itu adalah lebih baik. Al-Busthami berpesan, sebagaimana tertulis dalam Minhaajul `Aabidiin Imam al-Ghazali, Jangan sekali- kali engkau membenarkan bisikan setan tadi.

Ada beberapa hal mendasar dalam ungkapan tersebut. Pertama adalah mujahadah. Ini ada lah upaya tiada henti mengekang hawa nafsu, mencegah diri dari perbuatan yang memuaskan nafsu. Kemudian menggantinya dengan perbuatan baik yang menjadi jalan mendekati Allah. Ini dilakukan dengan sembunyi, tanpa disertai sombong dan bangga diri di hadapan orang lain.

Hal yang memuaskan nafsu terdiri atas hal yang boleh dilaksanakan, tapi bisa jadi membuat diri menjadi hina. Misalkan makan, itu ada lah hal yang mubah. Namun, ketika dilakukan berlebihan maka akan menyebabkan kehinaan. Harta boleh untuk dimiliki, tapi ketika berlebihan, apalagi disertai syahwat bermewah-mewahan dan mengabaikan orang susah, maka ini menjadi kehinaan.

Hal yang termasuk pemuas nafsu adalah dosa, apa pun bentuknya. Dorongan dalam diri untuk berbuat dosa pasti ada. Melihat orang lain memiliki barang mahal, nafsu kemudian men dorong diri ini untuk mencuri barang tersebut. Sekali dikerjakan, akan merasakan kepuasan, tapi ingat, juga akan disertai kehancuran.

Mujahadah adalah upaya yang berkesinambungan mengekang nafsu, membatasi diri dari hal-hal tadi. Caranya dengan mengingat Allah sehingga menumbuhkan motivasi mengamalkan kebajikan, kemudian mewujudkan hal itu dalam keseharian.

Kedua adalah mencari ilmu. Kata yang sederhana, tapi pengerjaannya berproses panjang. Sering kita menyaksikan pencari ilmu, seperti siswa sekolah di banyak tempat. Juga santri pesantren yang terlihat semangat menghafalkan pelajaran. Mereka terlihat sudah sung guh-sungguh mencari cahaya Allah. Tapi, apakah hanya itu? Masih banyak yang harus mereka kerjakan.

Semakin banyak ilmu dimiliki, semakin besar dorongan diri untuk bersombong. Merasa di ri yang paling berilmu, sedangkan lainnya tidak. Itu adalah sifat yang berbahaya. Untuk mencegah bahaya satu itu, pencari ilmu harus menggiatkan ibadah, memperbanyak ingat kepada Allah, duduk dalam kerendahan sambil mengagungkan asma Allah. Ilmu dibarengi dengan ibadah, akan menjadi energi yang menghasilkan kemuliaan diri. Orang berilmu yang disertai dengan ibadah yang tinggi akan menjadikan derajatnya agung dan mulia di sisi Allah.

Hal lain yang harus diingat dalam menuntut ilmu adalah masa yang panjang. Tak cukup dan terlalu dini jika belajar hanya dilakukan puluhan hari. Belajar harus dilakukan dengan sungguh-sungguh selama bertahun-tahun. Target mencari ilmu bukan sekadar mendapatkan pengetahuan, tapi juga memperbaiki diri, menghormati dan mencintai guru (shuhbatul ustadz), dan menginspirasi orang sekitar. Ini adalah proses berjenjang dan memakan waktu, bahkan hingga sepanjang hayat. Karena itu, Abu Yazid al-Busthami mengatakan, mencari ilmu adalah amaliyah yang tidak mudah.

Karena tidak mudah, setan pun berbisik, khususnya kepada pencari cahaya Allah, untuk mengerjakan hal yang sederhana dan mudah.Khususnya yang menyenangkan diri dan penuh keasyikan. Daripada mencari ilmu, sesuatu yang berat dan sudah pasti mengandung risiko.

Ketika suara semacam itu terdengar, kita harus mengingat pesan al-Busthami, untuk tidak tergoda, apalagi sampai membenarkan bisikan setan seperti itu. Bisikan yang bisa jadi berbentuk sekadar suara dalam hati sendiri atau omongan orang. 

IHRAM

Tawakkal dalam Bekerja

BEKERJA dan tawakkal adalah kunci seorang muslim menjembut rizki yang berkah. Allahtelah mensyariatkan di dalam kitab-Nya dan menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang bersifat lahiriyah.

Allah berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Maka bila sholat telah selesai ditunaikan hendaklah kalian menyebar di permukaan bumi ini dan carilah sebahagian dari keutamaan (karunia) Allah.” (QS: Al-Jum’ah: 10)

Tawakal dalam bekerja

Bahkan Allah telah mempersiapkan waktu yang terbaik bagi hamba agar dapat bekerja. Allah berfirman:

وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ءَايَتَيْنِ ۖ فَمَحَوْنَآ ءَايَةَ ٱلَّيْلِ وَجَعَلْنَآ ءَايَةَ ٱلنَّهَارِ مُبْصِرَةً لِّتَبْتَغُوا۟ فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا۟ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلْحِسَابَ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ فَصَّلْنَٰهُ تَفْصِيلً

“Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua ayat (tanda). Maka kami hapus tanda malam dan kami jadikan tanda (cahaya) siang terang agar kalian dapat mencari karunia dari Rabb kalian.” (QS: Al-Isra’: 12).

Imam Ath-Thabari berkata, “Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwa di antara nikmat yang Allah anugerahkan kepada kalian, wahai manusia, Dia membedakan antara tanda malam dan tanda siang. Yaitudengan menjadikan malam lebih gelap dan siang lebih terang. Agar kalian dapat beristirahat di waktu malam, dan di siang hari bekerja mencari rezki Allah yang telah Dia takdirkan untuk kalian berdasarkan karunia-Nya.”

Sedangkan dalam Surah An-Naba`, Allah mempertegas:

وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ لِبَاسًا

وَّجَعَلۡنَا النَّهَارَ مَعَاشًا

“Dan bukankah kami telah jadikan malam waktu untuk beristirahat, dan bukankah kami telah jadikan siang waktu untuk mencari ma’isyah.” (QS: An-Naba`: 10-11)

Demikian pula, Allah membimbing hamba-hamba-Nya agar ketika bekerja dalam rangka mencari ma’isyah (penghasilan dari cara yang halal), hendaklah senantiasa dan selalu menyertakan Allah dalam usahanya tersebut. Yakni dengan bertawakkal kepada Allah baik ketika memulai usahanya, atau sedang menjalani, bahkan di saat mengakhiri usahanya.

Allah berfirman:

ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

“Bila engkau telah ber’azam, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (QS: Ali Imran: 159)

Berazam artinya berkeinginan kuat (bertekad) dan telah mantap niatnya. Bila seorang hamba telah bertekad bulat untuk memulai atau menjalankan suatu usaha, dan ia yakin bahwa usaha yang akan ia jalani itu tidak menyelisihi syariat, maka segeralah ia laksanakan sambil bertawakkal kepada Allah.

Dan bila ia telah menyematkan tawakkal itu pada dirinya, maka Allah akan mencukupinya dan akan menjadi pelindung yang paling baik dalam usahanya itu. Allah berfirman:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan kebutuhannya.” (QS: Ath-Thalaq: 3)

Allah juga berfirman:

وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا

“Dan bertawakkallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai pelindungmu.” (QS: An-Nisa: 81)

Ibnu Katsir berkata, “Yakni cukuplah Allah sebagai wali dan penolong bagi siapa yang bertawakkal kepadaNya..” Di antara yang dibimbingkan oleh Allah adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi dari ‘Umar bin Khaththab, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang benar niscaya Allah akan memberikan rezki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezki kepada burung yang pergi (keluar dari sarangnya) di waktu pagi dalam keadaan lapar kemudian pulang di waktu sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim. At-Tirmidzi berkata: Hasan Shahih.)

Marilah kita renungkanlah kutipan Al-Quran dan hadits di atas. Semoga Allah akan memberikan rezki yang berkah dari usaha yang kita jalani dengan jalan tawakkal.*/Abu Abdillah Diar

HIDAYATULLAH

3 Tips untuk Istri agar Suami Tambah Cinta

SEMUA wanita pasti menginginkan suaminya untuk jatuh cinta dan setia pada istrinya. Makanya perlu sekali tips untuk istri agar suami tambah cinta:

Dalam menjalin rumah tangga semuanya pasti harus ada kasih sayang dan cinta yang tulus, karena dengan itu rumah tangga akan semakin kuat dan harmonis. Terkadang dalam rumah tangga suka ada batu kerikil yang bisa menyebabkan pertengkaran.

Untuk mencegah itu semua dan membuat suami tambah cinta kepada istrinya, di sini ada beberapa cara yang bisa kita lakukan. Caranya cukup mudah untuk dilakukan.

1. Tips untuk Istri agar Suami Tambah Cinta:  Bersikap romantis

Biasanya dengan kita bersikap romantis kecintaan suami akan bertambah dan terjauh dari pertengkaran-pertengkaran yang sering terjadi pada rumah tangga.

Oleh karena itu, kita berusaha untuk bersikap romantis agar rumah tangga aman dan harmonis.

2. Tips untuk Istri agar Suami Tambah Cinta:  Bisa mengatur uang belanja

Sebagai seorang istri kita harus bisa untuk mengatur, kita harus bisa membatasi pembelian untuk setiap harinya.

Karena, ketika kita tidak bisa mengatur uang yang di kasih oleh suami mungkin akan terjadi pertengkaran. Tetapi, ketika kita bisa mengaturnya suami akan senang dan semakin cinta.

3. Tips untuk Istri agar Suami Tambah Cinta: Tampillah hebat setiap waktu

Ketika suami pulang kerja, terus kita menyambutnya dengan tampilan khusus untuk dia. Mungkin itu yang lebih manjur untuk membuat suami lebih cinta.

Karena, ketika suami melihat penampilan kita yang mungkin menarik. Suami tidak akan berpaling, bahkan akan semakin nyaman dan cinta pada istrinya.[]

SUMBER : UMMI

Mengikuti Gemerlap Dunia Itu Tidak Ada Habisnya

Pembaca rahimakumullah, penulis mendengar seorang yang sudah berumur bertutur, “Mengikuti gemerlap dunia tidak ada habisnya.” Ungkapan ini adalah ungkapan yang sangat bermakna. Ungkapan yang disampaikan oleh orang yang telah melanglang buana mengarungi kehidupan dunia.

Penulis teringat suatu kata متاع الغرور (kesenangan yang menipu). Itulah sifat dunia. Ya, ada dua ayat Al-Qur’an yang menyampaikan kata tersebut.

Pertama, ayat 185 dari surah Ali ‘Imran. Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفۡسࣲ ذَاۤىِٕقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوۡنَ أُجُورَكُمۡ یَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِۖ فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَیَوٰةُ ٱلدُّنۡیَاۤ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلۡغُرُورِ

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Kedua, ayat 20 dari surah Al-Hadid. Allah Ta’ala berfirman,

ٱعۡلَمُوۤا۟ أَنَّمَا ٱلۡحَیَوٰةُ ٱلدُّنۡیَا لَعِبࣱ وَلَهۡوࣱ وَزِینَةࣱ وَتَفَاخُرُۢ بَیۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرࣱ فِی ٱلۡأَمۡوَ ٰ⁠لِ وَٱلۡأَوۡلَـٰدِۖ كَمَثَلِ غَیۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ یَهِیجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرࣰّا ثُمَّ یَكُونُ حُطَـٰمࣰاۖ وَفِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ عَذَابࣱ شَدِیدࣱ وَمَغۡفِرَةࣱ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَ ٰ⁠نࣱۚ وَمَا ٱلۡحَیَوٰةُ ٱلدُّنۡیَاۤ إِلَّا مَتَـٰعُ ٱلۡغُرُورِ

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Dari ayat-ayat di atas jelaslah bahwa kehidupan dunia ini adalah kesenangan yang menipu. Kita harus ingat bahwa tujuan akhir kita bukanlah dunia. Dunia ini adalah tempat berlalu menuju akhirat. Kita hidup di dunia untuk beribadah kepada Zat yang menciptakan kita.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Dan kita harus ingat bahwa akhirat jauh lebih baik daripada dunia. Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلۡـَٔاخِرَةُ خَیۡرࣱ وَأَبۡقَىٰۤ

Padahal, kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 17)

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk bisa istikamah tidak terpedaya dengan hiruk pikuk dunia.

***

Penulis: Ahmad Fardan

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81063-mengikuti-gemerlap-dunia-itu-tidak-ada-habisnya.html