Pada Perang Tabuk, Sahabat Ustman menginfakkan hartanya untuk keperluan kaum muslimin, lalu turunlah Surat al-Baqarah 258-260 tentang berinfak di jalan Allah atau Fi Sabilillah
KITA sering mendengar ajakan para khatib tentang berinfak di jalan Allah atau Fi Sabilillah. Apa maksud istilah ini?
Dalam Surat Al-Baqarah 261 masalah ini diulas secara khusus. Begini teksnya;
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS: Al-Baqarah [2]: 261)
Sebab turunnya ayat
Ayat ini turun berkaitan dengan diri Ustman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu Anhuma, maka suatu ketika Abdurrahman bin Auf datang kepada Rasulullah ﷺ sambil membawa uang sebanyak empat ribu dirham untuk ia sedekahkan. Ia berkata, “Saya memiliki uang sebanyak delapan ribu dirham, empat ribu dirham saya gunakan untuk memenuhi kebutuhan saya dan keluarga sedangkan yang empat ribu dirham lagi saya sedekahkan karena Allah Subhnahu wa Ta’ala.” Lalu Rasulullah berkata, “ Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi untukmu uang yang kamu pergunaan sendiri dan uang yang kamu sedekahkan.”
Adapun kisah Ustman bin Affan Radhiyallahu Anhu adalah bahwa pada perang Tabuk ia berkata, “Saya yang menanggung segala keperluan dan bekal bagi orang orang yang tidak memiliki bekal pada perang tabuk.” Lalu ia mempersiapkan seribu unta lengkap dengan tempat menaruh barang dan alas pelana. Ia juga menyedekahkan sumur rumah yang menjadi miliknya untuk keperluan seluruh kaum muslimin lalu turunlah ayat ini yang berkaitan dengan Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan Radhiyallahu anhuma .
Makna Sabilillah
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah [ 2 ] : 261)
1). Dalam ayat ini Allah memberikan permisalan orang-orang yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, ada setiap tangkai terdapat seratus biji. Permisalan ini penting untuk mendekatkan pemahaman masyarakat. Banyak hal yang tidak mudah tergambar kecuali melalui permisalan , salah satunya yaitu pahala bagi orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2). Pada ayat ini bersifat umum, yaitu berinfak pada amal amal yang di ridhai Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ﷺ. Seperti berinfak untuk jihad fii sabilillah melawan orang orang kafir, membangun masjid, pesantren, jembatan, membantu fakir miskin, anak yatim, memberikan beasiswa bagi para pelajar, membantu kerabat, tetangga dan lain lain.
Imam Mal-hul mengartikan, “Fii Sabilllah artinya dalam rangka menta’ati Allah.”
700 kali lipat
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki….”
Berkata Ibnu Katsir, “perumapamaan ini lebih menyentuh jiwa daripada penyebutan bidangan 700 kali lipat, karena perumpamaan tersebut mengandung isyarat bahwa pahala amal shaleh itu dikembangkan oleh Allah bagi para pelakunya, senagaimana tumbuh-tumbuhan yang tumbuh subur bagi orang yang menanamkan di tanah yang subur.”
2). Di dalam hadist Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
كل عمل ابن آدم يضاعف الحسنة بعشر أمثالها الى سبعمائة ضعف قال الله
“Setiap amal perbuatan anak Adam akan dilipatgandakan sepuluh sampai tujuh ratus lipat atau bahkan lebih sesuai kehendak Allah.” (HR: Muslim )
3) وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ
“yaitu sesuai dengan keikhlasan seseorang dalam beramal.”
Al-Manna wal Adza
Pada ayat ini (QS. al-Baqarah [2]: 262), Allah menjelaskan bahwa orang yang berinfak dan mendapatkan pahala hingga 700 kali lipat adalah untuk mereka yang tidak melakukan manna (menyebut-nyebutnya) dan tidak pula adza (menyakiti perasaan penerima) karena keduanya bisa menghapu pahala infak.
Berinfak seharusnya diniatkan karena Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya,
اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا
“(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu.”(QS: al-Insan [76] : 9)
Artinya seseorang yang menyebut-nyebut kebaikannya kepada orang yang diberikan sedekah kepadanya dan menampakkan bahwa ia lebih tinggi darinya. Di dalam al-Quran disebutkan,
عَيْنًا يَّشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللّٰهِ يُفَجِّرُوْنَهَا تَفْجِيْرًا
“(yaitu) mata air (dalam surga) yang diminum oleh hamba-hamba Allah dan mereka dapat memancarkannya dengan sebaik-baiknya.” (QS: al-Mudatsir [74] : 6).
Di dalam hadist lain disebutkan,
ثلاثة لا ينظر الله اليهم يوم القيا مة : العاق لوالديه ومدمن الخمر والمنا بما أعطى
“Ada tiga orang yang pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka, orang yang durhaka kepada kedua orang tua, pecandu khamr dan orang yang suka menyebut nyebut apa yang sudah di berikan.” (HR: Nasai)
Perkataan yang baik
قَوْلٌ مَّعْرُوْفٌ وَّمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّنْ صَدَقَةٍ يَّتْبَعُهَآ اَذًى ۗ وَاللّٰهُ غَنِيٌّ حَلِيْمٌ
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun.” (Qs. al-Baqarah [2] : 263).
(قَوْلٌ مَّعْرُوْفٌ) artinya perkataan yang baik ini mencakup ucapan yang baik dan penolakkan yang halus serta doa dan harapan kepada Allah untuk orang yang meminta. Ini lebih baik daripada bersedekah tetapi diikuti kata-kata kasar yang menyakitkan penerima sedekah.
Di dalam hadist disebutkan,
(عن أبي ذرّ قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسمِ-: لا تحتقرنّ من المعروف شيئاً ولو أن تلقى أخاك بوجه طليق) أخرجه مسلم والترمذي
“Kata-kata yang hak adalah sedekah dan salah satu bentuk kebaikan adalah engkau bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Di dalam beberapa riwayat hadist disebutkan bahwa malaikat kadang menyamar menjadi orang yang buta, atau orang yang lumpuh atau orang yang botak datang meminta minta untuk menguji orang yang diberikan Allah kepadanya rezeki. Oleh karena itu bersikap lembutlah kepada mereka dengan kata kata yang baik.
(وَّمَغْفِرَةٌ) artinya memafkan orang yang meminta-minta jika ada sikapnya yang kurang sopan atau terkesan memaksakan kehendak.
Pembatal sedekah
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS:al-Baqarah [2] : 264 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa sedekah yang diikuti dengan tindakan menyebut nyebut kebaikannya kepada orang yang diberikan kepadanya sedekah (al-Mannu) dan ucapan yang menyakitinya (al-Adza) akan menyebabkan tidak diterima oleh Allah alias batal.
Jika ada tiga sedekah yang dikeluarkan oleh seseorang, yang dua di niatkan ikhlas karena Allah tanpa diikuti al-Manna dan al-Adza dan satu sedekah diikuti dengan al-manna dan al-adza, maka yang diterima Allah adalah dua sedekah, sedangkan yang ditolak oleh Allah adalah satu sedekah yang di dalamnya terdapat al-manna dan al-adza.
Para ahli hikmah berkata,
من من بمعروفه سقط شكره ومن اعجب بعمله حبط أجره
“Barang siapa yang menyebut-nyebut kebaikannya hilanglah syukurnya. Brang siapa yang ujub (bangga) dengan amalnya, maka hilanglah pahalanya.”
Berdasarkan ayat di atas, Imam Malik tidak menganjurkan seseorang memberikan zakatnya atau sedekah wajibnya kepada kerabatnya sendiri. hal itu untuk menghindari munculnya dalam dirinya sikap (al-mannu) dan (al-adza) mengungkit –ngungkit kebaikannya kepada mereka.
Dan juga meghindari agar dia tidak mengaharap pujian dan sanjungan dari mereka. Selain itu di khawatirkan jika ini terjadi, maka zakat atau sedekah wajibnya tidak diterima oleh Allah seakan akan ia tidak melakukan kewajibannya.
Dianjurkan juga dalam membagi zakat atau sedekah wajibnya melalui lembaga zakat atau orng lain untuk menghindari adanya al-mannu dan al-adza dari dirinya.
Permisalan orang yang berinfak disertai al-mannu dan al-adza seperti orang yang berinfak dengan tujuan agar dilihat orang (riya’) dan orang yang berinfak tapi ia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Semunya tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk lebih jelasnya lagi, Allah memberikan permisalan bagi 3 golongan dalam berinfak, yaitu, orang yang berinfak di barengi al-mannu dan al-adza, orang yang berinfak karena riya, dan orang yang berinfak padahal ia kafir. Infak golongan di atas bagaikan batu besar yang licin (sofwan) di atasnya terdapat debu kemudin diguyur hujan lebat (wabil), maka debu itu hilang seketika dan tidak ada belasnya sama sekali. Batu tersebut menjadi licin tidak ada sesuatu apapun di atasnya (shalda).
Adapun maksud dari permisalan di atas bahwa infak dari 3 golongan yang disebut di atas, tidaklah membawa manfaat apa-apa di akhirat. Apa yang mereka lakukan itu tidak mampu mereka petik pahalanya di akhirat kelak.*/Dr Ahmad Zain an-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)
HIDAYATULLAH