Sejarah Sholat Tarawih Berjamaah

Istilah Tarawih itu sendiri baru muncul pada kekhalifahan Umar bin al-Khattab.

Setiap datangnya bulan suci Ramadhan, umat Islam biasanya akan melaksanakan sholat  Tarawih berjamaah di masjid. Karena, sholat Tarawih dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui hadits berikut,

“Dari Abu Hurairah, dia berkata, ‘Rasulullah menganjurkan supaya sholat di bulan Ramadhan, tetapi tidak memerintahkannya dengan jelas (azimah), beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang berdiri sholat di malam Ramadan dengan iman dan perhitungan (alasan), akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Jamaah).

Namun, Istilah Tarawih tidak dikenal di masa Nabi Muhammad SAW, begitu juga pada masa Abu Bakar Ra. Pada masa itu, Nabi hanya menyebutnya sebagai Qiyam Ramadhan yang dimaksudkan untuk menghidupkan malam Ramadhan.

Setidaknya ada 15 hadits yang menyebutkan tentang sholat malam (Qiyam). Pada tahun terakhir kehidupanya, Nabi Muhammad SAW pernah keluar pada suatu malam dan sholat. Pada malam Ramadhan itu, beberapa orang berdoa dan sholat bersamanya.

Pada malam kedua, berita itu kemudian menyebar dan lebih banyak orang bergabung dalam sholat malam itu. Bahkan, pada malam ketiga Ramadhan lebih banyak lagi orang yang hadir. Hingga pada malam keempat, masjid penuh sesak dan orang-orang menunggu kedatangan Nabi.

Pada malam itu, Nabi pun hanya berdoa sendiri di rumah. Setelah Subuh, beliau pun bersabda, “Tidak ada yang menghalangi saya untuk keluar kepada Anda kecuali kenyataan saya khawatir itu akan menjadi wajib bagi Anda.” (HR Muslim).

Istilah Tarawih itu sendiri baru muncul pada kekhalifahan Umar bin al-Khattab.

Hal senada juga disampaikan ulama ahli tafsir Indonesia, M Quraish Shihab dalam buku berjudul M Quriash Shihab Menjawab terbitan Lentera Hati. Dia menjelaskan Rasulullah SAW hanya sholat tiga malam di masjid. Karena, dari malam ke malam semakin banyak jamaah yang hadir dan beliau khawatir Tarawih itu dianggap wajib.

Istilah Tarawih itu sendiri baru muncul pada kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Kata Tarawih itu adalah bentuk jamak (plural) dari asal kata Tarwiih. Tarwiih adalah bentuk masdar dari kata kerja rawwaha, yurawwihu.

Pengajar Rumah Fikih Indonesia Ustaz Ahmad Zarkasih dalam bukunya Sejarah Tarawih menjelaskan ada beberapa kemungkinan yang membuat nama Tarawih akhirnya banyak dipakai. Salah satunya adalah apa yang terjadi pada masa Umar bin Khattab.

Menukil penjelasan Imam al-Marwadzi dalam kitab Qiyam Ramadhan, Ahmad Zarkasih mengungkapkan bahwa shalat Qiyam Ramadhan disebut dengan istilah Tarawih karena pelaksaannya ketika zaman itu imam memberikan banyak Tarwiih, alias istirahat untuk para makmum di setiap selesai dua rakaat.

Dalam Buku Pintar Sejarah dan Peradaban Islam karya Salamah Muhammad Al-Harafi juga ditegaskan bahwa Umar bin Khattab adalah orang yang pertama kali menghidupkan sholat Tarawih pada tahun 14 Hijriyah.

Sementara itu, Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Tuntunan Puasa, Tarawih & Shalat Idul Fitri menceritakan saat Umar bin Khattab menghidupkan Ramadhan dengan memerintahkan umat Islam melaksanakan shalat Tarawih berjamaah.

Dia menuturkan, meskipun Rasulullah telah memberi peringatakan bahwa shalat Tarawih bukan suatu yang wajib, tampaknya pelaksanaan sholat Tarawih masih banyak dilakukan pada setiap malam di masjid sampai Nabi SAW wafat hingga pada zaman Abu Bakar.

Ketika itu, menurut Hamka, kaum Muslimin melaksanakan shalat berkelompok-kelompok, seperti yang dilakukan Nabi pada tiga malam di awal Ramadhan. Menurut riwayat, kata dia, Umar juga melihat kaum muslimin melaksanakan sholat Tarawih dengan berkelompok-kelompok seperti sediakala.

Dari Abdurrahman bin Abdul Qari, dia berkata, “Aku keluar bersama Umar bin Khattab di bulan Ramadhan ke dalam masjid. Kami dapati banyak orang berkelompok-kelompok, terpisah-pisah. Ada yang mengerjakan sholat seorang diri dan ada yang seorang saja, lalu diikuti saja oleh beberapa orang lain di belakangnya. Karena itu, Umar berkata, ‘Pada pendapatku, satu bacaan saja, begitulah yang lebih bagus’. Karenanya, beliau tegaskanlah pendapatnya sebagai satu perintah, yaitu supaya semua sholat di belakang satu imam saja. Beliau tentukan siapa yang jadi imam, yaitu Ubay bin Ka’ab.

Di malam yang lain, kami kembali masuk ke dalam masjid. Kami dapati jamaah telah sholat dengan satu qari (pembaca, yaitu satu imam). Berkatalah Umar bin Khattab, Ni’matil Bid’ah hazihi’, inilah sebaik-baik bid’ah. Orang tidur terlebih dahulu, lebih afdhal dengan orang yang sholat terlebih dahulu, yaitu dia sholat di ujung malam. Sedangkan orang di waktu itu sholat di awal malam.” (Riwayat Bukhari).

Dari uraian tersebut, menurut Buya Hamka, jelas sekali Umar bin Khattab dengan tegas memutuskan agar sholat Tarawih dilaksanakan secara berjamaah. Setelah Tarawih secara berjamaah berjalan lancar selama beberapa hari, beliau senang melihatnya.

RAMADAHAN REPUBLIKA

Ringkasan Fikih Puasa Ramadhan

Makna puasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al imsaak (الإمساك) yaitu menahan diri. Sedangkan secara istilah, ash shiyaam artinya: beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum dan pembatal puasa lainnya, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Hukum puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصّيَام كما كُتب على الذين من قبلكم لعلّكم تتّقون

wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183).

Dan juga karena puasa ramadhan adalah salah dari rukun Islam yang lima. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بُني الإِسلام على خمس: شهادة أن لا إِله إِلا الله وأنّ محمّداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإِيتاء الزكاة، والحجّ، وصوم رمضان

Islam dibangun di atas lima rukun: syahadat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari – Muslim).

Keutamaan puasa

  1. Puasa adalah ibadah yang tidak ada tandingannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada Abu Umamah Al Bahili:عليك بالصيام فإنه لا مثل له“hendaknya engkau berpuasa karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya” (HR. Ahmad, An Nasa-i. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)
  2. Allah Ta’ala menyandarkan puasa kepada diri-Nya.قال الله عز وجل: كل عمل ابن آدم له إلا الصوم، فإنه لي وأنا أجزي به“Allah ‘azza wa jalla berfirman: setiap amalan manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalas pahalanya” (HR. Bukhari – Muslim).
  3. Puasa menggabungkan 3 jenis kesabaran: sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi hal yang dilarang Allah dan sabar terhadap takdir Allah atas rasa lapar dan kesulitan yang ia rasakan selama puasa.
  4. Puasa akan memberikan syafaat di hari kiamat.الصيام والقرآن يشفعان للعبد“Puasa dan Al Qur’an, keduanya akan memberi syafaat kelak di hari kiamat” (HR. Ahmad, Thabrani, Al Hakim. Al Haitsami mengatakan: “semua perawinya dijadikan hujjah dalam Ash Shahih“).
  5. Orang yang berpuasa akan diganjar dengan ampunan dan pahala yang besar.
    Allah Ta’ala berfirman:إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Ahzab: 35)
  6. Puasa adalah perisai dari api neraka.
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:الصيام جُنة“puasa adalah perisai” (HR. Bukhari – Muslim)
  7. Puasa adalah sebab masuk ke dalam surga
    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:في الجنة ثمانية أبواب، فيها باب يسمى الريان، لا يدخله إلا الصائمون“di surga ada delapan pintu, diantaranya ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari).

Hikmah disyariatkannya puasa

  1. Puasa adalah wasilah untuk mengokohkan ketaqwaan kepada Allah
  2. Puasa membuat orang merasakan nikmat dari Allah Ta’ala
  3. Mendidik manusia dalam mengendalikan keinginan dan sabar dalam menahan diri
  4. Puasa menahan laju godaan setan
  5. Puasa menimbulkan rasa iba dan sayang kepada kaum miskin
  6. Puasa membersihkan badan dari elemen-elemen yang tidak baik dan membuat badan sehat

Rukun puasa

  1. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
  2. Menepati rentang waktu puasa

Awal dan akhir bulan Ramadhan (bulan puasa)

  • Wajib menentukan awal bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.
  • Para ulama mensyaratkan minimal satu orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Ramadhan.
  • Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Ramadhan sendirian, ulama khilaf. Jumhur ulama mengatakan ia wajib berpuasa sendirian berdasarkan ru’yah-nya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Al Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat ia wajib berpuasa bersama jama’ah kaum Muslimin. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Baz.
  • Rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain (ittifaqul mathali’), ataukah setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing di negerinya (ikhtilaful mathali’)? Para ulama khilaf dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain. Adapun Syafi’iyyah dan pendapat sebagian salaf, setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ash Shanani dan juga Ibnu Utsaimin.
  • Wajib menentukan akhir bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.
  • Jumhur ulama mensyaratkan minimal dua orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Syawal.
  • Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Syawal sendirian, maka ia wajib berbuka bersama jama’ah kaum Muslimin.
  • Jika hilal Syawal terlihat pada siang hari, maka kaum Muslimin ketika itu juga berbuka dan shalat Id, jika terjadi sebelum zawal (bergesernya mata hari dari garis tegak lurus).

Rentang waktu puasa

Puasa dimulai ketika sudah terbit fajar shadiq atau fajar yang kedua. Allah Ta’ala berfirman:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah: 187).

Yang dimaksud dengan khaythul abyadh di sini adalah fajar shadiq atau fajar kedua karena berwarna putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar kadzib atau fajar pertama itu bentuknya seperti dzanabus sirhan (ekor serigala). Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الفجر فجران: فأما الفجر الذي يكون كذنب السرحان فلا يحل الصلاة ولا يحرم الطعام، وأما الفجر الذي يذهب مستطيلا في الأفق فإنه يحل الصلاة و يحرم الطعام

Fajar itu ada dua: pertama, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka ini tidak menghalalkan shalat (shubuh) dan tidak mengharamkan makan. Kedua, fajar yang memanjang di ufuk, ia menghalalkan shalat (shubuh) dan mengharamkan makan (mulai puasa)” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’).

Puasa berakhir ketika terbenam matahari. Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

lalu sempurnakanlah puasa hingga malam” (QS. Al Baqarah: 187).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا أقبل الليل من هاهنا وأدبر النهار من هاهنا، وغربت الشمس، فقد أفطر الصائم

jika datang malam dari sini, dan telah pergi siang dari sini, dan terbenam matahari, maka orang yang berpuasa boleh berbuka” (HR. Bukhari – Muslim).

Syarat sah puasa

  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Muqim (tidak sedang safar)
  5. Suci dari haid dan nifas
  6. Mampu berpuasa
  7. Niat

Sunnah-sunnah ketika puasa

  1. Sunnah-sunnah terkait berbuka puasa
    • Disunnahkan menyegerakan berbuka
    • Berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab (kurma segar), jika tidak ada maka denganbeberapa butir tamr (kurma kering), jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air putih
    • Berdoa ketika berbuka dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله/dzahabazh zhomaa-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
      telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan, dan telah diraih pahala, insya Allah” (HR. Abu Daud, An Nasa-i, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
  2. Sunnah-sunnah terkait makan sahur
    • Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah. Dianggap sudah makan sahur jika makan atau minum di waktu sahar, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan sahur itu terdapat keberkahan
    • Disunnahkan mengakhirkan makan sahur mendekati waktu terbitnya fajar, pada waktu yang tidak dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur.
    • Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma kering).
  3. Orang yang berpuasa wajib meninggalkan semua perbuatan yang diharamkan agama dan dianjurkan untuk memperbanyak melakukan ketaatan seperti: bersedekah, membaca Al Qur’an, shalat sunnah, berdzikir, membantu orang lain, i’tikaf, menuntut ilmu agama, dll
  4. Membaca Al Qur’an adalah amalan yang lebih dianjurkan untuk diperbanyak di bulan Ramadhan. Bahkan sebagian salaf tidak mengajarkan ilmu di bulan Ramadhan agar bisa fokus memperbanyak membaca Al Qur’an dan mentadabburinya.

Orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa

  1. Orang sakit yang bisa membahayakan dirinya jika berpuasa.
    • Jumhur ulama mengatakan bahwa orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah yang jika berpuasa itu dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan serius pada kesehatannya.
    • Adapun orang yang sakit ringan yang jika berpuasa tidak ada pengaruhnya sama sekali atau pengaruhnya kecil, seperti pilek, sakit kepala, maka ulama empat madzhab sepakat orang yang demikian wajib tetap berpuasa dan tidak boleh meninggalkan puasa.
    • Terkait adanya kewajiban qadha atau tidak, orang sakit dibagi menjadi 2 macam:
      1. Orang yang sakitnya diperkirakan masih bisa sembuh, maka wajib meng-qadha ketika sudah mampu untuk menjalankan puasa. Ulama ijma akan hal ini.
      2. Orang yang sakitnya diperkirakan tidak bisa sembuh, maka membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Diqiyaskan dengan keadaan orang yang sudah tua renta tidak mampu lagi berpuasa. Ini disepakati oleh madzhab fikih yang empat.
  2. Musafir.
    • Orang yang bersafar boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik perjalanannya sulit dan berat jika dilakukan dengan berpuasa, maupun perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa.
    • Namun jika orang yang bersafar itu berniat bermukim di tempat tujuan safarnya lebih dari 4 hari, maka tidak boleh meninggalkan puasa sejak ia sampai di tempat tujuannya.
    • Para ulama khilaf mengenai musafir yang perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa, semisal menggunakan pesawat atau kendaraan yang sangat nyaman, apakah lebih utama berpuasa ataukah tidak berpuasa. Yang lebih kuat, dan ini adalah pendapat jumhur ulama, lebih utama tetap berpuasa.
    • Orang yang hampir selalu bersafar setiap hari, seperti pilot, supir bus, supir truk, masinis, dan semacamnya, dibolehkan untuk tidak berpuasa selama bersafar, selama itu memiliki tempat tinggal untuk pulang dan menetap. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al Utsaimin.
  3. Orang yang sudah tua renta
    • Orang yang sudah tua renta dan tidak lagi mampu untuk berpuasa dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Ulama ijma akan hal ini.
    • Wajib bagi mereka untuk membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.
  4. Wanita hamil dan menyusui
    • Wanita hamil atau sedang menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik karena ia khawatir terhadap kesehatan dirinya maupun khawatir terhadap kesehatan si bayi.
    • Ulama berbeda pendapat mengenai apa kewajiban wanita hamil dan menyusui ketika meninggalkan puasa.
      1. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup membayar fidyah tanpa qadha, ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani.
      2. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup meng-qadha tanpa fidyah, ini dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah, juga pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.
      3. Sebagian ulama madzhab juga berpendapat bagi mereka qadha dan fidyah jika meninggalkan puasa karena khawatir akan kesehatan si bayi.
    • Yang lebih rajih –insya Allah– adalah pendapat kedua, bagi mereka wajib qadha saja tanpa fidyah.
  5. Orang yang memiliki sebab-sebab yang membolehkan tidak berpuasa, diantaranya:
    1. Orang yang pekerjaannya terasa berat. Orang yang demikian tetap wajib meniatkan diri berpuasa dan wajib berpuasa. Namun ketika tengah hari bekerja lalu terasa sangat berat hingga dikhawatirkan dapat membahayakan dirinya, boleh membatalkan puasa ketika itu, dan wajib meng-qadha-nya di luar Ramadhan.
    2. Orang yang sangat kelaparan dan kehausan sehingga bisa membuatnya binasa. Orang yang demikian wajib berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain.
    3. Orang yang dipaksa untuk berbuka atau dimasukan makanan dan minuman secara paksa ke mulutnya. Orang yang demikian boleh berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain dan ia tidak berdosa karenanya.
    4. Mujahid fi sabilillah yang sedang berperang di medan perang. Dibolehkan bagi mereka untuk meninggalkan berpuasa. Berdasarkan hadits:إنكم قد دنوتم من عدوكم، والفطر أقوى لكم، فكانت رخصة“sesungguhnya musuh kalian telah mendekati kalian, maka berbuka itu lebih menguatkan kalian, dan hal itu merupakan rukhshah” (HR. Muslim).

Pembatal-pembatal puasa

  1. Makan dan minum dengan sengaja
  2. Keluar mani dengan sengaja
  3. Muntah dengan sengaja
  4. Keluarnya darah haid dan nifas
  5. Menjadi gila atau pingsan
  6. Riddah (murtad)
  7. Berniat untuk berbuka
  8. Merokok
  9. Jima (bersenggama) di tengah hari puasa. Selain membatalkan puasa dan wajib meng-qadha puasa, juga diwajibkan menunaikan kafarah membebaskan seorang budak, jika tidak ada maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin.
  10. Hijamah (bekam) diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama, hijamah tidak membatalkan puasa. Sedangkan pendapat Hanabilah bekam dapat membatalkan puasa. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz dan Ibnu Al Utsaimin.
  11. Masalah donor darah merupakan turunan dari masalah bekam. Maka donor darah tidak membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat jumhur ulama, dan bisa membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat Hanabilah.
  12. Inhaler dan sejenisnya berupa aroma yang dimasukan melalui hidung, diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama ia dapat membatalkan puasa, sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengatakan tidak membatalkan. Pendapat kedua ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.

Yang bukan merupakan pembatal puasa sehingga dibolehkan melakukannya

  1. Mengakhirkan mandi hingga terbit fajar, bagi orang yang junub atau wanita yang sudah bersih dari haid dan nifas. Puasanya tetap sah.
  2. Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
  3. Mandi di tengah hari puasa atau mendinginkan diri dengan air
  4. Menyicipi makanan ketika ada kebutuhan, selama tidak masuk ke kerongkongan
  5. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang mampu mengendalikan birahinya
  6. Memakai parfum dan wangi-wangian
  7. Menggunakan siwak atau sikat gigi
  8. Menggunakan celak
  9. Menggunakan tetes mata
  10. Menggunakan tetes telinga
  11. Makan dan minum 5 menit sebelum terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh, yang biasanya disebut dengan waktu imsak. Karena batas awal rentang waktu puasa adalah ketika terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh.

Yang dimakruhkan ketika puasa

  1. Terlalu dalam dan berlebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
  2. Puasa wishal, yaitu menyambung puasa selama dua hari tanpa diselingi makan atau minum sama sekali.
  3. Menyicipi makanan tanpa ada kebutuhan, walaupun tidak masuk ke kerongkongan
  4. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang tidak mampu mengendalikan birahinya
  5. Bermalas-malasan dan terlalu banyak tidur tanpa ada kebutuhan
  6. Berlebihan dan menghabiskan waktu dalam perkara mubah yang tidak bermanfaat

Beberapa kesalah-pahaman dalam ibadah puasa

  1. Niat puasa tidak perlu dilafalkan, karena niat adalah amalan hati. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga tidak pernah mengajarkan lafal niat puasa. Menetapkan itikad di dalam hati bahwa esok hari akan berpuasa, ini sudah niat yang sah.
  2. Berpuasa namun tidak melaksanakan shalat fardhu adalah kesalahan fatal. Diantara juga perilaku sebagian orang yang makan sahur untuk berpuasa namun tidak bangun shalat shubuh. Karena dinukil bahwa para sahabat berijma tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, sehingga tidak ada faedahnya jika ia berpuasa jika statusnya kafir. Sebagian ulama berpendapat orang yang meninggalkan shalat tidak sampai kafir namun termasuk dosa besar, yang juga bisa membatalkan pahala puasa.
  3. Berbohong tidak membatalkan puasa, namun bisa jadi membatalkan atau mengurangi pahala puasa karena berbohong adalah perbuatan maksiat.
  4. Sebagian orang menahan diri melakukan perbuatan maksiat hingga datang waktu berbuka puasa. Padahal perbuatan maksiat tidak hanya terlarang dilakukan ketika berpuasa, bahkan terlarang juga setelah berbuka puasa dan juga terlarang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Namun jika dilakukan ketika berpuasa selain berdosa juga dapat membatalkan pahala puasa walaupun tidak membatalkan puasanya.
  5. Hadits “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” adalah hadits yang lemah. tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah. Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
  6. Tidak ada hadits “berbukalah dengan yang manis“. Pernyataan yang tersebar di tengah masyarakat dengan bunyi demikian, bukanlah hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
  7. Tidak tepat mendahulukan berbuka dengan makanan manis ketika tidak ada kurma. Lebih salah lagi jika mendahulukan makanan manis padahal ada kurma. Yang sesuai sunnah Nabi adalah mendahulukan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka dengan air minum. Adapun makanan manis sebagai tambahan saja, sehingga tetap didapatkan faidah makanan manis yaitu menguatkan fisik.

Wallahu ta’ala a’lam.

***

Diringkas dari Mausu’ah Fiqhiyyah Duraris Saniyyah, Kitab Ash Shiyam, ensiklopedi fikih yang disusun dibawah bimbingan Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf, di alamat: http://www.dorar.net/enc/feqhia/1690, dengan beberapa tambahan dari penyusun.

Penyusun: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/28133-ringkasan-fikih-puasa-ramadhan.html

Puasa, tetapi Tetap Bermaksiat

Puasa yang bermanfaat (dan semoga diterima oleh Allah Ta’ala) adalah puasa yang dapat membina jiwa, memberikan motivasi untuk menjalankan kebaikan, dan membuahkan ketakwaan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Allah Ta’ala dalam ayatnya,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Wajib hukumnya bagi setiap orang yang berpuasa untuk menahan diri dari setiap perkataan dan perbuatan yang dapat merusak puasanya. Sehingga ia tidak sekedar mendapatkan lapar dan haus saja dari puasanya tersebut, namun ia juga mendapatkan pahala yang berlimpah serta ampunan dari Allah Ta’ala.

Dalam sebuah hadis disebutkan,

الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذا كان أَحَدُكُم صائمًا فلا يَرفُثْ ولا يَجهلْ ، فإنِ امْرُؤٌ شاتَمَه أو قاتَلَهُ فَليَقُلْ إنِّي صائمٌ

“Puasa itu sejatinya adalah tameng. Jika salah seorang dari kalian berpuasa, hendaklah dia tidak berkata kotor dan tidak berperilaku buruk. Jika seseorang memeranginya atau menghinanya, hendaklah dia berkata; ‘Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari no. 1894 dan Muslim no. 1151)

Makna ‘tameng’ pada hadis tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh para ulama adalah “pelindung dan benteng yang akan melindungi seseorang dari kemaksiatan dan perbuatan dosa kepada Allah Ta’ala di dunia serta tameng dari azab api neraka di akhirat kelak.”

Lalu, bagaimanakah hukum puasa seseorang yang tetap melakukan kemaksiatan tatkala berpuasa?

Hukum puasa orang-orang yang tetap bermaksiat

Puasa termasuk salah satu amal ibadah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Karena di dalam menjalani hakikat puasa tersebut, seorang hamba akan menahan dirinya dari makan dan minum, sesuatu yang aslinya boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ia juga akan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berbau syahwat dan kemaksiatan. Kesemuanya itu ia lakukan sebagai perwujudan takwa kepada Allah Ta’ala di dalam hatinya.

Besarnya keutamaan ibadah puasa ini sampai-sampai Allah Ta’ala berfirman di dalam hadis qudsinya,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا، إلى سَبْع مِائَة ضِعْفٍ، قالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إلَّا الصَّوْمَ؛ فإنَّه لي، وَأَنَا أَجْزِي به، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِن أَجْلِي

“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu (amal) kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah ‘Azza Wajallaberfirman, ‘Kecuali puasa, karena puasa itu adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Sebab, dia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.” (HR. Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151)

Di dalam hadis qudsi ini, Allah Ta’ala mengaitkan antara pahala puasa yang tak terhingga dan akan dibalas langsung oleh Allah Ta’ala dengan kriteria puasa yang dapat mewujudkannya. Dalam berpuasa, tidak cukup seorang hamba hanya menahan rasa lapar dan haus saja, ia juga dituntut untuk menahan diri dari nafsu syahwat dan keinginannya untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan bahaya maksiat yang dilakukan seseorang saat berpuasa,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkan keburukan atas asas kedustaan, maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga.(HR. Bukhori no.1903, Abu Dawud no. 2362, Tirmidzi no. 707 dan Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3246)

Di dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dan mengingatkan siapa pun yang mencukupkan puasanya hanya pada menahan lapar dan haus, namun tidak melepaskan diri dari kedustaan, melenceng dari kebenaran, dan mengerjakan keburukan. Nabi tegaskan bahwa yang Allah inginkan dari puasanya tersebut bukanlah sekedar menahan diri dari tidak makan dan tidak minum saja. Namun lebih jauh dari itu, Allah Ta’ala ingin agar seorang hamba semakin bertakwa ketika menjalankan ibadah puasa.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mewanti-wanti,

رُبَّ صائمٍ ليس له من صيامِه إلَّا الجوعُ ورُبَّ قائمٍ ليس له من قيامِه إلَّاالسَّهرُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga. Dan betapa banyak orang yang melaksanakan salat malam, namun dia tidak mendapatkan dari bangunnya tersebut, kecuali rasa capek karena begadang.” (HR. Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249, Ibnu Majah no. 1690, dan Ahmad no. 9683)

Tidak mengherankan bila setelah memaparkan hadis-hadis ini, sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang yang berpuasa, namun melakukan kemaksiatan, maka puasanya dihukumi batal. Meskipun pendapat yang lebih benar adalah tidak batalnya puasa orang tersebut. Namun yang perlu kita garis bawahi, para ulama tidak meragukan bahwa kemaksiatan akan mengurangi pahala puasa, serta ia merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan hakikatnya.

Syekh Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah membagi puasa menjadi dua jenis:

Pertama: Puasa Hakiki atau puasanya hati, yaitu puasa yang diiringi dengan menahan diri untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.

Kedua: Puasa Zahiri atau puasanya anggota badan, yaitu menahan diri dari pembatal-pembatal puasa dengan niat beribadah kepada Allah Ta’ala dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.

Selanjutnya beliau mengatakan,

”Berdasarkan hal tersebut, siapa yang berpuasa secara zahir dengan anggota badannya, akan tetapi tidak berpuasa dengan hatinya (masih bermaksiat dan melakukan dosa), maka puasanya merupakan puasa yang tidak sempurna sama sekali. Tidak kita katakan batal dan tidak diterima, namun kita katakan bahwasanya puasanya tidak sempurna dan kurang.

Sebagaimana kita katakan juga pada perkara salat. Maka, tujuan dari pelaksanaan salat adalah rasa khusyuk dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Menghadirkan salat dengan hati merupakan sesuatu yang harus diutamakan sebelum salat hanya dengan anggota badan saja.

Saat seseorang salat hanya dengan anggota badannya saja tanpa menghadirkan hatinya, di antaranya karena hati dan pikirannya sedang di tempat lain atau memikirkan hal lain, maka salatnya dianggap tidak sempurna. Namun hal itu cukup untuk menggugurkan kewajiban salat berdasarkan apa yang nampak (dari salatnya).

Begitu pula dengan puasa, tidak akan sempurna jika seseorang tidak menahan diri dari bermaksiat kepada Allah Ta’ala di dalamnya. Akan tetapi, puasa tersebut sudah menggugurkan kewajiban puasa dari dirinya. Karena perkara ibadah di kehidupan dunia ini tolak ukurnya adalah sesuatu yang nampak.” (Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh, 1: 116)

Apakah dosa menjadi berlipat di bulan Ramadan?

Harus kita ketahui bahwa sebuah dosa selamanya tidak akan dilipatgandakan sebagaimana pahala. Ia akan dibalas sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Baik itu di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَن جَاء بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ

“Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).” (QS. Al-An’am: 160)

Hanya saja, antara satu waktu dengan waktu yang lain, antara satu tempat dengan tempat yang lain memiliki perbedaan tingkat kemuliaan. Dan bulan Ramadan tentu lebih utama dan lebih mulia dari bulan lainnya. Ketika sebuah waktu lebih utama dari yang lain, maka amal kebaikan di dalamnya pun akan dilipatgandakan pahalanya. Adapun perbuatan buruk dan kemaksiatan, maka semakin besar dan berat dosanya, bukan dilipatgandakan sebagaimana pahala.

Sudah seharusnya seorang muslim menjaga kemuliaan bulan Ramadan ini dengan tidak bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa. Selain karena adanya ancaman hilangnya pahala puasa kita, perbuatan maksiat di dalamnya akan mendapatkan dosa yang lebih besar.

Harus selalu diingat, sebuah kemaksiatan tetaplah menjadi kemaksiatan baik itu di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan lainnya. Bulan Ramadan hanyalah sebuah momentum yang bisa menjadikan diri kita lebih mawas diri dan sadar akan dosa-dosa yang kita perbuat. Kesadaran untuk tidak berbuat dosa dan bermaksiat haruslah selalu ada, baik di bulan Ramadan maupun di bulan-bulan lainnya.

Semoga Allah jadikan Ramadan tahun ini sebagai momentum titik balik dan langkah awal untuk lebih serius dalam bertobat dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bisshawab.

Baca Juga: Ringkasan Fikih Puasa Ramadhan

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83850-puasa-tapi-tetap-maksiat.html

Fatwa Ulama: Mengapa Pahala Puasa Dikhususkan oleh Allah?

Pertanyaan:

Mengapa Allah Ta’ala mengkhususkan ganjaran puasa dengan balasan dari-Nya?

Jawaban:

Alhamdulillah.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis (Bukhari no. 1761, Muslim no. 1946), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قال الله كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

‘Allah berfirman, ‘Setiap amalan anak adam untuknya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya, ia (puasa) untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.””

Ketika setiap amalan dikerjakan untuk Allah Ta’ala dan Dia pula yang akan membalasnya, ulama berbeda pendapat dalam tafsir, “Dia (puasa) untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Mengapa puasa dikhususkan dengan hal tersebut?

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan 10 tafsir para ulama dalam menjelaskan makna hadis dan sebab pengkhususan puasa dengan keutamaan tersebut. Di antara tafsir yang terpenting antara lain:

Pertama: Ibadah puasa tidak berpotensi riya sebagaimana ibadah lainnya yang berpotensi riya. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ketika berbagai amalan dapat disusupi riya, ibadah puasa tidak dapat diketahui hanya dengan semata-mata amalan puasanya, kecuali oleh Allah Ta’ala. Maka, Allah Ta’ala menyandarkan puasa kepada diri-Nya. Dan oleh sebab itu, Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi,

يدع شهوته من أجله

Dia menahan nafsu syahwatnya karena Aku.”

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Seluruh kegiatan peribadahan itu tampak (di mata manusia, pent.) dengan semata-mata perbuatannya dan sedikit yang dapat selamat dari kotoran (yakni dapat tercampur dengan riya), ini berkebalikan dengan puasa.”

Kedua: Yang dimaksud dengan “Aku yang akan membalasnya”, adalah “Sesungguhnya Aku sendiri (satu-satunya) yang mengetahui kadar pahala dan jumlah kelipatannya.” Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Maknanya adalah bahwa amalan-amalan ibadah telah diketahui kadar balasannya oleh manusia. Bahwasanya kelipatan balasannya dari 10 kali sampai 700 kali lipat sampai (kelipatan) sesuai kehendak Allah Ta’ala, kecuali puasa. Sesungguhnya Allah Ta’ala memberi ganjaran ibadah puasa tanpa kadar (batas). Dalilnya adalah hadis riwayat Muslim (no. 1151) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Setiap amal anak adam akan dilipatgandakan balasannya 10 kali lipat sampai 700 kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, ‘kecuali ibadah puasa, dia (puasa) itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya.’”

Yakni, Aku akan membalasnya dengan balasan yang sangat banyak, dengan kadar yang tidak ditetapkan (tanpa batas). Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب

Sesungguhnya hanya orang yang bersabar yang diberi balasannya tanpa batas.

Baca Juga: Kapankah Puasa Ramadhan Diwajibkan Kepada Umat Manusia?

Ketiga: Makna dari “puasa itu untuk-Ku” yaitu, sesungguhnya puasa adalah ibadah yang paling Aku (Allah Ta’ala) cintai dan ditujukan untuk-Ku. Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Cukuplah perkataan ‘puasa itu untuk-Ku’, sebagai bukti keutamaan puasa atas amal ibadah lainnya. An-Nasai meriwayatkan (no. 2220) dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لا مِثْلَ لَهُ

Wajib atas kalian berpuasa, karena sesungguhnya tidak ada (ganjaran, pent) yang semisal dengannya.” Disahihkan oleh Al-Albani di Shahih An-Nasa’i.

Keempat: Penyandaran ini (kepada Allah) Ta’ala adalah penyandaran kemuliaan dan keagungan. Seperti perkataan, baitullah (rumah Allah), meskipun seluruh rumah yang ada itu adalah milik Allah Ta’ala. Az-Zain Ibn Munir rahimahullah (terkait contoh di atas, pent) berkata, “Pengkhususan dalam konteks umum pada contoh kalimat ini tidak dipahami, kecuali sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan.”

Syeikh Ibn Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadis di atas adalah hadis yang mulia yang menunjukkan berbagai macam bentuk keutamaan puasa:

Yang pertama, sesungguhnya Allah Ta’ala mengkhususkan puasa untuk diri-Nya di antara berbagai amal saleh lainnya. Hal tersebut karena kemuliaan puasa di sisi-Nya, kecintaan-Nya terhadap ibadah puasa, terwujudnya keikhlasan kepada Allah Ta’ala di dalam ibadah puasa. Karena ibadah puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya, yang tidak ada yang mengetahui ibadahnya, kecuali Allah Ta’ala semata. Dan sesungguhnya orang yang puasa ketika berada di tempat sepi (tidak tampak oleh pandangan manusia) mungkin untuk melakukan apa yang diharamkan Allah Ta’ala pada dirinya saat berpuasa, namun ia tidak melakukannya, karena ia mengetahui bahwa ada Rabb yang bersamanya dalam kesendiriannya. Rabbnya telah mengharamkan hal tersebut, lalu ia meninggalkannya karena takut azab Allah Ta’ala dan berharap pahala dari-Nya.

Oleh sebab itu, Allah Ta’ala membalas orang tersebut karena keikhlasan ini, dan mengkhususkan puasa untuk diri-Nya di antara amalan yang lain. Oleh karenanya, Allah Ta’ala berfirman, “Dia meninggalkan syahwatnya dan makanannya demi Aku.” Dan faedah pengkhususan ini akan tampak pada hari kiamat, sebagaimana dikatakan oleh Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah,

إِذَا كانَ يومُ القِيَامَةِ يُحاسِبُ الله عبدَهُ ويؤدي ما عَلَيْه مِن المظالمِ مِن سائِر عمله حَتَّى إِذَا لم يبقَ إلاَّ الصومُ يتحملُ اللهُ عنه ما بقي من المظالِم ويُدخله الجنَّةَ بالصوم

Ketika hari kiamat nanti, Allah Ta’ala akan menghisab hamba-Nya dan membalas kezaliman-kezaliman amal perbuatannya hingga tidak ada yang tersisa, kecuali puasa, Allah Ta’ala akan memikul kezaliman tersebut darinya dan Allah Ta’ala masukkan ia ke surga dengan sebab amal puasa.”

Yang kedua, Allah Ta’ala berfirman tentang puasa, “Aku yang akan membalasnya.” Penyandaran balasan kepada diri-Nya yang mulia, karena sesungguhnya amal saleh akan dilipat gandakan balasannya. Balasan kebaikan dengan 10 kali lipat yang semisal sampai 700 kali lipat sampai berkali-kali lipat yang banyak. Adapun puasa, maka Allah sandarkan balasannya pada diri-Nya, tanpa ada jumlahnya. Dan Allah Ta’ala adalah Zat yang paling mulia di antara yang mulia dan paling dermawan di antara para dermawan. Dan kadar pemberian itu sesuai dengan kedudukan yang memberikannya. Maka, ganjaran orang yang berpuasa adalah ganjaran yang sangat besar dan sangat banyak tanpa ada batasan. Puasa adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, sabar dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, dan sabar atas takdir Allah yang menyakitkan seperti, lapar, haus, dan kelemahan fisik dan jiwa. Maka, terkumpul ketiga bentuk sabar dalam ibadah puasa. Orang yang puasa menjadi termasuk orang-orang yang bersabar. Maka, Allah Ta’ala berfirman,

إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب

Sesungguhnya, hanya orang yang bersabar yang diberi balasannya tanpa batas.“(QS. Az-Zumar: 10) Sekian kutipan. (Majlis Syahri Ramadhan, hal. 13)

Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP

Artikel: Muslim.or.id

Sumber : https://islamqa.info/ar/answers/50388/ لماذا-خص-الصوم-بقوله-تعالى-الصيام-لي-وانا-اجزي-به

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83789-fatwa-ulama-mengapa-pahala-puasa-dikhususkan-oleh-allah.html

7 Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ

Oleh: Uli Qurrata A’yuni Candra
Mahasiswa
Pakong, Pamekasan, Madura
candrauli8@gmail.com

HIDUP sehat sudah menjadi bagian penting yang harus dijalani oleh manusia, terutama bagi umat islam. Dalam setiap aktivitas dan pola hidupnya, Rasulullah ﷺ selalu menjadi teladan bagi umat islam, termasuk dalam menerapkan pola hidup sehat.

Menerapkan pola hidup sehat ini sangat penting karena jika seorang muslim sakit maka itu akan menghambat ia untuk melaksanakan ibadah dan melakukan kegiatan lainnya.

Berikut beberapa tips hidup sehat ala Rasullah ﷺ:

1 Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ: Mengkonsumsi makanan halal dan bergizi

Rasulullah ﷺ selalu mematuhi syariat islam termasuk larangan untuk memakan makanan yang haram. Karena jika Allah sudah melarang, sudah pasti itu tidak baik untuk kita.

Sakit Maag, Umar bin Abdul, Hukum Membuang Sisa Makanan Aziz, Makanan yang Menghalangi Qiyaamulail,, Cara Mengecek Makanan Halal, Cara Merawat Tubuh, Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ, Hal yang Boleh Tergesa-Gesa, Manfaat Sarapan, Hukum Makan Banyak, Hidup Sehat Ala Rasulullah
Foto: Freepik

BACA JUGA: Hidup Sehat, Ini 5 Tips Diet Keluarga Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ sering mengonsumsi makanan bergizi, seperti kurma, madu, zaitun, dan sebagainya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa setiap pagi mengkonsumsi tujuh butir kurma ‘Ajwah, maka pada hari itu ia akan terhindar dari racun dan sihir.” (HR Bukhari dan Muslim)

2 Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ: Membaca doa dan menggunakan tangan kanan

Rasulullah ﷺ membaca doa sebelum makan bertujuan agar makanan yang kita makan menjadi lebih berkah, menjadi obat, dan tidak membuat seseorang menjadi rakus.

Dan makan dengan tangan kanan jika dikaji secara medis, makan dengan tangan kiri memang tidak baik karena tangan kiri sering digunakan untuk mencuci area intim, sehingga kemungkinan bakteri bisa bersarang di dalam jari.

Dari Ibnu Umar r.a, Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang dari kalian makan, maka makanlah dengan menggunakan tangan kanan, dan jika ia minum, maka minumlah dengan menggunakan tangan kanan, karena sesungguhnya setan itu makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri.” (HR Muslim)

3 Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ: Makanlah secukupnya

Dalam hadits diterangkan: “Kalau memang tidak ada jalan lain (memakan lebih banyak), maka berikan sepertiga untuk (tempat) makanan, sepertiga untuk (tempat) minuman dan sepertiga untuk (tempat) nafasnya.” (HR Tirmizi dan Ibnu Majah).

Perut kita dibagi tiga, sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk bernafas. Maka dari itu sisakan perut kita untuk minum dan bernafas jangan diisi dengan makanan semua. Allah juga tidak suka orang yang berlebih-lebihan termasuk dalam makan.

https://youtube.com/watch?v=HvSuhrTcdZg%3Ffeature%3Doembed

4 Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ: Tidak meniup makanan atau minumam yang panas

Rasulullah ﷺ menganjurkan untuk menunggu makanan atau minuman hingga tidak panas dan melarang meniup atau menghembuskan nafas di depan makanan. Secara teori ilmiah meniup makanan atau minumam yang panas bisa berdampak merusak kinerja ginjal juga dapat meningkatkan resiko serangan jantung.

5 Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ: Tidur malam yang cukup

Nabi Muhammad ﷺ biasanya tidur sekitar pukul 21.00 atau selepas sholat isya’, Kemudian bangun di sepertiga malam terakhir. Menurut penelitian, ternyata pukul 9 malam sampai 3 pagi adalah waktu tubuh mengalami proses metabolisme yang dapat berlangsung optimal hanya bila tubuh dalam kondisi relaks atau tidur.

6 Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ: Berolahraga

sombong Olahraga yang Dianjurkan oleh Rasulullah orang sehat, Cara Merawat Tubuh, Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ, Kesehatan dalam Islam, Hidup Sehat Ala Rasulullah
Foto: Freepik

Salah satu pola hidup sehat Rasullah ﷺ yaitu dengan berolahraga. Menurut riwayat hadist, Beliau memiliki tubuh bugar dan apabila berjalan langkahnya juga cepat.

BACA JUGA: Hidup Seimbang, Anjuran Islam agar Hidup Sehat

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata: “Aku belum pernah melihat orang yang lebih baik dan lebih tampan dari Rasulullah; roman mukanya secemerlang matahari, juga tidak pernah melihat orang yang secepat beliau. Seolah-olah bumi ini digulung oleh langkah-langkah beliau ketika sedang berjalan. Walaupun kami berusaha untuk mengimbangi jalan beliau. Tapi beliau tampaknya seperti berjalan santai saja.”

7 Hidup Sehat Ala Rasulullah ﷺ: Berpuasa

Puasa yang diajarkan Rasulullah ﷺ bukan hanya puasa wajib di bulan ramadhan saja, tapi juga banyak puasa-puasa sunnah lainnya. Berpuasa memiliki manfaat yang sangat besar bagi kesehatan, salah satunya adalah untuk menyehatkan jantung, mengeluarkan racun dalam tubuh, kesehatan ginjal, dan masih banyak lainnya. []

Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: redaksi@islampos.com atau islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.

ISLAMPOS

Ramadhan Hemat, Mubazir Lewat!

Puasa itu artinya menahan diri,  faktanya, di bulan Ramadhan, anggaran belanja –terutama makanan– membengkak, banyak makanan terbuang sia-sia. Tekadkan Ramadhan tahun ini dengan berhemat!

Hidayatullah.com | RAMADHAN di depan mata. Bulan yang mulia yang penuh dengan pahala ini banyak dinanti oleh umat Islam.

Dalam banyaknya keistimewaan di bulan ini,  penting bagi kita semua, memastikan tidak menyia-nyiakan waktu meraih pahala dan lebih berfokus pada ibadah.

Jika kita ingin mendapat berkah dan pahala di bulan yang mulia ini, maka kita tidak hanya perlu menjaga hubungan kita dengan Allah SWT, juga perlu memastikan hubungan kita dengan orang lain,  juga dengan lingkungan kita agar terjaga.

Ketiga dimensi silaturahmi ini perlu dijaga karena merupakan bagian dari tanggung jawab kita kepada Allah SWT. Ramadhan justru membuka peluang bagus untuk meningkatkan kualitas hubungan tiga dimensi ini.

Satu hal yang jelas, bulan Ramadhan merupakan bulan yang menekankan kehidupan bermasyarakat. Setelah adzan Magrib, umat Islam akan berbuka puasa bersama keluarga, sahabat, atau masyarakat setempat.

Buka puasa bersama mampu mempererat silaturahmi dan persaudaraan antar anggota keluarga dan masyarakat. Namun, yang pasti, kita perlu memastikan bahwa dalam urusan makanan, umat Islam harus menjadi contoh dan berkontribusi mencegah pencemaran lingkungan.

Sudah menjadi hal yang lumrah setiap bulan Ramadhan, ada sunah berbuka dan Iftar. Umumnya dalam dalam penyiapan makanan berbuka –khususnya dalam iftar berjamaah–  panitia akan melibatkan peralatan makan, wadah yang terbuat dari plastik dan styrofoam bersamaan dengan botol-botol plastik untuk minuman atau gelas sekali pakai.

Tetu saja, hal ini  menyebabkan pembuangan limbah meningkat. Selain sampah ini, juga akan ada sisa makanan yang tidak dimakan yang juga ikut terbuang.

Di sisi lain, salah satu hal yang paling berbeda dari hari biasanya di bulan Ramadhan adalah munculnya kedai-kedai makanan atau bazzar pinggir jalan yang menggoda selera. Ya, kita semua pasti pernah merasakan suasana ini.

Setiap Ramadhan kita dihibur dengan aneka hidangan makanan dan minuman yang warna-warni. Ya, setelah itu, kita tergoda ‘membeli’ banyak makanan, bahkan lebih banyak dari biasanya. 

Puasa yang maknanya harus menahan diri (baik dari makan, minum dan syahwat) sebaliknya justru menjadi ‘bulan belanja’.  Terkadang dalam kegembiraan menyambut bulan mulia ini kita lupa bahwa telah melakukan pemborosan.

Padahal Allah SWT sangat tidak menyukai perbuatan ini. Larangan tergadap sikap boros dan mubazir telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya;

    وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

     إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا

“Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.  Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Surat Al-Isra Ayat 26-27).

Di bulan Ramadhan tahun ini, sudah seharusnya kita menentukan pilihan untuk berbuka puasa dan beribadah secara berkelanjutan sesuai dengan adab dan akhlaq Islam.

Rekor Pemborosan

Banyak penelitian mengungkap  Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki tingkat pemborosan makanan yang cukup tinggi di dunia. Hasil kajian Badan Pangan Dunia (FAO), yang menunjukkan sepertiga bahan pangan yang diproduksi dunia, terbuang dan menjadi sampah.

Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas Nyoto Suwignyo mengatakan satu orang Indonesia dalam setahun bisa menghasilkan sampah makan hingga 150 kg per kapita.Kajian Bappenas,  Waste4Change, World Research Institute (WRI) didukung UK-FCDO menemukan, sampah makanan yang terbuang di Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara 115-184 kilogram per kapita per tahun.

Hasil analisis “Kompas” menemukan, nilai sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun pertahun.  

Menurut data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), sampah makanan menyumbang hingga 41,1% persen dari 28,8 juta ton sampah di Indonesia. Meningkatnya jumlah sampah organik yang berasal dari sisa makanan dapat menimbulkan masalah serius bagi ekosistem lingkungan.

Selain berkontribusi secara tak langsung terhadap pemborosan energi, sisa makanan yang menumpuk dan membusuk di tempat pembuangan akhir (TPA) menghasilkan gas metana – yang merupakan salah satu penyebab pemanasan global. Dilansir dari laman menlhk.go.id, gas metana pada kadar tinggi dapat mengurangi kadar oksigen pada atmosfer bumi hingga 19,5 persen.

Karena itulah Badan Pangan Nasional (Bapanas) bekerja sama dengan pegiat pencegahan food waste telah menggalakkan proses pembudayaan, pemberdayaan, dan sekaligus mengingatkan kembali kepada seluruh masyarakat di Indonesia agar tidak melakukan pemborosan makanan.

Sehubungan dengan itu, firman Allah SWT dalam Surat al-A’Raf ayat 31 harus digunakan sebagai pengingat, “Hai anak Adam! Kenakan pakaian Anda yang dihias dengan indah setiap kali Anda pergi ke tempat ibadah (atau berdoa), dan makan dan minum, dan jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Menjadi suatu kerugian besar jika sikap kita terhadap sampah makanan tidak sejalan dengan keinginan ajaran Islam. Bulan Ramadhan sebenarnya memberikan wadah bagi kita untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Karena Ramadhan sudah di depan mata,  sebaiknya kita mempersiapkan diri tidak hanya fokus pada berbagai ibadah. Dan yang penting kita harus bertekad tahun ini membudayakan Ramadhan tanpa pemborosan.

Untuk mengubah mentalitas boros menjadi hemat di bulan Ramadhan, Ada beberapa tips bisa digunakan;

Berbuka dan Sahur di Rumah

Biasanya Bazaar Ramadhan atau makan di luar rumah menjadi pilihan orang untuk mencari makanan untuk berbuka puasa.  Makan di luar memang menarik, tapi hal itu akan lebih mendorong pengeluaran lebih banyak.

Untuk menghindari pemborosan, ada baiknya makan di rumah secara sederhana.  Berbuka puasa di rumah lebih hemat daripada buka puasa di luar seperti di restoran, hotel atau sejenisnya.

Siapkan makanan sesuai kebutuhan pribadi dan keluarga, dan bukan menurut nafsu. Ini tidak hanya lebih ramah lingkungan dan menghemat uang, tetapi juga merupakan cara untuk menghindari pemborosan yang sejalan dengan ajaran Islam.

Menguragi Bukber

Ramadhan kadang identik dengan iftar dan berbuka bersama (Bukber) dengan banyak teman, kolega, sahabat lama. Di antara sedikit keburukan Bukber adalah makan berlebihan, bahkan tidak sedikit yang mubazir.

Tidak sedikit kasus menghadiri Bukber menjadikan ibadah kita terganggu. Doa-doa mustajabah di waktu-waktu menjelang berbuka hilang karena kita sibuk ngobrol tidak penting dan ketawa-ketiwi.

Gara-gara menghadiri makan bersama shalat berjaah kita terlambat, menjadikan kesempatan pahala menjadi hilang sia-sia.  

Menyimpan Makanan  

Makanan sisa Sahur sudah basi? Jika Anda tidak menyimpan makanan dengan baik dan sempurna, makanan akan mudah basi. Hal ini menjadikan makanan terbuang dengan sia-sia.

Tempat penyimpan seperti  wadah tertutup, kulkas, atau apa saja, memudahkan kita menyimpan makanan layak dan sehat untuk berbuka/sahur berikutnya.

Mengontrol Belanja

Bagi orang yang sulit mengendalikan dorongan hati saat membeli, cobalah mengendalikan arus penarikan tunai dan gunakan uang seperlunya untuk membeli barang-barang penting saja. Hal ini untuk menghindari ‘pengeluaran’ yang tidak direncanakan.

Di tengah nafsu  belanja dan keinginan membeli barang, jangan lupa mencari perbandingan harga di bebebarapa toko yang berbeda. Terkadang, ada banyak perbedaan harga bahkan untuk barang yang sama.

Ini untuk menghindari pengeluaran lebih banyak dan bisa mencari harga yang lebih murah. Merencanakan sesuatu sebelum melakukannya adalah penerapan yang sangat praktis dalam kehidupan, sekaligus cara terbaik mencegah pemborosan.

Tuliskan barang yang ingin dibeli sesuai dengan nilai yang paling penting dan bandingkan dengan uang yang kita miliki, apakah cukup atau tidak?

Rencana pembelian ini bertujuan untuk meminimalkan pengeluaran dan menghindari pemborosan.

Berbagi dan Menyumbangkan Makanan  

Jika ada sisa masakan atau makanan setelah berbuka puasa, ada baiknya disedekahkan ke masjid atau fakir miskin. Tentu  bukan memberikan sisa makanan! 

Selain mendapatkan pahala sedekah, Anda juga bisa terhindar dari pemborosan. Kenapa harus masjid? Selama Ramadhan, masjid hidup, anak-anak berkumpul, tarawih dan mengaji, jadi di situlah pusat orang dan pusat kebaikan berada.

Selain itu, dalam tradisi Melayu Nusantara, kita sudah terbiasa selama Bulan Ramadhan atau pada Hari Raya Idul Fitri bertukar makanan dengan tetangga,  kenalan dan saudara. Hal ini untuk mempererat tali silaturahmi antar masyarakat.

Kendalikan Nafsu dan Keinginan

Tidak hanya saat berpuasa kita perlu menahan nafsu dan keinginan, tapi juga saat berbelanja sangat diperlukan. Hindari membeli makanan berbuka puasa terlalu banyak lalu membuangnya karena tidak dimakan, ini pemborosan.

Karena itu, jangan membeli sesuatu karena untuk memenuhi keinginan dan nafsu kita. Apalagi hanya untuk pamer ke tetangga/teman/saudara, Na’udzubillah.

Hemat Air

Selain makanan, di antara hal-hal yang dapat dilakukan adalah hemat alam penggunaan air. Air sangat penting bagi kehidupan semua makhluk termasuk manusia. Karenanya banyak orang yang masih membutuhkan keberadaannya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ، وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ، إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ

“Nabi ﷺ berwudhu dengan satu mud (air) dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud (air)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Satu sha’ sama dengan empat mud. Satu mud kurang lebih setengah liter atau kurang lebih (seukuran) memenuhi dua telapak tangan orang dewasa.

Langkah-langkah membudayakan Ramadhan tanpa pemborosan ini merupakan bentuk ibadah umum yang mewujudkan terjaganya hubungan kita dengan alam. Hal ini pada gilirannya dapat mendekatkan kita kepada Allah SWT dan meningkatkan ketakwaan kita.*

hidayatullah

Saat Terjadi Heboh di Media Sosial, Lebih Baik Diam atau Ikut Bersuara?

Di antara dampak negatif dari adanya media sosial yang semakin canggih adalah semakin beraninya seseorang dalam ikut bersuara. Dengan percaya diri, ia mengeluarkan semua yang ada dalam pikirannya, kemudian dituangkan dalam media sosial. (Baca: Adab Menggunakan Media Sosial)

Islam sebagai agama penebar rahmat dan kedamaian, sejatinya menolak bahkan sangat melarang pemeluknya untuk melakukan pekerjaan atau tindakan-tindakan yang memiliki potensi akan menimbulkan kegaduhan. Oleh karenanya, prinsip Islam sebagai agama Rahmat dan damai tidak lagi sekadar selogan yang disampaikan di mana-mana, akan tetapi menjadi nilai dan simbol yang harus dipraktikkan di mana-mana.

Sebelum membahas lebih panjang, ada salah satu hadits Rasulullah yang perlu diketahui dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan kejadian di atas. Di antaranya salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi, Rasululah SAW bersabda,

أٙجْرٙؤُكُمْ عٙلٰى الْفٙتْوٰى أٙجْرٙؤُكُمْ عٙلٰى النّٙارِ

“Yang paling berani dari kalian dalam (mengeluarkan) fatwa adalah orang yang paling berani ke neraka.” (Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunan ad-Darimi, dengan status hadis mursal dari ‘Ubaidillah bin Abi Ja’far)

Berhati-hati dalam ber-statement dan berfatwa (at-tawarru’ ‘anil-futya) merupakan akhlak/karakteristik para ulama terbaik pada zaman dulu (salafuna ash-shalih). Mereka benar-benar mempertimbangkan dampak positif atau negatif sebelum statement atau fatwa itu dicetuskan.

Dalam hal ini, Imam ‘Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi (wafat 82 H), pakar fikih dari golongan tabi’in berkata: “Aku mendapati 120 shahabat Rasulullah SAW, (saat) salah satu dari mereka ditanya tentang sebuah masalah, ia mengembalikan masalah itu kepada shahabat yang lain (dan hal itu berputar terus-menerus di kalangan mereka) hingga masalah itu kembali (diajukan) ke orang pertama (lagi).”

Nasihat di atas, tentu mengajarkan bagi generasi setelahnya, khususnya generasi saat ini, bahwa hati-hati dalam bersetatement menjadi ciri khas para sahabat saat itu. Mereka justru mengedepankan orang lain agar mengeluarkan pendapatnya, sebelum diri sendiri yang menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya.

Imam Malik bin Anas (pendiri mazhab Malikiah) dari kalangan tabiut tabiin berkomentar lebih tegas. Ia mengatakan, “Barang siapa menjawab sebuah masalah, hendaknya sebelum menjawab ia menghadapkan dirinya ke surga dan neraka serta bagaimana selamat (dari neraka tersebut). Kemudian baru menjawab.”

Akhlak seperti ini juga tergambar jelas dalam nasehat umum Imam asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu tentang kehati-hatiannya dalam mengeluarkan statement dan berbicara:

“Apabila salah satu dari kalian hendak berbicara, maka ia wajib memikirkan terlebih dahulu perkataannya! Jika perkataan tersebut mengandung kemaslahatan (kebaikan), maka berbicaralah! Namun jika ragu-ragu (perkataannya tidak mengandung kemaslahatan), maka urungkanlah untuk berbicara hingga benar-benar perkataanmu mengandung kemaslahatan!”

Namun ironisnya, pada zaman ini ada sebagian orang yang merasa berilmu dengan mudahnya mengeluarkan statement tanpa menimbang dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut. Mungkin benar, statement-nya punya dasar yang diambil dari qaul-qaul ulama. Tapi, apakah bijak mempublikasikan statement itu sehingga berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat awam, bahkan fitnah keimanan di hati mereka?

Tahu qaul-qaul lemah yang bertebaran di khazanah Islam memang baik, namun terlalu mudah mempublikasikan pendapat-pendapat dhaif tersebut adalah tindakan yang tidak tepat.

Diam atau Ikut Bersuara?

Ada seorang yang bijak bestari yang mengatakan:

إِذٙا أٙعْجٙبٙكٙ الْكٙلٙامُ فٙاصْمُتْ، وٙإِذٙا أٙعْجٙبٙكٙ الصُّمْتُ تتٙكٙلّٙم

Artinya, “Jika kamu suka untuk berbicara, maka (lebih baik) diamlah! Namun jika kamu suka untuk diam, maka (lebih baik) berbicaralah!” (Dikutip oleh Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam Qami’uth-Tughyan ‘ala Manzhumati Syu’abil-Iman)

Term a’jaba di atas tidak sekadar bermakna ‘suka’. Ditinjau dari akar katanya, term tersebut berkorelasi dengan istilah ujub. Kita mungkin sudah tahu bahwa ujub merupakan perilaku yang tercela.

Imam al-Ghazali menyebutkan, perasaan ujub adalah kecintaan seseorang akan suatu karunia yang ada pada dirinya dan merasa memilikinya sendiri serta tidak menyadari bahwa karunia tersebut adalah pemberian Allah SWT. Singkatnya, ujub adalah perilaku atau sifat mengagumi diri sendiri dan senantiasa membanggakan dirinya sendiri.

Dengan demikian, makna pepatah bijak di atas dapat kita artikan lebih luas sebagai berikut:

“Jika berbicara dapat membuat hatimu ujub (merasa lebih hebat dan tinggi daripada orang lain, karena punya kemampuan hebat dalam berbicara), maka (lebih baik) diamlah! Namun jika diam dapat mendorongmu untuk ujub (merasa bangga dan hebat karena orang-orang menganggap sebagai orang yang alim, khusyuk, misalnya), maka (lebih baik) berbicaralah!”

Pepatah bijak di atas, seharusnya menjadi nasehat yang tepat untuk orang-orang yang suka berbicara kontroversial di ranah publik, baik dalam dunia nyata atau dunia maya. Orang-orang model seperti ini mungkin salah satu motivasinya dalam berbicara kontroversial adalah ‘cari panggung’. Mereka terobsesi dengan popularitas.

Dengan mengeluarkan statement-statement kontroversial secara tidak langsung namanya akan dikenal oleh masyarakat. Perilaku ini dikenal dengan istilah hubbusy-syuhrah (cinta popularitas). Tingkat pemahaman agama, komitmen agama, dan kepentingan-kepentingan pribadi yang berbeda-beda sangat berpengaruh dalam eksistensi dan tidaknya sifat tercela tersebut.

مٙا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaf [50]: 18).

Dari penjelasan di atas semoga menjadi pelajaran, bahwa sikap yang tepat adalah menghilangkan kegaduhan dan keributan bukan menciptakan keduanya.

Referensi: al-Manhaj as-Sawi, hlm. 102 & Khulashatu Akhlaqis-Salaf, hlm. 5

BINCANG SYARIAH

Biografi Aisyah radhiyallahu ‘anha

Setiap orang memiliki orang yang paling dicintai dalam hatinya, begitu pun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama. Ketika ditanya oleh Amru bin Al Ash radhiyallahu ‘anhu,

أيُّ النَّاسِ أحَبُّ إلَيْكَ؟

“Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling engkau cintai?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama menjawab,

عَائِشَةُ

Aisyah.” (HR. Bukhari no. 3662)

Akan tetapi, sudahkah kita mengenal ibunda orang-orang beriman, yakni Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan baik? Yuk kita simak ulasan singkat tentang kisah hidup beliau.

Nama beliau

Beliau adalah Ummu Abdillah Aisyah binti Abi Bakr Ash-Shiddiq bin Abu Quhafah Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luaiy Al-Qurasyiyah Al-Makkiyah. Salah seorang dari istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama [1].

Kelahiran beliau

Beliau lahir 4 atau 5 tahun setelah diangkatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama [2], [3].

Pernikahan beliau dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama

Aisyah radhiyallahu ‘anha dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama di usia 6 tahun atau 7 tahun menurut sebagian versi. Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan,

ويجمع بأنها كانت أكملت السّادسة ودخلت في السّابعة

Jika dikompromikan antara dua pendapat, maka saat itu usia Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah 6 tahun dan hampir masuk ke-7.[4]

Periwayatan hadis

Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah perawi wanita yang paling banyak meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama. Adz-Dzahabi rahimahullahu menyebutkan hadis Aisyah di kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim,

اتفق البخاري ومسلم على مائة وأربعة وسبعين حديثًا، وانفرد البخاري بأربعة وخمسين حديثًا، وانفرد مسلم بتسعة وستين حديثًا

Bukhari dan Muslim bersepakat pada 174 hadis, sementara yang hanya dikeluarkan oleh Bukhari ada 54 hadis, dan yang hanya diriwayatkan oleh Muslim ada 99 hadis.[5]

Yang menjadi istimewa adalah bahwa hadis-hadis tersebut sebagian besarnya (hampir semua) diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama secara langsung (bukan melalui perantara sahabat yang lain).

Beliau meriwayatkan hadis dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Fathimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama, Saad bin Abi Waqqash, Usaid bin Khudhair, Judzamah binti Wahab, Hamzah binti Amru, dan sahabat lain radhiyallahu ‘anhum.

Sementara yang meriwayatkan hadis dari beliau di antaranya Umar bin Khatthab, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Abu Musa Al-Asy’ari, Zaid bin Khalid, Ibnu Abbas, Rabiah bin Amr, As-Saib bin Yazid, Shafiyah binti Syaibah, Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, dan selainnya radhiyallahu ‘anhum.

Dari kalangan tabiin senior pun banyak yang meriwayatkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, di antaranya: Said bin Al-Musayyib, Amr bin Maimun, Alqamah bin Qais, Masruq, Abdullah bin Hakim, Al-Aswad bin Yazid, Abu Salamah bin Abdurrahman, Abu Wail, dan selain mereka rahimahumullahu.

Keutamaan beliau

Di antara keutamaan Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah sebagaimana diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu adalah: [6]

Pertama: Istri yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama.

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama tidak menikahi gadis selain beliau.

Ketiga: Satu-satunya istri yang wahyu pernah turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama saat bersamanya.

Keempat: Allah melepaskan tuduhan para pemfitnah terhadap ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha melalui wahyu.

Kelima: Menjadi rujukan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum yang lain dalam masalah ilmu.

Keenam: Sebelum menikahinya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama sudah diperlihatkan melalui mimpi.

Ketujuh: Ketika hendak memberikan hadiah, maka para sahabat berusaha memberikannya saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallama berada di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dengan harapan bisa meraih hati Nabi karena hadiah diberikan ke salah satu wanita yang beliau cintai.

Dan yang paling menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah wanita terbaik adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama sendiri,

وفَضْلُ عائِشَةَ علَى النِّساءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ علَى سائِرِ الطَّعامِ

Keistimewaan Aisyah dibanding wanita yang lain adalah seperti istimewanya tsarid [7] dibanding makanan yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 3769)

Dan tentu sangat banyak teladan yang bisa kita contoh dari beliau selain yang telah tertulis di atas, yang kita harapkan bisa kita teladani dalam keseharian kita. Semoga biografi sahabiyah yang mulia ini bisa memberikan inspirasi kebaikan bagi pembaca. aamiin

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83766-aisyah-binti-abu-bakar.html

Main Hakim Sendiri dalam Islam 

Berikut ini penjelasan main hakim sendiri dalam Islam. Belum lama ini beredar video aksi main hakim sendiri sejumlah warga kota Sorong, terhadap seorang wanita yang tertuduh menjadi pelaku penculikan. Ironisnya wanita tersebut sempat diarak dengan kondisi setengah telanjang yang kemudian dibakar hidup-hidup, hingga nyawanya pun tak tertolong lagi pada Selasa (24/1). 

Sayangnya fakta setelah dilakukan penyelidikan dari pihak kepolisian sosok wanita tersebut dipastikan tidaklah bersalah, penculikan itu hanya tuduhan semata (hoaks). Kapolres Sorong Kota Kombes Happy Perdana, mengkonfirmasi bahwa Korban sebenarnya belum lama berada di Sorong, ia merupakan pendatang asal dari Buton Sulawesi Tenggara.

Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Main Hakim Sendiri

Melihat fenomena memprihatinkan tindakan main hakim sendiri di masyarakat tentu sangat meresahkan. Lantas mengapa hal itu bisa terjadi pada masyarakat kita dan bagaimana main hakim sendiri dalam Islam?
Sebagaimana yang diketahui menurut sejumlah penelitian terdapat sekiranya empat faktor utama yang menyebabkan publik ingin main hakim sendiri diantaranya yaitu rendahnya kepercayaan publik terhadap aparat hukum akan bertindak adil, proses hukum mudah diintervensi, banyak politisi yang terjerat kasus korupsi dan pembiaran penegakan hukum.

Pandangan Main Hakim Sendiri dalam Islam

Terlepas dari beberapa faktor di atas sejatinya tindakan main hakim sendiri merupakan suatu perbuatan yang jelas dilarang baik dalam peraturan perundang undangan di Indonesia maupun dalam Syari’at Islam. Mengapa hal tersebut dilarang? 

Karena tindakan sewenang-wenang main hakim sendiri ini, justru malah menciderai nilai-nilai keadilan, tidak ada manfaat yang akan didapatkan. Seseorang yang mencuri ayam harus mati dihajar massa, seorang jambret dibakar hidup hidup hingga mati dan lain sebagainya. 

Tentu hal itu bukanlah keadilan yang didapat, bahkan pelaku tindakan main hakim sendiri masuk kedalam perbuatan keji yang sungguh dilarang dalam ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 90:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan, bermurah hati kepada kerabat, dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, munkar dan kekejaman. Ia mengajarkan kepadamu supaya menjadi pengertian bagimu.” (Q.S. An-Nahl [16]: 90).

Melihat ajaran Islam dalam ayat tersebut pada intinya agama kita menuntut agar umat muslim itu saling menjaga satu sama lain, lebih hangat dan lebih manusiawi, melakukan pekerjaan yang baik, agar terciptalah kehidupan masyarakat yang aman tentram dan damai.

Perlu diingat pula segala yang diakui sebagai perbuatan munkar, dan segala yang benar-benar tidak adil, kekejaman, dan segala kekufuran dan kefasikan terhadap hukum Allah, nantinya akan mendapatkan balasan yang sesuai namun tetap dalam koridor hukum yang berlaku baik hukum di dunia yakni melalui lembaga yang berwewenang (pengadilan) maupun hukum Allah kelak nanti, (Abdullah Yusuf Ali, Qur’an terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah, 1993). 

Bertalian dengan itu Islam pun mengarahkan umatnya untuk senantiasa menjaga nilai-nilai keadilan, sebagaimana dalam Surah Al-Maidah Ayat 8: 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Hai orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, sebagai saksi-saksi karena Allah, dan janganlah kebencian orang kepadamu membuat kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah tahu benar apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 8).

Kesimpulannya adalah mari kita sesama muslim untuk saling mengingatkan, jika ada pelaku kejahatan yang tertangkap basah melakukan kejahatannya hendaknya kita serahkan kepada pihak berwajib. Jangan sampai sebagai orang muslim kita melakukan main hakim sendiri. 

Pastikan kita selalu mengingatkan kepada saudara dan keluarga kita untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Islam. Sekian semoga kita selalu diberikan perlindungan oleh Allah. 

Demikian penjelasan main hakim sendiri dalam Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum Duduk di atas Kuburan

Padatnya jumlah kuburan di areal pemakaman wilayah perkotaan tak jarang membuat orang yang berziarah kubur tak jarang menduduki makam-makam lain. Apakah hal demikian diperbolehkan dalam Islam?

Syekh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim menjelaskan, seorang Muslim dimakruhkan duduk di atas kuburan saudara sesama Muslim. Tak hanya itu, dimakruhkan juga bagi umat Muslim untuk menginjak kuburan.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Laa tajlisuu alal-quburi wa laa tushalluu ilaiha,”. Yang artinya, “Janganlah kamu duduk di atas kuburan, dan janganlah pula shalat menghadap ke arahnya,”.

Selain itu juga sabda Rasulullah yang lain, “La-an yajlisa ahadukum ala jamratin fatuhriqo tsiyabahu fatakhlusho ila jildihi khairun min an yajlisa ala qabrin,”.

Yang artinya, “Sungguh salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya, lalu sampai menembus pada kulitnya adalah jauh lebih baik daripada ia duduk di atas kuburan,”.

Sebagaimana diketahui, umat Islam Indonesia terbiasa melakukan ziarah kubur jelang Ramadhan tiba. Untuk itu seyogyanya kita memperhatikan adab dalam berziarah kubur.

IHRAM