Kisah Kerendahan Hati dan Hikmah Bijak Imam Ja’far Ash-Shadiq yang Tidak Pernah Menonjolkan Nasabnya

Dalam artikel ini, akan diulas kisah mengenai kerendahan hati dan pesan bijak yang diwariskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq, seorang tokoh yang selalu menunjukkan rendah hati dan tidak pernah membanggakan latar belakang keturunannya. Nama lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Kelahirannya terjadi di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriah, dan beliau wafat pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriah.

Kisah kerendahan hati Imam Ja’far Ash-Shadiq yang telah diabadikan oleh Syekh Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya’ Juz 1, halaman 36, mengisahkan tentang momen berharga yang melibatkan beliau sebagai berikut:

Pada suatu hari, Syekh Daud At-Tha’i mendatangi Imam Ja’far Ash-Shadiq dan berkata, “Wahai putra keturunan Rasulullah, saya datang untuk meminta nasihat dari Anda”. Tanggapan Imam Ja’far Ash-Shadiq sungguh mengesankan, “Wahai Daud At-Tha’i, Anda sebenarnya tidak memerlukan nasihat dari saya, karena Anda adalah sosok yang terkenal karena kesederhanaannya di masa ini”.

Syekh Daud At-Tha’i melanjutkan, “Wahai putra keturunan Rasulullah, Anda memiliki derajat yang tinggi di mata banyak orang, doa Anda diijabah dengan cepat, dan Anda tetap kokoh dalam perbuatan baik”. Imam Ja’far Ash-Shadiq merespons dengan penuh kerendahan hati, “Wahai Daud At-Tha’i, saya khawatir bahwa saya tidak akan mampu meniru akhlak kakek saya”. Syekh Daud At-Tha’i menjawab, “Lalu siapa yang sebaiknya kita teladani dan jadikan teladan?”. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab:

هذا ما يتم بالنسب الصحيح بل انما يتم بحسن المعاملة

Artinya: Urusan ini bukan disempurnakan dengan nasab yang shohih, akan tetapi urusan ini hanya bisa menjadi sempurna dengan muamalah yang baik.

Mendengar kata-kata bijak dari Imam Ja’far Ash-Shadiq, Syekh Daud At-Tha’i meneteskan air mata sambil berkata, “Wahai Tuhan, ini adalah suatu keajaiban. Meskipun beliau memiliki hubungan dengan Nabi, beliau adalah seorang ahli argumen, cucu Rasulullah, dan keturunan dari Fatimah Az-Zahra. Siapakah saya? Saya tidak pantas untuk membanggakan amal saya”.

Syekh Fariduddin Attar menambahkan bahwa suatu kali Imam Ja’far Ash-Shadiq berkumpul bersama teman-teman dan budak-budaknya. Salah satu dari mereka berkomentar, “Wahai keturunan Rasulullah, kami akan membutuhkan syafaatmu di hari kemudian, karena saudaramu akan memberikan syafaat di hari Kiamat”. Imam Ja’far Ash-Shadiq menjawab:

إني لأستحي من جدي أن أنظر اليه يوم القيامة مع هذه الأعمال

Artinya: Sesungguhnya aku sangat malu pada kakekku (Rosulullah) jika aku melihat beliau nanti dihari kiamat, sedangkan amalku masih seperti ini.

Hikmah yang dapat kita petik dari ucapan bijak Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah bahwa kita tidak seharusnya membanggakan latar belakang keturunan kita. Kedepannya, yang mampu menyelamatkan kita adalah amal perbuatan kita, bukan asal-usul keturunan kita. Mereka yang terlalu memperhatikan keturunan cenderung lamban dalam beramal dan berbuat kebaikan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pesan moral dari Imam Ja’far Ash-Shadiq mengajarkan bahwa kemuliaan tidaklah terletak pada asal-usul keturunan. Wallahu A’lam Bissawab.”

BINCANG SYARIAH

Ada Kemudahan

Bismillah.

Segala puji dan syukur sudah sepantasnya kita tujukan kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang Allah berikan kepada kita. Betapa besar kebutuhan kita sebagai manusia kepada Allah dan ibadah kepada-Nya. Tidak ada satu pun kebaikan melainkan Allah yang menguasainya, dan tidak pula tertolak marabahaya kecuali dengan pertolongan dan bantuan-Nya.

Musibah pandemi yang kini melanda manusia beberapa bulan lamanya benar-benar mengingatkan kita tentang kecil dan lemahnya kekuatan manusia di hadapan kebesaran dan kekuasaan Allah Rabb penguasa alam semesta. Meskipun demikian, bagi seorang mukmin maka musibah itu adalah ladang pahala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Apabila menimpa padanya kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Musibah bukan saja menjadi ladang pahala bagi mereka yang bersabar menghadapinya. Akan tetapi, musibah juga mengingatkan manusia akan dosa-dosa yang telah dilakukan. Karena tidaklah turun bala dan malapetaka kecuali disebabkan dosa-dosa umat manusia. Sebagaimana hal itu pernah dinasihatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Ini menuntut kita sebagai hamba untuk selalu menyadari dosa dan kekurangan kita dalam menghamba kepada Allah. 

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; menelaah aib pada diri dan amal perbuatan. Seperti terukir dalam untaian doa sayyidul istighfar yang diajarkan kepada kita. Penggalan doa itu berbunyi ‘wa abuu’u bi dzanbii, faghfirlii’ artinya, “Dan aku pun mengakui atas dosa-dosaku. Maka ampunilah diriku..”

Seorang hamba betapa pun tinggi kedudukan dan prestasi yang dapat dia gapai, sesungguhnya ia adalah lemah dan fakir senantiasa butuh kepada bantuan dan bimbingan Allah; Dzat yang menciptakan dirinya dan segenap alam ini. Lihatlah keadaan manusia yang telah menggantungkan hatinya kepada selain Allah. Mereka justru terjebak dalam kebingungan dan kesengsaraan. Karena selain Allah tidak menguasai manfaat maupun mudharat. Padahal, bagi kaum beriman tiada tempat bergantung bagi mereka kecuali kepada Rabbnya. Sebagaimana karakter orang-orang yang masuk surga tanpa hisab adalah, 

وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Mereka bertawakal hanya kepada Rabbnya.” (HR. Bukhari)

Dalam kondisi musibah dan kesulitan semacam ini, seorang muslim ditempa kesabaran dan tawakalnya kepada Allah. Dengan kesabaran dia akan mendapatkan pertolongan. Dengan tawakal kepada Allah maka dia akan mendapatkan kecukupan. Tawakal mengandung sikap berserah diri kepada Allah dan tidak bergantung hati kepada sebab yang ditempuh. 

Ketika menerangkan hadits tentang orang yang masuk surga tanpa hisab, Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah menjelaskan maksud dari tawakal :

يفوضون أمورهم جميعها، دقيقها وجليلها إلى الله -جل وعلا-، وليس معنى هذا أنهم يعطلون الأسباب؛ لأن الأسباب لا تنافي التوكل، لكن لا يلتفتون إلى هذه الأسباب بما يخدش التوكل.

“Artinya, mereka menyerahkan urusan mereka semua; yang kecil maupun yang besar kepada Allah. Dan ini bukan berarti mereka meninggalkan sebab (usaha). Karena sebab tidak bertentangan dengan tawakal. Akan tetapi maksudnya adalah mereka tidak menoleh (menyandarkan hati) kepada sebab ini yang akan bisa merusak tawakkal.” (Simak Syarh Kitab at-Tauhid oleh beliau)

Inilah kiranya yang perlu untuk kita asah dan kita murnikan kembali. Sejauh mana hati kita bergantung kepada Allah dan tidak bersandar kepada selain-Nya. Disinilah keimanan kita diuji. Disinilah penghambaan seorang dinilai dan diukur. Jangan-jangan selama ini kita telah mengangkat makhluk yang lemah sebagai tempat bergantungnya hati dan sesembahan tandingan tanpa kita sadari. Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita selama ini

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Referensi :

Website Syaikh Abdul Karim al-Khudhair 

https://shkhudheir.com/scientific-lesson/1369830554

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/57904-ada-kemudahan.html

Mengenal Tuma’ninah dalam Salat Agar Ibadahmu Makin Khusyuk!

Tuma’ninah atau ketenangan dalam salat menjadi hal yang sangat penting ketika kita sedang beribadah kepada Allah. Tidak hanya terkait keabsahan ibadah kita secara fikih, namun tuma’ninah juga menjadi salah satu hal yang penting apabila kita ingin meraih kekhusyukan dalam salat. 

Apakah pengertian tuma’ninah menurut para ulama, dan bagaimana caranya agar kita dapat melaksanakan tuma’ninah dalam salat? Baca lebih lanjut artikel ini yuk biar kamu tahu ilmunya!

Arti Tuma’ninah

Sebelum membahas lebih lanjut, kita pahami dulu yuk pengertian tuma’ninah! Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tuma’ninah didefinisikan sebagai: 

Tenang atau tidak bergerak setiap mengganti gerakan salat

Bagaimanakah pengertian dari tuma’ninah menurut para ulama? Tuma’ninah menurut syeikh Salim bin Samir Al-Hadrami dalam kitab beliau Safinatun Najah  dimaknai sebagai suatu keadaan di mana kita bersikap tenang setelah melakukan gerakan salat, dan semua anggota badan sudah diam pada tempatnya, lamanya kira-kira sepanjang durasi membaca Subhanallah. 

Hadis-hadis Rasulullah menyebutkan tentang urgensi menjaga tuma’ninah dalam salat. Salah satu hadis yang dimaksud adalah hadis dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu anhu di mana Rasulullah memberikan pengajaran kepada salah seorang sahabat terdapat kesalahan dalam salatnya:  

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk Masjid, lalu ada seorang laki-laki masuk kemudian ia shalat. Kemudian orang itu datang dan memberi salam kepada Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. menjawab salamnya dan bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat (dengan shalat yang sah)!”

Lalu orang itu kembali dan mengulangi shalat seperti semula. Kemudian ia datang menghadap kepada Nabi Saw. sambil memberi salam kepada beliau. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Wa’alaikas Salaam” Kemudian beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu karena kamu belum shalat!”

Sehingga ia mengulang sampai tiga kali. Maka laki-laki itu berkata, “Demi Dzat yang mengutus Anda dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari shalat seperti ini, maka ajarilah aku.”

Rasulullah kemudian bersabda, “Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al Quran yang mudah bagi Anda. 

Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tuma’ninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak. 

Setelah itu, sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tuma’ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tuma’ninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud. 

Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Apakah Tuma’ninah suatu kewajiban dalam salat? 

Apakah melakukan gerakan salat dengan tuma’ninah termasuk sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, dan apabila tidak kita laksanakan maka salat kita tidak sah? 

Menurut jumhur atau mayoritas ulama, termasuk ulama dari mazhab Syafi’i, tuma’ninah adalah rukun salat yang harus dilakukan setiap kali kita melakukan salat. Hal ini terutama dalam empat rukun salat, yaitu rukuk, iktidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud. 

Dalil wajibnya melakukan salat dengan tuma’ninah adalah hadis di atas, di mana Rasulullah sampai memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi salat selama beberapa kali. 

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah memberikan peringatan keras kepada orang yang tidak melakukan gerakan-gerakan salat dengan sempurna sebagai seburuk-buruk pencuri. 

Dengan demikian, menjaga kesempurnaan gerakan salat, salah satunya dengan bersikap tenang dan menjaga tuma’ninah, adalah sesuatu yang harus selalu kita upayakan agar salat kita sah dan bernilai kebaikan. 

Tata Cara melakukan gerakan salat dengan tuma’ninah 

Untuk menjaga tumakinah, bagaimana seharusnya kita melakukan gerakan-gerakan salat? Berikut penjelasannya menurut beberapa sumber!

Cara rukuk dengan tenang

  1. Posisi minimal orang melakukan rukuk adalah membungkuk hingga setidaknya kedua telapak tangan sampai di atas kedua lutut, adapun posisi rukuk yang sempurna adalah dengan membungkuk sehingga posisi punggung dan leher sejajar, datar dan tidak melengkung. 
  2. Yang perlu kita perhatikan adalah ketika kita rukuk, kita harus membungkuk dengan niat melakukan rukuk, tidak untuk niat yang lain. Misalnya seseorang telah selesai membaca Al-Fatihah, lantas merasakan gatal di lututnya, dan dia merunduk untuk menggaruknya. Apabila dalam posisi ini dia berniat untuk sekalian melaksanakan rukuk, maka rukuknya tidak sah. 
  3. Tubuhnya yang merunduk itu harus tenang dan diam minimal sepanjang durasi kalimat tasbih. 

Cara iktidal dengan tenang

  1. Bangunnya seseorang dalam rukuk ketika melakukan iktidal tidak boleh diniatkan untuk tujuan lain selain iktidal, sebagaimana penjelasan dalam contoh kasus rukuk di atas. 
  2. Posisi tubuh tegak berdiri selama durasi mengucapkan tasbih. 
  3. Iktidal tidak dilakukan tidak boleh lebih lama dari lamanya berdiri ketika membaca surah Al-Fatihah.  

Cara sujud dengan tenang

  1. Sujud di atas tujuh anggota badan, yakni kening, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki.
  2. Kening tidak boleh tertutup ketika sujud kecuali ada uzur, seperti dililit perban yang membahayakan jika dilepas. 
  3. Tidak boleh bersujud di atas sesuatu yang ikut bergerak seiring gerakan orang yang salat, contohnya bersujud di atas ujung serban yang menjuntai ke lantai. 
  4. Bertumpu di atas kepala ketika sujud. 
  5. Posisi bagian tubuh bagian bawah harus lebih tinggi, tidak boleh sejajar atau lebih rendah dari posisi bagian tubuh atas. 
  6. Gerakan sujud tersebut tidak boleh diniatkan untuk selain melakukan sujud. 
  7. Bersikap tenang, dan semua anggota tubuh diam sepanjang durasi orang membaca tasbih.    

Cara duduk di antara kedua sujud dengan tenang

  1. Gerakan duduk di antara dua sujud tidak boleh diniatkan untuk selain duduk di antara dua sujud. 
  2. Disunahkan untuk melakukan duduk iftirasy, yaitu duduk di atas mata kaki sebelah kiri hingga telapak kaki kiri menyentuh lantai serta telapak kaki sebelah kanan tegak dan jari-jari menghadap kiblat. 
  3. Disunnahkan untuk mengucapkan takbir ketika duduk di antara dua sujud. 
  4. Disunnahkan meletakkan tangan di atas kedua paha sejajar dengan lutut, dengan jari-jari menghadap kiblat. 
  5. Tuma’ninah, yaitu diam dengan seluruh anggota tubuh tenang ketika melaksanakan duduk di antara dua sujud setelah bangkit dari sujud pertama, dengan durasi sepanjang bacaan tasbih. 

Demikian penjelasan tentang tuma’ninah. Yuk kita biasakan melaksanakan salat dengan tuma’ninah agar dapat meraih kekhusyukan dan ketenangan yang akan menginspirasi hidup kita untuk senantiasa ingat kepadaNya. 

Untuk bantu kekhusyukan kamu dan mudahkan kamu untuk selalu mengingat pesan-pesan kebaikan, yuk download aplikasi Hijra Bank. Selain layanan perbankan sesuai syariah yang Insyaallah berkah, kamu juga bisa dapatkan inspirasi melalui fitur-fitur Islami seperti kajian dan kutipan-kutipan penuh makna untuk bantu perjalanan hijrahmu mendekat kepadaNya. 

HIJRA ID

Berdoa dan Berserah Diri

UNTUK apa kita berdoa? Bukankah dengan demikian, kita tidak pasrah dan tak sanggup menerima takdir yang sudah digariskan Tuhan? Bukankah sebagian sufi menyatakan, bahwa rela terhadap takdir Tuhan justru lebih utama, ketimbang kita melawan ketetapan sang waktu?

Dalam aktivitas berdoa, tersirat adanya keangkuhan lantaran seorang hamba menuntut disegerakan “takdir kebaikan” untuknya. Doa yang seharusnya merupakan wujud penghambaan, kemudian menjelma menjadi penentangan terhadap iradah dan ketentuan Tuhan. Barangkali di situlah alasan sebagian berpendapat, bahwa diam dan rela dengan takdir yang telah digariskan lebih utama ketimbang manusia menyibukkan diri dengan berdoa dan meminta pada Tuhan.

Sementara itu, Abul Qasim bin al-Qusyairi menegaskan dalam kata-katanya yang bersayap: “Doa adalah etika penghambaan pada waktu tertentu. Dalam kondisi yang lain, bisa jadi diam lebih baik daripada berdoa. Karena, setiap kondisi dapat diketahui oleh seorang hamba yang berhubungan langsung dengan Tuhannya. Dalam setiap kondisi, ketika seorang hamba memiliki isyarat untuk berdoa, sebaiknya ia berdoa dengan khusyuk. Akan tetapi, ketika kondisi lain ia mendapat isyarat untuk diam, lebih baik ia memilih diam.”

Al-Qusyairi menjelaskan secara mendetil, bahwa ketika kita punya obsesi yang didorong oleh kepentingan nafsu pribadi, lebih baik kita memilih diam dan tak usah berdoa. Tapi, jika di dalam hati terbersit hak Tuhan sebagai tujuan untuk berdoa, maka sebaiknya kita berdoa. Dengan demikian, terkandung kesenyawaan antara niat, doa dan kepentingan yang dituju oleh si pemohon dan pendoa.

Suatu kali, saudagar kaya-raya Abdurrahman bin Auf berdoa, agar dirinya dimiskinkan oleh Allah Swt. Karena, ia merasa khawatir dengan kekayaan yang melimpah justru akan mempersulitnya menyeberangi tangga-tangga hisab yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Tetapi kemudian, apakah doa agar dimiskinkan itu diijabah oleh Allah? Justru tak lama kemudian, Allah menambah dan menambah kembali kekayaan dunia yang dimiliki sahabat Nabi tersebut.

Rupanya dulu ia pernah memiliki tekad, bahwa jika Allah memberinya kekayaan yang melimpah, ia berjanji pada dirinya untuk menanggung biaya dan kesejahteraan hidup bagi mantan istri-istri Rasulullah setelah beliau wafat. Jadi, Allah Maha Tahu kepentingan dan kebutuhan hidup bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa, ketimbang si hamba itu sendiri. Di sini, terdapat konteks yang harmoni dengan petuah Al-Qusyairi di atas, bahwa berdoa maupun tidak, tetap Allah akan menambahkan pundi-pundi kekayaan Abdurrahman bin Auf, lantaran kebutuhan hidup yang melimpah, serta karakteristiknya yang betul-betul amanah.

Dari perspektif umum, aktivitas berdoa identik dengan pengukuhan ketidakmampuan diri serta kebutuhan seorang hamba akan Tuhannya. Ia menetapkan bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah, sebagai implementasi kalimat tauhid. Namun di sisi lain, misalnya dalam kasus Abdurrahman bin Auf tadi menunjukkan, bahwa berdoa pada suasana hati yang tidak tepat, dapat membawa hamba pada suatu perasaan yang keliru dalam menyikapi kehendak Tuhannya.

Dalam hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah menyatakan bahwa doa adalah inti dari ibadah (mukhul ibadah). Ia laksana pedang bagi seorang mukmin yang dapat menembus perisai takdir kehidupan. Sebagian ulama juga menerjemahkan makna “salat” sebagai aktivitas berdoa. Begitu pentingnya doa dalam menjalin hubungan hamba kepada Tuhannya, hingga setiap ajaran agama yang berkaitan dengan ibadah ketauhidan memiliki esensi yang sama, yakni aktivitas berdoa.

Kita mengenal tabiat Nabi Ibrahim, sebagai nabi yang banyak berdoa, tetapi seperti dikisahkan dalam Tafsir at-Thabari, di saat-saat menentukan ketika ia harus pasrah pada ketentuan Allah, Nabi Ibrahim justru memilih diam. Karena baginya, hanya Allah-lah Yang Maha Tahu keputusan apapun yang akan diberikan kepadanya.

Ketika api unggun besar itu berkobar-kobar, dan saatnya Ibrahim akan dilemparkan ke tengah bara api, Malaikat Jibril menampakkan diri seraya menawarkan, “Apa yang bisa aku bantu, wahai Ibrahim.”

“Jika kepadamu, aku tak butuh bantuan,” jawab Ibrahim dengan tenang.

“Lalu, kepada siapa kau butuh bantuan?”

“Cukuplah Allah yang menjadi Penolong bagiku.”

Ternyata dalam keadaan mendesak, Nabi Ibrahim justru memilih untuk tidak berdoa, melainkan berpasrah sepenuhnya pada ketentuan Allah Swt. Hanya Dia Yang Tahu segalanya, dan hanya Dia Yang berhak menolong hamba-hamba yang perlu ditolong dan dikasihi-Nya. Tak ada kekuatan apapun, baik jutaan jin dan manusia yang sanggup menghentikan keputusan-Nya. Juga tak ada kekuatan apapun yang bisa menolong dan memuluskan rencana seorang hamba, jika Allah menolak dan menghentikannya.

Terkait dengan ini, seringkali diperingatkan dalam Alquran, bagi hamba-hamba yang beriman, hendaknya memperbanyak rasa syukur yang dipanjatkan kepada Allah Swt. Sebab, banyak orang yang giat berdoa di kala jatuh dan terpuruk, namun mereka lupa untuk mensyukuri nikmat di kala makmur dan lapang. Mereka semestinya menyadari, bahwa anugerah hidup adalah nikmat yang harus disyukuri. Sebab, dengan rasa syukur, Allah menjamin kenikmatan hidup (rizki) akan senantiasa ditambah dan ditambah terus.

Sedangkan, kesibukan menggiatkan doa, belum tentu diijabah oleh Allah, lantaran diselubungi oleh hijab (dosa-dosa) yang sering dilakukan manusia. Untuk itu, jika pun doa itu dipentingkan dan diutamakan, hendaknya seorang hamba (terlebih di era hiper modern ini) lebih memperbanyak istighfar agar diampuni dulu dosa-dosa yang menimbun, barulah hijab untuk dibukannya doa-doa akan terkabulkan.

“Kenapa sedikit sekali manusia bersyukur?” (qalilamma tasykurun). Teguran yang berkali-kali disampaikan Tuhan itu hendaknya diindahkan. Dengan kata lain, manusia seringkali rewel dalam meminta dan berdoa (tangan di bawah) tetapi sedikit sekali memberi dan memuji kebesaran Tuhan (tangan di atas). Kita seringkali ingin banyak diberi oleh Allah, tetapi sedikit sekali memberi untuk fakir-miskin, beristighfar, juga sedikit sekali memuji dan membesarkan keagungan Allah.

Bukankah rizki sebanyak apapun takkan terasa kenikmatannya jika tidak disyukuri? Bahkan, Ali bin Abi Thalib, sahabat dan menantu Rasulullah pernah menandaskan bahwa kualitas salat yang baik justru sebagai manifestasi rasa syukur. Jadi, mensyukuri nikmat Allah identik dengan ibadah yang paling berkualitas.

Sebagai penutup, ingin saya tegaskan, bahwa para kandidat Presiden RI yang akan melenggang di ajang kontestasi pemilu 2024, hendaknya memperbanyak rasa syukur hingga Allah berwenang memberi kekuasaan kepada figur yang terbaik menurut kehendak-Nya. Rakyat Indonesia hendaknya bukan hanya menyibukkan diri berdoa agar kandidatnya terpilih, tetapi juga memperbanyak rasa syukur.

Meskipun secara ekonomi sangat terbatas. Kita tak memiliki saldo miliaran di ATM dan rekening, tetapi untuk apa uang satu-dua miliar, jika pengeluaran hidup kita bernilai puluhan miliar? Mampukah kita membeli jantung, pankreas, dan hati anak-anak kita jika harus dioperasi dan ditransplantasi? Mampukah kita membeli ketenangan dan ketentraman hidup, jika Allah menentukan diri kita sakit, terpuruk dan terhinakan?

Untuk apa para kandidat dan calon penguasa itu sibuk wara-wiri bersandar pada kekuatan makhluk dan tuhan-tuhan palsu (dukun dan orang pintar)? Selalu saja mereka mementingkan yang instan, lalu melupakan bahwa hanya Allah Yang Memberi pertolongan lahir dan batin? Ya, hanya Dia Yang Berwenang mengangkat hamba-hamba-Nya di tampuk kekuasaan? Bahkan, Dia pula Yang Berwenang memuliakan dan melanggengkan kedudukan, juga Yang Menentukan siapapun dari mereka, yang akhirnya terjengkang dari kursi kekuasaan.

Lalu, kepada tuhan yang mana lagi kalian hendak meminta pertolongan? []

ISLAMPOS

5 Pondasi Tauhid Menurut Syekh Ali Al-Husri

Artikel ini akan menjelaskan lima pondasi atau dasar-dasar ilmu tauhid menurut Syekh Ali Al-Husri. Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Ali bin Ibrahim Al-Husri. Beliau adalah ulama sunni yang hidup di abad ke empat Hijriah, dilahirkan di kota Basrah dan pindah ke kota Baghdad. Meninggal di kota Baghdad pada tahun 371 Hijriah.

Syekh Fariduddin Attar dalam karyanya Tadzkiratul Auliya’ Juz II, halaman 719, mengutip ungkapan Syekh Ali Al-Husri terkait pondasi atau dasar-dasar ilmu tauhid. Adapun kutipannya tertera sebagai berikut:

أصول التوحيد خمسة أشياء: رفع الحدث، وثبات القدم، والمهاجرة عن الوطن، والمفارقة عن الإخوان، ونسيان ما تعلم وما لا تعلم

Artinya: Dasar tauhid itu ada lima perkara, yaitu, menghilangkan hadas, menetapkan langkah, hijrah dari tanah air, berpisah dari saudara, dan melupakan apa yang telah kamu ketahui maupun apa yang belum kamu ketahui.

Ungkapan Syekh Ali Al-Husri yang telah disebutkan di atas, dikomentari oleh Syekh Fariduddin Attar. Adapun komentar dari Syekh Fariduddin Attar terperinci sebagai berikut:

Pertama, suci dari hadas. Hadas terbagi menjadi dua bagian, hadas kecil dan hadas besar. Yang dimaksud dengan hadas kecil adalah menjauhi dari perbuatan-perbuatan dosa kecil. Sedangkan yang dimaksud hadas besar adalah menjauhi dari dosa besar seperti, kekafiran, kesyirikan dan kemunafikan.

Kedua, menetapkan langkah. Artinya bersabar dan berusaha menjauhi larangan Allah, supaya tidak terjerumus kepada dosa kecil atau dosa besar.

Ketiga, hijrah dari tanah air. Artinya hijrah dari mencintai gemerlapnya kemewahan harta benda, kepada memikirkan dan mengamalkan urusan ukhrawi (urusan akhirat) Karena yang hidup di dunia ini, pasti akan kembali menghadap kepada Allah. 

Keempat, berpisah dari saudara. Artinya menyendiri atau uzlah untuk menghindari fitnah dan kejelekan orang lain. kesendirian lebih tenang dan lebih tentram untuk menjalankan berbagai kegiatan ibadah dan pengabdian kepada Allah. Berbeda dengan orang yang suka bergaul, ia tidak akan sempat melakukan berbagai kegiatan ibadah, karena ia disibukkan dengan berbagai urusan atau masalah.

Kelima, melupakan apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui. Artinya harus percaya kepada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Bahwa apa yang telah terjadi dan belum terjadi, itu semua karena qada’ dan qadar Allah, yang terpenting terus berdoa dan berusaha, pasrahkan semua yang terjadi atau yang belum terjadi kepada Allah.

Demikian penjelasan terkait 5 pondasi tauhid menurut Syekh Ali Al-Husri. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT Menurut Fatwa Ulama?

Pertanyaan:

Saya tinggal di Kanada bersama suami. Saya berinteraksi dengan nonmuslim dengan lemah lembut sebagaimana yang Allah perintahkan, dengan harapan agar mereka mendapatkan pemahaman yang benar tentang Islam dan ajarannya. Namun, seperti yang Anda ketahui, di sini jumlah orang LGBT meningkat –wal’iyadzu billah– dan pernikahan mereka adalah sah menurut hukum (yang berlaku di Kanada -pen.). Ketika saya bertemu dengan orang-orang seperti mereka, saya tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan mereka. Saya takut jika saya berinteraksi dengan lemah lembut, maka akan dipahami bahwa saya mendukung tindakan keji mereka. Namun jika saya berinteraksi dengan keras, mereka akan memiliki persepsi yang salah tentang Islam dan umat muslim. Mohon nasihat Anda tentang cara berinteraksi dengan mereka jika saya harus bekerja bersama mereka di satu tempat, sebagai contoh?”

Jawaban:

Anda telah berupaya bermuamalah dan bersikap baik dan menampilkan citra yang benar tentang Islam kepada mereka. Adapun yang kami sarankan kepada Anda tentang orang-orang homoseksual dan orang-orang kafir lainnya adalah berusaha untuk membimbing mereka agar masuk dalam agama Islam terlebih dahulu. Karena tauhid (keyakinan kepada keesaan Allah) adalah hal terpenting yang harus didakwahi, seperti dalam hadis-hadis sahih yang menyebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berkata kepadanya,

فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله

‘Hendaknya yang pertama kali engkau ajak mereka adalah untuk bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.’

Dan dalam riwayat Bukhari,

فليكن أول ما تدعوهم إليه أن يوحدوا الله

“Hendaknya yang pertama kali engkau ajak mereka adalah untuk menyembah Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.’ (Muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu)

Tidak masalah untuk menjelaskan kepada mereka tentang bahaya perilaku yang buruk ini dan bagaimana perilaku tersebut bertentangan dengan fitrah (sifat bawaan manusia), serta memperingatkan mereka darinya. Juga, penting untuk menjelaskan kepada mereka tentang pentingnya pernikahan yang sesuai dengan fitrah. Wallahu a’lam

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

https://www.islamweb.net

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86830-bermuamalah-dengan-kaum-lgbt.html

Empat Kiat agar Hidup Tenang

بسم الله , الحمد لله، والصلاة والسلام على رسوله، نبينا محمد وآله وصحبه

Manusia hidup di dunia tidak akan pernah terlepas dari musibah. Banyak hal yang terjadi di luar keinginan dan harapan manusia. Segala usaha dan rencana yang telah dilakukan bukan jaminan akan terwujud sebagaimana mestinya. Kehidupan ini Allah ciptakan penuh dengan kesulitan-kesulitan yang harus dilalui. Himpitan ekonomi, pasangan yang zalim, putus kerja, dikhianati teman, utang yang tidak dibayar, dan bermacam-macam bentuk kepahitan hidup yang setiap orang pernah merasakannya. Maka, tidak akan ada yang bisa menghadapi segala ketetapan takdir tersebut dengan tenang, kecuali dia memiliki kekuatan hati dalam meyakini beberapa perkara di bawah ini.

Segala sesuatu, baik suka atau duka, terjadi dengan takdir Allah

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun: 11)

Makna “kecuali dengan izin Allah” adalah atas qada dan qadar Allah. (Tafsir Ath-Thabari)

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.” Maksudnya adalah barangsiapa yang yakin dan percaya pada Allah, maka dia akan paham bahwa tidak ada satu pun musibah yang menimpanya, kecuali atas izin Allah. Oleh karena itu, Allah beri petunjuk hatinya. (Tafsir Qurthubi)

‘Alqamah rahimahullah ditanya tentang ayat tersebut, beliau berkata,

الرَّجُل تُصِيبهُ الْمُصِيبَة فَيَعْلَم أَنَّهَا مِنْ عِنْد اللَّه فَيَرْضَى وَيُسَلِّم

Seseorang yang ditimpa musibah, kemudian dia menyadari bahwa musibah ini datang dari sisi Allah, lalu dia rida dan menerimanya.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Dari Ali bin Abi Thalhah, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

يَهْدِ قَلْبه لِلْيَقِينِ فَيَعْلَم أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَمَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ

Allah beri petunjuk hatinya untuk yakin. Sehingga dia paham bahwa apa saja yang akan menimpanya, tidak akan luput. Dan apa yang luput darinya tidak pernah menimpanya.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Maka, orang yang ditimpa berbagai macam musibah atau segala sesuatu yang tidak disenangi, sesuatu yang berat, kesulitan, kegundahan, dia akan senantiasa tenang jika dia yakin semua datang dari sisi Allah. Dengan keyakinannya tersebut, Allah tuntun hatinya untuk menyadari bahwa takdir yang telah ditetapkan tidak akan pernah meleset. Pasti akan menimpanya walau dia mencoba menghindarinya.

Allah akhiri ayat tersebut dengan, “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”, untuk menegaskan bahwa musibah tersebut diturunkan oleh Zat yang paling mengetahui kadar musibah dan mengetahui kondisi manusia yang menerima musibah. Sehingga ketetapan tersebut sangat terukur dan presisi. Semuanya pas, tidak akan kurang atau lebih.

Dalil kedua adalah firman Allah,

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhulmahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS Al-Hadid: 22)

Makna مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا, yaitu قَبْل أَنْ خَلَقَهَا مِن artinya ‘sebelum Allah menciptakan bumi dan manusia‘. (Tafsir Ath-Thabari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قَدَّرَ اللَّه الْمَقَادِير قَبْل أَنْ يَخْلُق السَّمَوَات وَالْأَرْض بِخَمْسِينَ أَلْف سَنَة

Allah telah menakdirkan ketetapan-ketetapan 50.000 tahun sebelum Dia ciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim)

Ketika seseorang meyakini hal tersebut, maka hatinya akan tenang. Karena semua itu adalah ketetapan Penciptanya yang Mahaadil sejak 50.000 tahun sebelum segala sesuatu di alam ini ada. Apa yang hendak dikhawatirkan atas segala rencana-Nya? Dia yang mencipta apa yang Dia kehendaki. Dialah Yang Mahatahu dan Mahaadil.

Setelah kesulitan pasti ada kemudahan

Dalil pertama adalah firman Allah,

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 5-6)

Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Kepastian adanya kemudahan disampaikan dalam ayat di atas dalam 4 sisi:

Pertama: Allah awali ayat dengan إنَّ (inna) yang artinya “sesungguhnya”, yang memiliki makna penekanan. Artinya, benar-benar setelah kesulitan pasti ada kemudahan.

Kedua: Allah mengulangi 2 kali yang juga menunjukkan penekanan.

Ketiga: Allah sebutkan kesulitan sekali, adapun kemudahan dua kali. Dan satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan. Sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لن يغلب عسر يسرين, artinya ‘satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan‘.

Bagaimana bisa kesulitan hanya disebut sekali? Sedangkan dalam ayat disebut dua kali. Maka, dalam kaidah bahasa Arab, kesulitan العسر, disebut dalam bentuk ma’rifat atau kata benda definitif. Sedangkan kemudahan يُسْرًا dalam bentuk nakirah atau umum. Sehingga maknanya, kesulitan pada ayat 5 dan 6 itu sama, sedangkan kemudahan yang datang setelahnya akan datang dalam kemudahan-kemudahan yang berbeda.

Keempat: Allah gunakan kata مَعَ (bersama), yang artinya sangat dekat. Kedekatan itu seperti kata Ibnu Ma’sud radhiyallahu ‘anhu,

والذي نفسي بيده ، لو كان العسر في حجر ، لطلبه اليسر حتى يدخل عليه

Demi Zat yang jiwaku di genggaman-Nya, seandainya kesulitan itu ada di suatu lubang, sungguh kemudahan akan mencarinya dan masuk ke dalamnya.” (Tafsir Al-Qurthubi)

Maka, setiap kesulitan dan kehimpitan hidup yang dirasakan seseorang dalam hidup ini datang pula bersamanya kemudahan. Kesulitan akan selalu beriringan dengan kemudahan setelahnya. Keyakinan akan hal ini akan menenangkan jiwa. Menentramkan setiap orang yang dilanda kesulitan karena selalu ada harapan indah setelah kesulitan.

Dalil kedua adalah firman Allah,

سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا

Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Al-Hadid: 7)

Ayat ini menunjukkan kemudahan itu sangat dekat dengan kesempitan. Tidak lama setelah kesulitan tersebut pasti ada kemudahan. Syaratnya, dia harus senantiasa bertakwa kepada Allah, tidak boleh bermaksiat. Tidak boleh mencela takdir, berkeluh kesah, tidak rida, lalai dari berzikir. Karena jalan keluar itu Allah kaitkan dengan ketakwaan, Allah berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. Al-Hadid: 2)

Sebagaimana sebab turunnya surah Asy-Syarh ayat 5-6 berkenaan dengan kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat menghadapi kaum musyrikin di Makkah, kondisi yang sangat sulit. Namun, Allah berikan kemenangan dakwah beliau setelah kesulitan tersebut. Dan Rasulullah senantiasa bertakwa dan berserah diri pada Allah di tengah kesulitan tersebut.

Baca juga: Ilmu Bekal Hidup Bahagia

Tidak ada yang bisa mengangkat musibah, kecuali Allah

Ada beberapa solusi agar musibah segera diangkat oleh Allah, di antaranya,

Bertobat

Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu berkata,

ما نزل بلاء إلا بذنب، ولا رفع إلا بتوبة

Tidaklah musibah turun, kecuali disebabkan dosa. Tidak akan diangkat, kecuali dengan tobat.”

Musibah datang bisa bertujuan 2 hal: pertama, ujian keimanan; kedua, menghapus dosa. Yang pertama adalah musibah yang diturunkan kepada rasul dan para nabi. Adapun kita adalah yang kedua. Kita adalah manusia yang tidak luput dari dosa. Sedangkan musibah erat kaitannya dengan dosa yang dilakukan manusia. Allah berfirman,

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)

Meningkatkan ketakwaan

Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hadid,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا

Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. Al-Hadid: 2)

Ketika ditimpa masalah, yang perlu dilakukan adalah bertakwa pada Allah. Jangan melakukan pelanggaran-pelanggaran syariat, jangan maksiat, jangan pilih jalan-jalan maksiat dalam mencari jalan keluar masalah. Minum khamar, menggunakan obat-obatan terlarang, keluh kesah di medsos, meninggalkan salat dan lainnya. Karena jalan keluar itu ada ketika seseorang bertakwa.

Rezeki seluruh makhluk berada di tangan Allah

Sebagaimana ajal yang ada di tangan Allah, maka rezeki manusia juga demikian. Seluruhnya berasal dari sisi Allah. Dalil hal ini sangat banyak, di antaranya,

قُلْ اِنَّ رَبِّيْ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ࣖ

Katakanlah, ‘Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya (bagi siapa yang Dia kehendaki), tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. As-Saba: 36)

اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ

Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58)

Namun, jangan pernah menyempitkan makna rezeki. Rezeki tidak selalu dimaknai dengan kekayaan, harta, perhiasan, atau jabatan. Karena rezeki ada dua macam sebagaimana perkataan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,

والرزق يعم كل ما ينتفع به المرتزق ؛ فالإنسان يرزق الطعام والشراب واللباس ، وما ينتفع بسمعه وبصره وشمه .

ويرزق ما ينتفع به باطنه من علم وإيمان وفرح وسرور وقوة ونور وتأييد وغير ذلك

Rezeki mencakup seluruh hal yang bermanfaat untuk penerima rezeki. Seorang manusia diberi rezeki berupa makanan, minuman, pakaian, dan segala hal yang bermanfaat dengan (menggunakan) pendengarannya, penglihatannya, dan penciumannya. (Ini rezeki yang pertama, pent).

Dan diberi rezeki juga yang bermanfaat bagi batinnya berupa ilmu, iman, kegembiraan, kekuatan, cahaya, dukungan, dan lainnya. (Ini rezeki yang kedua).” (Majmu’ Fatawa, 10: 555).

Sehingga rezeki tidak selalu berbicara tentang harta, mobil mewah, rumah yang megah, jabatan yang tinggi, atau gaji yang besar. Akan tetapi, rezeki bisa berupa ilmu yang bermanfaat, keimanan yang kuat, salat lima waktu di masjid, kelapangan waktu sehingga dapat berkumpul bersama keluarga, kemudahan dalam setiap masalah dan bentuk rezeki lainnya.

Semuanya rezeki ada di tangan Allah. Diraih dengan ikhtiar. Salah satunya dengan doa sebagaimana doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

Ya Allah sesungguhnya aku memohon ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima.” (HR. Ibnu Majah)

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP, FIHA

Sumber:

Materi dirangkum dan di-takhrij dengan sedikit penambahan dari kajian yang disampaikan oleh Ustaz Dr. Firanda Andirja, MA : https://www.youtube.com/watch?v=F3bGC3USXVA

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86832-kiat-agar-hidup-tenang.html

Memahami Sifat Allah Wahdaniyat

Salah satu sifat Allah swt yang harus diketahui dan diimani oleh umat Islam adalah sifat Wahdaniyat. Sifat Wahdaniyat termasuk salah satu dari kelima sifat Salbiyah, yang artinya sifat ini hanya dimiliki oleh Allah swt dan tidak di dapat pada selain Allah swt. Adapun dasar dari sifat ini ialah surat al Ikhlash ayat 1 yang berbunyi:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ

Artinya: “Katakanlah, dia adalah Allah yang esa” (QS. Al Ikhlash: 1)

Dari segi bahasa, Wahdaniyat memiliki makna tunggal, esa atau satu sebagaimana dipahami dari ayat tersebut. Keesaan Allah swt dalam hal ini meliputi kepada seluruh yang berkaitan dengan Allah swt, mulai dzat, sifat dan af’alnya. Syeikh Abu Hasan Al Shafaqisi di dalam kitab Taqribul Ba’id berkata:

فَالْوَحْدَةُ فِي حَقِّهِ تَعَالَى عِبَارَةٌ عَنْ نَفْيِ الْكَثْرَةِ فِي الذَّاتِ وَالصِّفَاتِ وَالْأَفْعَالِ

Artinya: “Keesaan pada hak Allah ta’ala merupakan ungkapan kepada ketidak adaan banya pada dzatnya, sifatnya dan af’alnya”

Yang dimaksud dengan esa dalam aspek dzat yaitu Allah swt tidak terbentuk dari beberapa elemen sebagaimana makhluknya. Allah swt maha suci dari terbentuk dari susunan beberapa komponen. Hal ini tidak sama dengan keesaan makhluk seperti manusia. Sekalipun Zaid, misal, tidak ada lagi sosok yang persisa sama dengan Zaid yang berada, tetapi Zaid tetaplah dzat yang tersusun dari beberapa komponen, seperti darah, daging, urat, tulang dan sebagainya. Maka hakikat dzat Zaid tidak lah tunggal, melainkan murokkab yang tersusun dari beberapa elemen lainnya.

Mengapa Allah swt harus Wahdaniyat ? Sebab dengan sifat wahdaniyat pada dzat Allah swt akan menolak bahwa Allah swt adalah dzat yang berjisim yang bisa dibagi-bagikan, sebagaimana diyakini kelompok Mujassimah dan Salafi Wahhabi. Abu Hasan As Shafaqisi berkata:

فَنَفْيُ الْكَثْرَةِ فِي الذَّاتِ يَسْتَلْزِمُ أَنْ لَا يَكُوْنَ جِسْمًا يَقْبَلُ الْاِنْقِسَامَ، وَيَسْتَلْزِمُ نَفْيَ نَظِيْرٍ لَهُ فِي الْأُلُوْهِيَةِ

Artinya: “Menolak sifat banyak pada dzat Allah swt akan menetapkan bahwa Allah swt tidak berjisim yang dapat dibagi-bagi. Dan akan menetapkan kepada adanya sekutu dalam sifat ketuhanan Allah swt”

Begitu juga yang dimaksud dengan tunggal dalam sifat. Artinya hanya satu-satunya Allah swt yang memiliki sifat ketuhanan, seperti sifat qudrat, iradat, qadim dan baqa’. Selain Allah swt tidak ada yang memiliki sifat-sifat seperti di atas. Oleh karena itu, seandainya ada dzat lain yang juga memiliki sifat sama dengan sifat-sifat uluhiyah Allah swt, maka Allah swt tidak lagi wahdaniyat atau tunggal dalam hal sifatnya. Dan ini mustahil terjadi.

Selanjutnya, yang dimaksud sifat tunggal dari aspek af’alnya yaitu Allah swt tidak butuh teman atau kawan dalam menciptakan sesuatu sesuai kehendaknya. Di dalam al Qur’an dijelaskan:

إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّّّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ

Artinya: “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam, yang tidak ada teman baginya” (QS. Al An’am: 162-163)

Sifat wahdaniyat dalam tiga aspek ini tidak akan muncul dalam makhluknya. Sebab itu, sifat wahdaniyat masuk ke dalam daftar sifat Salbiyah karena tidak akan ada dalam diri manusia dan makhluk lainnya.

wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH

Merdeka Itu Rangkul Perbedaan, Tolak Intoleransi, dan Lawan Radikalisme

Jalan berliku telah dilalui oleh para pendiri bangsa dalam mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Merdeka dalam berpikir dan bersikap menjadi buah manis yang kini bisa dinikmati oleh semua putra-putri Indonesia. Karena itu seluruh anak bangsa selayaknya dapat memaknai kemerdekaan dengan semangat kebersamaan yang merangkul semua perbedaan.

Mantan Ketua Umum DPP PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Dr. KH. Anwar Sanusi, SH., S.Pel., MM., menyatakan bahwa kemerdekaan yang dirayakan bangsa Indonesia adalah untuk mengingat lepasnya Indonesia dari penjajahan negara asing. Jika mengacu kepada asal katanya, “merdeka” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “mahardhika.”

“Mahardhika itu artinya merdeka, telah bebas dari pengaruh dan intervensi pihak lain. Kalau bagi Indonesia, merdeka artinya sudah bebas dari pengaruh pihak asing yang pernah menjajah kita,” ujar Anwar Sanusi di Jakarta, Jumat (18/8/2023).

Ia menjelaskan, bahwa menghayati semangat kemerdekaan yang menjadi hak bagi seluruh manusia di muka bumi, tentunya tidak bisa lepas dari sifat keterbukaan yang dapat merangkul semua. Hal ini sering juga disebut dengan toleransi, yang menjadi antitesis dari pemikiran radikal yang intoleran dan bisa merusak keragaman Indonesia yang kaya.

“Intoleransi itu lawan katanya toleransi. Arti toleransi itu kan banyak ya. Kalau kita kaitkan ke isu SARA misalnya, ada toleransi beragama, ras, suku, dan antar golongan. Hakikatnya, toleransi adalah sikap yang saling menghormati, menghargai, dan tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang punya pandangan berbeda,” imbuh Anwar Sanusi.

Dirinya menambahkan, jika bisa menerapkan kejujuran dan keadilan, baik dalam ucapan maupun tindakan, Indonesia akan berhasil menjadi bangsa yang besar. Memaknai kemerdekaan dengan memperjuangkan kemajuan bangsa Indonesia adalah prinsip yang sangat mulia. Selain itu, harus selalu diingatkan kepada seluruh anak bangsa agar mampu saling menghormati, mengakui, dan bisa objektif dalam melihat persoalan. Dengan begitu, segala perbedaan pendapat akan bisa disikapi dengan santai.

“Saya yakin, kalau memang masyarakat Indonesia ini, mulai dari rakyatnya, pemimpinnya, serta para tokoh agama dan tokoh masyarakatnya, bisa bersatu padu dalam bingkai iman dan takwa, maka bangsa kita bisa mendapatkan keberkahan dari Allah subhanahu wa ta’ala,” ungkapnya.

Menurutnya, hal itu sesuai dengan bunyi surat Al-A’raf ayat 96 pada Al-Quran, yang berbunyi ‘jika penduduk suatu negeri itu beriman dan bertakwa kepada Allah, maka negara itu akan mendapat keberkahan dari langit dan bumi’. Itu sudah ada di dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional di pasal 31, sudah dicantumkan semua, bahwa harus memiliki iman, takwa, dan akhlak mulia,

Anggota DPR RI periode 1997-2014 dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan ini pun menjelaskan, kemajuan dan kebaikan suatu negara sebenarnya tergantung dari masyarakatnya sendiri.

“Kalau kita menyitir ayat Qur’an, bahwa Allah itu tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri. Innallaha laa yughoyyiru maa bi qaumin, hatta yughoyyiru maa bi anfusihim,” tambahnya.

Ia berharap kondisi yang aman dan damai serta kebersamaan anak bangsa janganlah dirusak oleh kepentingan sesaat. Termasuk yang berkaitan dengan politik praktis untuk memperebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, menghadapi tahun politik yang tinggal beberapa bulan lagi, sebaiknya tidak memakai prinsip politik machiavelis.

“Politik machiavelis adalah prinsip politik yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Cara yang dihalalkan misalnya menjelek-jelekan, memfitnah, atau menuduh lawan politiknya. Ini tidak boleh terjadi. Penggunaan isu politik identitas sebenarnya merupakan terapan dari prinsip politik machiavelis. Hal yang seperti ini seharusnya dihentikan karena tidak sesuai jati diri bangsa yang justru merangkul segala perbedaan agama, ras, dan golongan,” tegas Anwar Sanusi.

Untuk itu, Anwar Sanusi berpesan agar kemerdekaan yang diperoleh bisa dimaknai secara positif. Merdeka tidak hanya dari penjajah, namun juga merdeka dari intoleransi, radikalisme dan terorisme. Menurutnya, kita semua sama-sama Indonesia, mempersoalkan isu SARA justru akan melemahkan bangsa kita sendiri.

“Mari kita hayati semangat kemerdekaan Indonesia dan pesta demokrasi 2024 dengan bekal iman, takwa, dan akhlak yang mulia. Hapus intoleransi, radikalisme, dan terorisme,” pungkas Anwar Sanusi.

ISLAMKAFFAH

Doa Menghilangkan Rasa Takut di Waktu Tidur

Ketika kita hendak tidur dan kita merasakan ketakutan dari gangguan orang lain atau dari makhluk halus, maka hendaknya kita membaca doa menghilangkan rasa takut di waktu tidur. 

Nah berikut bacaan doa tersebut;

سُبْحَانَ مَن لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ الاَمَانَ خَلِّصْناَ مِنَ النَّارِ يا مَنْ لا يُرْجَى إلَّا فَضْلُهُ يا مَنْ لا يُسْأَلُ إلَّا عَفْوُهُ يا مَنْ لا يُنْظَرُ إلَّا بِرُّهُ يا مَنْ لا يُخافُ إلَّا عَدْلُهُ يا مَنْ لا يَدُومُ إلَّا مُلْكُهُ يا مَنْ لا سُلْطانَ إلَّا سُلْطانُهُ يا مَنْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَتُهُ يا مَنْ سَبَقَتْ رَحْمَتُهُ غَضَبَهُ يا مَنْ أَحاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمُهُ  سُبْحَانَكَ يَا لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ الاَمَانَ الاَمَانَ خَلِّصْناَ مِنَ النَّارِ

Subhaana man laa ilaaha illaa anta, al-amaana, khollishnaa minannaar. Yaa man laa yurjaa illaa fadhluhuu, yaa man laa yus-alu illaa a’afwuhuu, yaa man laa yunzhoru illaa birruhuu, yaa man laa yukhoofu illaa ‘adluhuu, yaa man laa yaduumu illaa mulkuhuu, yaa man laa sulthoona illaa sulthoonuhuu, yaa man wasi’at rohmatuhuu, yaa man sabaqot rohmatuhuu ghadhobahuu, yaa man ahaatho bikulli syai-in ‘ilmuhuu. Subhaanaka yaa laa ilaaha illaa anta, al-amaana, al-amaana, khollishnaa minannaar.

Maha Suci Dzat yang tiada Tuhan selain Engkau. Berilah keamaan, selamatkan kami dari api neraka. Wahai Dzat yang tidak diharapkan kecuali karunia-Nya, wahai Dzat yang tidak diminta kecuali ampunan-Nya, wahai Dzat yang tidak dilihat kecuali kebaikan-Nya, wahai Dzat yang tidak ditakuti kecuali keadilan-Nya,

wahai Dzat yang tidak abadi kecuali kerajaan-Nya, wahai Dzat yang tidak ada kekuasaan kecuali kekuasaan-Nya, wahai Dzat yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, wahai Dzat yang rahmat-Nya mendahului murka-Nya, wahai Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Maha Suci Engkau, wahai yang tiada Tuhan selain Engkau. Berilah keamanan, berilah keamanan, selamatkan kami dari api neraka. 

Doa menghilangkan rasa takut ini disebutkan dalam kitab Majmu’ah Ahzab wa Awrod Al-Syaikh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi.  Menurut Ibnu Arabi, keutamaan doa tersebut dapat menghilangkan rasa takut di waktu tidur.

BINCANG SYARIAH