Bolehkah Menonton Film Horor?

Gambar hidup yang menampilkan beberapa lakon adalah salah satu fenomena yang sulit kita hindari di zaman ini. Mulai dari lakon yang bertujuan mendidik, menghibur, bahkan sampai menampilkan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai syariat. Dan film horor merupakan salah satu dari deretan genre film yang digemari kebanyakan masyarakat di negara ini.

TV atau bioskop adalah alat yang hukumnya bergantung kepada penggunaannya. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah apakah di dalam film atau televisi terdapat hal-hal yang melanggar nilai-nilai syariat? Seperti tersingkapnya aurat yang bukan mahram kita, mendengarkan alunan musik, tersebarnya keyakinan-keyakinan yang batil, ajakan menyerupai dan mengikuti gaya orang-orang kafir, dan sebagainya.

Dan perlu diingat bahwa anggota tubuh manusia yang dengannya mereka menyaksikan film atau berjalan menuju bioskop, akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ibnul Qayyim rahimahullahu (dalam Ighatsatul Lahfan, 1: 80) mengatakan,

“Tujuh anggota, yakni: mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan, dan kaki akan mengantarkan seorang hamba kepada kehancuran dan keselamatan. Barangsiapa yang tidak peduli ke arah mana anggota tubuh tersebut digunakan, tidak menjaganya, maka ia akan celaka. Sebaliknya, siapa saja yang peduli dan mempergunakannya dalam kebaikan, maka ia akan selamat. Jadi, menjaga anggota tersebut adalah sebab keselamatan dan acuh dengannya adalah sebab kehancuran.”

Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

Begitu pun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dalam salah satu sabdanya,

فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي ، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

Mata berzina dengan melihat, lisan berzina dengan bicara, hati berzina dengan hasrat, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243)

Terkumpulnya banyak sekali keburukan di dalam sebuah film menjadikan tidak ada celah bagi seorang muslim untuk menormalisasi kesalahan tersebut. Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu mengatakan,

ومحل الشاهد منه قوله صلى الله عليه وسلم ( فزنى العين النظر ) ، فإطلاق اسم الزنى على نظر العين إلى ما لا يحلّ : دليل واضح على تحريمه ، والتحذير منه ، والأحاديث بمثل هذا كثيرة معلومة  .ومعلوم أن النظر سبب الزنى ؛ فإنَّ مَن أكثر مِن النظر إلى جمال امرأة – مثلاً – : قد يتمكن بسببه حبّها من قلبه تمكّنًا يكون سبب هلاكه – والعياذ باللَّه – ، فالنظر بريد الزنى

“Alasan dilarangnya melihat film yang menampilkan aurat perempuan adalah perkataan Nabi, ‘Mata berzina dengan melihat.’ Penggunaan terminologi zina ditujukan untuk setiap hal yang dilarang secara syariat dan ini menunjukkan keharamannya dan peringatan akan hal tersebut. Hadis yang semisal ini berjumlah cukup banyak. Yang sudah diketahui pula, bahwa banyak menonton aurat perempuan akan menyebabkan hati resah dan binasa (semoga Allah jauhkan kita dari hal tersebut). Karena sesungguhnya pandangan adalah akar muasal zina.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 510)

Lantas bagaimana dengan film horor?!

Film horor yang di dalamnya terdapat hal-hal seperti pengabaran tentang hal gaib (jin) yang tentu hanya karangan manusia semata, keyakinan yang batil (seperti peribadahan kepada selain Allah, aurat wanita, musik, dan menakut-nakuti sesama), maka hukumnya haram dengan beberapa alasan berikut ini.

Memunculkan rasa takut di hati seorang muslim

Secara ringkas, Syekh Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu mengatakan bahwa ada dua alasan menulis kisah-kisah misteri:

Pertama: Di dalamnya terkandung cerita-cerita yang bisa melahirkan rasa takut di hati manusia terhadap makhluk Allah ‘Azza Wajalla, penggambaran yang batil tentang tempat-tempat tertentu, dan boleh jadi ada peran setan untuk menakut-nakuti manusia. Maka, hal ini termasuk ke dalam hadis,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Tidak boleh menceburkan diri ke dalam bahaya dan membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad no. 2865 dan Ibnu Majah no. 2341)

Kedua: Di dalam tulisan horor terdapat hal-hal yang mengagetkan atau menakut-nakuti kaum muslimin. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Tidak boleh bagi seorang muslim menakut-nakuti yang lainnya.” (HR. Abu Dawud no. 5004)

Al-Munawi rahimahullahu mengatakan, “Dan tetap tidak diperbolehkan walaupun tujuannya bercanda. Karena terdapat unsur kesengajaan mencelakai orang lain.” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 12: 236)

Terdapat unsur menikmati simbol-simbol kesyirikan

Alasan yang lebih-lebih menjadi dasar pengharaman melihat film horor adalah di dalamnya terdapat simbol-simbol kesyirikan, seperti peribadahan kepada jin, sesajen, dan lain-lain. Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.”

Al-Baidhawi rahimahullahu menjelaskan,

لا يقيمون الشهادة الباطلة، أو لا يحضرون محاضر الكذب؛ فإن مشاهدة الباطل شركة فيه

Yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka yang tidak turut menyaksikan kebatilan dan menghadiri sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur kedustaan. Karena menyaksikan kebatilan (tanpa mengingkarinya, pent.) adalah bentuk bekerja sama di dalam acara tersebut.” (Anwar At-Tanzil)

Bahkan, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seseorang berkorban di tempat yang biasa dijadikan tempat kesyirikan karena khawatir manusia mengira itu merupakan pembenaran terhadap perbuatan kesyirikan sebelumnya. Sebagaimana ketika salah seorang sahabat hendak menunaikan nazarnya, beliau bertanya terlebih dahulu,

Apakah tempat tersebut dulunya dikenal dengan tempat penyembahan berhala?

“Bukan, ya Rasulullah”, jawab sahabat.

Kemudian beliau bertanya kembali,

Apakah dulunya pernah dijadikan tempat merayakan perayaan orang-orang kafir?

“Tidak, ya Rasulallah”, jawab sahabat.

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama mengatakan,

أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وَفاءَ لِنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدمَ.

Jika demikian, penuhi nazarmu. Ketahuilah bahwasanya tidak boleh menunaikan nazar untuk kemaksiatan dan dengan sesuatu milik orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 3313, At-Thabrani no. 1341, dan Al-Baihaqi no. 20634)

Maka, tidak seharusnya seorang muslim bersenang-senang dengan sesuatu yang di dalamnya terdapat pengingkaran kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti film horor. Karena kepedihan yang kita rasakan kelak di akhirat akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan kesenangan yang kita dapatkan yang tidak seberapa ketika kita menyaksikan film-film tersebut. Semoga Allah bukakan pintu ampunan kepada kesalahan kita yang lalu maupun akan datang. Amin.

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89947-bolehkah-menonton-film-horor.html

Stuart Seldowitz, Islamofobia dan Usia Pernikahan Aisyah

Stuart Seldowitz, seorang mantan penasihat pada masa Pemerintahan Presiden Obama, menimbulkan kontroversi dengan melontarkan ujaran kebencian terhadap seorang penjual makanan Muslim yang memiliki food truck. Seldowitz menyebut Nabi Muhammad sebagai seorang pemerkosa (pedofilia) karena menikahi anak di bawah umur.

Pernyataan ini merujuk pada sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad menikahi ‘Aisyah ketika berusia 6 tahun dan hidup bersamanya ketika usianya mencapai 9 tahun. Tentu ini juga bukan satu-satunya Riwayat dalam menjelaskan usia pernikahan Nabi dengan Aisyah. Menurut Abdurrahman bin Abi Zina, Aisyah saat pertama kali satu rumah dengan Nabi adalah berusia 17 tahun atau 18 tahun. Riwayat lain dari Abdurrahman bin Abu Abi Zannad dan Ibnu Hajar, umur Aisyah ketika menikah dengan Nabi adalah 19 tahun atau 20 tahun.

Terlepas dari perbedaan riwayat tersebut, memahami konteks sejarah pada masa itu, usia pernikahan dan hubungan suami-istri di usia muda bukanlah sesuatu yang dianggap aneh. Penting untuk dicatat bahwa istilah dan penelitian tentang pedofilia baru muncul di akhir abad ke-19, dan istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh psikiater Richard von Krafft-Ebing. Pedofilia kemudian dipublikasikan dalam buku “Diagnostic and Statistical Manual (DSM): Mental Disorders” pada sekitar tahun 1950 oleh American Psychiatric Association.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah dan aturan pedofilia tidak ada pada zaman Rasulullah, dan kondisi fisik serta psikologi anak-anak pada abad pertengahan atau tahun 600 Masehi tidak terdokumentasi secara akurat. Jika aturan pedofilia belum ada pada masa itu, pernikahan di bawah umur tidak dianggap tabu di dunia pada saat itu. Oleh karena itu, menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan Rasulullah dengan menikahi Aisyah di usia 6 tahun tidak dapat dianggap salah pada konteks waktu tersebut, dan tentu saja tidak dapat dijadikan landasan atau patokan di zaman sekarang.

Penting untuk memahami bahwa pandangan dan norma sosial mengenai pernikahan di bawah umur berbeda-beda di berbagai budaya dan agama. Agar memahami kontroversi ini secara komprehensif, kita harus melibatkan perspektif dari berbagai sumber dan tidak hanya memusatkan perhatian pada satu interpretasi atau sudut pandang.

Meskipun pernyataan Stuart Seldowitz mencerminkan kurangnya penghargaan dan pemahaman terhadap konteks sejarah, kita harus tetap membuka ruang untuk berbicara dan berdiskusi secara terbuka mengenai sejarah dengan niat untuk belajar dan memahami. Dialog yang adil dan inklusif memungkinkan kita mencapai pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan budaya dan agama serta menghormati keragaman pandangan.

Menyambung dengan konteks islamofobia, pernyataan Seldowitz mencerminkan salah satu bentuk diskriminasi terhadap Islam. Islamofobia, atau ketakutan dan kebencian terhadap Islam atau Muslim, sering kali melibatkan stereotip negatif dan pemahaman yang dangkal terhadap ajaran dan praktik Islam. Dalam hal ini, islamofobia dapat memicu penilaian yang tidak adil terhadap sejarah dan praktik keagamaan, seperti yang terjadi dalam pernyataan Seldowitz.

Penting untuk menghadapi islamofobia dengan pendidikan dan dialog yang konstruktif, memerangi stereotip yang tidak benar, dan mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang keberagaman budaya dan agama. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menghormati hak-hak setiap individu untuk mempraktikkan keyakinan agama mereka tanpa takut menjadi sasaran prasangka atau diskriminasi.

ISLAMKAFFAH

Ini 8 Ciri Imam Mahdi dalam Hadis Nabi

Kepercayaan umat Muslim mengenai kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman merupakan hal yang diamini banyak ulama. Berikut ini ada 8 ciri Imam Mahdi dalam hadis Nabi.

Imam Ja’far al-Kattani bahkan menyebutkan bahwa hadits mengenai kemunculan Imam Mahdi itu mencapai tingkat mutawatir. Al-Tirmidzi meriwayatkan tiga hadis tentang Al-Mahdi. Salah di antaranya bersumber dari sahabat Abdullah bin Mas’ud.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ العَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي

Dari Abdullah bin Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak kiamat dunia ini sampai seorang laki-laki dari ahli baitku menguasai bangsa Arab. Namanya sesuai dengan namaku. (HR. Al-Tirmidzi)

Namun ada juga ulama, seperti Ibnu Khaldun, yang tidak percaya mengenai kemunculan Imam Mahdi. Kemunculan Imam Mahdi kerap diklaim oleh sebagian pihak untuk melakukan kekacauan, konflik, dan pertumpahan darah di antara sesama umat Muslim.

Tak jarang mereka menggunakan hadis dhaif, bahkan palsu, mengenai Imam Mahdi. Bahkan ulama hadis kontemporer Syekh Abdul Alim Abdul Azhim menulis ensiklopedia hadis-hadis dhoif dan palsu seputar Imam Mahdi.

Tapi ia juga menulis mengenai hadis-hadis shahih seputar Imam Mahdi. Oleh karena itu, kita harus mengetahui secara jelas mengenai seluruh ciri-ciri Imam Mahdi. Salah satunya saja tidak terpenuhi, kita jangan mudah percaya bila ada orang mengklaim sebagai Imam Mahdi.

Al-Suyuthi mencatat bahwa dalam sejarah umat Islam, terdapat banyak kelompok yang mengklaim sebagai gerakan Al-Mahdi. Menurutnya, semua itu bentuk kebohongan belaka karena ketika diukur berdasarkan kriteria-kriteria di atas selalu ada yang kurang alias tidak cocok.

Kelompok-kelompok tukang klaim tersebut mempermainkan dalil-dalil agama seperti anak-anak memainkan mainannya. Mereka berusaha mencocok-cocokkan ciri-ciri pemimpin serta kelompoknya dengan Al-Mahdi dan pendukungnya.

Ciri tukang klaim tersebut, kata Al-Suyuthi, adalah mereka membuat standar keimanan sendiri bahwa umat Islam yang mendukungnya sebagai mukmin dan yang menolak bergabung bersama mereka disebut kafir.

Ciri lainnya, mereka berani membunuhi para ulama (Al-Suyuthi, Syarah Sunan Ibn Majah, jilid 1, hlm. 300). Lantas, apa sajakah ciri Imam Mahdi dalam hadis Nabi?

Video: https://youtu.be/ifo9muipOog?si=aTobqWBJsVdKpSNF

BINCANG SYARIAH

2 Cara Mendekatkan Diri Pada Allah dari Syekh Abdul Qadir Jailani

Dalam literatur ilmu tasawuf, Istilah wushul atau dekat dengan Allah sering diperbincangkan oleh para ulama sufi. Adapun wushul atau dekat dengan Allah berbeda-beda metode atau cara yang mereka jalani atau mereka tempuh. Nah berikut 2 cara mendekatkan diri Pada Allah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Sebelum wushul atau dekat dengan Allah, ada syarat yang harus dijalani, yaitu, melakukan berbagai rangkaian ibadah, dengan rangkaian ibadah tersebut seseorang bisa wushul atau dekat dengan Allah.

Para ulama sufi dalam menjalankan ibadah berbeda-beda metode atau cara. Ada yang istiqamah dalam menjalankan shalat sunnah, puasa, zikir, bersedekah, membantu orang lain, dan sebagainya.

Dengan keistiqomahan menjalankan ibadah tersebut, hati mereka menjadi bersih dari berbagai penyakit hati, dan orang yang masih mempunyai penyakit hati, ia akan jauh dari rahmat Allah dan tidak akan bisa wushul atau dekat dengan Allah. Apabila hati seseorang sudah bersih dari berbagai penyakit hati, maka mudah baginya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

2 Cara Mendekatkan Diri Pada Allah

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam karyanya Sirrul Asrar Juz 1, halaman 19, menjelaskan tentang wushul atau dekat dengan Allah. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 

وطريق الوصول الى الله تعالى متابعة الجسم على الصراط المسقيم بأحكام الشريعة ليلا ونهارا ودوام ذكرالله تعالى

Artinya: “Jalan untuk wushul (sampai kepada Allah Ta’ala) adalah Ikutnya jisim (badan) atas jalan yang lurus dengan hukum-hukum syariat siang dan malam dan melanggengkan dzikir kepada Allah Ta’ala.”

Dari penjelasan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di atas, dapat kita pahami bahwa untuk wushul atau dekat dengan Allah, kita harus melalui dua jalan yang harus kita tempuh. Adapun rincian dua jalan tersebut sebagai berikut: 

Pertama, yang dilakukan oleh badan kita setiap hari dan malam, harus berada di jalan yang lurus, jalan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Seseorang tidak bisa wushul atau dekat dengan Allah apabila ia masih melakukan kemaksiatan atau perbuatan yang melanggar dari tuntunan syariat Islam. Pada dasarnya orang yang wushul atau dekat dengan Allah perbuatannya selalu mengikuti sunnah Nabi atau sesuai dengan tuntunan syariat Islam. 

Kedua, melanggengkan dzikir kepada Allah SWT. Setelah berperilaku sesuai dengan sunnah Nabi atau sesuai dengan tuntunan syariat Islam, maka untuk wushul atau dekat Allah ia harus melanggengkan zikir, baik siang dan malam santai atau sibuk. Karena dengan zikir ia selalu mengingat keagungan Allah, dan orang yang selalu mengingat atas keagungan Allah ia berusaha istiqamah berada di jalan Allah. 

Itulah 2 cara untuk mendekatkan diri Pada Allah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Amalan Rasulullah untuk Menggugurkan Dosa

Setiap tentunya tidak akan luput dari dosa. Tentu saja  kita pun menyadarinya. Lantas apakah ada cara untuk membersihkan diri dari dosa-dosa? Berikut ini beberapa amalan Rasulullah untuk menggugurkan dosa.

Rasulullah SAW pernah berpesan pada para sahabat, segala perbuatan dosa sebaik-baiknya selalu diiringi dengan amalan-amalan yang baik agar dosa yang diperbuat gugur. “Bertakwalah kamu di manapun kamu berada. Jika kamu berbuat kejahatan, segera iringi dengan perbuatan baik, sehingga dosamu terhapus lalu pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi).

Amalan Rasulullah untuk Menggugurkan Dosa

Setidaknya ada 8 amalan yang dapat diterapkan seorang muslim agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT. Berikut penjelasan lengkap tentang amalan Rasulullah untuk menggugurkan dosa:

Pertama, Memurnikan Keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Seorang umat muslim yang ingin mendapatkan ampunan dari Allah SWT harus memurnikan dan menguatkan keimanannya. Meski sebenarnya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 

Karena dengan menjaga keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka kita akan menjadi hamba yang sangat beruntung. Selain memperoleh ampunan, kita akan memperoleh petunjuk menuju kebenaran, dan mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman;

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ ١٣ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۚ جَزَاۤءً ۢبِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٤

Artinya: “Orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ lalu mereka teguh dan istiqamah, tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka merasa sedih. Mereka adalah penghuni surga yang kekal di dalamnya sebagai ganjaran atas amal perbuatan mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 13-14)

Kedua, bertaubat kepada Allah. Dengan Bertaubat menjadi amalan penghapus dosa selanjutnya. Bertaubat sebenar-benarnya kepada Allah dalam artian kita harus mengakui semua dosa-dosa yang telah dilakukan, kemudian memohon ampunan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَبَيَّنُوْا فَاُولٰۤىِٕكَ اَتُوْبُ عَلَيْهِمْ ۚ وَاَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ ١٦٠

Artinya: “Kecuali bagi mereka yang telah bertaubat, melakukan perbaikan, dan dengan tulus mengklarifikasi kesalahan mereka. Mereka adalah orang-orang yang Aku terima taubatnya, dan Aku adalah Yang Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 160)

Ketiga, perbanyak dzikir.  Memperbanyak berdzikir berarti kita sebagai hamba-Nya selalu mengingat Allah dalam kondisi apa pun, dimana pun, dan kapan pun tapi tetap dzikir dilakukan harus sesuai yang disyariatkan oleh Rasulullah. Berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala hendaklah membaca kalimat-kalimat dzikir dan doa-doa yang matsur, yang terdapat dalam riwayat shahih.

Keempat, menjaga shalat. Salah satu sarana untuk membersihkan dosa-dosa yang pernah dilakukan dan untuk memperoleh ampunan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah dengan menjaga sholat kita. Sebab shalat diibaratkan tiang agama, barangsiapa yang mengerjakannya berarti dia telah menegakkan agama.

 Terkait hal ini, Allah berfirman;

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ ١١٤

Artinya: “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud: 114)

Kelima, bakti pada kedua orang tua. Allah memerintahkan hambanya untuk berbakti kepada orang tua. Barangsiapa yang berbakti kepada kedua orang tuanya, maka Allah akan menjamin surga untuknya. Sedangkan yang durhaka kepada kedua orang tuanya, maka neraka adalah tempat yang pantas untuknya. Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda :

“Sungguh, orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Terserah kamu, hendak kamu terlantarkan ia, ataukah kamu hendak menjaganya.” (HR. At-Tirmidzi)

Keenam, silaturahmi. Allah akan menghapus kesalahan dan mengampuni dosa-dosa yang pernah dilakukan yakni dengan menjaga silaturahmi antar saudara sesama muslim. Lebih dari itu, dengan rajin melakukan silaturahmi, maka Allah akan memasukkan hamba-Nya ke dalam surga. Rasulullah SAW bersabda;

 “Sesuatu yang paling cepat mendatangkan pahala adalah berbuat kebaikan dan menghubungkan tali silaturahmi, sedangkan yang paling cepat mendatangkan siksaan adalah berbuat jahat dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR Ibnu Majah)

Ketujuh, sabar menghadapi ujian. Orang yang sabar dalam menghadapi semua permasalahan hidupnya maka Allah berikan ampunan dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Pandanglah bahwa semua musibah dan persoalan tersebut merupakan cara Allah untuk membersihkan dosa-dosa dan mengampuni kesalahan-kesalahan kita.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ ١٥٦

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah, mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’ (Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami akan kembali)”. (QS. Al-Baqarah: 155-156)

Kedelapan, bersedekah. Amalan ini adalah salah satu dari sekian banyak jalan untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Perintah untuk melakukan sedekah dan berbagi kepada sesama merupakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diberlakukan kepada seluruh umat-Nya yang tidak diberi batas waktu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berbunyi,

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٢٦١

Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 261)

Demikian penjelasan terkait amalan Rasulullah untuk menggugurkan dosa. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Boikot:  Strategi Melawan Kezaliman

Imam Nawawi mengatahkan hubungan muamalah dengan orang non-Muslim  dibolehkan, kecuali pada mereka yang memusuhi Islam, perlu diboikot

KATA  boikot mempunyai arti menolak berhubungan dengan seseorang atau menyatakan ketidaksetujuan atau memaksa individu atau lembaga yang bersangkutan untuk menerima syarat tertentu.

Sedangkan menurut Cambridge Dictionary boikot berarti keengganan untuk membeli suatu produk atau terlibat dalam aktivitas apa pun sebagai cara untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap suatu isu.

Sejarah boikot yang pernah dilakukan dengan membawa dampak yang besar bagi negara ‘Israel’ karena pada tahun 1945 dikeluarkan resolusi yang bertajuk “Boikot Barang dan Produk Zionis” sebagai hasil pertemuan tujuh anggota Liga Arab.

Isinya bahwa setiap produk Yahudi harus dianggap tidak diinginkan di negara-negara Arab dan semua warga negara Arab –baik institusi, organisasi, pengusaha, agen dan individu– harus menolak menjual, mendistribusikan atau menggunakan produk Zionis.

Akibat boikot ini, ekonomi pasar dan sumber daya regional ‘Israel’ sangat terdampak sehingga Zionis harus menyuarakan protesnya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)  

Hukum Beramalah dengan Orang Yahudi

Secara umumnya hukum bermuamalah dengan orang Yahudi adalah boleh, selagi mana ia adalah produk yang halal. Dalam sebuah riwayat Nabi ﷺ pernah berurusan dan memberi jaminan dengan seorang Yahudi seperti yang diriwayatkan oleh Saidatina Aisyah RA:

أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم اشْتَرَى طَعَامًا من يَهُودِيٍّ إلى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا من حَدِيدٍ

“Sesungguhnya Nabi membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran secara ditangguhkan, dan  menggadaikan baju besi baginda Nabi.” (HR: Muslim).

Imam Nawawi ketika mensyarahkan hadis di atas menyatakan bahwa hubungan muamalah dengan orang non-Muslim  telah disepakati para ulama. Namun, kewajiban tersebut hanya terbatas pada hal-hal yang diperbolehkan saja, jika transaksi tersebut dapat mengarah pada hal-hal yang haram seperti menjual senjata kepada musuh-musuh Islam, segala bentuk yang dapat membantu menegakkan ajaran agamanya, membeli kitab-kitab agamanya dan sejenisnya maka muamalatnya diharamkan.

Imam Ibn Battal berkata:

مُعَامَلَةُ الْكُفَّارِ جَائِزَةٌ، إِلا بَيْعَ مَا يَسْتَعِينُ بِهِ أَهْلُ الْحَرْبِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ

“Berurusan dengan orang kafir dibolehkan, kecuali menjual apa yang dapat membantu mereka untuk memerangi umat Islam.”(Ibn Hajar dalam Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari,  Mesir: al-Maktabah al-Salafiyyah. Jld. 4, hlm. 410).

Dalam al-Quran Allah SWT memerintahkan untuk saling bantu membantu dalam kebaikan dan mengharamkan saling tolong menolong dalam perkara kemaksiatan dan permusuhan. Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ‎﴿٢﴾

 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS: Al-Maidah : 2)

Dr. Walid bin Idris al-Manisi ketika membahas parameter saling tolong menolong terhadap dosa dan kemaksiatan beliau membaginya menjadi empat kategori:

  1. Kerja sama yang bersifat langsung dan dimaksudkan untuk membantu ke arah maksiat (mubasyarah maqsudah), misalnya memberikan minuman keras (miras) kepada seseorang agar dia dapat meminum Miras tersebut.
  2. Kerjasama langsung tanpa niat (mubasyarah ghairu maqsudah): Misalnya menjual barang yang tidak ada gunanya selain untuk hal yang haram, namun penjualan tersebut tidak dimaksudkan untuk digunakan untuk hal yang haram tersebut.
  3. Kerjasama dengan niat, secara tidak langsung (maqsudah ghairu mubasyarah): Memberikan uang kepada seseorang agar orang tersebut membeli minuman beralkohol.
  4. Kerjasama tidak langsung tanpa niat (ghairu mubasyarah wa la maqsudah): Misalnya memberikan uang kepada seseorang tanpa tujuan tertentu, kemudian penerimanya membeli minuman beralkohol dengan uang tersebut.

Kategori ini juga mencakup jual beli, sewa dan sedekah dengan kaum musyrik. Jika mereka menggunakan uang yang kita sumbangkan untuk maksiat, kita tidak dianggap berdosa. (al-Badrani, Abu Faisal, t.t, Kitab al-Wala’ wa al-Bara’ wa al-‘Ada’ fi al-Islam, hlm. 76 dan Al-Bukairi, Ahmad Fathi (2021), Athar al-Niyyah fi al-Mu’amalat al-Maliyyah, Mansoura: Dar al-Lu’lu’ah, hlm. 167).

Pertimbangan Maslahah dan Mafsadah Boikot

Masyarakat hendaknya melakukan boikot dengan berbekal pengetahuan dan akhlaq, daripada sekedar melakukan boikot secara tergesa-gesa, tanpa berpikir panjang hingga menimbulkan kerugian yang tidak semestinya.

Strategi boikot ekonomi perlu dilakukan secara hati-hati dan bijaksana. Perlu memperhatikan pertimbangan maslahah agar tidak menimbulkan kerugian lain yang lebih besar. Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd al-Salam dalam salah satu tulisannya menjelaskan bahwa ada beberapa keadaan di mana menolong pada kemaksiatan hukumnya adalah dibolehkan.

قد يجوز الإعانة على المعصية لا لكونها معصية بل لكونها وسيلة إلى تحصيل المصلحة الراجحة وكذلك إذا حصل بالإعانة مصلحة تربو على مصلحة تفويت المفسدة

““Terkadang dibolehkan menolong dalam kemaksiatan bukan karena kemaksiatannya, namun karena ia dapat membawa kepada kemaslahatan yang lebih kuat, begitu juga jika pertolongan itu mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar dari menghindari mafsadah (keburukan).” (Izzudin bin Abd al-Salam, dalam Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Jld. 1, hlm. 87).

Pedoman dan parameter boikot

Selain itu, pedoman berikut juga perlu diperhatikan agar boikot yang dilaksanakan benar-benar mencapai tujuannya, bersifat strategis, tidak melenceng dari tujuan yang telah digariskan dan tidak menindas pihak-pihak yang tidak bersalah.

Di bawah ini Panduan Boikot Merujuk Ulama

  • Fokus kampanye boikot adalah untuk menekan perusahaan-perusahaan yang terlibat langsung agar mengubah kebijakan mereka mengenai Palestina dan Zionis ‘Israel’.
  • Dalam melakukan boikot, sikap tabayyun dalam menerima informasi sangat diperlukan, untuk memastikan bahwa perusahaan yang ingin diboikot tersebut benar-benar mempunyai keterlibatan langsung dengan Zionis ‘Israel’. Hal ini untuk mencegah adanya ketidakadilan terhadap pihak-pihak yang tidak bersalah.
  • Kampanye boikot harus kita lakukan dengan arif dan bijaksana serta tidak melakukan tindakan yang ekstrim dan gegabah seperti memaki-maki karyawan perusahaan yang terlibat mengingat mereka hanya sekedar mencari nafkah, melakukan sabotase dengan merusak infrastruktur atau memotret pelanggan yang sedang makan dan menyebarkannya ke media sosial dengan tujuan menjatuhkan gambar tersebut.
  • Kita juga perlu mempertimbangkan pengecualian pada kasus-kasus tertentu. Tidak semua pihak dalam kasus tertentu berhasil melakukan memboikot, karena kendala tertentu.

Seperti: ada masalah kesehatan dan obat yang dibutuhkan hanya diproduksi oleh merek tertentu, atau anak hanya boleh meminum susu merk tertentu saja, jika diganti akan menimbulkan masalah alergi dan gangguan kesehatan, dan contoh  lain sejenis.

  • Hukum bagi karyawan yang bekerja di perusahaan waralaba bahwa mereka membayar royalti kepada perusahaan induk yang mungkin terlibat dalam memberikan kontribusi kepada negara ilegal ‘Israel’ adalah wajib dan gajinya halal selama perusahaan tempat mereka bekerja tidak membantu ‘Israel’ secara langsung. Seperti misanya memberikan sumbangan atau lainnya kepada ‘Israel’.* (sumber: Bayan Linnas SIRI ke-281, laman Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia)

HIDAYATULLAH

Kewajiban Haji Bisa Gugur karena Enam Perkara Ini

Enam hal ini bisa membuat gugur kewajiban haji.

Terdapat sejumlah elemen yang dapat menjadi pencegah seseorang dari kewajiban berhaji. Dengan alasan adanya penghalang, maka hukum berhaji meskipun persyaratannya telah terpenuhi, namun kewajiban berhaji itu bisa gugur. Apa saja itu? 

Agar ibadah haji dapat diterima Allah SWT, maka seseorang yang hendak melaksanakan ibadah haji harus memenuhi syarat-syaratnya. Pemenuhan syarat-syarat haji itu menjadi penentu sah dan tidak sahnya ibadah haji yang dilaksanakan. Syarat-syarat tersebut ada yang sifatnya umum, dan ada yang sifatnya khusus hanya untuk para wanita saja sebagai syarat tambahan.

Ustaz Ahmad Sarwat dalam buku Ibadah Haji: Syarat-Syarat dijelaskan bahwa apabila telah selesai pemenuhan syarat-syarat haji, maka terdapat juga aspek mengenai hal-hal yang dapat menjadi penghalang berhaji.

Pertama, ubuwah. Yakni adalah ayah, kakek, ayahnya kakek, dan seterusnya ke atas. Mereka itu adalah pihak yang dibutuhkan izinnya bagi seorang yang ingin melaksanakan ibadah haji.

Izin tersebut dibutuhkan khususnya dalam ibadah haji yang hukumnya sunnah, yaitu haji kedua, ketiga, dan seterusnya. Namun untuk haji yang wajib, hanya disunahkan saja untuk mendapatkan izin dari mereka.

Kedua, zaujiyah. Yakni hubungan antara suami dengan istri, di mana seorang suami berhak untuk melarang istrinya berangkat haji. Mayoritas ulama mengatakan bahwa larangan suami agar istrinya tidak berangkat haji hanya berlaku dalam haji yang hukumnya sunnah. Sedangkan haji yang membutuhkan izin dari suaminya maka hanya disunahkan saja.

Sedangkan dalam pandangan ulama mazhab Syafii, baik untuk haji wajib maupun haji sunnah tetap dibutuhkan izin dari suami. Sehingga apabila suami tidak mengizinkan istrinya untuk berangkat haji, maka tidak wajib bagi istri untuk menunaikan ibadah haji tersebut. Dengan alasan, bahwa wanita itu tidak memiliki istithaah (kemampuan).

Ketiga, perbudakan. Yakni seorang tuan berhak untuk melarang budaknya dari berangkat menunaikan ibadah haji. Izin dari tuan dibutuhkan agar budak dibenarkan menjalankan ibadah yang satu ini. Mayoritas ulama mengatakan bahwa izin semacam ini berkalu baik untuk haji yang bersifat wajib maupun sunnah.

Keempat, utang. Apabila seseorang sedang terlilit utang maka itu dapat menjadi penghalang baginya melaksanakan ibadah haji. Seseorang yang masih memiliki tanggungan utang tidak dibenarkan untuk menunaikan ibadah haji, karena dikhawatirkan ia tak dapat membayar utang-utangnya.

Beda halnya jika orang yang meminjaminya utang memberikan izin kepada yang berutang untuk berangkat pergi menunaikan ibadah haji. Dalam kasus seperti ini maka penjelasan hukumnya akan berbeda.

Kelima, keamanan. Kondisi keamanan yang membahayakan juga bisa menjadi penghalang seseorang untuk melaksanakan ibadah haji. Di masa lalu, masalah keamanan jamaah haji sangat krusial mengingat di tengah padang pasir memang terdapat banyak penyamun yang dengan tega dapat merampas dan merampok para jamaah haji.

Keenam, kesehatan. Kondisi kesehatan fisik seseorang juga bisa menjadi penghalang dalam melaksanakan ibadah haji. Sebab ibadah haji merupakan aktivitas ibadah yang digelar secara komunal dan mempertemukan jamaah haji nasional dengan internasional dari seluruh negara.

IHRAM

Orang Kaya dan Berkecukupan, namun Boleh Diberi Zakat

Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ

Tidak halal zakat bagi orang kaya (berkecukupan), kecuali bagi lima orang, yaitu: 1) orang yang berperang di jalan Allah; 2) petugas (amil) zakat; 3) orang yang berutang; 4) seseorang yang membelinya (harta zakat) dengan hartanya; atau 5) orang yang memiliki tetangga miskin, kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.” (HR. Ahmad 18: 97, Abu Dawud no. 1636, Ibnu Majah no. 1841, Al-Hakim, 1: 407. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’, 3: 377-378)

Kandungan hadis

Hadis di atas merupakan dalil bahwa orang yang kaya atau berkecukupan itu bukanlah termasuk golongan yang berhak menerima zakat, kecuali lima orang:

Pertama, orang-orang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Yaitu, siapa saja yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah Ta’ala. Maka, dia boleh diberi zakat, meskipun dia kaya dan berkecukupan. Sehingga dengan harta zakat tersebut, dia bisa menggunakannya untuk membeli persenjataan dan sarana-sarana lain untuk berjihad, baik jihad yang sifatnya ofensif (menyerang) atau defensif (bertahan).

Kedua, orang tersebut adalah amil (panitia) zakat. Yaitu, orang-orang yang mendapatkan tugas dan wewenang dari penguasa untuk mengurus zakat, baik petugas yang memungut (mengambil atau mengumpulkan) zakat, yang bertugas menjaga harta zakat, yang bertugas mendistribusikan zakat, atau yang bertugas dalam pencatatan zakat. Mereka itu berhak menerima zakat, meskipun pada asalnya mereka adalah orang kaya berkecukupan. Mereka diberi zakat karena adanya kebutuhan terhadapnya, yaitu karena mereka bertugas mengurus zakat.

Ketiga, orang yang memiliki utang. Orang kaya yang memiliki utang ini ada dua macam. Pertama adalah orang yang berutang untuk mendamaikan dua pihak atau dua kelompok yang bersengketa atau berselisih. Orang ini berperan sebagai mediator untuk mendamaikan dua kelompok tersebut. Dan untuk mendamaikannya, dia harus menanggung utang. Sehingga utang tersebut membawa manfaat yang besar, yaitu perdamaian antara dua kelompok yang bersengketa. Oleh karena itu, suatu satu hal baik yang perlu dilakukan adalah menanggung utangnya dengan alokasi zakat, sehingga tidak merugikan para tokoh yang berperan dalam proses perdamaian atau melemahkan tekad mereka dalam meredam fitnah dan mencegah kerugian.

Jenis kedua adalah orang yang berutang untuk keperluan dirinya sendiri. Yaitu, orang kaya yang tertimpa musibah yang tidak mampu dia tanggung. Misalnya, dia memiliki utang untuk berobat atau hartanya ludes karena musibah yang bukan karena kecerobohannya. Dalam kondisi semacam ini, dia boleh diberi harta zakat untuk melunasi utang-utangnya. Ini pun dengan syarat bahwa orang tersebut memang benar-benar tidak mampu untuk melunasinya sendiri, baik dengan harta yang dia miliki, atau dari gaji, atau dari hasil berdagang, atau yang lainnya. Syarat yang lain adalah tidak boleh berlebih-lebihan dari kebutuhan untuk melunasi utang tersebut.

Keempat, orang kaya yang membeli harta zakat dengan hartanya sendiri. Maka, tentu saja hal ini diperbolehkan karena dia membeli dengan hartanya sendiri. Jika harta zakat yang dibeli itu berasal dari harta zakat orang lain, maka diperbolehkan membelinya dengan kesepakatan ulama. Adapun apabila dia membeli lagi harta zakat yang sebelumnya dia setorkan sendiri, maka jumhur (mayoritas ulama) menyatakan hukumnya makruh.

Kelima, ada orang kaya yang mengunjungi orang miskin yang telah menerima zakat. Orang miskin tersebut kemudian memberi hadiah kepada orang kaya dari harta zakat yang dia terima. Atau dia ikut makan di rumah orang miskin tersebut dari makanan yang berasal dari zakat. Maka, ini pun diperbolehkan. Karena statusnya adalah hadiah dari orang miskin kepada orang kaya, bukan sedekah kepada orang kaya. Jika hal semacam ini tidak diperbolehkan, nanti bisa mencegah dan menghalangi orang kaya dari mengunjungi orang-orang miskin. Akan tetapi, Allah Ta’ala memperbolehkan hal tersebut dengan rahmat dari-Nya.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Kantor YPIA Pogung, 12 Rabi’ul akhir 1445/ 27 Oktober 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 494-496).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89094-orang-kaya-dan-berkecukupan-namun-boleh-diberi-zakat.html

Meluruskan Salah Paham “Wanita Mayoritas Penghuni Neraka”

Imam Bukhari, Muslim dan Tirmidzi mencatat satu hadits:  “Saya (Rasulullah) berdiri di depan pintu neraka, dan mayoritas penghuninya adalah kaum perempuan”.

Ada banyak hadits yang senada dengan hadits di atas, beberapa diantaranya berstatus sebagai hadits shahih seperti yang tercantum dalam Shahih Bukhari berikut ini. “Bersedekahlah, karena sesungguhnya saya melihat bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka”.

Hadits-hadits yang menarasikan kaum hawa sebagai mayoritas penghuni neraka sangat populer. Sehingga, asumsi negatif terhadap perempuan berkembang dan berdampak pada persepsi bahwa perempuan memiliki potensi lebih besar menjadi penghuni neraka dari pada laki-laki.

Padahal, al Qur’an tegas mengatakan manusia paling mulia adalah mereka yang paling bertakwa kepada Allah. Kitab suci ini tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Siapa saja yang paling takwa, baik dari golongan laki-laki maupun perempuan.

Melihat hadits-hadits yang berbicara perempuan mayoritas penghuni neraka statusnya hadits shahih, kita meyakini hadits-hadits tersebut memang benar perkataan Nabi. Namun yang perlu diluruskan adalah penafsiran yang salah, yaitu suatu penafsiran yang terpisah dari konteks dan makna yang sebenarnya.

Bagaimanapun, tidak akan ada satu hadits pun yang muatannya kontradiktif dengan prinsip-prinsip al Qur’an dan keteladanan Nabi. Al Qur’an mengatakan kemuliaan diukur dengan ketakwaan, bukan jenis kelamin. Sementara uswah dari Nabi mengajarkan bagaimana Rasulullah sangat menghormati dan menghargai perempuan.

Hadits-hadits tentang perempuan merupakan mayoritas penghuni neraka disabdakan oleh Rasulullah pada saat membaca khutbah Idul Fitri. Nabi memerintahkan umat Islam untuk bertakwa kepada Allah. Nasihat itu beliau mulai dari kelompok sahabat laki-laki, kemudian mengarahkan pidatonya kepada kaum hawa, kemudian bersabda sebagai bunyi hadits di atas.

Namun demikian, kita tidak boleh berhenti sampai disini. Dalam hadits lain dikatakan, Rasulullah berkata demikian dalam konteks manusia secara umum, bukan ditujukan khusus kepada para sahabiyah (sahabat perempuan).

Dalam kitab Shahih Bukhari (No. 29), Abdullah bin Abbas menyatakan: “Saya ditunjukkan neraka, dan saya menemukan bahwa mayoritas penghuninya adalah kaum wanita yang kufur”.

Alhasil, redaksi “wanita yang kufur” merupakan inti dari pernyataan Nabi. Dengan penajaman pemahaman, bahwa mayoritas wanita yang menjadi penghuni neraka adalah mereka yang mengutuk segalanya dan tidak berterima kasih terdapat pasangan mereka.

Sabda Nabi: “Kalian sering mengutuk dan tidak berterima kasih kepada pasangan kalian”, yang dimaksud disini adalah wanita-wanita kufur, bukan sahabat-sahabat perempuan yang hadir ketika Nabi mengatakan hal itu.

Sebagian ulama mengarahkan makna hadits-hadits perempuan mayoritas penghuni neraka sebagai pesan moral terhadap para sahabiyah untuk menjaga agamanya sehingga selamat dari siksa neraka, seperti dikatakan oleh Mubarakfury dalam karyanya Tuhfatul Ahwadzi.

Sementara Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Bari, menjelaskan, kufur yang dimaksud dalam hadits-hadits tersebut bukan kekafiran yang keluar dari agama, melainkan ingkar dan pengabaian terhadap kebaikan yang telah diberikan oleh suami.

Kesimpulannya, pernyataan Rasulullah tentang mayoritas penghuni neraka adalah perempuan merupakan alarm peringatan supaya kaum hawa (sahabiyah) selalu berhati-hati dan memegang kuat ajaran Islam.

Andaipun kaum hawa melakukan kekufuran tidak termasuk kategori kafir. Sekalipun kekufuran tersebut menyebabkan seorang wanita masuk neraka, itu tidak kekal. Hanya disiksa dulu di neraka sebagai balasan kekufuran tersebut, dan akan menjadi penghuni surga setelah semua kesalahannya diberi balasan yang setimpal.

Hal seperti ini tidak hanya berlaku bagi perempuan, laki-laki juga memiliki peluang yang sama sebab dosa-dosa yang diperbuat selama di dunia.

Sekali lagi, tidak ada jaminan kemuliaan antara laki-laki dan perempuan. Hanya takwa yang membedakan membedakan derajat manusia kelak di sisi Allah.

ISLAMKAFFAH

Viral “Brigade Hassan bin Tsabit” Melawan Israel, Siapakah Hassan bin Tsabit?

Penentangan dan perlawanan terhadap Israel yang menjajah dan melakukan kekejaman genosida terhadap rakyat Palestina terus berlangsung. Tidak hanya dilakukan oleh bangsa Palestina, namun solidaritas terhadap Palestina dan perlawanan terhadap Israel datang dari segala penjuru dunia.

Salah satunya adalah aksi “Brigade Hassan bin Tsabit”, seruan untuk menyerang medsos tentara Israel dengan tujuan untuk meruntuhkan semangat mereka. Mereka menyebut gerakan ini sebagai “jihad bil lisan” membantu Palestina melawan Israel. Jihad melawan Israel dengan kata-kata dan tulisan di media sosial.

Siapakah sosok Hassan bin Tsabit yang menjadi ikon dalam gerakan nitizen tersebut?

Hassan bin Tsabit adalah salah seorang sahabat Nabi. Bernama lengkap Hassan bin Tsabit bin Mundzir bin Haram bin Amr bin Zaid Minat bin Adi bin Amr bin Malik al Najjar al Anshari. Akrab dipanggil Abu al Walid.

Rasulullah sering dibuli oleh orang kafir Quraisy dengan syair-syair yang menghina dan melecehkan. Sebagaimana dimaklumi, orang-orang Arab jahiliah banyak yang memiliki kemampuan bersyair dengan gaya bahasa tingkat tinggi. Kala itu, identitas penyair sangat terhormat.

Beberapa sahabat berinisiatif untuk melawan penyair-penyair Quraisy yang menghina dan merendahkan marwah Nabi dengan syair-syair. Bagi mereka saat itu, membela Nabi tidak hanya dilakukan dengan menghunus pedang, namun juga dengan lisan melalui syair-syair sebagai narasi tandingan.

Pada awalnya Nabi menolak rencana ini, sebab di antara kafir Quraisy tercatat masih memiliki hubungan nasab dengan Nabi. Tidak mungkin menghina mereka dengan membawa-bawa keturunan sebab sama saja dengan menghina Nabi.

Akan tetapi, setelah berkonsultasi kepada Abu Bakar akhirnya rencana itu dijalankan. Abu Bakar adalah ahli nasab sehingga sangat tahu siapa saja yang tidak memiliki hubungan nasab langsung kepada Rasulullah. Ia kemudian merekomendasikan siapa saja yang boleh di balas dengan cara mempermalukan mereka dengan syair dan siapa yang tidak boleh diperlakukan demikian.

Hassan bin Tsabit diserahi tugas tersebut bersama Ka’ab bin Malik dan Abdullah bin Rawahah. Tiga orang ahli syair dari kalangan muslim ini bertugas melakukan serangan balik terhadap kafir Quraisy dengan syair. Syair dibalas syair. Sampai disini bisa diketahui bahwa Hassan bin Tsabit adalah seorang ahli syair.

Seperti ini pula maksud “Brigade Hassan bin Tsabit”, kelompok nitizen yang melakukan gerakan terhadap Israel dengan komentar dan status-status di media sosial untuk menghajar Israel.

Rasulullah sendiri senantiasa memberikan dukungan terhadap Hassan untuk melawan orang-orang kafir Quraisy dengan syair. Suatu ketika beliau berkata kepada Hassan bin Tsabit: “Hajarlah kaum Quraisy dengan syair-syairmu, Jibril selalu bersamamu”.

Dengan demikian, Hassan bin Tsabit adalah seorang pujangga besar dan mujahid bersenjata syair. Pria kelahiran Yatsrib (Madinah) tahun 536 M. dari golongan Bani Khazraj ini selalu tampil membela Nabi melawan musuh Islam. Syair-syairnya memiliki nilai seni sastra Arab sangat tinggi. Serangan syairnya mampu melemahkan semangat musuh di medan perang.

Tidak mustahil, Brigade Hassan bin Tsabit mampu melemahkan tentara IDF dengan menyerang akun mereka, menyerang medsos tentara Israel dengan tulisan. Menyentuh kemanusiaan mereka sehingga sadar bahwa genosida dan penjajahan terhadap Palestina merupakan aktifitas yang melanggar norma-norma kemanusiaan, dan kekejaman seperti itu hanya bisa dilakukan oleh binatang. Manusia yang naluri kemanusiaan dan akal sehatnya masih normal tidak akan sanggup melakukan perbuatan membantai sesama.

ISLAMKAFFAH