Sebab-Sebab Makmurnya Negeri

Pertanyaan: 

Apa saja penyebab makmurnya negeri?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Kemakmuran negeri merupakan bentuk nikmat dari Allah ta’ala. Dan semua nikmat itu hakikatnya hanya dari Allah dan diminta kepada Allah. Allah ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّـهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53).

Oleh karena itu kemakmuran suatu negeri tidaklah didapatkan kecuali dengan mencari keridhaan Allah ta’ala. Dan hal-hal yang Allah ridhai yang mendatangkan kemakmuran negeri adalah:

  1. Mewujudkan tauhid dengan sebenar-benarnya

Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang berhak mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang berhak mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82).

Dalam ayat ini Allah menjanjikan siapa saja yang beriman kepada Allah dan tidak berbuat syirik maka Allah akan berikan keamanan di dunia dan akhirat. Ini bentuk kemakmuran negeri, yaitu rasa aman.

  1. Beriman dan bertakwa dengan sebenar-benarnya

Allah ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96).

Dalam ayat ini Allah ta’ala menjanjikan kepada penduduk negeri yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, akan dibukakan keberkahan bagi negeri tersebut dari langit dan bumi. Ini adalah bentuk kemakmuran, yaitu keberkahan negeri.

  1. Jauhi maksiat

Maksiat adalah sumber musibah dan kesengsaraan. Allah ta’ala berfirman:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (QS. An-Nahl: 112).

Allah ta’ala jugaa berfirman:

وَلَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ الْعَذَابُ وَهُمْ ظَالِمُونَ

“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. An-Nahl: 113). 

Oleh karena itu, penduduk negeri yang menginginkan kemakmuran dan keselamatan, wajib untuk menjauhkan diri dari segala bentuk maksiat.

  1. Bekerja sama dengan pemerintah dalam perkara yang makruf

Allah ta’ala menakdirkan semua bentuk kenikmatan dengan didahului sebab-sebab. Tidak diragukan lagi bahwa bekerja sama dengan pemerintah adalah sebab terbesar untuk meraih kemakmuran suatu negeri. Oleh karena itu, kita diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah dalam perkara yang ma’ruf (baik). Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59).

Rakyat yang taat dan mau bekerja sama dengan pemerintahnya dalam perkara yang makruf, akan mendapatkan kemuliaan dan kemakmuran. Dari Abu Bakrah Nafi bin Al-Harits Ats-Tsaqafi, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَكرم سُلطانَ اللهِ أَكرمَه اللهُ ، ومَنْ أهانَ سُلطانَ اللهِ أهانه اللهُ

“Barang siapa yang memuliakan penguasa, maka Allah akan memuliakan dia. Barang siapa yang menghinakan penguasa, maka Allah akan menghinakan dia” (HR. Tirmidzi no. 2224, Ahmad no. 20433, dihasankan Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Takhrij Kitabus Sunnah li Abi Ashim no. 1017).

  1. Banyak bersyukur

Di antara sebab datangnya kemakmuran adalah banyak bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang Allah berikan, betapa pun kecil nikmat itu. Nikmat yang kecil, ketika disyukuri maka akan Allah tambahkan lagi. Sebaliknya, ketika nikmat tidak disyukuri maka Allah akan tambahkan azab, wal’iyyadzu billah. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (QS. Ibrahim: 7).

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من لم يشكرِ القليلَ لم يشكرِ الكثيرَ

“Siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka ia tidak akan mensyukuri nikmat yang banyak” (HR. Ahmad no.18449, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.976

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S. Kom .

KONSULTASI SYARIAH

Fatwa MUI untuk Palestina : Suarakan Amanat Konstitusi dan Nurani Umat

Kenapa Majelis Ulama Indonesia harus mengeluarkan fatwa untuk mendukung Palestina? Bukankah sudah secara tegas negara juga mengutuk penjajahan dan agresi Isarel di Palestina?

Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi landasan hukum dan moral bagi umat Muslim Indonesia dalam menanggapi konflik antara Palestina dan Israel. Dalam fatwa tersebut, terdapat beberapa poin penting yang mencerminkan pandangan Islam dan implikasinya di tingkat nasional dan internasional.

Fatwa ini dengan tegas menyatakan bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel adalah sebuah kewajiban hukum. Pernyataan ini tidak hanya merujuk pada dukungan moral, tetapi menciptakan dasar yang kuat berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan dalam Islam.

Dalam Surah Al-Maidah ayat 32, Allah SWT berfirman, “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” Dengan demikian, mendukung perdamaian dan melawan agresi adalah sebuah panggilan moral.

Fatwa ini dengan jelas menyatakan bahwa mendukung Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk melalui pembelian produk dari produsen yang mendukung Israel, adalah haram. Ayat Al-Quran dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 8 menjelaskan larangan bersekutu dengan orang-orang yang memerangi umat Islam karena keyakinan mereka.

Adapun dalam konteks ini, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang membantu dalam membunuh seorang Muslim, walaupun hanya dengan seteguk air, maka Allah akan memberinya minum dari air neraka.” (HR. Ahmad).

Dalam konteks bernegara dengan amanat konstitusi yang mendukung perdamaian abadi dan anti penjajahan di muka bumi, Fatwa ini menciptakan konsistensi dalam dukungan terhadap hak asasi manusia dan perdamaian abadi dengan nilai dasar Pancasila. Karena itulah, Fatwa MUI sudah sejalan dengan konstitusi dan nurani umat.

Dengan merujuk pada Al-Quran dan hadis, fatwa ini memberikan argumen kuat bagi umat Muslim Indonesia untuk berdiri teguh dalam mendukung prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. MUI sebagai representasi umat Islam di Indonesia sudah tepat memberikan suara tegas untuk Palestina.

Fatwa ini memiliki dampak tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga memberikan sinyal moral dan kemanusiaan di tingkat internasional. Dengan tegas menolak dukungan terhadap Israel, Indonesia membawa suara Islam yang damai dan menegaskan komitmennya terhadap perdamaian global.

Fatwa MUI ini mengajak umat Muslim Indonesia untuk tidak hanya sebatas dukungan moral, tetapi juga mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas. Ini menjadi panggilan untuk mengintensifkan bantuan kemanusiaan, diplomasi, dan advokasi guna mencapai perdamaian yang berkelanjutan.

Dengan demikian, fatwa ini menciptakan landasan hukum dan moral yang kokoh bagi umat Muslim Indonesia untuk bersatu dalam mendukung perjuangan Palestina, menciptakan solidaritas kemanusiaan, dan memberikan kontribusi nyata dalam mencapai perdamaian dunia.

Tinggal langkah kongkret berikutnya sangat dibutuhkan. Jangan fatwa ini justru menjadi landasan bagi kelompok kepentingan untuk menyebarkan kampanye produk-produk tertentu yang dilarang tanpa dasar yang jelas. Boikot produk Israel terkadang ditunggangi perang bisnis yang menyesatkan literasi masyarakat.

Tentu tidak berhenti di fatwa, harus ada edukasi dan sosialisasi tentang produk-produk Israel yang diboikot. Karena banyak di tengah masyarakat justru bertebaran kampanye-kampanye tanpa dasar yang memberikan list produk yang diboikot tanpa dasar yang jelas.

Membantu Palestina adalah kewajiban umat Islam seluruh dunia. Apapun yang bisa dilakukan dari hal kecil, tentu bukan perjuangan yang sia-sia. Langkah kongkret itu harus dimulai dengan tidak memberikan dukungan sedikitpun terhadap para penjajah seperti Israel.

ISLAMKAFFAH

Ikut Berperan dalam Dakwah

Bismillah.

Dakwah adalah suatu amalan yang sangat utama

Tidak diragukan bahwa dakwah merupakan suatu amalan yang sangat utama. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru menuju Allah dan dia beramal saleh, dan dia pun berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk dari kaum muslimin.’” (QS. Fushshilat: 33)

Para ulama menjelaskan bahwa dakwah itu membutuhkan ilmu. Karena berdakwah tanpa ilmu berarti beramal dengan kebodohan. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata.’” (QS. Yusuf: 108)

Pada masa ini, dengan berkembangnya teknologi informasi dan media sosial, hal itu telah membuka pintu bagi siapa pun untuk menyebarkan ucapan dan ajakan. Tidak terkecuali dalam urusan dakwah. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari kapasitas dirinya. Akhirnya, mereka berbicara sesuatu yang bukan keahlian dan di luar wewenangnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

Inilah di antara fenomena yang melanda masyarakat masa kini. Ketika ‘semua orang’ berbicara tanpa mengenal adab dan etika.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa keimanan akan menjaga seorang muslim dari keburukan lisannya. Di antara keburukan lisan itu adalah berbicara dalam urusan agama tanpa ilmu dan tanpa adab. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“.. Dan kalian berbicara dengan mengatasnamakan Allah apa-apa yang kalian tidak ketahui ilmunya.” (QS. Al-A’raf: 33)

Di dalam Al-Qur’an, Allah juga mengaitkan perintah takwa dengan perintah untuk berucap dengan ucapan yang lurus. Bahkan, ketika memerintahkan Musa dan Harun untuk berdakwah kepada Fir’aun, maka Allah juga menyuruh mereka berdua untuk berbicara dengan ucapan yang lembut kepadanya.

Jagalah lisanmu!

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tahukah kalian apa yang paling banyak menjerumuskan orang ke dalam neraka?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau mengatakan, “Yaitu, dua buah lubang: kemaluan dan mulut. Dan apakah yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga? Ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang mulia.” (HR. Ibnu Majah, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Takhrij At-Targhib. Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad, hal. 123)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang diam, maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad no. 6481. Sanadnya disahihkan Syekh Abdullah bin Yusuf Al-Judai’ dalam Ar-Risalah Al-Mughniyah fi As-Sukut wa Luzum Al-Buyut, hal. 21-22; Bab Najatul Insan bi Ash-Shamti wa Hifzhi Al-Lisan)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?” Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 20: 127-128; disahihkan sanadnya oleh Syekh Abdullah bin Yusuf Al-Judai’ dalam Ar-Risalah Al-Mughniyah, hal. 27)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara kedua jenggotnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka dia akan masuk surga.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)

Di dalam Al-Adzkar, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, semestinya bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syariat) untuk menjaga lisannya dari segala ucapan, kecuali ucapan-ucapan yang tampak jelas kemaslahatannya. Apabila ternyata setara antara kemaslahatan berbicara atau tidak berbicara, maka yang dianjurkan adalah menahan diri darinya. Sebab bisa jadi ucapan-ucapan yang pada dasarnya mubah menyeret kepada ucapan yang haram atau makruh. Bahkan, hal semacam ini banyak terjadi dan lebih dominan dalam kebiasaan (sebagian orang). Padahal, keselamatan diri (dari bahaya lisan) adalah sebuah perkara yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apapun.” (Lihat Al-Fitnah wa Atsaruha Al-Mudammirah, hal. 302)

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah memahami agamanya, orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (Lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2: 84)

Thawus rahimahullah berkata, “Lisanku adalah binatang buas. Apabila aku melepaskannya dengan bebas, niscaya ia akan memakan diriku.” (Lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2: 90)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)

Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Sesuatu yang paling layak untuk terus dibersihkan oleh seorang hamba adalah lisannya.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 27)

Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berpesan, “Jauhilah oleh kalian kebiasaan terlalu banyak berbicara.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 28)

Dari Ibnu Abi Zakaria rahimahullah, beliau mengatakan, “Aku belajar untuk diam setahun lamanya.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 39)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Cukuplah dianggap berdosa jika seseorang senantiasa menceritakan segala sesuatu yang didengarnya.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 45)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S,Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89344-ikut-berperan-dalam-dakwah.html

Muhasabah: Apakah Kita Pantas Disebut Aktivis Dakwah?

Kita hanyalah makhluk yang teramat dan acapkali khilaf serta salah. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan yang ada, seharusnya tidak menjadikan kita besar kepala seraya membusungkan dada atas setiap ikhtiar perjuangan dakwah kita. Dengan segala kekurangan kita pula, tidak menjadikan kita memiliki seribu alasan untuk tidak memberikan segala yang terbaik bagi perjuangan dakwah ini. Hanya kepada Tuhan yang Maha Esalah segala perkara dikembalikan. Hal inilah yang semestinya menjadi sebuah kesadaran yang perlu ditanamkan bagi segenap aktivis dakwah. Kesadaran ini menuai pertanyaan, “Apa pantas kita disebut sebagai aktivis dakwah?”

Maka, kita pikirkan kembali dengan berhenti sejenak untuk muhasabah dan memikirkan apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam diri. Hal ini dilakukan agar kita kembali meluruskan tujuan dan niat kita untuk menguatkan gerak langkah yang benar sebagai aktivis dakwah yang terarah atas capaiannya. Kesadaran ini sangat penting bagi aktivis dakwah atas kehadirannya di ruang lingkup kehidupan, baik lingkungan akademik, lingkungan kerja, maupun lingkungan masyarakat. Hal ini dilakukan agar jangan sampai aktivis dakwah setelah melewati masa dinamika di dalam aktivitas kehidupan kesehariannya, tidak memperoleh kebermanfaatan dari dakwah itu sendiri. Oleh karena itu, penting bagi seorang aktivis dakwah sunah pada khususnya, yang berikhtiar mengamalkan sunah-sunah Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam untuk merenungi kembali urgensi, “Apa pantas disebut sebagai aktivis dakwah?”

Sudah menjadi fitrah manusia bahwa niat dalam diri pasti mudah berubah-ubah. Maka, sudah menjadi kewajiban bagi setiap aktivis kebaikan “muhasabah diri” dan senantiasa meluruskan niat dalam mengisi aktivitas diri, baik dalam keluarga, masyarakat, dan lingkungan kerja. Dinamika dan regenerasi dalam masyarakat, apalagi di dalam negara Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Dinamisnya suasana dalam pergantian struktural adalah keharusan. Dalam kondisi kritis ini, bisa menjadi sebuah peluang untuk bagaimana kita ambil menjadi salah satu langkah dan motif kebaikan dakwah sunah bagi setiap aktivis penggiat dakwah. Sehingga, keistikamahan dan kolaborasi dakwah sunah semakin masif dan menjadi satu hal penting yang perlu dicari dan diterapkan dalam kehidupan keseharian.

Apabila setiap aktivis dakwah sebagian ataupun keseluruhan menanamkan hati yang istikamah, maka aktivitas dakwah ini pada satu kondisi akan menemui satu kondisi saling menguatkan dan mengingatkan untuk saling mengisi kekosongan dalam setiap ruang hampa problematika dakwah dan ibadah dalam masyarakat, untuk saling bekerja sama dan berkolaborasi dalam kebaikan dan perjuangan agar dakwah sunah semakin nyaman dan mudah diikuti oleh masyarakat awam pada umumnya.

Maka, yang harus dicari, dikejar, dan diperbaiki dengan sabar dan sadar oleh setiap aktivis dakwah sunah bahwa dirinya berada di dalam langkah gerak aktivitas dakwah masyarakat yang majemuk yang perlu mengenalkan dakwah sunah dengan perilaku akhlaqul karimah dan mampu memberi contoh dengan sikap yang santun. Sebab, bagi aktivis dakwah tidak cukup apabila hanya mengandalkan ilmu agama dan pengetahuan saja. Karena aktivis  dakwah sunah itu adalah simbol akhlak dalam bermuamalah di lingkungan sekitar, yang menjadi wasilah (perantara) dalam tegaknya tauhid di kalangan masyarakat umum dengan berbagai ujian dan langkah yang tidak selalu mulus.

Seperti dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗيَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ

Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha mengetahui, Mahakuasa. (QS. Ar-Rum: 54)

Hal wajib lainnya yang mesti dilakukan oleh aktivis dakwah dalam lingkungan masyarakat ialah dengan menjadikan kehidupan bermasyarakat sebagai sebuah wadah untuk tempat berlatih menjadi orang yang peka terhadap lingkungan sekitar dan peka terhadap permasalahan yang ada di kehidupan kita baik dalam lingkup keluarga, bertetangga, dan sebagai warga negara, untuk mampu menumbuhkan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.

Sudah semestinya aktivis dakwah sunah menjadikan teladan dan wasilah dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan kerjanya sebagai pintu gerbang untuk menanamkan prinsip-prinsip pribadi yang memiliki pengetahuan agama yang syar’i, sesuai sunah dan Qur’an. Oleh karena itu, output-nya adalah wise dalam bersikap dan outcomenya adalah kebijaksanaan dalam bermuamalah. Selain itu, hal mutlak yang mesti dilakukan oleh aktivis dakwah sunah ialah mengasah diri untuk memiliki budi pekerti yang tinggi. Budi pekerti yang tinggi akan terwujud dengan akhlaqul karimah yang baik dan benar sesuai tuntunan sunah, respect terhadap orang lain, sifat yang lembut, dan sikap tegas dalam bertindak.

Dengan demikian, sudah seharusnya pola dan corak pemikiran yang terbangun dalam aktivis dakwah masyarakat ialah sebuah keseimbangan dan kebersamaan dalam memperoleh kesepemahaman yang menjadi wadah untuk menjawab apa yang dicari dan dibutuhkan bagi masyarakat sesuai tuntunan sunah. Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri, ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi.

Hasbunallahu wani’mal-wakil, ni’mal-maula wani’man-nashir.

Allahu’alam bish-shawab.

***

Penulis: Kiki Dwi Setiabudi, S.Sos.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89346-apakah-kita-pantas-disebut-aktivis-dakwah.html

Pakar Militer: Pasukan Al-Qassam Belum Turun, ‘Israel’ Tak akan Mampu Lenyapkan Hamas

Pakar stategi militer Mayor Jenderal Fayez Al-Duwairi, mengatakan bahwa 70% dari total kekuatan milisi pejuang Brigade Al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) baru dikerahkan sebagian,  dalam menghadapi tentara penjajah yang merambah ke beberapa wilayah di Jalur Gaza bagian utara.

Al-Duwairi,  analisis militer di TV Al-Jazeera mengatakan, pasukan penyerang di Kota Gaza belum berpartisipasi dalam pertempuran tersebut, merujuk pada Brigade Shuja’iya dan Al-Tuffah, yang merupakan salah satu brigade cadangan di unit Al-Qassam.  Sedang Brigade lain yang belum memasuki pertempuran darat, bersama dengan brigade Tal Al-Zaatar dan Jabalia Al-Balad.’

Pakar militer tersebut menunjukkan bahwa BShujaiya dan Al-Tuffah bertanggung jawab atas penangkapan tentara Zionis Israel Shaul Aaron dalam agresi terhadap Gaza pada tahun 2014. Mereka ini dikenal keberanianya menghadapi pasukan khusus Zionis dari Brigade “Golani” katanya dikutip Palestine Information Centre (PIC), Ahad (13/11/2023).

Al-Duwairi mengatakan, bahwa pasukan Al-Qassam dan faksi perjuangan pembebasan Palestina lainnya di Jalur Gaza masih kompak dalam menjalankan peran mereka dengan sangat baik setelah 15 hari perang darat yang dilancarkan penjajah, meskipun ada rasa sakit, kehancuran dan pengepungan.

Dia menekankan bahwa kelompok perlawanan terlihat baik-baik saja dan memiliki banyak keunggulan di lapangan. Ia menambahkan bahwa tentara penjajah dan para pemimpinnya tidak akan mampu mengalahkan atau melenyapkan Hamas sebagaimana bualan mereka.

Struktur Brigade Qassam

Al-Duwairi mencontohkan, organisasi Brigade Al-Qassam didasarkan pada brigade dan batalion, dan pembangunan batalion tersebut bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lain. Ia mencontohkan, Pasukan Al-Qassam dibangun atas dasar geografis, seperti Jalur Gaza, yang dibagi menjadi beberapa wilayah dan masing-masing wilayah dialokasikan satu batalion dan kadang-kadang satu brigade.

“Meski hal ini tidak konsisten dengan standar global, karena standar ini bersifat spesifik, hanya ada di Gaza,” ujarnya.

Menurutnya, ada 12 batalion Al-Qassam, terlepas dari jumlah dan komponennya – menurut Al-Duwairi – yang mengatakan bahwa beberapa dari mereka terlibat dalam perang total dan menentukan dengan pasukan penjajah yang menyerang dari utara dan selatan, dan satu lagi sebagian terlibat dalam bentrokan parsial.

Menurut pantauan Duwairi, brigade yang telah terlibat penuh sejak 15 hari operasi darat adalah: Batalion Pantai, Batalion Tal al-Hawa, Batalion Jabalia-Beit Lahia Barat, dan Batalion Beit Hanoun.

Menurut Al-Duwairi, brigade-brigade ini setara dengan 35% dari total pasukan Al-Qassam, yang mereka semua terlihat masih kompak, menjaga komando dan kendali, dan mencegah pasukan pendudukan mencapai keberhasilan.

Adapun brigade keterlibatan parsial, menurut pakar militer itu adalah: Brigade Syekh Radwan, Brigade Zaytoun, Brigade Jabalia, dan Brigade Beit Lahia, sebagaimana ia tunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan tempur yang tinggi dan 30 hingga 50% dari kekuatan mereka digunakan untuk melawan tentara penjajah yang didukung peralatan canggih mayoritas negara Barat.

Al-Duwairi mencontohkan, terdapat pasukan cadangan strategis di Brigade Al-Qassam yang diwakili oleh: Brigade Rafah, Brigade Khan Yunis, dan Brigade Al-Wusta, yang terbagi menjadi Deir Al-Balah, Al-Nuseirat, Al-Bureij, dan Al-Maghazi.

Dia mencatat bahwa brigade-brigade ini merupakan 30% dari total kekuatan Brigade Al-Qassam, yang konsisten dengan konsep militer bahwa pasukan cadangan harus berjumlah 30% dari total.*

HIDAYATULLAH

Konflik Israel-Palestina; Begini Aturan Perang dalam Islam

Ribuan nyawa melayang di Palestina akibat serangan Israel yang membombardir kita tersebut. Anak meratapi ibu yang meninggal, ibu menangisi anaknya yang telah tiada, dan berbagai kepiluan lain. Sungguh, suatu tragedi kemanusiaan yang biadab membunuh mereka yang tak berdosa.

Perang memang selalu ada sepanjang sejarah kehidupan manusia di bumi. Termasuk Rasulullah sendiri sering terlibat dalam serangkaian peperangan. Bedanya, agama Islam memerintahkan untuk berperang hanya apabila dimusuhi dan diperangi karena agama dan demi mempertahankan tanah air.

Namun di dunia ini, perang sering terjadi karena faktor politik, ego, dan ambisi duniawi yang lain; ambisi, ketamakan, keangkuhan, dan keangkaramurkaan. Disinilah manusia bisa melebihi setan dan iblis, kejam dan buas.

Seperti yang terjadi saat ini di tanah Palestina. Genosida dan pembantaian ribuan rakyat sipil yang tak berdosa. Sebuah pertikaian yang mengenyampingkan kode-kode etik dalam peperangan. Tidak ada yang mampu mencegah pembantaian yang menciderai kemanusiaan tersebut. PBB sekalipun hanya nama belaka sebagai kiblat perdamaian dunia.

Membaca Kembali Aturan Perang dalam Islam

Sekalipun Islam membenarkan perang dalam konteks tertentu sebagaimana dijelaskan di atas, namun demikian sekalipun dalam kondisi peperangan sekalipun tetap ada aturan-aturan yang harus dipatuhi.

Ibnul Arabi dalam Ahkamul Qur’an ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 190, menjelaskan, orang yang boleh dibunuh hanya mereka yang ikut berperang saja. Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama ahli tafsir.

Dalam konteks abad modern saat ini, maka warga sipil tidak boleh dibunuh. Begitu pula perempuan, anak-anak dan para pendeta atau tokoh agama yang tidak terlibat dalam peperangan.

Hal ini menunjukkan betapa kuatnya Islam dalam menghargai nyawa dan jiwa manusia. Islam hanya membolehkan membunuh laki-laki dewasa yang menjadi tentara dalam peperangan. Selain mereka harus dilindungi. Dengan kata lain, membunuh anak-anak dan perempuan serta mereka yang tidak terlibat dalam peperangan adalah dosa besar.

Jauh-jauh hari Nabi telah mengingatkan etika dalam peperangan. Salah satunya, beliau bersabda: “Siapa yang membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga.”. (HR. Bukhari).

Term kafir mu’ahad maknanya adalah orang kafir yang bersedia hidup damai dengan umat Islam dalam suatu perjanjian gencatan senjata. Demikian pula kafir dzimmi, mereka tidak boleh diperangi selama bersedia hidup damai. Jelas, hal ini menunjukkan tingginya agama Islam membela kemanusiaan. Membunuh mereka yang tidak terlibat dalam perang diancam dengan hukuman berat, tidak akan mencium bau surga alias diceburkan ke neraka.

Ironisnya, zaman modern dengan senjata yang canggih melupakan aturan-aturan tersebut. Apalagi yang kita saksikan saat ini di tanah Palestina. Lebih 8000 orang tak berdosa meregang nyawa akibat serangan brutal Israel ke Jalur Gaza dan Palestina secara umum. Begitu mengerikan kebiadaban Israel, melampaui kekejaman setan dan iblis sekalipun.

ISLAMKAFFAH

2 Arti Silaturahmi Menurut Imam Al-Qurthubi

Silaturahmi tidak memiliki makna tunggal, yang berarti kunjungan dan pertemuan saja. Akan tetapi silaturahmi dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tingkat kemampuan, dan tuntutan kondisi di lapangan. Lantas apa arti silaturrahmi dalam Islam? Untuk menjawab itu, berikut 2 arti silaturahmi menurut Imam Al-Qurthubi. 

Syekh Muhammad bin Ahmad al-Saffarini dalam karyanya Ghidha ul Albabi Bi Sharh Mandhumatil Aadabi Juz 1, halaman 356, mengutip pernyataan Imam Al-Qurthubi tentang 2 arti  silaturahmi. Adapun kutipannya sebagai berikut:

قال القرطبي: الرحم التي توصل عامة وخاصة، فالعامة رحم الدين وتجب مواصلتها بالتواد والتناصح والعدل والإنصاف والقيام بالحقوق الواجبة والمستحبة  

Artinya: Imam Al-Qurthubi berkata, hubungan kasih sayang yang bisa menyambung tali persaudaraan ada dua, yaitu, kasih sayang secara umum maupun secara khusus. Adapun kasih sayang secara umum itu kasih sayang yang disebabkan oleh hubungan agama, maka  menyambungnya dengan cara saling mengasihi, saling menasehati, berbuat adil, mengakui kesalahan, memenuhi hak-hak yang bersifat wajib maupun sunnah. 

وأما الرحم الخاصة فتزيد النفقة على القريب، وتفقد أحوالهم، والتغافل عن زلاتهم، وتتفاوت مراتب استحقاقهم في ذلك كما في الحديث والأقرب فالأقرب 

Adapun kasih sayang yang bersifat khusus adalah menambah dengan memberikan nafkah kepada keluarga dekat, memperhatikan kondisi mereka, berusaha melupakan kesalahan mereka, dan hal itu tingkatnya berbeda-beda dalam pemenuhannya sebagaimana dijelaskan dalam hadis, jadi yang didahulukan adalah kerabat yang hubungan kekerabatannya paling dekat kemudian kerabat yang selanjutnya.

Menurut penuturan Imam Al-Qurthubi di atas, tali silaturahmi itu ada dua, yaitu, umum dan khusus. Dan untuk merealisasikan keduanya, kita harus mempererat tali persaudaraan, dan menjunjung tinggi solidaritas antar sesama. 

Silaturahmi yang bersifat umum, yaitu, hubungan yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Hubungan keagamaan dapat mempererat tali silaturahmi, karena agama mengajarkan untuk saling mengasihi dan menyayangi. Orang yang mendalami agama pasti mempunyai rasa kasih sayang yang tinggi, ia tidak angkuh dan congkak, ia suka menolong atau membantu orang lain.

Agama Islam menganjurkan untuk saling menasehati, berlaku adil dan tidak pilih kasih dalam memutuskan suatu perkara. Berani mengakui kesalahan, tekun atau istiqamah dalam menjalankan kewajiban.

Adapun silaturahmi yang bersifat khusus, yaitu, berkaitan dengan materi. Seperti memberi nafkah kepada keluarga. Orang yang sudah berkeluarga (menikah) diwajibkan baginya untuk menafkahi Istri dan anaknya. Dan wajib baginya memperhatikan kondisi famili terdekatnya, Dan memaafkan kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat.

Demikian arti silaturahmi dalam Islam dan dalam pandangan Imam Qurthubi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Travel Umroh Belum Sertifikasi Izin Operasional Terancam Dibekukan

PPIU wajib disertifikasi setiap lima tahun sekali.

Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) wajib melakukan sertifikasi. Apabila tidak sertifikasi, maka izin operasional terancam dibekukan.

“PPIU yang tidak tersertifikasi atau tidak melakukan sertifikasi ulang sampai dengan masa berlaku sertifikat berakhir, izin operasionalnya akan dibekukan,” ujar Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag Nur Arifin di Jakarta, Selasa (14/11/2023).

Kewajiban PPIU melakukan sertifikasi tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1251 tahun 2021, yang pada Diktum Keempat menetapkan PPIU wajib sertifikasi paling lama dua tahun sejak izin diterbitkan atau sejak KMA 1251 terbit pada 1 Desember 2021.

Selanjutnya, kata dia, PPIU yang telah tersertifikasi mengikuti siklus sertifikasi lima tahun sekali. “Jadi, setelah sertifikasi yang pertama kali, maka PPIU wajib disertifikasi setiap lima tahun sekali,” katanya.

Menurutnya, sertifikasi dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PPIU. Sejak 2020, sertifikasi PPIU dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Umrah dan Haji Khusus (UHK).

Sampai saat ini, kata dia, terdata ada 681 PPIU yang harus sertifikasi untuk pertama kali sampai dengan 30 November 2023. Dari jumlah itu, baru 243 PPIU yang sudah melakukan proses pengajuan sertifikasi. Selain itu, terdapat 71 PPIU yang sudah saatnya sertifikasi karena sudah masuk siklus lima tahunan.

“Kami masih menunggu 438 (yang belum sertifikasi) sampai dengan 30 November 2023,” kata Nur Arifin.

Kasubdit Perizinan, Akreditasi, dan Bina PPIU Kemenag Sutikno mengatakan jika izin dibekukan, maka selama masa pembekuan izin operasional PPIU tidak diperbolehkan melakukan kegiatan usaha.

“PPIU yang dalam status pembekuan izin operasional diberikan waktu selama enam bulan untuk mendapatkan sertifikat baru. Masa berlaku sertifikat baru merujuk pada tanggal dan bulan izin operasional. Status pembekuan izin operasional berakhir setelah PPIU mendapatkan sertifikat baru,” kata Sutikno.

Ia menjelaskan izin operasional PPIU dicabut apabila tidak mendapatkan sertifikat baru dalam jangka waktu paling lama enam bulan terhitung sejak tanggal sertifikat lama berakhir. Untuk menghindari hal itu, Kemenag akan terus mengingatkan PPIU agar segera melakukan sertifikasi.

“Kami akan terus lakukan sosialisasi dengan para PPIU serta berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag Provinsi untuk mengingatkan para PPIU,” katanya.

IHRAM

Jangan Jadikan Pekerjaanmu Hanya sebagai Rutinitas Harian Semata

Islam memerintahkan kita untuk menjemput rezeki dan mencari nafkah di atas muka bumi ini. Tujuannya agar rezeki tersebut bisa mencukupi diri kita sendiri dan orang-orang yang berada di bawah tanggungan kita tanpa perlu meminta belas kasihan orang lain. Allah Ta’ala berfirman mengabarkan hikmah diciptakannya siang dan malam,

وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.(QS. Al-Qasas: 73)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)

Ibnu Katsir rahimahullah saat menafsirkan ayat di atas mengatakan,

“Maka, bepergianlah ke manapun kamu mau dari wilayahnya. Dan telusuri serta pulang pergilah ke setiap sudutnya untuk mencari segala macam keuntungan dan perdagangan. Dan ketahuilah bahwa usahamu tidak akan membawa manfaat apa pun kepadamu kecuali jika Allah memudahkannya untukmu. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.’ (QS. Al-Mulk: 15) Berusaha mencari jalan rezeki sama sekali tidak bertentangan dengan rasa tawakal yang harus kita yakini.” (Tafsir Al-Quran Al-Adzim, 8: 179)

Di surah yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا

“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud: 61)

Di dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah disebutkan,

“Dia menciptakan kalian dari tanah dan mengilhami kalian untuk memakmurkan bumi dengan bercocok tanam, dan menyiapkan kalian cara-cara mendapat penghidupan di bumi. Kalian memahat gunung-gunungnya, mendirikan bangunan di tanahnya yang lapang, menikmati rezekinya, dan mengeluarkan harta bendanya.”

Mencari penghasilan dan pekerjaan di muka bumi merupakan salah satu keistimewaan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia. Bekerja, mengelola sumber daya alam adalah amanah yang Allah Ta’ala bebankan kepada hamba-hamba-Nya.

Anjuran dan motivasi bekerja di dalam Al-Qur’an

Di dalam surah Al-Jumu’ah Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Para ahli tafsir manafsirkan “karunia” di dalam ayat ini dengan “mencari penghasilan dan berdagang”. Ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk tidak lupa bekerja dan mencari nafkah setelah sebelumnya kita juga diperintahkan untuk beribadah.

Di dalam surah Al-Qasas, Allah Ta’ala juga berfirman,

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qasas: 77)

Bekerja lalu menikmati hasil jerih payah dari upaya kita merupakan salah satu perkara yang Allah Ta’ala perintahkan untuk tidak kita lupakan. Dengan bekerja dan memiliki penghasilan (sebagaimana disebutkan di dalam ayat), maka kita juga akan lebih mudah berbuat baik kepada orang lain.

Anjuran dan motivasi bekerja di dalam hadis

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memotivasi dan mendorong kita untuk bekerja, berusaha, dan mencari nafkah dengan berbagai macam motivasi dan ajakan. Di antaranya beliau bersabda,

ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ

”Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan makanan hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Dawud ‘alaihissalam dahulu makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072)

Di hadis yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَأْتِيَ بحُزْمَةِ الحَطَبِ علَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا، فَيَكُفَّ اللَّهُ بهَا وجْهَهُ خَيْرٌ له مِن أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

“Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak.” (HR. Bukhari no. 1471)

Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan kepada kita bahwa bekerja, apapun jenisnya, lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain dan menjatuhkan kehormatan diri kita. Dan betapa pun berat dan kerasnya pekerjaan tersebut, itu lebih baik daripada menghinakan diri untuk meminta-minta. Pada saat terdesak sekalipun, mencari nafkah harus diutamakan daripada meminta-minta, meskipun pekerjaan yang dijalaninya tersebut keras dan melelahkan.

Memperbaiki niat dalam bekerja

Di dalam surah Al-Muzammil, Allah Ta’ala menyamakan kedudukan orang-orang yang keluar untuk mencari nafkah dengan mereka yang keluar untuk berjihad di jalan Allah. Allah Ta’ala berfirman,

عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al-Muzammil: 20)

Imam Al-Qurtubi rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan,

“Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyamakan derajat orang-orang yang berperang dan orang-orang yang mencari nafkah halal untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya, dan untuk berbuat kebaikan dan keutamaan. Maka, ini adalah dalil bahwa mencari nafkah (yang halal) itu sama kedudukannya dengan jihad, karena Allah Ta’ala menyebutkannya bersamaan dengan penyebutan jihad di jalan Allah Ta’ala.” (Tafsir Al-Qurthubi, 19: 55).

Banyaknya dalil-dalil yang memerintahkan kita untuk bekerja dan mencari nafkah juga mengisyaratkan bahwa rutinitas tersebut dapat menjadi ibadah dan bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Yaitu, apabila disertai niat ikhlas karena mengharap wajah Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini pernah disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

“Sungguh, tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun suapan makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56).

Belum lagi, menafkahi keluarga dan orang yang berada di bawah tanggungan kita merupakan salah satu bentuk sedekah yang paling utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Harta yang engkau keluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau berikan kepada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau berikan kepada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau berikan kepada pembantumu, itu juga termasuk sedekah.” (HR. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra no. 9185 dan Ahmad no. 17179)

Di hadis yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ

“Wajib bagi setiap muslim bersedekah.”

Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak sanggup?”

Beliau menjawab,

يَعْمَلُ بِيَدِهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ قَالُوا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ فَلْيَعْمَلْ بِالْمَعْرُوفِ وَلْيُمْسِكْ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا لَهُ صَدَقَةٌ

Dia bekerja dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi dirinya, lalu dia bersedekah.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Dia membantu orang yang sangat memerlukan bantuan.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Beliau menjawab, “Hendaklah dia berbuat kebaikan (ma’ruf) dan menahan diri dari keburukan karena yang demikian itu berarti sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 1445)

Ingatlah juga, bahwa siapa pun yang menelantarkan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya dan tidak mau menafkahi mereka, maka akan mendapatkan dosa karena perbuatannya tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَفَى بالمَرْءِ إثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa apabila menahan makanan (nafkah, upah dan lain sebagainya) dari orang yang menjadi tanggungannya. (HR. Muslim no. 996)

Kesimpulan

Sungguh, meskipun di mata kita bekerja itu hanya rutinitas harian semata, di mata Allah Ta’ala akan bernilai ibadah jika diniatkan sebagai ibadah, mencari pahala, dan memenuhi hak-hak orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab kita.

Dengan niat yang benar, sebuah rutinitas dan aktifitas akan berubah nilainya di sisi Allah Ta’ala. Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.(HR. Bukhari no. 1)

Saat berangkat kerja, sertakan niat untuk mengharap rida dan wajah Allah Ta’ala, berusahalah untuk mencari penghasilan dan nafkah keluarga dari yang halal, hindarkan diri dari sesuatu yang masih abu-abu dan kita ragu tentang hukumnya. Sebagaimana ibadah lainnya tidak akan Allah terima, kecuali dengan mengikuti pedoman-Nya dan ajaran Nabi-Nya. Begitu pula dengan bekerja, tidak akan mendapatkan keberkahan dan bernilai pahala, kecuali jika sudah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563)

Wallahu A’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89760-jangan-jadikan-pekerjaanmu-hanya-sebagai-rutinitas-harian-semata.html

Umat Islam Wajib Berjihad Melawan Israel ! Begini Caranya

Jihad berperang melawan orang kafir yang mengancam kehidupan orang Islam hukumnya wajib. Dalam konteks umat Islam dalam kondisi terancam dan mendapat serangan dari pihak musuh, Allah memerintahkan melalui firman Allah swt:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ

Artinya: “Diwajibkan atas kalian berperang” (QS. Al Baqarah: 216)

begitu juga ayat 89 surat an Nisa’:

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ

Artiya: “Bunuhlah mereka di mana kalian menjumpainya” (QS. An Nisa’: 89)

atau surat At Taubah ayat 5:

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ

Artinya: “Bunuhlah orang-orang musyrik di mana kalian menjumpainya” (QS. At Taubah: 5)

ulama’ sepekat ayat-ayat tersebut adalah dalil kewajiban berjihad perang melawan orang-orang kafir dalam konteks kondisi perang. Tentang sejauhmana kewajiban berjihad tersebut ulama’ membedakan kondisi orang kafir.

Jika orang kafir berada di negerinya, sementara orang Islam butuh untuk menyerang ke negaranya, maka hukumnya fardhu kifayah. Seandainya sudah ada yang melakukan penyerangan tersebut, maka kewajiban bagi umat Islam lainnya sudah gugur. Namun jika orang kafir yang menyerang negara berpendudukan Islam, maka wajib bagi seluruh umat Islam untuk berperang melawannya sebagaimana fatwa jihad yang pernah dikeluarkan oleh KH Hasyim Asya’ri melalui Resolusi Jihad.

Pertanyaannya, bagaimana dengan umat Islam lainnya yang berada di negara berbeda?

Syaikh al Bajuri di dalam kitabnya menjelaskan ketika suatu negara umat Islam diserang orang kafir, maka wajib bagi umat Islam lainnya melakukan jihad melawan kafir tersebut. Sebagaimana terjadi pada Palestina yang dibantai dan didzolimi oleh Zionis Israel. Hanya saja, kewajiban ini berbeda antara negara yang jauh dengan negara yang dekat.

Syaikh al Bajuri menegaskan, untuk negara yang dekat yang tidak sampai jarak boleh mengqashar shalat, maka wajib ain melawan kafir yang menyerang suatu negara berpenduduk Islam. Begitu juga bagi penduduk yang jauh dari negara yang diserang dan mereka membutuhkan bantuanya, maka juga wajib ain.

Sementara jika penduduk Islam lainnya jauh dari negara tersebut, maka hukumnya fardhu kifayah.

وَعَلَى مَنْ كَانَ بِمَسَافَةِ الْقَصْرِ إِنِ احْتَاجُوْا إِلَيْهِمْ بِقَدْرِ الْكِفَايَةِ لِإنْقَاذِهِمْ مِنَ الْهَلْكَةِ فَيَصِيْرُ فَرْضَ عَيْنٍ فِي حَقِّ مَنْ قَرُبَ وَفَرْضَ كِفَايَةٍ فِي حَقِّ مَنْ بَعُدَ

Artinya: “Begitu juga wajib bagi orang yang berada di jarak qashar jika mereka membutuhkannya seukuran kebutuhannya untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran. Maka jihad menjadi fardu ain bagi orang yang dekat dan fardu kifayah bagi yang jauh”

Melihat kontek perselisihan Palestina-Israel, maka seluruh umat Islam di belahan dunia wajib melakukan jihad melawan Israel demi menyelamatkan keberlangsungan hidup umat Islam di Palestina.

Apakah berjihad harus dengan senjata ?

Yang wajib bagi umat Islam adalah berjihad, bukan harus mengangkat senjata. Berjihad tidak pasti harus menggunakan senjata, tapi bisa saja dengan harta, medis, atau pelayanan dan sebagainya. Rasulullah saw bersabda:

جَاهِدُوْا بِأَيْدِيْكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ

Artinya: “Berjihadlah kalian dengan tangan-tangan kalian, lidah kalian dan harta-harta kalian” (HR. An Nasa’i dan lainnya)

Hadits di atas menunjukkan bahwa berjihad tidak harus dengan senjata, tetapi dengan apa yang bisa dilakukannya. Manakala seseorang tidak mampu melakukan jihad karena faktor-faktor tertentu, maka jihad hukumnya tidak wajib.

Boikot merupakan salah satu jihad yang dapat dilakukan oleh orang-orang muslim saat ini, dan bisa dilakukan siapa pun. Karena sulit melakukan jihad dengan senjata melihat faktor-faktor lain yang bisa menimbulkan dharar yang lebih besar bagi umat Islam sendiri daripada ancaman hancurnya Palestina sebab serangan Israel. Sehingga jihad dengan memboikot produk-produk Israel begitu juga sekutunya menjadi fardu ain bagi setiap umat Islam. Karena boikot dapat melemahkan perekonomian Israel dan kerugian finansial yang cukup besar.

ISLAMKAFFAH