Jangan Sepelekan Doa dalam Setiap Hajat dan Keinginan Kita

Di mata Allah Ta’ala, seorang hamba hakikatnya adalah butuh dan tidak mampu. Sekaya-kayanya seseorang, sekuat-kuatnya dia, semampu-mampunya dia, maka ia tetaplah miskin dan lemah serta tidak berdaya di mata Allah Ta’ala. Sejatinya seorang hamba akan senantiasa butuh terhadap pertolongan dan bantuan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاء إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد

“Wahai manusia sekalian! Kamulah yang memerlukan Allah. Dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)

Berangkat dari sini, seorang hamba, baik itu yang kaya maupun yang miskin, baik itu yang kuat maupun yang lemah; kesemuanya butuh dan dituntut untuk berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam setiap permasalahan yang dihadapi.

Mengapa berdoa menjadi sangat penting dalam kehidupan kita?

Dalam hal ibadah (yang mana merupakan tujuan diciptakannya manusia), berdoa merupakan identitas utama yang tak bisa lepas dari diri seseorang. Ia merupakan amal ibadah yang mudah dan praktis untuk dikerjakan, serta bersifat fleksibel karena tidak terikat oleh waktu dan tempat. Kapan pun waktunya dan di mana pun tempatnya, seorang hamba dituntut untuk senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala.

Perlu kita ketahui juga, doa merupakan musuh utama dari segala macam cobaan dan ujian. Karenanya, ia akan melindungi kita dari mara bahaya. Doa akan menghilangkan dan menyembuhkan penyakit. Doa akan mencegah turunnya malapetaka, mengangkatnya, atau minimal meringankan malapetaka yang sedang terjadi.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

إنِّي لا أحمل هَم الإجابة ولكن أحمل هَم الدُعاء فإذا أُلهِمت الدعاء فإن الإجابة معه .

“Aku tidak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan atau tidak, tetapi yang lebih aku khawatirkan adalah aku tidak diberi hidayah untuk terus berdoa. Oleh karenanya, jika kalian diilhami dan diberi hidayah untuk berdoa, sesungguhnya (ijabah) terkabulnya doa tersebut mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa Syekhul Islam, 8: 193)

Doa merupakan senjata utama bagi seorang muslim saat menghadapi ujian dan memiliki keinginan. Doa juga menjadi sebab terbesar tergapainya impian dan cita-cita. Betapa banyak kesedihan dan cobaan menjadi mudah karena berdoa. Betapa banyak impian-impian yang nampaknya mustahil, terwujud karena doa. Allah Ta’ala menegaskan kepada kita akan betapa dekat diri-Nya dengan hamba-hamba yang berdoa dan butuh kepada-Nya,

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Teruslah berdoa kepada Allah Ta’ala. Mintalah apa pun kebutuhanmu kepada-Nya. Serahkan seluruh hasil dan perkaramu kepada-Nya. Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. Besarkan rasa harapmu kepada-Nya, karena sungguh ia tidak pernah menolak sebuah doa.

Ingat! Terkabulnya doa tidak melulu tentang terwujudnya impian dan tercapainya keinginan. Bukan pula terjadinya sesuatu sebagaimana yang kita harapkan. Bisa jadi Allah kabulkan doa kita dengan bentuk yang lain. Bisa jadi Allah kabulkan doa kita dengan menghindarkan sebuah mara bahaya yang seharusnya menimpa kita. Bisa jadi juga Allah Ta’ala jadikan doa-doa kita yang belum terwujud sebagai tabungan amal untuk diri kita di akhirat kelak.

Siapa saja yang berbaik sangka kepada Tuhannya, maka kebaikan-kebaikan akan mengalir kepadanya. Dan Allah Ta’ala pastilah sesuai dengan persangkaan hamba-Nya.

Berikut ini adalah beberapa kisah Nabi dengan doa-doa yang mereka panjatkan. Kisah-kisah yang insyaAllah memotivasi kita untuk senantiasa berdoa dan meminta kepada Allah dalam setiap keadaan. Bergantung kepada Allah Ta’ala sepenuhnya, meskipun diri kita percaya diri mampu melakukan apa yang kita inginkan.

Kisah para nabi dan doa-doa mereka

Di antara kisah paling fenomenal adalah apa yang dialami oleh Nabi Yunus ‘alaihis salam tatkala dilemparkan ke laut kemudian tertelan di dalam perut paus. Setelah ia melakukan perbuatan tercela karena meninggalkan kaumnya. Allah Ta’ala mengisahkan bagaimana tobat beliau dan gigihnya beliau dalam berdoa hingga Allah selamatkan dirinya. Allah Ta’ala berfirman,

وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ *

“Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.’ Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’: 87-88)

Di ayat yang lain Allah Ta’ala tegaskan, bahwa sebab selamatnya Nabi Yunus ‘alaihis salam adalah karena banyaknya doa dan tobat yang dilakukannya,

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Maka, sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah (berdoa), niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari kebangkitan.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144)

Allah Ta’ala tekankan kepada kita bahwa saat seorang hamba penuh dengan dosa, lalu ia membutuhkan pertolongan Allah Ta’ala untuk menghadapi kesulitan yang dihadapinya, dan bertobat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka Allah pasti akan mendengarnya dan menolongnya.

Dengan doa pula Allah tenggelamkan seluruh penduduk bumi dan Allah selamatkan Nabi Nuh ‘alaihis salam beserta orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala mengisahkan,

قَالَ رَبِّ اِنَّ قَوْمِيْ كَذَّبُوْنِۖ * فَافْتَحْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَّنَجِّنِيْ وَمَنْ مَّعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ * فَاَنْجَيْنٰهُ وَمَنْ مَّعَهٗ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِ * ثُمَّ اَغْرَقْنَا بَعْدُ الْبَاقِيْنَ

“Dia (Nuh) berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh kaumku telah mendustakan aku, maka berilah keputusan antara aku dengan mereka, dan selamatkanlah aku dan mereka yang beriman bersamaku.’ Kemudian Kami menyelamatkan Nuh dan orang-orang yang bersamanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian setelah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal.” (QS. As-Syu’ara’: 117-120)

Karunia tidak terhitung yang Allah Ta’ala berikan untuk Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, kesemuanya itu Allah Ta’ala berikan berkat doa yang beliau panjatkan kepada-Nya,

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ* فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ * وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ * وَّاٰخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِى الْاَصْفَادِ

“Dia (Sulaiman) berkata, ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.’ Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya. Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan (setan) yang lain yang terikat dalam belenggu.” (QS. Shad: 35-38)

Kisah-kisah di atas semuanya bermuara pada satu kesimpulan yang sama. Mintalah apa pun hanya kepada Allah Ta’ala. Jangan berpangku tangan apalagi angkuh merasa mampu lalu tidak pernah meminta pertolongan dan berdoa kepada-Nya. Seorang nabi sekali pun mereka juga tidak pernah lepas dari berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam setiap hajat dan keinginan mereka.

Pembaca yang semoga senantiasa dalam limpahan rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala.

Ketahuilah, sesungguhnya Allah Ta’ala akan senang apabila seorang hamba senantiasa berdoa dan meminta pertolongan kepada-Nya dalam setiap hal yang sedang dihadapi dan dibutuhkannya. Sebaliknya, Allah Ta’ala akan murka apabila seorang hamba merasa tidak butuh kepada-Nya, tidak pernah berdoa kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Dia akan marah kepadanya.” (HR. Tirmidzi no. 3373, Ibnu Majah no. 3827 dan Ahmad no. 9719)

Mengapa? Karena di dalam doa yang kita panjatkan, terdapat pengakuan akan ketidakberdayaan diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Di dalam lantunan doa yang kita baca, terselip keimanan akan agungnya keesaan Allah Ta’ala atas segala sesuatu. Keyakinan bahwa Allah Ta’ala merupakan satu-satunya Zat yang berhak disembah. Satu-satunya Zat yang menciptakan dan mengabulkan permohonan. Sedangkan di dalam keteledoran kita ketika tidak berdoa, maka itu menunjukkan keangkuhan diri kita, menunjukkan pula rasa sombong seorang hamba kepada Tuhannya.

Semoga Allah Ta’ala jadikan diri kita sebagai hamba-Nya yang senantiasa bergantung dan berserah diri kepada-Nya. Senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala atas setiap hajat dan keinginan yang ingin dicapai serta memohon keselamatan dari mara bahaya yang akan menimpa kita.

Wallahu a’lam bisshawab.

RADIO MUTIARA ALQURAN

Amalan-amalan Sya’ban “Pemanasan” Menuju Ramadhan

DIRIWAYATKAN dari Anas bin Malik bahwasannya umat Islam di masa beliau jika memasuki bulan Sya’ban, maka mereka sibuk dengan mushaf-mushaf dan mereka membacanya, mereka juga mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka untuk memperkuat orang-orang yang lemah dan miskin dalam menghadapi puasa Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 258)

Dari apa yang disampaikan Al Hafidz Ibnu Rajab tersebut nampaklah bahwasannya amalan-amalan bulan Ramadhan sudah mulai dikerjakan di bulan Sya’aban. Hal itu diperkuat dengan amalan para ulama.

Memperbanyak Membaca Al Quran

Di bulan Rajab, para salaf shalih semakin memfokuskan diri untuk membaca Al Qur`an meski Ramadhan belum tiba. Sebagaimana dilakukan oleh Amru bin Qais Al Mula`i jika telah memasuki bulan Sya’ban, maka ia menutup kedainya dan menyibukkan diri dengan membaca Al Qur`an. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 258)

Puasa Sya’ban

Puasa di bulan Sya’ban merupakan perkara yang disunnahkan. Aisyah Radhiyallahu’anhu menyampaikan,”Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyempurnakan puasa kecuali di bulan Ramadhan. Dan aku tidak mengetahui dalam suatu bulan lebih banyak puasa dibanding Sya’ban.” (Riwayat Al Bukhari)

Mengqadha’ Puasa

Karena kedekatannya dengan Ramadhan, maka disunnahkan untuk mengqadha’ puasa sunnah di bulan Sya’ban. Namun bagi siapa yang masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan, maka dilarang untuk menangguhkan untuk menqadha’nya setelah Ramadhan ke dua tanpa udzur. Jika mengakhirkan qadha’ sampai Ramadhan ke dua tanpa udzur, maka wajib baginya disamping mengadha’ puasa memberi makan kepada orang miskin menurut madzhab Al Maliki, Asy Syafi’i dan Al Hanbali. Sedangkan untuk madzhab Al hanafi, cukup mengqadha’ saja. (lihat, Latha’if Al Ma’arif, hal. 258)

Persiapkan Fisik Hadapi Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasannya Rasulullah Shallahu Alihi Wasallam bersabda,”Janganlah kalian mendahului Ramadhan (dengan berpuasa) sehari atau dua hari. Kecuali bagi siapa yang berpuasa, maka ia hendaklah berpuasa.” (Riwayat Al Bukhari)

Al Hafidz Ibnu Rajab menjelaskan beberapa pandangan mengenai sebab dimakruhkannya melaksanakan puasa sunnah mutlak sehari atau dua hari menjelang Ramadhan, salah satunya adalah agar dikuatkan dalam menghadapi puasa Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 273-276)

Tidak Mengumbar Nafsu Makan-Minum Sebelum Ramadhan

Meski ada dorongan untuk memperkuat fisik dalam menghadapi bulan Ramadhan, namun bukan berarti seseorang didorong untuk melampiaskan makan dan minumnya sepuas-puasnya sebelum memasuki Ramadhan, karena ketika mereka berada di bulan Ramadhan tidak bisa melakukannya. Tradisi buruk ini disebut dengan tanhis, yakni hari-hari untuk melakukan perpisahan dengan makan dan minum sebelum bulan Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 273-276).*

HIDAYATULLAH

Mengapa Begitu Sulit Melupakan Kesalahan Orang Lain? 

Ketika sedang sendirian terkadang tiba-tiba muncul kenangan peristiwa lalu, entah itu kenangan baik maupun buruk. Salah satunya adalah kenangan yang mungkin sulit dilupakan ketika orang lain berbuat kesalahan kepada kita.

Ketika orang lain melakukan kesalahan, hendaklah dia memaafkan dan jangan membalas meskipun kita dalam keadaan mampu untuk membalasnya.

أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُم

Bukankah kalian senang apabila Allāh mengampuni dosa kalian.” (QS. An-Nur: 22)

Ayat tersebut menceritakan kisah Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi haditsul-ifk (berita dusta bahwa ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha selingkuh). Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An-Nur dengan mengatakan, “Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu, yaitu manakala beliau bersumpah tidak akan memberi apa-apa lagi kepada Misthah bin Utsatsah setelah terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka tatkala turun firman Allah ta’ala yang menyatakan kesucian umul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, hal tersebut melegakan semua orang dari kaum mukminin dan merasa bahagia serta tentram atasnya. Kemudian Allah ta’ala menerima taubat orang-orang yang ikut serta menyebarkan berita bohong tersebut dari kalangan mukminin. Dan memerintahkan supaya ditegakan hukuman bagi mereka sebagai balasannya.

Atas anugerah dan keutamaan yang Allah ta’ala berikan pada Abu Bakar yang biasa menyambung kekerabatan bersama sanak keluarga dan kerabat, diantara mereka ada yang bernama Misthah bin Utsatsah anak dari bibinya yang merupakan seorang yang fakir yang tidak mempunyai harta. Ketika itu dirinya terlibat di dalam menyiarkan berita bohong tersebut dan telah bertaubat serta ditegakan hukuman cambuk baginya.

Sedangkan Abu Bakar adalah orang yang terkenal dengan kedermawanannya, beliau banyak membantu pada sanak kerabat dan juga orang lain. Maka tatkala turun firman Allah tabaraka wa ta’ala:

أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُم وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

Bukankah kalian senang apabila Allāh mengampuni dosa kalian? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)

Berdasarkan ayat di atas, balasan yang mereka lakukan setimpal dengan perbuatannya. Karena balasan sesuai dengan kadar amal perbuatan. Sebagaimana kamu memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, begitu pula Allah akan memaafkanmu. Sebagaimana engkau berlapang dada atas kesalahannya, demikian pula engkau akan diberi kelapangan.

Maka tatkala mendengar hal tersebut Abu Bakar langsung mengatakan, “Tentu, demi Allah kami menyukai Engkau mengampuni kami Duhai Rabb kami”. Kemudian beliau kembali untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhan kerabatnya yang bernama Misthah. Dan beliau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan mencabut sedekah untuknya selama-lamanya. Demi Allah, aku tidak akan menuntut balas pamrih darinya selama-lamanya”.

Ibnu Katsir mengomentari ucapan Abu Bakar tadi dengan mengatakan, “Oleh karena itulah dirinya dijuluki ash-Shidiq karena kejujuran dan keimanannya”.

Baca juga: Mudah Memaafkan

Orang yang memaafkan manusia adalah sifat yang mulia, memiliki kesabaran bahkan bukan hanya sabar dia juga memaafkan,melupakan dan tidak mau membalas kejelekan orang lain maka dia mendapatkan pahala. Allah ta’ala berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa yang memaafkan dan memperbaiki mendamaikan maka pahalanya adalah atas Allāh.” (QS. Asy-Syuraa: 40)

Kita memaafkan orang-orang yang ada di sekitar kita, memaafkan anak, memaafkan istri, memaafkan suami, memaafkan orang tua, memaafkan tetangga. Kita bergaul dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari dan pasti di sana ada perkara yang tidak baik yang mungkin muncul dari kita maupun dari mereka. Maka kita sebagai seorang muslim/muslimah hendaklah pandai dalam memaafkan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu,maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Taghābun: 14)

Kita memaafkan kesalahan mereka dan jangan kita ikut terbawa dengan kelakuan mereka atau ucapan mereka sehingga kita mudah melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena kelakuan dan juga ucapan mereka. Kita gabungkan antara dua perkara yaitu tetap kita istiqamah di atas ketaatan kepada Allāh dan kita memaafkan. Kita maafkan dan kita lupakan dan terus kita istiqomah. Kita bersabar dengan ucapan dan perilaku mereka, ini sikap seorang muslim dan dia berakhlak yang baik.

Berusaha taghaful yakni melupakan kesalahan saudara kita dan tidak mengingat-ingatnya. Tak lupa senantiasa berdoa kepada Allah agar senantiasa diberi kelapangan dada untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Baca juga: Memaafkan Tanpa Tapi

Penulis: Khusnul Rofiana

Referensi:

  • Halaqah Silsilah Ilmiyyah Abdullah Roy materi Aqidah Washithiyah.
  • https://almanhaj.or.id/34992-suka-memaafkan-serta-keutamaannya.html

Artikel Muslimah.or.id

Sumber: https://muslimah.or.id/16829-mengapa-begitu-sulit-melupakan-kesalahan-orang-lain.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id

Terhadap Agama Saja Dilarang Berlebihan, Apalagi Pilihan Politik

Islam sangat melarang umatnya untuk berlebihan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam beragama. Sikap moderat, adil dan tidak dzalim adalah cara beragama yang diajarkan dalam Islam. Islam mengambil pelajaran penting dari umat terdahulu yang mendapatkan petaka karena berlebihan dalam beragama.

Nabi bersabda : “Wahai manusia, jauhilah berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama.” (HR Ibnu Majah).

Berlebihan dalam beragama saja dilarang dalam Islam apalagi berlebihan dalam berpolitik. Berlebihan dalam berpolitik semisal menunjukkan sikap fanatik yang berlebihan terhadap calon yang diusungnya.

Sikap fanatik yang berlebihan akan menimbulkan kebencian terhadap calon lain. Ketika kebencian yang muncul akan menyebabkan kita tidak bisa berlaku dzalim dan tidak adil. Misalnya, mudah mencaci, menyepelekan, memfitnah dan menjelek-jelekkan pasangan lain.

Nabi memberikan satu pegangan penting dalam mencintai dan membenci. Hasit riwayat At Tirmidzi itu berbunyi “Cintailah apa yang kamu cintai dengan sekadarnya. Bisa jadi orang yang kamu cintai hari ini harus kau benci suatu saat nanti. Dan bencilah orang yang kamu benci hari ini sekadarnya. Boleh jadi, suatu saat dia menjadi orang yang harus kamu cintai“.

Persoalan politik bukan persoalan keimanan dan keyakinan. Ia hanyalah sarana menentukan pilihan calon pemimpin. Karena itulah, ambillah sikap yang moderat dan adil dalam berpolitik. Memperjuangkan calon yang diusung tidak ada salahnya, tetapi berlebihan dalam membela akan menghantarkan diri kita berbuat dzalim terhadap yang lain.

SLAMKAFFAH

Amalan Perisai Diri

Telah menjadi sunatullah bahwa ada kebaikan dan keburukan yang saling berdampingan, namun bertolak belakang dalam kehidupan dunia. Hal ini ditakdirkan untuk menghiasi kehidupan umat manusia. Banyak hal, baik yang bersifat fisik maupun mental, terkadang mengganggu, bahkan dapat mencelakai diri kita. Dan hal tersebut merupakan perkara-perkara di luar kendali kita.

Misalnya, sakit demam, tertabrak saat membawa kendaraan, jatuh tanpa disengaja, tertipu oleh orang lain, dimarahi, bahkan hingga dianiaya oleh orang. Begitu pula, dalam aspek-aspek yang bersifat mental, seperti gangguan psikis, pikiran, kegundahan hati, kegelisahan, hingga ketakutan yang menghampiri jiwa. Wal’iyadzu billah.

Sayangnya, tidak sedikit manusia yang menggantungkan urusan-urusan yang bersifat perlindungan diri kepada hal-hal yang telah nyata bertentangan dengan batasan syariat Islam, bahkan pada level yang sangat fatal yang dapat membatalkan keislaman seseorang. Seperti meminta perlindungan kepada selain Allah, memakai jimat, berdoa memohon perlindungan kepada orang-orang yang dianggap ‘sakti’ dan yang sudah meninggal dunia. Bahkan, ada pula yang benar-benar menggantungkan dan memasrahkan keselamatannya kepada entitas-entitas yang tidak memiliki manfaat dan mudarat tersebut. Na’udzubillah.

Padahal, sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk senantiasa menggali lebih dalam ajaran agama yang mulia ini. Karena semua panduan kehidupan dari berbagai aspek telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara paripurna, tidak terkecuali panduan tentang bagaimana kita meminta perlindungan dan keselamatan di dunia ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa yang tidak pernah ia tinggalkan untuk diamalkan pada pagi dan petang hari. Doa yang memuat kalimat-kalimat agung untuk memohon keselamatan dan perlindungan kepada Allah Ta’ala terhadap agama, keluarga, dunia, dan harta kita. Keselamatan dan perlindungan dari seluruh penjuru dan sumber gangguan yang dapat menimpa kita.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga, dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari depan, belakang, kanan, kiri, dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak disambar dari bawahku (oleh ular atau tenggelam dalam bumi dan lain-lain yang membuat aku jatuh).” (HR. Abu Daud no. 5074 dan Ibnu Majah no. 3871. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)

Saudaraku, sembari mempelajari dan menghafalkan zikir agung ini. Mari kita sejenak membaca dan merenungkan, serta mentadaburi makna tiap-tiap kalimat dari zikir ini. Mudah-mudahan, dengan mendalami maknanya, pengetahuan kita dapat bertambah, memotivasi kita untuk merutinkan zikir ini pada pagi dan petang kita dengan mudah dan istikamah kita jalankan.

Permohonan kebajikan dan keselamatan dunia dan akhirat

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

Perhatikan kalimat pertama dari bacaan zikir di atas. Sebuah doa permohonan yang berisi dua hal yang sungguh sangat diinginkan semua umat.

Pertama, ampunan.

Kita tentu menyadari bahwa setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan dan dosa. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Anas radhiyallahu ‘anhu,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

Setiap anak Adam adalah bersalah dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertobat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah no. 4251, Ahmad, 3:198, Al-Hakim, 4:244)

Lihatlah diri kita. Semenjak balig hingga berada pada usia saat ini, sudah berapa banyak dosa yang telah kita perbuat? Oleh karenanya, senantiasa memohon ampunan kepada Allah Ta’ala semestinya menjadi hal yang kita prioritaskan di setiap doa-doa kita.

Kedua, kesehatan yang prima.

Apabila kita perhatikan esensi dari rukun Islam, semua poin rukun yang menjadi satu kesatuan itu menuntut seorang muslim untuk memiliki fisik yang prima. Bagaimana mungkin jika tanpa kondisi kesehatan yang baik, kita mampu melaksanakan salat, puasa, dan ibadah haji ke baitullah dengan baik dan sempurna?

Karenanya, sudah semestinya kita selalu memanjatkan doa meminta kepada Allah agar diberikan ampunan dan dikaruniai kesehatan yang prima. Maka, dengan senantiasa memohon ampunan dan kesehatan kepada Allah, mudah-mudahan dua hal ini menjadi perisai diri bagi kita untuk dapat terhindar dari segala macam godaan dosa. Dan dengannya pula, kita termotivasi untuk melaksanakan ibadah-ibadah wajib ataupun sunah dengan semaksimal mungkin.

Permohonan perlindungan terhadap agama, dunia, keluarga, dan harta

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ

Berikutnya, zikir ini mengandung kalimat-kalimat doa memohon kebajikan dan keselamatan agama, dunia, keluarga, dan harta. Sungguh, bait doa yang paripurna.

Betapa Allah Ta’ala sangat menyayangi kita, hamba-hamba-Nya, hingga kalimat untuk memohon kepada-Nya pun kita diajarkan. Perhatikanlah substansi kalimat ini. Agama, dunia, keluarga, dan harta adalah empat perkara yang sangat rentan terhadap kerusakan. Wal’iyadzu billah.

Pertama, agama.

Kita dapat menyaksikan di zaman ini, ada saja orang-orang yang tidak begitu mempertimbangkan ajaran agamanya sendiri, yaitu Islam. Agama hanya simbol bagi mereka agar mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat. Adapun kewajiban dan tuntutan syariat terhadap diri mereka dari sisi iman dan takwa, enggan untuk dilaksanakan, seperti salat, puasa, zakat, dan sebagainya.

Kedua, dunia.

Tidak sedikit pula orang-orang menggantikan keimanan demi perkara duniawi. Seakan mereka yakin bahwa Allah akan memberikan kesempatan hidup seribu tahun lagi. Padahal, mereka sendiri sadar bahwa kisaran umur umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah 60 – 70 tahun saja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

Umur umatku antara 60 hingga 70. Dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (HR. Tirmidzi no. 3550, Ibnu Majah no. 4236 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Lantas, apakah gerangan yang dapat mendorong kita untuk mengedepankan dunia daripada masa depan akhirat kelak?

Ketiga, keluarga.

Keluarga merupakan amanah dari Allah Ta’ala, untuk kita berikan pendidikan, pembinaan, dan kasih sayang dengan sebaik-baiknya dalam rangka memperoleh rida Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6)

Selain diberikan petunjuk jalan yang lurus dan istikamah dalam keimanan dan ketakwaan, kita pun tentunya ingin agar keluarga yang kita cintai diberikan perlindungan oleh Allah Ta’ala dari segala marabahaya yang dapat menimpa. Oleh karenanya, sangat penting bagi kita untuk senantiasa menjaga keluarga kita dari segala ancaman baik duniawi maupun ukhrawi.

Keempat, harta.

Saudaraku, dengan harta, kita dapat melakukan banyak sekali kebajikan. Kita bisa beribadah haji ke baitullah, memberi bantuan materi kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan, membangun masjid dan sekolah-sekolah, dan berbagai manfaat lainnya. Namun, tidak jarang pula, kita lihat orang-orang yang terkenal dengan harta melimpah, tetapi di saat yang bersamaan, hartanya bisa punah, hilang, atau hancur karena berbagai musibah, seperti kebakaran, pencurian, atau menjadi korban penipuan. Wal’iyadzu billah.

Karenanya, mohonlah pertolongan Allah Ta’ala, tidak hanya agar ditambahkan harta atau rezeki, tetapi juga agar Allah Ta’ala memberikan penjagaan terhadap harta kita, serta diberikan hidayah untuk menginfakkannya di jalan agama Allah.

Permohonan agar kehormatan dijaga dan perlindungan dari rasa takut

اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى

Kehormatan dan ketentraman dari rasa takut merupakan dua hal yang diinginkan oleh semua manusia. Tidak ada orang yang menginginkan kehormatan atau aibnya diketahui oleh orang lain. Tidak pula ada yang menginginkan selalu berada dalam rasa cemas, khawatir, dan takut dari segala macam ancaman yang mungkin menimpanya. Mari kita renungkan dua hal ini lebih dalam.

Pertama, kehormatan.

Saudaraku, janganlah menjadi penyebab Allah Ta’ala membuka aib kita di hadapan orang banyak dengan kita menceritakan aib orang lain. Ya, menceritakan aib saudara kita sama saja dengan mengundang murka Allah Ta’ala. Karena, bisa jadi setelahnya, aib kita akan dibuka oleh Allah Ta’ala sebagai hukuman bagi kita di dunia.

Tidak ada seorang pun yang tidak punya dosa di dunia ini. Hanya saja, kita masih dipandang baik di tengah-tengah masyarakat, itu karena Allah Ta’ala masih menutup aib-aib kita. Bukankah demikian?

Coba bayangkan, apabila Allah Ta’ala murka kepada kita, kemudian orang-orang yang tadinya menghargai, menghormati, dan meneladani kita tahu tentang aib-aib kita, yang sebelumnya hanya Allah Ta’ala dan kita saja yang tahu. Betapa hinanya kita di hadapan hamba-hamba Allah yang lain. Na’udzu billah.

Oleh sebab itu, mohonlah kepada Allah agar aib dan aurat kita ditutup oleh Allah Ta’ala. Namun, jangan lupa, barengi permohonan kita itu dengan perbuatan yang baik dan jangan pernah menyingkap aurat orang lain, dengan sengaja menceritakan keburukannya, mempermalukannya, dan menjatuhkannya.

Kedua, ketentraman dari rasa takut. Kegelisahan dan kecemasan merupakan perasaan yang lazim dirasakan oleh manusia dengan berbagai sebab dan alasan. Baik karena persoalan ekonomi, sosial, dan berbagai aspek lainnya, khususnya dalam menghadapi kehidupan dunia yang penuh tantangan. Allah Ta’ala berfirman,

اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Mengingat Allah Ta’ala adalah kunci ketenangan jiwa. Tetapi, apakah kita sudah senantiasa mengingat Allah dengan selalu melantunkan zikir-zikir mulia yang menemani aktivitas kita setiap waktu? Maka, mohonlah kemudahan itu kepada Allah melalui doa dan zikir ini.

Memohon penjagaan Allah Ta’ala dari multisumber marabahaya

اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ

Sebagai seorang mukmin, kita beriman kepada hal yang gaib dan berikhtiar dengan segala hal yang syar’i dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan saat ini dan yang akan datang. Karenanya, tidak dipungkiri pula bahwa selain hal-hal yang bersifat materil, ancaman terhadap diri kita dan keluarga kita bisa pula datang dari hal-hal yang bersifat imateril.

Sebagaimana kita tahu bahwa cobaan berupa godaan dan kecelakaan terhadap manusia, bukan saja berasal dari perkara yang terlihat secara visual. Tetapi, juga datang dari hal yang tak terlihat, seperti sihir-sihir, baik dari jin maupun manusia, berupa: leak, santet, suanggi, palasik, pelet, dan sejenisnya. Wal’iyadzu billah.

Karenanya, dalam Al-Qur’an, kita diajarkan untuk senantiasa membaca surah An-Nas di mana di dalamnya terdapat doa memohon perlindungan kepada Allah dari jin dan manusia yang membisikkan kejahatan kepada manusia.

قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ, مَلِكِ النَّاسِۙ, اِلٰهِ النَّاسِۙ, مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ, الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ, مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sesembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (QS. An-Nas: 1-6)

Perhatikan kalimat zikir ini. Kita diberikan/diajarkan doa langsung oleh Allah Ta’ala melalui rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk kita amalkan agar mendapat perlindungan dari berbagai macam marabahaya yang datang dari depan, dari belakang, dari kanan, dari kiri, dari atas, serta dari bawah. Subhanallah! Praktikkan segera zikir ini pada waktu pagi dan petangmu!

Maka, jelaslah bahwa apapun sarana yang digunakan oleh orang-orang yang meyakininya sebagai pelindung selain dari amalan-amalan sunah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, merupakan tempat berlindung yang sangat lemah. Sadarilah bahwa Allah Ta’ala telah memberikan sebaik-baik petunjuk kepada kita untuk memohon perlindungan kepada-Nya melalui zikir ini yang dipraktikkan dengan haqqul yaqin.

Saudaraku, dengan mempelajari dan mendalami makna dari salah satu zikir pagi ini, kita dapat memahami bahwa betapa sempurnanya ajaran agama Islam yang mulia ini. Apabila kita senantiasa mempraktekkan zikir pagi yang jelas-jelas bersumber dari hadis sahih ini, maka insyaAllah perlindungan Allah Ta’ala akan dianugerahkan kepada kita. Namun, jangan lupa pula bahwa kita tetap selalu mendekatkan diri kepada Allah, menjauhi segala potensi dosa-dosa yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Semoga kita semua dikaruniai iman dan takwa yang dapat mendekatkan diri kita selalu kepada Allah Ta’ala.

Wallahu A’lam

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/91028-amalan-perisai-diri.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Berikut Ini Bacaan Niat Shalat Jumat

Berikut ini bacaan niat shalat Jumat. sejatinya, shalat Jumat merupakan salah satu ibadah wajib bagi umat Islam laki-laki yang telah baligh, berakal sehat, dan tidak memiliki udzur syar’i.

Menunaikan shalat Jumat menggantikan shalat Zuhur di hari yang sama. Keutamaannya begitu besar, bahkan dijanjikan pahala berlipat ganda dibandingkan shalat dzuhur biasa.

Kewajiban shalat Jumat ditegaskan dalam Al-Qur’an, khususnya dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu menuju zikir Allah (shalat Jumat) dan tinggalkanlah jual beli. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Ayat ini dengan jelas memerintahkan orang-orang yang beriman untuk segera menuju shalat Jumat ketika mendengar seruan adzan. Meninggalkan jual beli dan aktivitas lainnya untuk shalat Jumat sebagai hal yang lebih baik bagi mereka.

Pada sisi lain, dalam hadits lain bahwa shalat Jumat bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat. Meninggalkan shalat Jumat tanpa alasan yang sah merupakan dosa besar dan dapat mendatangkan murka Allah. Oleh karena itu, setiap Muslim hendaknya berusaha untuk selalu menunaikan shalat Jumat dengan penuh ketaatan dan keikhlasan.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ عَلَى مَرِيضٍ، أَوْ مُسَافِرٍ، أَوْ صَبِىٍّ، أَوْ مَمْلُوكٍ وَمَنِ اسْتَغْنَى عَنْهَا بِلَهْوٍ أَوْ تِجَارَةٍ اسْتَغْنَى اللهُ عَنْهُ، وَاللهُ غِنَىٌّ حُمَيْدٌ. (رواه البيهقي)

Artinya: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia wajib shalat Jumat pada hari Jumat, kecuali bagi orang sakit, musafir, anak kecil, atau budak. Barang siapa yang mengacuhkan shalat Jumat karena lalai atau sibuk urusan perniagaan, maka Allah tak akan memperhatikannya, Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (HR al-Baihaqi

Niat Shalat Jumat

Salah satu kunci sahnya shalat Jumat adalah niat yang tepat. Niat merupakan salah satu rukun shalat dan menjadi kunci sahnya shalat Jumat. Niat merupakan ikrar di dalam hati yang terucapkan dengan lisan untuk mengerjakan suatu ibadah dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Berikut beberapa hal penting terkait niat shalat Jumat:

Terdapat dua versi niat shalat Jumat, tergantung pada peran seseorang dalam shalat:

  1. Niat Shalat Jumat sebagai Makmum: أُصَلِّي فَرْضَ الْجُمْعَةِ مَأْمُومًا لِلهِ تَعَالَى

Ushallî fardha jumu’ati ma’mûman lillâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya shalat Jumat sebagai makmum karena Allah ta’âlâ.”

  1. Niat Salat Jumat sebagai Imam: أُصَلِّي فَرْضَ الْجُمْعَةِ إِمَامًا لِلهِ تَعَالَى

Ushallî fardhal jumu’ati imâmal lillahi ta’âlâ.
Artinya, “Saya shalat Jumat sebagai imam karena Allah ta’âlâ.”

BINCANG SYARIAH

Lansia dan Buta tak Sholat Jumat, Bolehkah?

Hari Jumat merupakan hari mulia di antara hari-hari lainnya.

Sholat Jumat hukumnya wajib. Ia adalah sholat pengganti dhuhur. Lalu bagaimana dengan orang yang sudah tua dan lemah apakah boleh tidak melaksanakan sholat Jumat?

Mahbub Maafi dalan bukunya “Tanya Jawab: Fikih Sehari-Hari” menjelaskan mengenai hal tersebut. Mahbub mengatakan ada perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya orang tua yang sudah lemah atau memiliki keterbatasan melaksanakan kewajiban sholat Jumat.

Mahbub mengungkapkan ada tujuh syarat laki-laki wajib melaksanakan shalat Jumat antara lain Islam, merdeka, baligh, berakal, laki-laki, sehat dan tidak dalam perjalanan. Dari tujuh syarat tersebut orang tua yang lemah atau memiliki keterbatasan boleh tidak melaksanakan sholat Jumat.

Rasulullah Saw bersabda, “Sholat Jumat itu wajib bagi setiap Muslim kecuali empat orang yaitu budak yang dimiliki, perempuan, anak kecil dan sakit.” (HR. Abu Dawud).

Maksud sakit dalam hadis tersebut menurut penulis ‘Aun al-Ma’bud Syarhu Sunani, Abi Dawud menjelaskan maksud sakit yang membuat orang tidak wajib melaksanakan sholat Jumat adalah apabila berangkat sholat Jumat mendatangkan masyaqqah bagi dirinya. Itu artinya, kata Mahbub, tidak semua orang sakit tidak wajib berangkat sholat Jumat.

Hanya orang yang menderita sakit berat diperbolehkan tidak berangkat sholat Jumat. Abi Dawud juga mengungkapkan dua pendapat berbeda. Pertama dari Imam Abu Hanifah yang menganalogikan orang sakit dengan orang buta meskipun ada yang menuntunnya. Menurut Abu Hanifah kebutaan itu juga dianggap menimbulkan masyaqqah.

Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa orang buta jika ada yang menuntunnya tidak masuk kategori berhalangan. Karenanya dia wajib melaksanakan shalat Jumat. Namun bagi Mahbub, dari dua pendapat Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menilai orang buta dan orang tua renta tidak wajib melaksanakan shalat Jumat. Sebab keduanya sama-sama mendatanfkan masyaqqah. Kendati demikian itu tidak menghilangkan kewajiban shalat dhuhur.

Hari Jumat merupakan hari mulia di antara hari-hari lainnya.Karenanya para ulama mengajurkan agar memperbanyak ibadah di hari Jumat seperti bersedakah dan memperbanyak dzikir dan shalawat. 

IHRAM

Lupa Jumlah Utang Puasa; Begini Cara Menggantinya!

Mengganti utang puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim yang tidak bisa berpuasa di bulan Ramadan karena sakit, dalam perjalanan, atau sebab-sebab lainnya. Namun, bagaimana jika kita lupa berapa jumlah utang puasa yang kita miliki?

Perintah Mengqadha Puasa Ramadhan

Makna dari qadha berarti mengerjakan ibadah di luar waktunya. Dalam hal ini, qadha puasa adalah melakukan ibadah puasa di luar bulan Ramadan. Hukum mengganti puasa Ramadan adalah wajib. Ini seperti yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 185. Bunyinya adalah sebagai berikut:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”.

Selain itu perintah kewajiban qadha puasa juga dapat ditemukan dalam hadis dari Aisyah RA, di mana ia mengatakan : “Kami dulu mengalami haid. Kami diperintahkan untuk mengqada puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqada salat.” (HR. Muslim no. 335).

Berdasarkan ayat dan riwayat hadist di atas, sudah jelas bahwa wajib bagi seorang muslim untuk mengganti utang puasanya, salah satunya dengan “mengganti” utang tersebut di luar bulan Ramadan.

Cara Qadha Puasa yang Lupa Jumlah 

Supaya tidak sampai lupa, beberapa dari kita mungkin mencatat jumlah hari puasa yang bolong. Namun, ada pula orang lain yang tidak mencatatnya dan bahkan sampai lupa. Bagaimana cara qadha puasa kalau kasusnya begini?

Salah satu Ustadz ternama Indonesia, Adi Hidayat mengarahkan agar kita perlu mengusahakan untuk mengganti puasa yang bolong di hari-hari selain Ramadan. Terkait jumlah harinya, maka kita dapat memprediksi atau membuat perkiraan meskipun tidak tahu pasti jumlahnya. Jadi kita kira-kira saja, pernah meninggalkannya (puasa) berapa kali. Lalu, coba dimaksimalkan (pengerjaan puasa tersebut).

Langkah ini selaras dengan saran dari Rasulullah SAW dalam hadis berikut:

“Apabila kalian ragu dalam shalat, hendaknya dia buang keraguannya dan dia ambil yang lebih meyakinkan….” (HR. Abu Daud 1024).

Sama halnya dengan mengganti rakaat shalat, kita ambil jumlah hari puasa bolong yang lebih meyakinkan. Jadi ketika kita bingung apakah sudah meninggalkan puasa sebanyak 10 atau 12 hari, maka pilih 12 hari yang lebih meyakinkan.

Bagaimana jika puasa yang ditinggalkan begitu banyak sampai-sampai tak terhitung lagi jumlahnya? Mengenai hal tersebut, Ibnu Qudamah mengatakan agar orang tersebut melakukan qadha puasa terus-menerus hingga hilang keraguannya dan sudah yakin telah melunasi seluruh kewajiban yang telah ia tinggalkan.

Apabila tanggungan puasa sangat banyak, dia harus terus-menerus melakukan qadha. Jika dia tidak tahu berapa jumlah hari yang menjadi kewajiban puasanya, maka dia harus mengulang-ulang qadha puasa, sampai dia yakin telah menggugurkan seluruh tanggungannya.

Sebagai tambahan, Ustaz Adi Hidayat menganjurkan agar melakukan qadha puasa pada hari Senin ataupun Kamis. Ini karena pada kedua hari tersebut, umumnya orang-orang melakukan puasa sunah sehingga kita tidak merasa terlalu berat dalam melakukan shaum. Dan perlu diingat dalam menunaikan qadha puasa ataupun ibadah lainnya, bukan kuantitas ibadah yang kita kejar, melainkan ridha Allah SWT.

Demikian penjelasan terkait lupa jumlah utang puasa. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Jangan Melakukan Potongan Timbangan Sembarangan, Ini Akibatnya

Perdagangan kadang disertai praktik kecurangan untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak. Hal ini sangat merugikan salah satu pihak. Contoh, seseorang menjual karet ke pabrik karet. Di pabrik tersebut berlaku aturan setiap 1 ton dipotong 10 kg.

Pada dasarnya penjual keberatan terhadap potongan timbangan tersebut, namun tetap menjual karet miliknya sebab di pabrik yang lain kurang lebih aturannya seperti itu.

Bagaimana Islam mengatur jual beli dengan media timbangan atau takaran?

Dalam al Qur’an: “Sempurnakan takaran dan janganlah kamu merugikan orang lain”. (QS. Al Syu’ara: 181).

Ayat ini mengingatkan umat Islam supaya tidak meniru kebiasaan Suku Madyan kaum Nabi Syu’aib. Mereka memiliki kebiasaan dalam jual beli memikirkan keuntungan berlipat sekalipun merugikan pihak lain. Kalau membeli timbangannya ingin lebih, sementara kalau menjual dengan segala trik berupaya mengurangi timbangan.

Jelas bahwa mengurangi takaran atau timbangan dilarang, hukumnya haram berdasarkan ayat di atas. Praktek disini adalah kecurangan. Bagaimana kalau pengurangan takaran atau timbangan tersebut diberitahukan lebih dulu terhadap penjual?

Sekalipun diberitahukan lebih dulu, atau telah menjadi aturan umum, kalau pihak penjual merasa keberatan maka hukumnya haram. Pada dasarnya hal ini sama saja dengan mencuri timbangan karena penjual sebenarnya tidak rela, terpaksa menjual karena tidak ada jalan lain untuk menjual barangnya.

Sementara status akad jual beli yang demikian tetap sah selama potongan tersebut tidak menjadi syarat dari jual beli tersebut. Hanya saja berpengaruh terhadap dan tidaknya. Solusinya adalah dengan mentransaksikan barang sekaligus potongan timbangan dengan satu harga. (Hasyiyah al Bujairimi ala al Minhaj: 2/184, al Fatawa al Fiqhiyyah al Kubra: 4/116).

Kesimpulannya, potongan timbangan sekalipun telah menjadi kebiasaan hukumnya haram apabila penjual merasa keberatan. Hal tersebut pada dasarnya sama dengan mencuri timbangan. Solusinya, barang dan potongan timbangan dijadikan satu transaksi dalam satu harga.

ISLAMKAFFAH

3 Keutamaan Menyingkirkan Gangguan di Jalan, Mulai dari Ampunan Hingga Masuk Surga

Saat sedang berjalan, barangkali pernah menemukan ranting, sampah, atau bahkan benda tajam seperti paku dan serpihan kaca? Apa yang dilakukan saat menemukan benda-benda tersebut, menyingkirkan atau mendiamkan saja?

Jika menemukan gangguan tersebut, sebaiknya kaum muslimin mulai sekarang untuk meluangkan waktu menyingkirkan gangguan-gangguan tersebut.

Hal tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya dalam Islam menyingkirkan gangguan di jalan seperti contoh di atas ternyata memiliki keutamaan yang tidak banyak diketahui.

Bahkan keutamaan yang dijanjikan Allah SWT untuk amalan sederhana tersebut tertuang dalam hadist. Lantas apa saja keutamaan menyingkirkan gangguan di jalan? Berikut ini 3 keutamaan menyingkirkan gangguan di jalan yang tertuang di dalam hadist.

  1. Termasuk ke Dalam Cabang Keimanan

Tidak banyak yang tahu jika amalan menyingkirkan gangguan di jalan termasuk ke dalam cabang keimanan. Hal tersebut disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw bersabda:

“Iman itu ada 70 cabang lebih, atau 60 cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan ‘Laa ilaaha illallah’ dan yang paling ringan adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu termasuk bagian dari iman,” (HR. Muslim).

  1. Mendatangkan Ampunan dari Allah SWT

Selain bertaubat dan banyak membaca istigfar, salah satu amalan yang bisa mengampuni dosa adalah dengan menyingkirkan gangguan di jalan. Rasulullah saw bersabda:

“Suatu ketika seseorang sedang berjalan di sepanjang jalan. Kemudian dia menemukan sebuah dahan berduri di atasnya. Maka dia Menyingkirkan dahan itu. Maka Allah SWT mensyukuri amalannya dan memberinya ampunan,” (HR. Muslim).

Sebagaimana yang sudah diketahui, manusia tidak lepas dari perbuatan dosa. Maka untuk menghapus dosa-dosa tersebut umat muslim dianjurkan untuk beristigfar sebanyak-banyaknya.

Selain itu jika melihat gangguan di jalan, usahakan meluangkan waktu untuk menyingkirkannya. Dengan cara tersebut, semoga Allah SWT memberikan ampunan pada dosa-dosa kita.

  1. Dapat Memasukkan Seseorang ke Dalam Surga

Keutamaan menyingkirkan gangguan di jalan yang terakhir adalah dapat memasukkan seseorang ke dalam surga.

Siapa sangka jika amalan sederhana tersebut yang diniatkan untuk kebaikan kaum muslimin bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, hal tersebut tertuang dalam HR. Muslim.

“Seseorang yang sedang berjalan di sepanjang jalan melihat dahan-dahan pohon tergeletak di sana. Dia berkata: ‘Demi Allah, aku akan menghilangkan dahan-dahan ini agar tidak mengganggu kaum muslimin,’ Maka dengan sebab itu dia dimasukkan ke surga,” (HR. Muslim).

Itulah 3 keutamaan menyingkirkan gangguan di jalan yang tertuang dalam hadist dan jarang diketahui umat muslim. Wallahu a’lam bhissawab.

ISLAMKAFFAH