Beberapa waktu lalu, kabar bahagia datang dari salah satu aktor Indonesia yaitu Fedi Nuril. Ia menikahi seorang wanita pilihannya, Vanny Widyasasti. Tak ada kabar kedekatan keduanya sebelum menikah, dan baru diketahui saat hari bahagia itu bahwa keduanya melakukan proses ta’aruf dalam bertemu satu sama lain.
Fedi Nuril bukan satu-satunya yang melakukan proses pencarian pasangan secara agama Islam itu. Ta’aruf sendiri diyakini banyak muslim sebagai cara yang dianjurkan oleh agama Islam dalam bertemu pasangan hidup.
“Saya memilih jalan ta’aruf karena lebih nyaman di hati,” kata Ikhwan (bukan nama sebenarnya), salah seorang yang bertemu pasangan dan kemudian menikah setelah melalui jalan taaruf.
Ikhwan bersedia bercerita kepada CNNIndonesia.com alasannya memilih ta’aruf sebagai jalan menemukan tambatan hati, di tengah berbagai jenis perjodohan yang ia ketahui.
“Setahu saya, ada tiga jenis cara, dua yang paling umum itu ada pacaran dan dijodohkan. Kalau pacaran, saya merasa pasangan hanya menunjukkan yang baik-baik saja menurut dia. Kalau dijodohkan, sifatnya diberi, yang menikah tidak tahu apa-apa. Nah saya merasa ta’aruf ini berada di antara keduanya,” papar Ikhwan.
“Lagipula di era Nabi Muhammad tidak ada pacaran, kan?”
Taaruf menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perkenalan yang diserap dari bahasa Arab “lita’arafu” yang bermakna saling mengenal.
Namun, kebanyakan mengenal ta’aruf sebagai ajang pencarian jodoh melalui perantara orang ketiga yang sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.
Padahal, ta’aruf tidak serta merta bertemu dengan jodoh, melainkan sebuah usaha saling mengenal satu sama lain baik untuk keperluan umum maupun khusus.
“Ta’aruf yang saya rasakan ini berkenalan namun tidak sampai pacaran yang berinteraksi hingga seolah-olah tidak ada batas, tapi juga tidak ‘given’. Melalui ta’aruf, seseorang dapat mengenal orang lain lebih dalam melalui perantara orang ketiga,” tutur Ikhwan.
Perantara orang ketiga yang dimaksud oleh Ikhwan adalah peran sahabat atau pihak-pihak yang dianggap dekat dan mengenal dengan jelas karakter ataupun kepribadian orang yang ingin dikenal, salah satunya adalah melalui pembina keagamaan keduanya.
Cara ini dianggap Ikhwan mendekati objektif, karena bukan hanya meminta pendapat dari satu pihak semata.
Menurut Ikhwan, walaupun bisa jadi antar orang yang berta’aruf belum pernah bertemu sebelumnya, namun ta’aruf menyediakan kesempatan untuk saling bertemu dan berkenalan dengan dibantu orang-orang terdekat.
Akan tetapi, bila ternyata sudah kenal sebelumnya, maka hal itu akan mempermudah dalam menilai apakah calon benar-benar cocok sesuai pilihan hati.
Direstui Calon Mertua
Proses ta’aruf yang dijalani Ikhwan terbilang singkat, ia mulai memutuskan untuk memberitahu kesiapannya dalam mengikuti ta’aruf kepada pembina agamanya pada Desember 2010.
Dan pada Maret 2011, ia bertemu dengan sang calon istri. Bagai berjodoh, tak banyak aral menghadang keduanya hingga November 2011 Ikhwan dan sang istri resmi menikah.
Meski terkesan singkat, namun bukan berarti Ikhwan tak perlu persiapan. Hal pertama yang harus ia hadapi adalah penerimaan orang tuanya dengan sistem ta’aruf ini. Ia mengaku butuh setidaknya dua tahun untuk mengenalkan sistem ta’aruf kepada orang tuanya, sebelum ia bertaaruf.
“Soalnya ta’aruf banyak yang belum kenal, baru ada film Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih orang jadi lebih mudah membahasakan taaruf,” kata Ikhwan.
Ikhwan juga melalui proses ta’aruf pada umumnya, dimulai dengan pengajuan keinginan berta’aruf kepada pembina agamanya, lalu diteruskan dengan pencarian calon oleh sang pembina sesuai kriteria yang ditetapkan Ikhwan.
Bila bertemu yang sekiranya cocok, maka keduanya akan saling bertukar informasi kepribadian melalui perantara orang lain.
Bila dari pertukaran informasi tersebut menghasilkan hal yang positif, maka keduanya dipertemukan untuk saling mengenal lebih lanjut dengan pendampingan pembina agama dan orang terdekat.
Bila hasil positif juga, maka kemudian waktunya pemberitahuan kepada keluarga masing-masing dan dapat diteruskan ke jenjang lamaran serta menikah.
Setelah empat tahun pernikahan, Ikhwan dan sang istri telah dikaruniai dua orang putra.
“Saya rasa semua orang menginginkan keberkahan dalam pernikahannya, apapun kondisinya. Dan menurut saya, ta’aruf adalah cara yang punya keberkahan lebih banyak dibandingkan berpacaran,” kata Ikhwan.
Berlandaskan Komitmen
Menurut psikolog hubungan Sri Juwita Kusumawardhani, dalam berhubungan ada yang dikenal dengan segitiga cinta. Teori ini dikenalkan oleh Robert Sternberg, menyatakan bahwa cinta memiliki tiga dimensi yaitu hasrat, keintiman, dan komitmen.
“Segitiga cinta ini seperti bentuk cinta yang ideal. Nah kalau orang yang memilih ta’aruf sebagai cara mencari jodoh, psikologi memandang orang ini berarti melandaskan komitmen terlebih dahulu,” kata Sri saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Sabtu (13/2).
Menurut Sri, meski tidak harus berurut terjadinya, namun biasanya manusia akan lebih tertarik secara biologis terhadap seseorang karena faktor fisik. Kondisi inilah yang disebut hasrat.
Setelahnya, kedua insan melakukan kontak interaksi yang dapat menimbulkan keintiman. Dimensi ini menekankan pada keeratan perasaan di antara keduanya dan kekuatan yang mengikat mereka untuk bersama.
Sedangkan dimensi komitmen didefinisikan sebagai keputusan tetap bersama sebagai pasangan dalam hidupnya. Komitmen ini berarti juga memberikan perhatian, berusaha mempertahankan dan melindungi hubungan.
“Namun bila suatu hubungan hanya dilandaskan komitmen tanpa keintiman dan hasrat, jadinya akan membosankan,” kata Sri. “Cara mendekatkan kembali kepada pasangan masing-masing, keduanya harus membuka diri. Dan keduanya harus menerima kondisi pasangannya juga sadar bahwa tidak ada pasangan yang sempurna,”
Sri mengatakan bahwa taaruf adalah salah satu alternatif perjodohan yang ada di masyarakat. Namun bila perjodohan biasanya berlandaskan mempertahankan keturunan dan harta, ta’aruf berlandaskan agama.
Keyakinan akan ta’aruf didasarkan pada keyakinan individu tersebut terhadap aturan agama yang ia anut.
Entah apapun cara bertemunya, menurut Sri akan selalu ada fase saat individu dalam pasangan beradaptasi dengan lingkungan baru yang bernama pernikahan.
Walaupun seringkali ta’aruf diidentikkan menikah dengan yang ‘orang asing’ dibandingkan sistem berpacaran, menurut Sri, baik pacaran atau ta’aruf dan semua jenis cara berjodoh bermula dari tidak saling kenal.
“Entah pacaran atau ta’aruf tak ada yang memiliki jaminan paling efektif. Pacaran lama belum tentu kenal baik dengan pasangannya, apalagi ta’aruf. Ta’aruf memang lebih efisien dari segi waktu, namun dalam sebuah hubungan pernikahan diperlukan pengenalan karakter luar dalam yang baik, tidak cukup hanya dari profil semata. Tapi semuanya akan kaget ketika masuk dunia pernikahan, karena saat itulah hal yang belum terungkap dari pasangan akan terbuka,” papar Sri.