SEBAGAI seorang asli Madura, kepala Mat Kelor tidak pernah lepas dari kopiah atau peci. Kesukaannya adalah peci hitam Nusantara itu. “Biar aku tak pandai saat sekolah, nasionalismeku akan tetap selalu kujaga,” ujarnya setiap ditanya perihal kopiahnya itu. Di waktu yang lain dia berkata: “Walau ku tak hapal banyak teori yang tak kupaham, Pancasila kuhapal luar kepala.” Begitulah karakter Mat Kelor.
Tadi, saat shalat dhuhur di Masjidil Haram, kopiahnya ketendang orang hitam tinggi besar saat sujud. Lalu kopiah itu keinjak banyak orang. Setelah salam dia bangkit dan mengambil kopiah itu sambil berkata: “Boleh kau tendang kopiahku tapi jangan kau tendang kepalaku. Boleh kau injak-injak kopiahku, tapi jangan kau injak-injak isi kepalaku.” Saya yang ada disampingnya diam-diam mulai kagum dengan filsafat hidupnya dan kecerdasannya yang tersembunyi.
Saat mau keluar masjid, ada orang Arab yang senang kopiahnya itu dan memintanya. Mat Kelor memberikannya dengan senang hati. Saya tanya dia nanti mau pakai apa. Jawabnya: “Saya bawa kopiah hitam seperti itu ‘satu jhina’ alias 10 buah. Siapapun boleh minta kopiahku, asal jangan minta kepalaku.” Hahahaa, saya tertawa. Katanya, orang pasti suka kopiah nasional Indonesia, tapi jangan jual nasionalisme dengan harga berapapun. Saya semakin kagum kepada Mat Kelor.
Panas Mekah luar biasa. Saat keluar masjid, sapaan terik matahari tal terelakkan. Tiba-tiba ada burung yang membuang kotorannya saat tepat berada di atas kepala Mat Kelor. Tahi burung hinggap di kepalanya. Setelah diraba, dicium dan, tanpa dirasakan tentunya, Mat Kelor yakin itu tahi burung. Dia tertawa, saya kaget. Mat Kelor berkata: “Untung yang terbang itu burung, coba yang terbang itu unta betapa menderitanya saya.”
Saya semakin kagum pada Mat Kelor. Saya minta nasehatnya, dia enggan, bukan pangkatnya katanya. Saya paksa dia bicara tentang kesabarannya selama ini, lalu dia berkata: “Kalau tidak sabar terus kita ini mau apa? Ibadah haji adalah ibadah hati, melatih hati bersyukur dan bersabar atas apapun. Walaupun kepala dikotori tahi burung.” Saya senang dengan pelajaran hari ini darinya. Saya ajak dia makan makanan terenak di Mekah. Tentu saja bukan ikan burung goreng.
Oleh :Â KH Ahmad Imam Mawardi