SEJAK muda, Zaid bin Ali bersama istrinya telah bermimpi untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, pergi haji. Kondisi ekonomi yang sederhana membuat keduanya rajin menabung. Saat ini, ketika usia mereka sudah cukup tua, tabungan merekapun sudah cukup untuk bekal pergi ke tanah suci Mekah.
Suatu hari pada saat akan membeli keperluan haji, mereka bertemu dengan dua orang kakak beradik bertubuh sangat kurus dan menyedihkan. “Mengapa tubuhmu sangat kurus begitu, nak? Apakah kalian kelaparan?”
Kedua bocah tersebut menggeleng. “Kami sudah terbiasa dengan rasa lapar sejak kami hidup sendiri tanpa orangtua,” ujar salah satu di antaranya.
“Apakah orangtuamu sudah meninggal?”
Anak tadi, yang mungkin adalah sang kakak, kembali menjawab. “Mereka meninggal saat rumah kami terbakar. Saat itu kami selamat karena sedang menginap di rumah kerabat.”
“Lalu, bagaimana dengan kerabatmu?” kata Zaid.
“Karena jatuh miskin, mereka justru menelantarkan kami. Tapi kami bersyukur masih saling memiliki.” Kali ini sang adik yang menjawab. “Kami juga terserang penyakit aneh yang membuat tubuh kami kurus kerontang seperti ini. Tentu saja kami tidak memiliki uang untuk berobat.”
Zaid dan istrinya melemparkan pandangan satu sama lain. Lalu, bersamaan mengalihkannya kepada dua bocah tersebut. Mereka menatapnya. “Anak-anakku, awalnya kami akan pergi berhaji. Namun kami rasa uang yang kami miliki jauh lebih bermanfaat untuk kalian. Sepertinya ini adalah jalan Allah dalam mempertemukan kita semua.”
Akhirnya Zaid dan istrinya memutuskan untuk mengasuh keduanya dan membatalkan untuk pergi haji. Bocah kakak beradik tersebut pun sembuh dan tumbuh sehat di bawah asuhan Zaid dan istrinya. Pasangan tersebut bersyukur karena Allah menghadirkan dua anak yang saleh, setelah sekian lama mereka berdoa juga untuk dianugerahi buah hati.
Batalnya haji Zaid dan istri pun bukan berarti mereka tidak menunaikan rukun Islam yang kelima. Sebaliknya, karena merekalah, semua orang yang menunaikan haji pada saat itu diterima hajinya, tak terkecuali Zaid dan istri.
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini.” Kemudian beliau shalallahu waalaihi wa salam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya, serta agak meregangkan keduanya. (HR Bukhari) [An Nisaa Gettar]