Menikah atau Naik Haji Dahulu, Mana Lebih Utama?

Di antara yang sering ditanyakan nitizen adalah menikah atau naik haji dahulu, mana yang lebih utama? Simak penjelasan ulama berikut ini. (Baca juga: Pelaksanaan Ibadah Haji Sebelum Islam Datang).

Nikah dan haji, keduanya merupakan ibadah dalam syariat agama Islam yang tujuannya sama-sama baik. Pernikahan dilakukan dengan tujuan keberlangsungan keturunan dalam menciptkan keluarga sakinahmawaddahwar rahmah, sementara naik haji dilaksanakan dalam rangka penyempurna rukun Islam kita.

Dalam tatanan praktiknya di negara tercinta kita ini, antara pernikahan maupun haji, keduanya sama-sama membutuhkan biaya yang terbilang cukup banyak. Seorang pria yang hendak meminang perempuan idamannya, ia harus mempersiapkan biaya untuk mahar, walimah, dan tentu yang paling penting adalah kemampuan memberikan nafkah baik berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal. Jika kita taksir, biayanya hampir sama dengan Ongkos Naik Haji (ONH).

Problemnya adalah, jika seseorang sudah baligh dan hanya memiliki harta yang bisa menunjang salah satunya saja antara ongkos nikah atau ongkos haji, maka manakah yang lebih diprioritaskan, menikah dahulu atau naik haji dahulu? Mari kita simak ulasannya:

Imam Abu Ishaq As-Syirazi dalam kitabnya Al-Muhadzdzab menyatakan,

وان احتاج إلى النكاح وهو يخاف العنت قدم النكاح لان الحاجة الي ذلك علي الفور والحج ليس علي الفور

Artinya: Jika seseorang butuh menikah dan dia takut zina, maka didahulukan nikah, karena kebutuhan untuk nikah dalam hal ini lebih mendesak, sementara haji bukanlah ibadah yang sifatnya mendesak.

Pernyataan Imam Abu Ishaq As-Syirazi di atas kemudian dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab,  juz 7, hal: 49 bahwa sebaliknya jika tidak ditakutkan adanya perzinahan, maka penggunaan harta untuk membayar Ongkos Naik Haji (ONH) lebih diutamakan.

Pernyataan Imam Asy-Syirazi dan Imam Nawawi dilandaskankan pada kenyataan bahwa hukum menikah yang bisa berubah-ubah tergantung pada kondisi, seperti misalnya nikah menjadi wajib jika ditakutkan adanya fitnah jika tidak disegerakan, sedangkan di sisi lain kewajiban haji sifatnya bukanlah kewajiban fauriyyah (segera) namun bersifat at-taraakhi (boleh ditunda).

Oleh karena itu, pada persoalan ini, tinggal melihat pada kondisi yang bersangkutan, apabila ia memang sudah ingin sekali untuk menikah, maka segerakan menikah dengan menggunakan uang yang ada, sebaliknya jika tidak terlalu ingin menikah, maka uang tersebut digunakan untuk mendaftar haji.

BINCANG SYARIAH

Kemiripan Bekal Berhaji dengan Persiapan Menuju Kematian

Persiapkanlah semua keperluan yang ahsan (baik halal) harta ketika akan menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Begitupun persiapkanlah bekal berupa amal saleh agar mudah menuju perjalanan ke kampung akhirat. 

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, dalam kitabnya Fadilah Haji mengatakan, banyak sekali orang kaya yang diberi Allah SWT harta yang melimpah ruah yang sampai ke tanah Hijaz dengan cepat.

Setelah semua perbekalan siap orang itu calon jamaah haji diberikan paspornya tanpa pemeriksaan ketat. “Begitulah keadaannya jenazah yang mempunyai simpanan amal yang melimpah ruah,” katanya.

Jenazah itu tidak takut akan seluruh keadaan di dalam kubur. Karena dia tinggal di dalamnya dengan tenang seperti seorang pengantin sehingga massa yang panjang sampai hari kiamat akan berlalu untuknya dalam waktu beberapa menit atau beberapa jam saja. 

“Dia akan tidur di dalam kubur seperti sepasang pengantin yang tidur di atas ranjang dengan berselimut kain sutra dan selimut yang sangat halus pada malam pertama,” katanya. 

Jamaah haji harus mengingat ketika melihat dua helai kain ihram yang putih dibalutkan pada tubuh. Selalu bayangkan bahwa kain ihram ini merupakan kain kafan yang akan kita gunakan pergi ke alam kubur. 

“Lihatlah dengan pandangan ‘ibrah’ maka selama dia memakai pakaian ihram hendaknya ia ingat bahwa tubuhnya dibungkus dengan kain kafan putih dan ucapkanlah ‘Labbaik‘ (saya hadir). Pada saat ihram mengingat berlarian yang semua orang ketika mendengar suara orang malaikat yang menyeru pada hari kiamat,” katanya. 

Keadaan ini kata Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi, sesuai dengan surat Toha ayat 108 Allah SWT berfirman: 

يَوْمَئِذٍ يَتَّبِعُونَ الدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهُ ۖ وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَٰنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا “Pada hari itu manusia mengikuti (menuju kepada suara) penyeru dengan tidak berbelok-belok; dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Mahapemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.”

Dan bayangkan ketika masuk ke Makkah seakan-akan kita masuk ke alam kubur. Di Makkah, ada harapan untuk mendapatkan rahmat Allah SWT karena Makkah adalah Darul Aman, akan tetapi, karena amal buruknya, orang hendaknya selalu merasa takut kalau-kalau di tempat yang aman pun ia tidak mendapatkan keamanan. “Jamaah haji yang tinggal di Makkah selalu memperbarui ingatan tentang harapan itu,” katanya.

Adanya Makkah sebagai tempat yang aman selalu mengingatkan kita kepada rahmat Allah. Ampunan karunia-Nya, dan pemberian-Nya. Dengan mengingat seluruh amal buruknya yang telah dia kerjakan semasa hidupnya maka dia akan teringat satu bait syair yang berbunyi. “Jika setelah mati tidak hidup tenang maka mau lari kemana.”

Dan ketika memandang Baitullah mengingatkan kita ketika melihat rumah al-Malik pada hari kiama. Dan karena Baitullah adalah tempat munculnya kehebatan, keagungan dan kebesaran Allah SWT hendaknya kita datang ke Baitullah dengan penuh adab sebagaimana menerapkan adab pada waktu hadir di istana raja. 

Tawaf di Baitullah mengingatkan tawafnya para malaikat di Arsy Mualla di mana mereka selalu mengerjakan tawaf di sana. Menangis dengan selimut kelambu Kabah dan menangis di Multazam adalah seperti perbuatan seorang yang bersalah kepada seorang tuan yang baik telah memenuhi segala keperluannya. 

“Dia menangis dengan memegang ujung bajunya supaya dimaafkan, dan menangis sambil memegang dinding Baitullah karena inilah satu-satunya jalan agar dosanya dimaafkan,” katanya. 

Dan ini juga merupakan gambaran menangis pada hari kiamat karena teringat akan dosa. Kemudian antara Safa dan Marwah mengingatkan ketika kita berlari kesana dan kemari pada hari Mahsyar. Allah SWT dalam Alquran surat Al-Qamar ayat 7:  

خُشَّعًا أَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُنْتَشِرٌ

“Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.”  

IHRAM

Banyak yang Berangkat Haji, Sedikit yang Berhaji

Kita diperintah untuk ikhlas dalam amalan dan bukan hanya terus menerus memperbanyak amal. Niat kita mesti diluruskan dalam setiap beramal. Termasuk pula dalam amalan mulia semacam haji.

Ada seseorang yang pernah berkata pada Ibnu ‘Umar mengenai banyaknya orang yang berhaji. Ibnu ‘Umar berujar, “Memang banyak yang berangkat haji, namun sedikit yang berhaji.” Syuraih juga berkata, “Yang berhaji itu sedikit , namun yang berangkat haji itu banyak.” Maksudnya adalah banyak orang yang berbuat baik, namun sedikit yang bisa ikhlas dalam ibadah, yaitu hanya mengharap wajah Allah.

Dalam beramal kita dituntut untuk melakukan dua perkara yaitu murni dalam beribadah pada Allah (alias: ikhlas) dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110).

Fudhail bin ‘Iyadh ditanya mengenai ayat,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Al Mulk: 2). Kata Fudhail, yang dimaksud adalah akhlashuhu wa ashwabuhu, yaitu yang paling ikhlas dan paling mengikuti tuntunan nabi.

Semoga Allah memberi kita taufik dan hidayah agar terus beribadah kepada Allah dengan ikhlas.

(*) Dikembangkan dari kitab “Ahwalus Salaf fil Hajj”, karya: Dr. Badr bin Nashir Al Badr, hal. 24-25, terbitan Darul Fadhilah.

@ Sakan 27, KSU, Riyadh, KSA, 15 Syawal 1433 H

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/2781-banyak-yang-berangkat-haji-sedikit-yang-berhaji.html

Bolehkah Berdagang Sambil Berhaji?

Berhaji bagi yang mampu melaksanakannya adalah kewajiban yang ditentukan agama. Namun bolehkah kita berhaji sambil berniaga atau berdagang?

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau menceritakan tentang Ukazh, Majinnah, Dzul Majaz dahulu merupakan pasar-pasar di masa jahiliah. Dan saat Islam datang, para pedagangnya merasa berdosa jika melakukan perniagaan dalam musim-musim haji.

Untuk itu, mereka pun bertanya kepada Rasulullah SAW. Rasul tidak langsung menjawab, maka turunlah firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 198:

“Laysa alaikum junahun an tabtaghu fadhlan min Rabbikum. Fa idza afadhtum min arafatin fadzkurullaha indal-masy’aril harami, Wadzkuruhu kama hadakum wa in kuntum min qablihi lamina-dholin,”.

Yang artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikir kepada Allah di Masya’aril Haram. Dan berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana yang ditujukanNya kepadamu. Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat,”.

Dalam kitab Asbabun Nuzul karya Imam As-Suyuthi dijelaskan, seseorang berkata pada Ibnu Umar tentang boleh tidaknya menyewakan tanah pada waktu yang sama dalam berhaji. Mendengar hal itu, Ibnu Umar pun menjelaskan.

Dia berkata: “Telah datang seseorang kepada Nabi SAW dan bertanya hal yang sedang engkau tanyakan kepadaku sekarang. Tetapi Rasulullah SAW tidak langsung menjawab. Hingga turun Jibril menyampaikan kepadanya perihal ayat (Al-Baqarah ayat 198).
Bahwa sejatinya, tidak ada dosa untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan dari Tuhanmu). Kemudian, kata Ibnu Umar, Rasulullah SAW memanggil orang yang bertanya padanya itu dan bersabda: “Kalian dapat menunaikan haji,”.

IHRAM

Pergi Haji karena Menolong Anak Yatim

SEJAK muda, Zaid bin Ali bersama istrinya telah bermimpi untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, pergi haji. Kondisi ekonomi yang sederhana membuat keduanya rajin menabung. Saat ini, ketika usia mereka sudah cukup tua, tabungan merekapun sudah cukup untuk bekal pergi ke tanah suci Mekah.

Suatu hari pada saat akan membeli keperluan haji, mereka bertemu dengan dua orang kakak beradik bertubuh sangat kurus dan menyedihkan. “Mengapa tubuhmu sangat kurus begitu, nak? Apakah kalian kelaparan?”

Kedua bocah tersebut menggeleng. “Kami sudah terbiasa dengan rasa lapar sejak kami hidup sendiri tanpa orangtua,” ujar salah satu di antaranya.

“Apakah orangtuamu sudah meninggal?”

Anak tadi, yang mungkin adalah sang kakak, kembali menjawab. “Mereka meninggal saat rumah kami terbakar. Saat itu kami selamat karena sedang menginap di rumah kerabat.”

“Lalu, bagaimana dengan kerabatmu?” kata Zaid.

“Karena jatuh miskin, mereka justru menelantarkan kami. Tapi kami bersyukur masih saling memiliki.” Kali ini sang adik yang menjawab. “Kami juga terserang penyakit aneh yang membuat tubuh kami kurus kerontang seperti ini. Tentu saja kami tidak memiliki uang untuk berobat.”

Zaid dan istrinya melemparkan pandangan satu sama lain. Lalu, bersamaan mengalihkannya kepada dua bocah tersebut. Mereka menatapnya. “Anak-anakku, awalnya kami akan pergi berhaji. Namun kami rasa uang yang kami miliki jauh lebih bermanfaat untuk kalian. Sepertinya ini adalah jalan Allah dalam mempertemukan kita semua.”

Akhirnya Zaid dan istrinya memutuskan untuk mengasuh keduanya dan membatalkan untuk pergi haji. Bocah kakak beradik tersebut pun sembuh dan tumbuh sehat di bawah asuhan Zaid dan istrinya. Pasangan tersebut bersyukur karena Allah menghadirkan dua anak yang saleh, setelah sekian lama mereka berdoa juga untuk dianugerahi buah hati.

Batalnya haji Zaid dan istri pun bukan berarti mereka tidak menunaikan rukun Islam yang kelima. Sebaliknya, karena merekalah, semua orang yang menunaikan haji pada saat itu diterima hajinya, tak terkecuali Zaid dan istri.

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini.” Kemudian beliau shalallahu waalaihi wa salam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya, serta agak meregangkan keduanya. (HR Bukhari) [An Nisaa Gettar]

 

 

Orang Kaya tak Mau Berhaji = Mati Jadi Yahudi

ORANG yang mampu berangkat haji dan dia sengaja tidak berangkat haji, atau memiliki keinginan untuk tidak berhaji, maka dia melakukan dosa besar.

Allah berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran: 97)

Ketika menjelaskan tafsir ayat ini, Ibnu Katsir membawakan keterangan dari Umar bin Khatab radhiyallahu anhu, “Bahwa Umar bin Khatab radhiyallahu anhu mengatakan, “Siapa yang mampu haji dan dia tidak berangkat haji, sama saja, dia mau mati yahudi atau mati nasrani.”

Komentar Ibnu Katsir, riwayat ini sanadnya sahih sampai ke Umar radhiyallahu anhu.

Kemudian diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam sunannya, dari Hasan al-Bashri, bahwa Umar bin Khatab mengatakan, “Saya bertekad untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri ini, untuk memeriksa siapa di antara mereka yang memiliki harta, namun dia tidak berhaji, kemudian mereka diwajibkan membayar fidyah. Mereka bukan bagian dari kaum muslimin.. mereka bukan bagian dari kaum muslimin. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/85)

Belum Berhaji Hingga Mati

Orang yang mampu secara finansial sementara tidak berhaji hingga mati, maka dia dihajikan orang lain, dengan biaya yang diambilkan dari warisannya. Meskipun selama hidup, dia tidak pernah berwasiat.

Al-Buhuti mengatakan, “Apabila ada orang yang wajib haji atau umrah meninggal dunia, maka diambil harta warisannya (untuk badal haji), baik dia berwasiat maupun tidak berwasiat. Sang badal melakukan haji dan umrah sesuai keadaan orang yang meninggal. Karena pelaksanaan qadha itu sama dengan pelaksanaan ibadah pada waktunya (al-Ada). (ar-Raudh al-Murbi, 1/249)

Keterangan:

Yang dimaksud sang badal melakukan haji dan umrah sesuai keadaan orang yang meninggal,
bahwa sang badal melaksanakan haji atau umrah sesuai miqat si mayit. Jika mayit miqatnya dari Yalamlam, maka badal juga harus mengambil miqat Yalamlam.

Miqat Boleh Beda

Al-Buhuti mempersyaratkan, miqat orang yang menjadi badal haji harus sama dengan miqat mayit. Namun beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa miqat tidak harus sama. Dalam Hasyiyah ar-Raudh dinyatakan, “Ada yang mengatakan, badal haji boleh dari miqatnya sendiri. Ini pendapat Malik dan as-Syafii. Dan hajinya sah sebagai pengganti bagi orang yang dihajikan. (Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi, 3/519).

Dalam al-Mughni Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat kedua ini, “Dia dibadalkan oleh orang berhaji atas namanya sesuai kondisinya. Baik berangkat dari negerinya (mayit) atau dari tempat manapun yang mudah baginya. Ini adalah pendapat Hasan al-bashri dan Ishaq. (al-Mughni, 3/234).

Dan insyaa Allah pendapat kedua inilah yang lebih mendekati kebenaran. Karena inti yang diinginkan adalah hajinya, bukan usaha keberangkatan hajinya. Demikian keterangan Imam Ibnu Utsaimin. Allahu alam.

INILAH MOZAIK

Afrizal Sinaro: Nikmatnya Berhaji Bersama Dua Wanita Istimewa

Kenikmatan menunaikan ibadah haji sulit dilukiskan dengan kata-kata. Apalagi jika  berhaji itu bersama dengan dua wanita istimewa.

Pengalaman itulah yang dirasakan oleh Afrizal Sinaro. Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta itu pertama kali menunaikan ibadah haji tahun 2000. Ketika itu ia berhaji bersama dengan ibu kandungnya, Nadiar, yang ketika itu usianya sudah mencapai 60 tahun.

“Bagi saya, pergi haji yang pertama adalah kenikmatan yang luar biasa, karena saya bisa melayani ibu kandung saya selama 40 hari sejak awal kedatangan ke Tanah Suci hingga kembali ke Tanah Air,” ungkap Afrizal Sinaro saat berbincang dengan Republika di Resto Ahmei, Pejaten Village, Jakarta, Senin (31/8).

Sambil menyeruput teh tarik kesukaannya, lelaki kelahiran Medan, 27 April 1965 itu, menambahkan, walaupun hatinya sangat bahagia, namun di sisi lain, ia merasa pun merasa sedih. “Saya sedih, sebab ayah saya belum bisa berangkat haji tahun itu, karena keterbatasan biaya,” tutur Afrizal yang juga Ketua Umum Perguruan Al-Iman Citayam, Bogor, Jawa Barat.

Karena itulah, di depan Ka’bah, Afrizal berdoa kepada Allah, agar bisa kembali lagi berhaji bersama ayahnya. “Doa saya adalah ‘Ya Allah, kembalikan saya ke Tanah Suci-Mu ini bersama ayah dan istriku, lima tahun ke depan’,” ujar Afrizal mengutip doanya ketika itu.

Ternyata Allah mengabulkan doanya. Lima tahun kemudian, yakni tahun 2005, Afrizal dapat mengajak ayahnya, Rusdi yang kala itu berumur 65 tahun, dan istrinya tercinta, Eka Putri Handayani, melaksanakan ibadah haji.

“Itulah sebabnya, saya sering mengatakan, saya beruntung bisa menunaikan ibadah haji bersama dua wanita istimewa,” ungkapnya penuh syukur.

Redaktur : Irwan Kelana