MANUSIA mana yang tidak merasa kecewa jika rencana besarnya gagal terlaksana. Apalagi jika rencana itu sudah sejak lama diimpi-impikan untuk dilaksanakan. Bahkan dengan dana tidak sedikit.
Begitulah mungkin yang dirasakan ratusan ribu jamaah calon haji (calhaj) asal Indonesia yang bisa dipastikan gagal berangkat ke Tanah Suci pada musim haji tahun 1441H/2020M ini.
Perasaan kecewa tentu manusiawi. Tapi, tenggelam dalam kekecewaan tentu tidaklah semestinya. Pelajaran ini bisa dipetik dari sikap Saptuari Sugiarto dan ibunya, Kasilah.
Keduanya termasuk jamaah calhaj Indonesia tahun ini yang tidak jadi berangkat haji akibat pandemi Covid-19.
Pada Senin (22/06/2020), demi keselamatan di tengah pandemi, Kerajaan Arab Saudi memutuskan untuk menggelar ibadah haji 1441H/2020M hanya secara terbatas bagi Warga Negara Saudi dan Warga Negara asing atau ekspatriat yang saat ini sudah berada atau berdomisili di Arab Saudi.
Sedangkan sebelumnya, pada 2 Juni 2020 lalu, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama telah lebih dulu mengumumkan keputusan tidak memberangkatkan jamaah haji Indonesia pada tahun 1441H/2020M ini akibat pandemi.
Kuota haji Indonesia tahun ini berjumlah 221.000 jamaah, terdiri dari kuota haji reguler (203.320) dan kuota haji khusus (17.680). Jamaah calhaj itu termasuk di dalamnya adalah Saptuari dan Kasilah.
“Intinya kami pasrah dengan kondisi ini, karena semuanya sudah diatur oleh Allah Subhanahu Wata’ala,” tutur Saptuari kepada Suara Hidayatullah – hidayatullah.com beberapa waktu lalu.
Saat wawancara itu, belum ada kepastian dari pemerintah Indonesia maupun Arab Saudi mengenai penyelenggaraan haji di tengah pandemi Covid-19. Situasi itu membuat banyak calhaj masih was-was.
“Memang di grup haji, sempat ada gonjang-ganjing kekhawatiran,” tutur Saptuari, jamaah calhaj reguler asal Jogjakarta.
Ia dan ibunya mendaftar haji pada tahun 2011 silam. Sembilan tahun lamanya ia menanti giliran untuk pergi ke Baitullah.
“Umur saya sekarang 40 tahun. Ibu 65 tahun. Satu grup rombongan saya, ada sekitar 40 orang,” sebutnya saat itu.
Meskipun harus menelan kenyataan pembatalan haji tahun ini, Saptuari dan ibunya tak menuntut apa-apa.
“Saya manut sama Allah, karena memang tidak bisa dipaksakan (haji). Berangkat ya berangkat. Kalau harus diundur, semoga dikasih kesehatan dan panjang umur hingga tahun depan bisa berangkat,” ungkapnya.
Ia mengaku saat itu sudah memprediksi kemungkinan besar hajinya akan ditunda.
“Karena melihat dan membaca berita di Saudi banyak warga yang positif (virus corona), negara-negara lain yang masih dalam kondisi “merah” banyak dan termasuk juga Indonesia. Kalau dipaksakan resikonya sangat besar,” sebutnya.
Apalagi, pelaksanaan haji diikuti sekitar 2 juta orang dari berbagai negara di penjuru dunia.
“Katakanlah jadi digelar, tapi sebulan sebelum berangkat tes Covid-19 dulu. Siapa yang dapat menjamin rentang waktu sebulan itu tidak akan tertular? Belum lagi tidak semua negara bisa melakukan tes secara detail.
Dari situ saya pribadi cenderung, bukan hanya 50 persen tapi kemungkinan besar haji tahun ini akan ditunda,” ungkapnya kala itu.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Prof Dr H Hasanuddin AF MA, menjelaskan, tidak masalah ibadah haji ditunda karena adanya wabah.
“Sama dengan ibadah-ibadah lainnya. Misalnya, shalat Jumat, boleh saja tidak diselenggarakan, lalu diganti dengan shalat dhuhur. Itu contoh kecil.kembali
Nah, ibadah yang lebih besar seperti haji, (ditunda) lebih enggak masalah lagi, jika jiwa manusia bisa terancam dengan wabah itu. Saya kira, apa yang dilakukan pemerintah Saudi sudah tepat. Mereka kan memang yang memiliki otoritas untuk menutup Ka’bah,” ujarnya dalam wawancara terpisah.* Artikel ini telah dimuat Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2020/Ramadhan 1441H. Dimuat kembali hidayatullah.com dengan penyesuaian redaksi.