Kepemimpinan adalah Tugas Pengaturan, Bukan Kekuasaan Otoriter
Pada dasarnya, kepemimpinan di dalam Islam merupakan jabatan yang berfungsi untuk pengaturan urusan rakyat. Seorang pemimpin adalah pengatur bagi urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah Subhanahu Wata’ala. Selama pengaturan urusan rakyat tersebut berjalan sesuai dengan aturan Allah, maka ia layak memegang jabatan pemimpin.
Sebaliknya, jika ia telah berkhianat dan mengatur urusan rakyat dengan aturan kufur, maka pemimpin semacam ini tidak wajib untuk ditaati.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan, “Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendengarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
كَانَتْبَنُوإِسْرَائِيلَتَسُوسُهُمْالْأَنْبِيَاءُكُلَّمَاهَلَكَنَبِيٌّخَلَفَهُنَبِيٌّوَإِنَّهُلَانَبِيَّبَعْدِيوَسَتَكُونُخُلَفَاءُتَكْثُرُقَالُوافَمَاتَأْمُرُنَاقَالَفُوابِبَيْعَةِالْأَوَّلِفَالْأَوَّلِوَأَعْطُوهُمْحَقَّهُمْفَإِنَّاللَّهَسَائِلُهُمْعَمَّااسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah.” Para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.”[HR. Imam Muslim]
Tatkala menjelaskan hadits yang berbunyi, “Imam adalah penjaga, dan bertanggungjawab terhadap rakyatnya”, Imam Badrudin al-Aini, menyatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa urusan dan kepentingan rakyat menjadi tanggung jawab seorang Imam (Khalifah). Tugas seorang Imam dalam hal ini adalah memikul urusan rakyat dengan memenuhi semua hak mereka.”
Walhasil, seorang pemimpin harus selalu menyadari bahwa kekuasaan yang digenggamnya tidak boleh diperuntukkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Misalnya, untuk memperkaya diri, mendzalimi, maupun untuk mengkhianati rakyatnya. Namun, kekuasaan itu ia gunakan untuk mengatur urusan rakyat sesuai dengan aturan-aturan Allah Subhanahu Wata’ala.
Umar bin Khattab adalah salah satu profil pemimpin dalam Islam. Kesungguhan beliau memegang amanah ditunjukkan dengan aktifitas beliau sebagai pelayan umat. Umar bin Khattab memastikan kondisi rakyatnya tidak kelaparan saat terjadi musim kering. Umar lebih mementingkan kondisi rakyatnya daripada perutnya sendiri. Di saat musim tiba Umar menyiapkan daging dan gandum untuk rakyatnya, sedangkan umar hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Ia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang.
Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata, “Kurangilah panas minyak itu dengan api.” Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”
Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya. Tidak hanya itu, beliau juga memanggul gandum sendiri dan memasak gandum untuk rakyatnya yang kelaparan.
Inilah profil ideal seorang pemimpin yang didambakan oleh rakyat, pemimpin yang amanah dan peduli pada rakyat bukan pemimpin yang peduli dengan dirinya sendiri, keluarga dan partainya. Pemimpin yang seperti ini tidak akan lahir dari sistem kapitalisme yang memberikan peluang terjadinya kecacatan profil pemimpin. Namun pemimpin yang amanah hanya akan lahir di sistem Islam yang berlandaskan keimanan pada Allah Subhanahu Wata’ala.*/Nur Alfiyah, staf pengajar Home Shcooling Group SD Allami Jember