Agar Sukses Di Bulan Puasa

Segala sesuatu pasti ada tujuannya. Tak terkecuali dengan perintah ataupun larangan yang telah ditentukan oleh Allah swt. Pasti dibalik semua ketentuan itu ada tujuan yang ingin diraih.

Kita meyakini bahwa dibalik perintah ada kebaikan yang Allah ingin agar kita meraihnya dan dibalik larangan ada bahaya yang ingin dijauhkan oleh Allah swt dari diri hamba-Nya.

Kita telah memasuki bulan yang sangat spesial dari bulan-bulan lainnya. Dibulan ini Allah mewajibkan sebuah amalan yang luar biasa yaitu puasa dan tentunya ada tujuan besar dibalik kewajiban tersebut.

Allah swt berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al-Baqarah:183)

Inilah tujuan inti dari berpuasa. Yakni untuk mengantarkan seseorang menuju ketakwaan.

Maka dari itu kita harus memiliki persiapan agar bisa sampai pada tujuan ini. Karena apabila tujuan ini tidak diraih maka kita akan menjadi orang yang gagal dalam sebuah misi besar dibalik kewajiban puasa.

Mengapa tujuan intinya adalah takwa?

Bulan Ramadhan amat erat kaitannya dengan Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an juga memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan orang yang bertakwa.

Bila kita analogikan semacam ini :

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah dibulan Ramadhan. Dan tujuan dari puasa dibulan Ramadhan adalah menjadi pribadi yang bertakwa. Seakan Allah ingin menjelaskan bahwa :

Apabila engkau ingin meraih tujuan puasa dibulan Ramadhan (yaitu ketakwaan) maka jadikan pola hidupmu sesuai dengan kitab petunjuk yang diturunkan dibulan suci ini (yaitu Al-Qur’an).

Karena itulah hidayah Al-Qur’an hanya bisa diserap oleh manusia yang memiliki ketakwaan dalam hatinya. Bukankah Allah swt berfirman,

ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS.Al-Baqarah:2)

Dalam ayat lain disebutkan :

هَٰذَا بَيَانٞ لِّلنَّاسِ وَهُدٗى وَمَوۡعِظَةٞ لِّلۡمُتَّقِينَ

“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Ali ‘Imran:138)

Oleh karena itu dalam Surat Ar-Rahman Allah swt berfirman,

ٱلرَّحۡمَٰنُ – عَلَّمَ ٱلۡقُرۡءَانَ – خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ – عَلَّمَهُ ٱلۡبَيَانَ

“(Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.” (QS.Ar-Rahman:1-4)

Simaklah dalam ayat ini bahwa Allah mendahulukan kalimat “Mengajarkan Al-Qur’an” sebelum “Menciptakan Manusia”. Seakan Allah ingin menjelaskan bahwa manusia tidak akan menjadi manusia yang sebenarnya jika tidak berpegang dengan Al-Qur’an.

Maka berpuasa lah dan raih lah tujuan dibalik puasa tersebut yaitu ketakwaan dalam hati serta pola hidup.

Jadikan pola hidupmu adalah pola hidup Al-Qur’an. Bukan hanya dibulan Ramadhan, karena bukti dari keberhasilanmu dibulan ini adalah bertahannya ketakwaanmu dibulan bulan selanjutnya.

Semoga kita menjadi orang yang sukses meraih tujuan dibulan suci ini.

KHAZANAH ALQURAN

Bayar Zakat Mal yuk. klik di sini!

Doa Spesial Rasulullah SAW dalam Ayat Terakhir Al Baqarah

Surat Al Baqarah ayat 268 merupakan doa spesial Rasulullah SAW

Surat Al Baqarah ayat 268 mengabadikan doa orang beriman dengan adab yang baik. 

Doa ini ma’tsur ini baik dipanjatkan seorang hamba agar diampuni, dimaafkan, dan tetap diberikan kasih sayang oleh Allah SWT. Kalimat lengkap versi Arab dari ayat terakhir surat Al Baqarah itu adalah. 

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ Rabbana wala tuhammilna ma la thaqata lana bih, wa’fu’anna waghfirlana warhamna, anta maulana fanshurna ‘alal qaumil kafirin. 

Dan artinya berdasarkan tarjamah tafsiriyah adalah “Yahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan perintah dan larangan kepada kami yang kami tidak sanggup memikulnya. Maafkanlah kami atas kelemahan kami. Ampunilah kami atas dosa-dosa kami. Sayangilah kami, Engkaulah Tuhan kami. Karena itu tolonglah kami mengalahkan orang  orang kafir.”  

Ketua Pengurus Yayasan Dakwah, Pendidikan, dan Sosial Al-Ittihaad Magelang, Ustadz Rafiq Jauhary Lc, mengatakan petikan doa di atas adalah bagian terakhir dari surat Al Baqarah.  

“Anda juga perlu tahu bahwa tiga ayat terakhir dari surat al-Baqarah adalah satu dari tiga perkara yang didapatkan Rasulullah secara istimewa dalam peristiwa Isra Miraj,” katanya saat menyampaikan muzakarah daring tentang doa-doa di dalam Alquran. 

Ustadz Rafiq yang merupakan lulusan Darul Hadits Al-Ghamidy, Awaly, Makkah Al-Mukarromah ini mengatakan bahwa Ma’had Haram Al-Makki, Makkah Al-Mukarramah Al-Baghawi dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa Muadz bin Jabal (salah satu sahabat Nabi) setiap kali usai menyelesaikan bacaan surat al-Baqarah beliau menutupnya dengan kata “amiin.” “Karena akhir dari surat Al Baqarah berisi doa-doa yang ma’tsur,” katanya.

Ustadz Rafiq yang juga pemilik Travel Taqwa Tours menyampaikan bahwa Allah adalah Dzat yang suka dengan kemudahan, Allah tidak akan berbuat zalim dengan membebankan perintah dalam syariat atau larangan yang memberatkan hamba-Nya.

Namun sebagai seorang mukmin yang beradab, kita diajarkan untuk tetap berdoa atas sesuatu yang pasti Allah berikan yaitu kemudahan dan keringanan. 

Selain itu, kata Rafiq yang juga aktif sebagai pembimbing ibadah haji, dalam doa ini kita juga memohon kepada Allah agar diampuni, dimaafkan dan tetap diberikan kasih sayang. Meskipun kita belum mampu menjalankan syariat-Nya yang telah dimudahkan. 

“Allah adalah penguasa, maka kita memohon kepada-Nya untuk mengalahkan orang-orang kafir yang telah menyelisihi syariat-Nya,” katanya.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Masih Punya Utang Puasa Terus Meninggal, Bagaimana Cara Bayarnya?

Memenuhi kewajiban membayar utang adalah sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT. Sehingga orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban membayar utang puasa Ramadhan itu sama artinya dengan mempunyai tunggakan utang kepada Allah SWT. Lantas, bagaimana jika dia meninggal dunia tapi masih punya utang puasa? Simak penjelasannya berikut ini!

Seseorang yang meninggal dunia tapi masih punya utang puasa karena adanya udzur semisal sakit, maka baginya tidak berdosa. Dan bagi ahli waris yang ditinggalkan tidak wajib untuk qadha puasa tersebut.

Akan tetapi, apabila penangguhan qadha puasa itu disengaja tanpa ada udzur, maka kerabat yang ditinggalkan berkewajiban untuk mengganti puasa bagi si mayit. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat perihal tata cara pembayaran atau qadha puasa orang yang telah meninggal dunia.

Syekh Abu Ishaq As-Syairazi, dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz VI, halaman 337 mengatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras. Hal ini sebagaimana dalam keterangan beliau berikut,

ولو كان عليه قضاء شئ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذر اتصل بالموت لم يجب عليه شئ لانه فرض لم يتمكن من فعله إلي الموت فسقط حكمه كالحج وإن زال العذر وتمكن فلم يصمه حتى مات أطعم عنه لكل مسكين مد من طعام عن كل يوم

Artinya, “Seandainya seseorang memiliki utang puasa dan ia belum sempat membayarnya sampai wafat, maka jika ia menundanya karena uzur yang berlangsung terus menerus hingga wafat, maka ia tidak berkewajiban untuk mengganti puasanya karena dia tidak mampu mengerjakannya hingga wafat sehingga status kewajibannya gugur seperti ibadah haji. Tetapi jika uzurnya hilang dan ia memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya, lalu ia tidak berpuasa, maka utang puasanya dibayar dengan satu mud makanan pokok untuk setiap harinya.”

Menurut pendapat ulama lainnya, utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan pelaksanaan puasa oleh wali atau ahli waris. Utang puasa itu dibayar dengan pelaksanaan puasa oleh keluarganya yang masih hidup.  Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Aisyah RA, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

 “Siapa saja yang wafat dan ia memiliki utang puasa, maka ahli warisnya diwajibkan berpuasa untuk menggantikan kewajiban puasanya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Imam An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang dipilih oleh mazhab Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu pembayaran fidyah sebanyak satu mud makanan pokok untuk mengganti utang puasa orang yang telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana pendapat beliau dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz VI, halaman 337,

 والمنصوص في الام هو الاول وهو الصحيح والدليل عليه ماروى ابن عمر أن النبي صلي الله عليه وسلم قال ” من مات وعليه صيام فليطعم عنه مكان كل يوم مسكين ” ولانه عبادة لا تدخلها النيابة في حال الحياة فلا تدخلها النيابة بعد الموت كالصلاة

Artinya, “Pendapat manshus dalam kitab Al-Umm adalah pendapat pertama. Ini pendapat yang sahih. Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai utang puasa, hendaklah memberi makan orang miskin pada setiap hari utang puasanya.’ Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah shalat,”

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ulama berbeda pendapat perihal tata cara pembayaran atau qadla utang puasa orang yang telah meninggal dunia. Pada prinsipnya, kedua pendapat ini didukung oleh dalil yang kuat. Namun, tata cara yang dipilih oleh imam Nawawi adalah pendapat yang pertama yaitu pembayaran fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras kepada orang miskin untuk mengganti satu hari utang puasa orang yang telah meninggal dunia. Pembayaran fidyah ini dapat bertambah sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Allah Memperkenalkan Iblis, Sosok Kafir Pertama

Kesombongan Iblis menyebabkan dirinya tergolong dalam golongan kafir.

Ramadhan telah tiba, kembali kami tampilkan uraian singkat tentang Al Qur’an sebagai tadarus singkat selama bulan Ramadhan. Tadarus ini, meneruskan tulisan sejenis yang diupload Ramadhan tahun lalu. Moga Bermanfaat.

Pada tulisan kali ini, masih ditampilkan Qs Al Baqarah ayat 34:

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

Wa iż qulnā lil-malā`ikatisjudụ li`ādama fa sajadū illā iblīs, abā wastakbara wa kāna minal-kāfirīn

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (Qs Al Baqarah 34).

Kalau pada tulisan lalu tentang ayat ini, kita fokus pada sujud atau perintah sujud. Maka pada tulisan kali ini, kita fokus pada kata kafir yang disandang oleh Iblis.

Sebelum membahas tentang kekafiran Iblis, kita lihat dulu ayat-ayat terdahulu yang terkait dengan kafir. Pertama, Qs Al Baqarah ayat 6. Di ayat ini, diberi peringatan atau tidak tetap tidak akan beriman:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Innallażīna kafarụ sawā`un ‘alaihim a anżartahum am lam tunżir-hum lā yu`minụn

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (Al Baqarah 6)

Kedua,  Qs Al Baqarah ayat 7. Di ayat ini menyebutkan Allah telah mengunci hati, pendengaran, dan penglihatan mereka telah tertutup. Ketiga, dalam ayat 7 ini juga dinyatakan bahwa orang kafir mendapat adzab yang pedih.

خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Khatamallāhu ‘alā qulụbihim wa ‘alā sam’ihim, wa ‘alā abṣārihim gisyāwatuw wa lahum ‘ażābun ‘aẓīm

Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (Al Baqarah 7)

Keempat, Qs Al Baqarah ayat 24. Tempatnya di neraka. Ini terkait dengan mendapatkan adzab yang berat.

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ

Fa il lam taf’alụ wa lan taf’alụ fattaqun-nārallatī waqụduhan-nāsu wal-ḥijāratu u’iddat lil-kāfirīn

Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Qs Al Baqarah 24)

Kelima, Qs Al Baqarah 26. Orang kafir mempertanyakan perumpamaan yang ada dalam Al Qur’an.

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَسْتَحْيٖٓ اَنْ يَّضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوْضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۚ وَاَمَّا الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَيَقُوْلُوْنَ مَاذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِهٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهٖ كَثِيْرًا وَّيَهْدِيْ بِهٖ كَثِيْرًا ۗ وَمَا يُضِلُّ بِهٖٓ اِلَّا الْفٰسِقِيْنَۙ

Innallāha lā yastaḥyī ay yaḍriba maṡalam mā ba’ụḍatan fa mā fauqahā, fa ammallażīna āmanụ fa ya’lamụna annahul-ḥaqqu mir rabbihim, wa ammallażīna kafarụ fa yaqụlụna māżā arādallāhu bihāżā maṡalā, yuḍillu bihī kaṡīraw wa yahdī bihī kaṡīrā, wa mā yuḍillu bihī illal-fāsiqīn

Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?” Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik. (Al Baqarah 26).

Mari kita lihat tentang kekafiran Iblis dalam Qs Al Baqarah ayat 34 ini, apakah berkesuaian dengan ayat-ayat tentang kafir di atas atau ada penambahan hal yang baru tentang kafir. Dalam ayat ini disebutkan ada dua kriteria yang menyebabkan iblis dimasukkan golongan kafir, pertama, menolak perintah Allah SwT untuk sujud kepada Adam as. Kedua, menyombongkan diri.

Yang pertama berkesesuaian dengan yang telah disebutkan pertama kali tentang kafir bahwa diberi peringatan atau tidak tetap tidak beriman. iblis tergolong tidak beriman kepada Allah karena tidak istiqamah dalam ketaatan kepada Allah. Sebab beriman pada Allah juga harus beristqamah, sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَبِيْ عَمْرٍو، وَقِيْلَ، أَبِيْ عَمْرَةَ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلامِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدَاً غَيْرَكَ؟ قَالَ: “قُلْ آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu ‘Amr—ada yang menyebut pula Abu ‘Amrah—Sufyan bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata: Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu perkataan dalam Islam yang aku tidak perlu bertanya tentangnya kepada seorang pun selainmu.” Beliau bersabda, “Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 38]

Kemudian tentang kesombongan Iblis ini merupakan hal yang baru tentang ayat yang terkait dengan kekafiran. Boleh jadi kesombongan ini merupakan penyebab ketidaktaatan Iblis kepada Allah SwT. Mengenai kesombongan ini juga berkesesuaian dengan hadits berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ : إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.

Dari Abdullah bin Mas’ûd, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang ada kesombongan seberat biji sawi di dalam hatinya.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya semua orang senang bajunya bagus, sandalnya bagus, (apakah itu kesombongan?”) Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allâh Maha Indah dan menyintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”.  [HR. Muslim, no. 2749]

Lalu apa yang bisa kita ambil dari pelajaran di atas?

Kesombongan Iblis menyebabkan dirinya tergolong dalam golongan kafir. Karenanya, jangan sampai kita juga terjebak dalam kesombongan sebesar apapun. Sebagaimana dalam hadits kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.  Waallahu a’lam bisshawab

Oleh: Lutfi Effendi

sumber : Suara Muhammadiyah

Apakah Operasi Lasik Membatalkan Puasa?

Banyak pertanyaan seputar puasa. Dengan semakin berkembangnya zaman dan teknologi, muncul pula hal-hal baru terkait dengan ibadah ini. Salah satu pertanyaan yang muncul, apakah operasi lasik membatalkan puasa?

Sebelum menjawab, ada baiknya kita bahas dulu hal-hal yang membatalkan puasa lalu apa itu operasi lasik dan terakhir baru apakah operasi lasik membatalkan puasa atau tidak.

Hal-Hal yang Membatalkan Puasa

Ada delapan hal yang membatalkan puasa, yaitu:

1. Makan atau minum dengan sengaja

Makan atau minum dengan sengaja jelas membuat puasa batal. Namun jika seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, itu tidak membatalkan puasanya.

مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

Barangsiapa yang lupa, padahal ia berpuasa, lalu ia makan atau minum, hendaknya ia meneruskan puasanya. Karena ia diberi makan dan minum oleh Allah. (HR. Jamaah)

2. Muntah dengan sengaja

Muntah dengan sengaja juga membuat puasa batal. Namun jika tidak sengaja atau dipaksa, puasanya tidak batal.

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَىْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ

Barangsiapa didesak muntah, ia tidak wajib mengqadha, tetapi siapa yang menyengaja muntah hendaklah ia mengqadha. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruquthni, dan Hakim)

3. Keluar sperma dalam kondisi sadar

Ini juga membatalkan puasa. Kecuali jika karena mimpi, maka puasanya tidak batal.

4. Berhubungan suami istri

Ini bukan hanya membatalkan puasa, tetapi pelakunya juga terkena kafarat. Yakni memerdekakan budak. Jika tidak bisa, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak bisa, maka memberi makan 60 fakir miskin.

5. Meniatkan berbuka

Karena niat merupakan rukun puasa, maka niat berbuka berarti membatalkan puasanya.

6. Meniatkan berbuka

Karena niat merupakan rukun puasa, maka niat berbuka berarti membatalkan puasanya.

7. Haid dan nifas

Bagi muslimah, haid dan nifas merupakan pembatal puasa. Bahkan haram berpuasa bagi seorang wanita yang sedang haid atau nifas.

8. Gila

Seseorang yang tiba-tiba gila saat puasa, puasanya batal. Dan pada saat itu ia memang tidak berkewajiban puasa. Sebab di antara syarat wajib puasa adalah berakal.

Dari delapan hal ini tidak ada suntik, infus maupun operasi lasik. Mengapa? Sebab ketiganya adalah masalah baru yang kemudian para ulama berijtihad dan berbeda pendapat. Syaikh Dr Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa suntik dan infus tidak membatalkan puasa. Namun seseorang yang disuntik atau diinfus karena sakit, ia tidak wajib berpuasa.

Apa itu Operasi Lasik

Menurut nationallasikcenter.id, Lasik (Laser In Situ Keratileusis) adalah prosedur laser untuk mengoreksi gangguan refraksi (mata minus/rabun jauh, silinder, rabun dekat) sehingga terbebas dari alat bantu penglihatan seperti kacamata dan contact lens.

Lasik merupakan salah satu metode atau teknik yang termasuk dalam Laser Vision Correction (LVC). Namun, sebagian besar masyarakat lebih mengenal metode tersebut dengan istilah Lasik.

Pada umumnya, lasik meliputi tindakan yang membentuk flap pada lapisan Kornea dengan tujuan membetulkan bentuk Kornea agar fokus pada mata kembali berfungsi dengan baik terhadap objek.

Operasi lasik sendiri umumnya berlangsung selama 15—30 menit dengan pembiusan lokal. Yang lebih lama justru pre lasik sekitar sepekan sebelumnya. Pre lasik untuk memperlancar prosedur lasik dan mendapatkan hasil terbaik ini bisa memakan waktu sekitar 2 jam.

Operasi Lasik Membatalkan Puasa?

Syaikh Dr Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Puasa menjelaskan bahwa suntik maupun infus sebenarnya tidak membatalkan puasa. Mengapa? Karena keduanya tidak memasukkan makanan ke perut.

“Suntikan untuk pengobatan, misalnya untuk menurunkan suhu badan, tekanan darah, atau semisalnya, ulama kontemporer sepakat bahwa itu tidak membatalkan puasa,” tulis Syaikh Dr Yusuf Qardhawi. Bahkan suntikan yang bertujuan sebagai suplemen seperti vitamin atau kalsium juga tidak membatalkan puasa.

Ulama berbeda pendapat tentang infus melalui nadi yang berfungsi sebagai pengganti makanan. Sebagian ulama berpendapat itu membatalkan puasa, tetapi menurut Syaikh Dr Yusuf Qardhawi tidak membatalkan. Sebab, infus tidak sampai ke jauf (tenggorokan) melalui mulut bahkan tidak sampai ke jauf sama sekali jika maknanya adalah perut besar.

Namun, yang menjadi titik tekan Syaikh Dr Yusuf Qardhawi adalah orang yang memerlukan infus seperti itu adalah orang yang sedang sakit. Orang yang sakit, tidak wajib berpuasa. Ia bisa meng-qadha’-nya di luar bulan Ramadhan.

Demikian pula dengan pre-lasik maupun operasi lasik, ia tidak membatalkan puasa. Namun, umumnya dokter menyarankan agar pasien kuat, ia perlu makan sebelumnya. Dalam kondisi ini, seperti penjelasan Syaikh Dr Yusuf Qardhawi di atas, ia boleh berbuka dan wajib meng-qadha’-nya di luar Ramadhan.

Adakah solusi terbaik? Ada. Yakni tindakan operasinya pada malam hari setelah berbuka puasa. Sehingga ia tetap bisa berpuasa. Seorang teman menceritakan, ia ingin tetap berpuasa meskipun menjalani operasi lasik. Ia sampaikan keinginannya itu kepada dokter National Lasik Center, lalu disarankan untuk operasi lasik pada malam hari.

“Enak, disediakan buka puasa, dilayani dengan baik. Operasinya pada malam hari jadi bisa tetap berpuasa,” kata Arip Imawan yang berprofesi sebagai pengacara. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH

Niat Zakat Fitrah, Hukum, Besarnya dan Waktu Mengeluarkan

Zakat fitrah adalah ibadah maaliyah yang menyertai dan menyempurnakan puasa Ramadhan. Bagaimana niat zakat fitrah, kapan waktu mengeluarkan dan berapa besarnya? Berikut ini pembahasannya.

Daftar Isi

Pengertian Zakat Fitrah

Terkadang ada yang mempertanyakan mengapa disebut zakat fitrah padahal dalam hadits dipakai istilah zakat fithri. Dua istilah tersebut sama-sama boleh digunakan. Karena dalam riwayat Imam Syafi’i dan ulama lainnya dipakai istilah tersebut.

Secara bahasa, al fitrah (الفطرة) artinya adalah asal penciptaan. Menurut Ibnu Qutaibah, dinamakan zakat fitrah (زَكَاة الْفِطْرَةِ) karena zakat ini adalah zakat untuk badan dan jiwa.

Dalam hadits, istilah yang Rasulullah gunakan adalah zakat fithri (زَكَاةِ الْفِطْرِ). Secara bahasa, Al Fithr (الفطر) artinya adalah berbuka. Dinamakan zakat fitri karena zakat ini wajib dikeluarkan sebab berakhirnya puasa Ramadhan.

Secara istilah, zakat fitrah atau zakat fitri adalah ibadah maaliyah (harta) yang wajib dikeluarkan disebabkan berakhirnya puasa Ramadhan. Ini sedikit berbeda dengan pengertian zakat yang umumnya mengacu pada zakat mal.

Hukum Zakat Fitrah

Hukum zakat fitrah adalah wajib bagi setiap muslim baik pria maupun wanita, kecil atau dewasa, dan budak maupun merdeka. Perintah yang mewajibkannya turun pada tahun 2 hijriyah, di tahun yang sama dengan turunnya perintah kewajiban puasa Ramadhan dan peristiwa perang Badar.

Hukum ini berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ، ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى ، مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitri sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada setiap orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita, dari kalangan kamu muslimin. (HR. Bukhari)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitri dari Ramadhan kepada seluruh jiwa kaum muslimin baik orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum. (HR. Muslim)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan, ulama Hanifiyah berpendapat bahwa yang wajib mengeluarkan zakat ini adalah yang memiliki harta satu nisab yang lebih dari kebutuhan pokoknya (tempat tinggal, pakaian, kendaraan, peralatan rumah tangga serta kebutuhan keluarga).

Namun menurut jumhur ulama, zakat ini wajib atas orang yang memiliki makanan pokok untuk dirinya dan orang yang ia nafkahi di malam Idul Fitri dan ketika Idul Fitri. Bahkan menurut madzhab Maliki, zakat fitrah tetap wajib meskipun ia harus berhutang. Asalkan yakin bisa melunasi.

Zakat fitri ini wajib dikeluarkan oleh setiap jiwa (kullu nafs). Karenanya, seorang ayah harus mengeluarkan zakat ini untuk anak-anaknya yang masih kecil dan bayi, seorang kepala keluarga mengeluarkan zakat ini untuk orang yang ia nafkahi. Jika suami atau kepala keluarga sudah membayarkan zakat ini, istri atau anggota keluarga tidak perlu membayar sendiri.

Niat Zakat Fitrah

Dalam bab Zakat buku Fikih Manhaji Madzhab Syafi’i, Syaikh Mushtofa Al Bugho menulis satu sub bab khusus berjudul Hukum Niat ketika Mengeluarkan Zakat.

Seorang muzakki wajib berniat ketika membayarkan zakatnya. Hal ini untuk membedakannya dengan pembayaran jenis lain seperti kafarat sumpah atau infaq. Ketentuan ini berdasarkan hadits yang sangat populer, “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika muzakki membayar langsung zakatnya, maka ia niat zakat ketika hendak menyerahkan zakat itu kepada mustahiq. Boleh juga ia niat zakat ketika memisahkan bagian zakat dengan hartanya yang lain.

Adapun ketika ia menyerahkan zakat kepada pemerintah atau lembaga amil zakat, maka ia harus niat zakat ketika menyerahkannya kepada pemerintah atau lembaga amil zakat.

Semua ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Melafadzkan niat bukanlah suatu syarat. Artinya, tidak harus melafadzkan niat.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan, menurut jumhur ulama selain madzhab Maliki, melafadzkan niat hukumnya sunnah dalam rangka membantu hati menghadirkan niat.

Sedangkan dalam madzhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafalkan niat karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Berikut ini lafadz niat zakat fitrah beserta tulisan latin artinya.

1. Niat Zakat untuk Diri Sendiri

Jika seseorang mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri, maka lafadz niatnya adalah sebagai berikut:

ﻧَﻮَﻳْﺖُ أَﻥْ أُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْسيْ ﻓَﺮْﺿًﺎ لِلَّهِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

(Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an nafsii fardhol lillaahi Ta’aalaa)

Artinya: Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri, fardhu karena Allah Ta’ala

2. Niat Zakat untuk Anak Laki-laki

Jika seorang kepala keluarga mengeluarkan zakat fitrah untuk anaknya, terutama yang masih kecil dan belum bisa berniat sendiri. Maka lafadz niat zakat fitrah untuk anak laki-laki adalah sebagai berikut:

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻭَﻟَﺪِﻱْ … ﻓَﺮْﺿًﺎ لِلَّهِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

(Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an waladii … fardhol lillaahi Ta’aalaa)

Artinya: Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak laki-lakiku…. (sebutkan nama), fardhu karena Allah Ta’ala

3. Niat Zakat untuk Anak Perempuan

Jika seorang kepala keluarga mengeluarkan zakat fitrah untuk anaknya, terutama yang masih kecil dan belum bisa berniat sendiri. Maka lafadz niat zakat fitrah untuk anak perempuan adalah sebagai berikut:

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِﻋَﻦْ ﺑِﻨْﺘِﻲْ … ﻓَﺮْﺿًﺎ لِلَّهِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

(Nawaitu an ukhrija zakaatal fithri ‘an bintii … fardhol lillaahi Ta’aalaa)

Artinya: Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak perempuanku…. (sebutkan nama), fardhu karena Allah Ta’ala

Baca juga: Niat Sholat Idul Fitri

Waktu Mengeluarkan

Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan pada akhir Ramadhan. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai batas waktu itu.

Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan, menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’i dalam qaul jadid dan satu riwayat Imam Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbenamnya matahari pada malam Idul Fitri karena saat itulah waktu berbuka puasa Ramadhan.

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dalam qaul qadim dan satu riwayat Imam Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbit fajar pada hari raya Idul Fitri.

Perbedaan ini berpengaruh pada bayi yang lahir pada malam Idul Fitri sebelum terbit fajar, apakah ia wajib dikeluarkan zakat fitrahnya atau tidak. Menurut golongan pertama, wajib zakat fitrah wajib karena ia lahir setelah waktu diwajibkan. Menurut golongan kedua, zakat fitrahnya tidak wajib karena ia lahir sebelum waktu diwajibkan.

Jika waktu wajib zakat ini adalah akhir Ramadhan, bolehkah membayarkannya lebih awal? Menurut jumhur ulama, boleh mengeluarkan satu hari atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu biasa mengeluarkan zakat ini sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri.

Menurut madzhab Syafi’i, boleh mengeluarkan zakat fitrah sejak awal Ramadhan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, boleh mengeluarkannya sebelum bulan Ramadhan.

Yang harus menjadi perhatian, batas akhir mengeluarkan zakat fitrah adalah sebelum Sholat Idul Fitri. Jika mengeluarkannya setelah sholat id, ia menjadi sedekah biasa.

مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum sholat id maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah; hasan)

Baca juga: Minal Aidin Wal Faizin

Besarnya Zakat Fitrah

Seperti tercantum pada hadits di atas, besarnya zakat fitrah adalah satu sha’ gandum atau satu sha’ kurma atau satu sha’ makanan pokok lainnya. Sayyid Sabiq menjelaskan dalam Fiqih Sunnah, satu sha’ sama dengan empat mud yakni sekitar 3,33 liter.

Jika ditimbang, satu sha’ setara dengan sekitar 2,7 Kg. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganjurkan untuk menggenapkannya menjadi 3 Kg sehingga lebih aman.

Yang paling berat adalah menurut Imam Abu Hanifah, yaitu satu sha’ setara dengan 3,8 Kg. Sedangkan yang paling ringan adalah menurut Madzhab Hambali, yaitu 1 sha’ setara dengan 2,176 Kg atau dibulatkan menjadi 2,2 Kg. Karenanya banyak ulama di Indonesia yang berpendapat pertengahan keduanya yakni 2,5 Kg.

Syaikh Abdurrahman Al Juzairi menjelaskan, bahan makanan pokok yang dikeluarkan sebagai zakat ini harus dibersihkan dari kulit dan batangnya. Sehingga ketika orang berzakat, ia memberikan beras bukan memberikan padi.

Orang yang biasa memakan makanan yang lebih rendah dari kebiasaan masyarakat, misalnya ia makan nasi dari beras sedangkan masyarakat biasa memakan gandum, maka ia mengeluarkan zakat fitrah seperti yang ia makan jika hal itu karena keterbatasan ekonominya. Namun jika itu karena kekikirannya, ia harus mengeluarkan zakat ini sesuai makanan yang biasa dimakan masyarakat.

MAU Bayar Zakat secara Online? Klik di sini!

Zakat Fitrah dengan Uang

Bolehkah mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, bukan dalam bentuk bahan makanan pokok? Imam Abu Hanifah memperbolehkannya. Yakni dengan memberikan uang senilai satu sha’ bahan makanan pokok.

“Namun jika yang diberikan orang yang berzakat itu berupa gandum, maka cukup setengah sha’” terang Imam Abu Hanifah seperti dikutip Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah.

Mengapa boleh memberikan zakat fitrah dengan uang, Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan hujjah Madzhab Hanafi, karena hakikatnya yang wajib adalah mencukupkan orang fakir miskin dari meminta-minta. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَغْنُوهُمْ فِى هَذَا الْيَوْمِ

“Cukupkan mereka (dari meminta-minta) pada hari seperti ini.” (HR. Daruquthni)

“Mencukupkan orang fakir miskin dari meminta-minta dapat tercapai dengan memberinya harga (uang). Bahkan itu lebih sempurna dan mudah karena lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian maka jelaslah teks hadits tersebut mempunyai illat (sebab) yakni al ighna’ (mencukupkan)” demikian hujjah Madzhab Hanafi.

Sedangkan menurut jumhur ulama, tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang karena Rasulullah mengeluarkan zakat ini dengan makanan pokok.

“Membayar zakat fitrah dengan harga jenis makanan-makanan tersebut, maka tidak boleh menurut jumhur. Hal itu berdasarkan perkataan Umar bin Khattab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma dan satu sha’ gandum.” Jika berpaling dari ketentuan itu maka ia telah meninggalkan kewajiban,” tulis Syaikh Wahbah Az Zuhaili.

Jadi, tidak boleh membayar zakat ini dengan uang secara mutlak. Sebab di zaman Rasulullah juga sudah ada uang tetapi beliau dan para sahabat tidak memberikan uang sebagai zakat fitrah. Adapun hadits yang menjadi hujjah Madzhab Hanafi tersebut, derajatnya dipersoalkan oleh banyak ulama.

Namun jika kita membayar kepada lembaga zakat dalam bentuk uang dan telah ada kesepakatan (akad) bahwa nantinya lembaga zakat itu memberikan kepada mustahik dalam bentuk makanan pokok, maka ini boleh.

Berapa Rupiah Besar Zakat Fitrah?

Berapa besarnya zakat fitrah dengan uang? Masing-masing lembaga zakat memiliki standar sendiri. Tiap lembaga zakat juga punya ketentuan berapa Kg beras dan berapa Rupiah kurs beras per Kg.

Berikut ini besaran zakat fitrah Ramadhan 1442 (2021 M) dari sejumlah lembaga amil zakat yang kami himpun dari website resmi masing-masing, urut dari yang paling kecil hingga paling besar Rupiahnya:

LAZ Ummul QuroRp. 30.000,-
Kotak Amal Indonesia (KAI)Rp. 35.000,-
NU Care – LazisNuRp. 35.000,- (2,5 Kg beras medium) Rp. 45.000,- (2,5 Kg beras premium)
Lembaga Manajemen Infaq (LMI)Rp. 36.000,-
Nurul HayatRp. 37.000,-
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas)Rp. 40.000,-
Global ZakatRp. 40.000,- (2,5 Kg beras)
Yatim MandiriRp. 40.000,- (3 Kg beras)
LazismuRp. 45.000,- (2,5 Kg beras)
Dompet DhuafaRp. 50.000,- (termasuk infaq operasional)

Demikian pembahasan lengkap zakat fitrah mulai dari pengertian, hukum, niat, waktu, hingga besarnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH

Ceramah Ramadhan 2021: Ramadhan Syahrut Tarbiyah

Bulan Ramadhan yang kini kita berada di dalamnya juga dikenal sebagai Syahrut Tarbiyah; Bulan Pendidikan. Mengapa? Karena pada bulan Ramadhan Allah Subhanahu wa Ta’ala mendidik umat Islam secara langsung dengan puasa.

Pada bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan tadarrus Al-Qur’an bersama Malaikat Jibril. Aktifitas para shahabat dalam menuntut ilmu juga mengalami peningkatan.

Ramadhan memang bulan yang sangat kondusif dan mendukung aktifitas umat Islam untuk mengkaji ilmu agama, sebab pada bulan ini syetan yang biasa menggoda manusia serta menghembuskan kemalasan kita dalam menuntut ilmu tengah dibelenggu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, syetan-syetan dibelenggu, dan di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang/terjauhkan (dari kebaikan). (HR. An Nasa’i, Ahmad, dan Baihaqi; hasan)

Ada banyak keutamaan thalabul ilmi (menuntut ilmu) khususnya ilmu-ilmu agama, terlebih di bulan Ramadhan yang merupakan syahrut tarbiyah ini. Di antaranya adalah:

Allah meninggikan derajat orang yang berilmu

Siapakah di antara kita yang tidak ingin memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah? Semua orang yang beriman tentu menginginkannya. Dan derajat yang tinggi itu bisa teraih dengan dua syarat; iman dan ilmu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

…Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat… (QS. Al Mujadilah: 11)

Ibnu Hajar Al-Asqalani ketika menjelaskan ayat ini dalam Fathul Bari mengatakan: “Derajat yang tinggi memiliki dua konotasi, yaitu maknawiyah di dunia dengan memperoleh kedudukan yang tinggi dan reputasi yang bagus serta hissiyah di akhirat dengan kedudukan yang tinggi di surga.”

Ketinggian derajat orang yang berilmu digambarkan dalam sebuah hadits seperti keutamaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibandingkan shahabat beliau yang paling rendah.

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِى عَلَى أَدْنَاكُمْ

Keutamaan seorang yang berilmu dibandingkan ahli ibadah adalah bagaikan keutamaanku dibandingkan orang yang paling rendah diantara kalian. (HR. Tirmidzi; hasan)

Manfaatkan Ramadhan syahrut tarbiyah dengan banyak menuntut ilmu, niscaya Allah akan meninggikan derajat kita.

Ilmu adalah syarat generasi Rabbani

Hanya dengan bekal ilmu, khususnya ilmu tentang Al-Qur’an yang terus diperdalam dan juga diajarkan serta didakwahkan, seseorang menjadi orang yang rabbani dan sebuah generasi menjadi generasi yang rabbani.

كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali Imran: 79)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa rabbani, menurut Ibnu Abbas, adalah orang yang bijaksana, alim, lagi penyantun. Sementara menurut Al-Hasan, rabbani ialah ahli ibadah dan ahli taqwa.

Kini banyak umat Islam yang merindukan serta mencita-citakan kemenangan Islam. Namun banyak yang lupa bahwa kemenangan itu hanya akan hadir tatkala generasi rabbani terpenuhi dalam jumlah yang banyak. Dan, inilah yang harus menjadi fokus umat Islam jika mereka memang bercita-cita meraih izzul Islam wal muslimin. Inilah yang juga harus menjadi prioritas kita khususnya di bulan Ramadhan ini, menjadi generasi rabbani dan menjadi bagian dari kemenangan Islam.

وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang rabbani. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imran: 146)

Ilmu adalah sumber kebaikan

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan, Allah pasti memahamkan kepadanya urusan agama ini. (Muttafaq ‘alaih)

Dr. Musthofa Said Al-Khin bersama tiga ulama’ lain saat mengetengahkan hadits ini dalam Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhus Shalihin mengomentari, “Keutamaan ilmu pengetahuan, sebab ilmu adalah sumber kebaikan dan merupakan simbol kemudahan dan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Memang demikianlah ilmu. Bagaimana seseorang bisa beramal dengan benar tanpa ilmu? Bagaimana pula seseorang akan mampu melahirkan perkataan yang tepat tanpa ilmu? Karenanya Imam Bukhari membuat satu bab khusus dalam kitab Shahih-nya: Al-Ilmu Qabla al-Qaul wa al-Amal. Karenanya pula Umar bin Abdul Aziz berkata:

مَنْ عَمِلَ عَلَي غَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ اَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

Barangsiapa yang beramal tanpa didasari ilmu, maka unsur merusaknya lebih banyak dari pada maslahatnya.

Manfaatkan Ramadhan syahrut tarbiyah dengan banyak menuntut ilmu, semoga Allah akan memilih kita menjadi hamba-hamba yang Dia limpahkan banyak kebaikan.

Menuntut ilmu memudahkan masuk surga

Ilmu merupakan jalan menuju surga. Dengan ilmu seseorang bisa mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil. Dengan ilmu, seseorang bisa memahami mana yang halal dan mana yang haram. Dengan ilmu, seseorang mengerti perintah dan larangan dari Rabb-nya. Dengan ilmu, seseorang memahami hak-hak Allah, bahkan rahasia-rahasia syariat-Nya. Maka, seseorang yang menuntut ilmu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkannya menuju surga.

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya ke surga. (HR. Muslim)

مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia termasuk di jalan Allah sampai ia kembali. (HR. Tirmidzi)

Demikianlah sebagian keutamaan menuntut ilmu. Di bulan Ramadhan yang pahala kebaikan dilipatgandakan, bahkan amal sunnah diberi pahala seperti amal wajib, tentu pahala yang didapat dari thalabul ilmi lebih besar dan keutamaannya lebih luar biasa lagi. Di samping itu, ia juga menjadi faktor penguat sehingga puasa kita menjadi puasa yang berkualitas.

Dalam menuntut ilmu di bulan Ramadhan ini, kita bisa memanfaatkan berbagai kajian yang ada. Di antaranya yang sudah biasa disediakan oleh takmir masjid di lingkungan kita. Misalnya ceramah tarawih dan kuliah Shubuh. Kita manfaatkan keduanya dengan sebaik-baiknya, kita perhatikan betul-betul setiap ilmu yang disampaikan oleh muballigh tersebut. Saat ini, terutama di masa pandemi, juga banyak kajian-kajian online.

Pada siklus pekanan kita juga mendapatkan ilmu dari khutbah Jum’at. Memang berat bagi sebagian orang untuk menahan kantuk pada saat itu. Mari kita kuatkan untuk tetap menyimak khutbah yang disampaikan sang khatib sebab di dalamnya ada banyak ilmu dan tidak sempurna Shalat Jum’at kita tanpa memperhatikan khutbah dengan baik. Juga ada kajian pekanan baik yang bersifat umum seperti Pengajian Ahad Pagi Ikadi maupun yang bersifat intensif dan berkelanjutan.

Di samping itu, bagi yang memiliki waktu luang, ada banyak taklim atau kajian Islam yang diselenggarakan oleh berbagai pesantren, yayasan pendidikan, organisasi dakwah, takmir masjid, dan lain-lain. Bahkan ada juga pesantren kilat baik bagi pelajar, mahasiswa, maupun umum. Di masa pandemi ini, sebagiannya bertransformasi menjadi pesantren virtual. Kita bisa memanfaatkan itu semua.

Satu hal yang barangkali lebih mudah dilakukan, apalagi yang memang tidak memiliki banyak waktu untuk pergi ke tempat-tempat taklim adalah dengan membaca buku. Khususnya buku-buku yang berisi ilmu Islam mulai tafsir, hadits, sirah nabawiyah dan sirah shahabat, hingga fiqih.

Semoga Ramadhan Syahrut Tarbiyah ini kita optimalkan sehingga bertambahlah ilmu kita, kian dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Dia anugerahkan keutamaan-keutamaan tersebut kepada kita. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

*Untuk Ceramah Ramadhan lainnya yang lebih lengkap, silakan baca Kultum Ramadhan 2021

BERSAMA DAKWAH

Cara Shalat Witir Tiga Rakaat

Assalamualaikum, Ust ini titip pernyataan tmn, dalil tentang sholat witir tiga rokaat yang pelaksanaannya dua rokaat salam dan satu salam. Terimakasih atas jawabannya Pak Ustadz….

Hamba Allah di Jogjakarta

Jawaban:

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah walhamdulillah was sholaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ba’du.

Ada dua cara shalat witir tiga rakaat yang dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang shahih:

Pertama, shalat tiga rakaat dengan sekali salam.

Dasarnya adalah hadis dari Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كان النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يسلّم في ركعتي الوتر

“Nabi shalallahu alaihi wa sallam tidak salam di setiap dua raka’at shalat witir.”

Di dalam riwayat lain dijelaskan,

كان يوتر بثلاث لا يقعد إلا في آخرهن

“Rasulullah biasa shalat witir dengan tiga rakaat, beliau tidak duduk tasyahud kecuali di rakaat akhir.” (HR. Nasa-i, Baihaqi. Imam Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (4/7) menerangkan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasa-i dengan sanad hasan. Lalu oleh Imam Baihaqi dengan sanad yang shahih)

Kedua, shalat dua raka’at lalu salam, kemudian dilanjutkan satu raka’at salam.

Dalilnya adalah hadis dari sahabat Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أنه كان يفصل بين شفعه ووتره بتسليمة ، وأخبر أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يفعل ذلك .

“Bahwa Ibnu Umar memisahkan shalat witir antara genap (2 raka’at) dan ganjilnya (1 raka’at), dengan salam. Kemudian beliau mengabarkan bahwa Nabi shalallahu alaihi wa sallam melakukan witir seperti itu.” (HR. Ibnu Hibban. Dalam kitab Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Sanad hadis ini qowi)

Wallahul muwaffiq.

Referensi: diringkas dari artikel ilmiah di situs Islamqa; asuhan Syaikh Sholih Al Munajjid hafidzohullah: https://www.google.com/amp/s/islamqa.info/amp/ar/answers/46544

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

Referensi: https://konsultasisyariah.com/36897-cara-shalat-witir-tiga-rakaat.html

Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa Ramadhan? (Bag. 3)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Alasan ilmiah selanjutnya dari pendapat terkuat adalah,

Kedua, hadits sahih dan hasan yang menunjukkan bahwa pengguguran tuntutan qodho’ dari wanita menyusui atau hamil dan tidak ada kewajiban mengulang puasa baginya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاةِ وَالصِّيَامَ ، وَعَنْ الْحَامِلِ وَالْمُرْضِع

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menggugurkan dari musafir setengah salat dan puasa, serta menggugurkan (puasa) dari wanita menyusui dan wanita hamil” (HR. Abu Dawud, sahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ اللهَ تبارك وتعالى وضَع عن المُسافِر شَطرَ الصَّلاةِ، وعن الحامِلِ والمرضِعِ الصَّومَ أو الصِّيامَ

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan dari musafir setengah salat dan menggugurkan puasa (atau siyam) dari wanita menyusui dan hamil” (HR. At-Tirmidzi dan selainnya, hasan).

Makna “menggugurkan puasa” bagi musafir berbeda dengan bagi wanita hamil atau menyusui

Makna  “menggugurkan puasa” bagi wanita hamil atau menyusui adalah pengguguran puasa tanpa tuntutan qodho’ dan tanpa tuntutan pengulangan.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi rahimahullah menjelaskan bahwa seorang musafir jika memendekkan (qoshor) salat saat safar, lalu telah pulang dari safarnya, dia tidaklah dituntut untuk menyempurnakan salat yang telah di-qoshor tersebut. Maka demikian pulalah seorang wanita hamil dan menyusui, tidak ada kewajiban baginya untuk meng-qodho’ puasa yang ditinggalkannya [1].

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa makna “menggugurkan puasa” bagi musafir sama dengan bagi wanita hamil atau menyusui, sehingga kewajiban mereka semua sama, yaitu qodho’, maka ini sangkaan yang salah [2]. Karena selain alasan di atas, juga alasan bahwa makna “menggugurkan puasa” bagi musafir adalah dia mendapatkan udzur tidak puasa, tetapi dia wajib mengqodho’nya, sebagaimana ini dijelaskan dalam Al-Quran,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau safar, sedangkan dia tidak puasa, hendaklah dia mengganti dengan puasa pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah: 184).

Sedangkan makna “menggugurkan puasa” bagi wanita hamil atau menyusui adalah dia mendapatkan uzur tidak puasa, tetapi dia wajib menunaikan fidiah. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada firman-Nya,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) menunaikan fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah: 185).

Kewajiban fidiah selaras dengan kemudahan syariat Islam

Wanita hamil atau menyusui jika memilih keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa karena uzur syar’i, lalu diwajibkan qodho’, maka dia  akan merasa berat dan bisa jadi justru malah dia tidak suka rukhshah tersebut karena terbayang beratnya meng-qodho’ hutang puasa Ramadhan yang demikian banyaknya di luar Ramadhan. Apalagi jika hamil dan menyusui secara berurutan dan bertahun-tahun.

Contoh,  jika seorang wanita yang 3 tahun berturut-turut tidak puasa Ramadhan karena hamil dan menyusui, maka dia punya hutang puasa sekitar 3 bulan yang harus dikerjakan sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. Dan jika telah datang berikutnya, dia harus puasa Ramadhan 1 bulan. Berarti dia dalam setahun harus puasa 4 bulan.

Padahal faktanya, banyak wanita yang beruzur hamil dan menyusui, sampai dia tidak bisa berpuasa Ramadhan di atas 3 tahun. Bahkan sebagian wanita ada yang sampai dua puluh tahunan!

Padahal dalam hadis yang sahih, Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang mengambil keringanan (rukhshah) dari-Nya. Maka, kewajiban meng-qodho’ bagi wanita hamil atau menyusui yang memiliki banyak hutang itu tidaklah selaras dengan kecintaan Allah, berupa diambil  rukhshah-Nya. Karena wanita yang banyak hutang puasa tersebut akan merasa berat dan tidak suka mengambil keringanan Allah berupa tidak puasa di bulan Ramadhan, karena harus menanggung beratnya qodho’.

Hal ini pun tidak selaras dengan kehendak Allah dalam syariat-Nya,

 وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesulitan” (QS. Al-Hajj: 78).

Allah Ta’ala tidak menghendaki hamba-Nya mengalami kesulitan dan berat dalam bergama Islam, maka pendapat yang menyatakan wajibnya fidiah itulah yang mudah dilakukan bagi ibu hamil atau menyusui yang memiliki uzur untuk tidak berpuasa.

Bahkan ayat Al-Baqarah ayat 185 tentang keringanan bagi musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa Ramadhan, di akhir-akhir ayat tersebut Allah sebutkan,

 فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian” (QS. Al-Baqrah: 185).

Ini menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki kesulitan dalam ibadah puasa, dan bahkan seluruh syariat Islam pada asalnya adalah mudah, lalu jika dalam pelaksanaannya terdapat kesulitan, maka Allah Ta’ala akan mudahkan dalam bentuk pengguguran atau peringanan.

Sekali lagi, dengan demikian pendapat yang menyatakan wajibnya fidiah itulah yang mudah dilakukan bagi ibu hamil atau menyusui yang memiliki uzur untuk tidak berpuasa.

Ibu hamil lebih dekat disamakan dengan orang lanjut usia daripada disamakan dengan orang sakit

Hal itu dikarenakan dalam Al-Quran, Allah mensifati ibu yang hamil dengan dua sifat yang sama dengan dua sifat orang lanjut usia. Sifat ibu yang hamil, yaitu:

Sifat pertama: lemah

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14)

Sifat kedua: susah payah

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Sifat orang lanjut usia:

Sifat pertama: lemah

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

“Dia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku” (QS. Maryam: 4).

Sifat kedua: kurus dan keringnya tulang yang mengandung sifat lemah dan susah payah

 قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا

“Zakaria berkata, ‘Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua’” (QS. Maryam: 8)

“Sangat tua” disini menunjukkan konsekuensi sifat lemah dan susah payah dalam beraktifitas.

Oleh karena itulah, pakar Tafsir di kalangan tabi’in, Mujahid dan Qotadah dan Imam Thabari  rahimahumullah menafsirkan عِتِيًّا dalam ayat di atas dengan: kurus dan keringnya tulang [3], yang menunjukkan status sangat tua dan berkonsekuensi sifat lemah dan susah payah dalam berakifitas sebagaimana layaknya orang yang sudah sangat tua.

Dengan demikian, wanita hamil lebih dekat disamakan dengan orang lanjut usia yang kewajibannya ketika dia tidak berpuasa Ramadhan adalah fidiah, dibandingkan jika disamakan dengan orang sakit yang kewajibannya ketika dia tidak berpuasa Ramadhan adalah qodho’.

Kesimpulan

Pendapat terkuat adalah wanita hamil atau menyusui jika tidak puasa karena uzur syar’i hamil atau menyusui, maka wajib menunaikan fidiah saja, dan ini pendapat dua sahabat yang mulia, yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma serta pendapat para imam dari kalangan tabi’in, seperti Sa’id bin Al-Musayyib (tentang wanita hamil), Sa’id bin Jubair (tentang wanita hamil), Al-Qosim bin Muhammad (tentang wanita hamil), Atha’, Mujahid, Thawus, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’i (tentang wanita hamil), As-Suddi (tentang wanita menyusui) serta selain mereka, seperti Ishaq bin Rohawaih [4]. Dan di antara ulama zaman-zaman ini adalah Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ali Hasan Al-Halabi rahimahumullah. 

Baca Juga:

Penulsi: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki

[1] Jami’ Ahkamin Nisa’, Jilid 5.

[2] Shifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan, Syaikh Ali Hasan & Syaikh Salim Al-Hilali, hal : 85.

[3] Tafsir Al-Baghawi, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Ath-Thabari rahimahumullah.

[4] Al-Istidzkar, Mushannaf Abdur Razzaq, Tafsir Ath-Thabari (https://www.almoslim.net/node/280212).

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/63349-wajibkah-fidyah-bagi-wanita-hamil-atau-menyusui-jika-tidak-puasa-ramadhan-bag-3.html

Hukum Menikah di Bulan Ramadhan

Media sosial di Indonesia sedang ramai dan riuh terkait berita pernikahan. Bagaimana tidak? Pasalnya, seorang penceramah kondang yang masyhur di televisi dan jutaan pengikut di media sosial menikah. Sang penceramah memilih menikah di bulan Ramadhan. Nah menurut fiqih Islam bagaimana hukum menikah di bulan Ramadhan?

Menikah merupakan sunah dari Rasulullah. Dalam pelbagai hadis Nabi memerintahkan bagi para lelaki yang sanggup secara zahir dan batin untuk menikah. Pasalnya, menikah merupakan salah satu solusi bagi pria ingin menjaga kemaluan dan menundukkan pandangannya. Nabi bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Artinya; Wahai para pemuda, barangsiapa yang sanggup baa-ah (belanja batin dan zahir), maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu perisai baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di samping itu juga dalam hadis lain dijelaskan bahwa menikah termasuk  untuk menyempurnakan agamanya. Hadis itu berasal dari sahabat Anas bin Malik. Rasullah bersabda:

إذا تزوج العبد فقد استكمل نصف الدين فليتق الله في النصف الباقي

Artinya; Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah pada setengah sisanya”

Terkait hukum menikah di bulan Ramadhan, Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam, Mufti Besar Mesir, menjelaskan tak ada nash syariat yang secara jelas melarang menikah di bulan Ramadhan. Namun, ia menganjurkan agar orang yang menikah pada bulan Ramadhan agar berhati-hati dan menjaga puasanya agar tak sampai batal. Terlebih bila sampai melaksanakan hubungan intim di siang hari Ramadan. Pasalnya, bila itu terjadi akan terkena kafarat.

Syekh Syauqi Allam mengatakan;

أنه لا يوجد نص شرعي يمنع الزواج في شهر رمضان

Artinya: Sesungguhnya tak ada didapati nash syariat yang melarang melangsungkan pernikahan pada bulan Ramadhan.

Sementara itu, menurut Syekh Muhammad Shalih Munajid, dalam syariat Islam tidak terdapat adanya larangan akad nikah di bulan Ramadan. Pun demikian pula tak ada larang menikah di bulan lain. Boleh hukumnya menikah di bulan Ramadhan. Tapi ia mewanti-wanti pasangan pengantin baru agar tak terjatuh dalam hal yang membatalkan puasa. Ia berkata;

ليس في الشريعة أي نهي عن الزواج في رمضان لذات رمضان ، ولا في غيره من الأشهر ، بل الزواج جائز في أي يوم من أيام السنة . لكن الصائم في رمضان يمتنع عن الطعام والشراب والجماع من الفجر إلى غروب الشمس

Artinya: tidak ada di dalam syariat artinya tidak ada larangan untuk menikah di bulan Ramadhan, karena bulan Ramadhan. Pun tak ada larangan menikah di bulan-bulan lain—di luar Ramadhan. Bahkan menikah itu boleh di hari apa saja sepanjang tahun. Akan tetapi penting bagi orang puasa— sekaligus menikah di bulan Ramadhan—, untuk menjaga diri dari makan, minum, jimak (hubungan intim) dari terbit fajar sampai terbenam matahari.

Sunah menikah di bulan Syawal dan Shafar

Telah jelas  bahwa hukum menikah di bulan Ramadhan adalah boleh. Tetapi ada hadis Nabi yang menganjurkan untuk menikah di bulan Syawal. Pasalnya, pada bulan Syawal pula nabi Muhammad menikahi Khadijah dan Aisyah. Hal ini menjadikan dalil para ulama tentang sunah hukumnya menikah di bulan syawal. Nabi bersabda;

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: تَزَوَّجَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ شَوَّالٍ، وَبَنَى بِيْ فِيْ شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّيْ، قَالَ: وَكَانَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِيْ شَوَّالٍ. أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal” (HR. Muslim).

Pun Rasul menganjurkan untuk menikah di bulan Shafar. Pasalnya, Nabi menikahkan Ali bin Abi Thalib dengan anaknya Fatimah pada bulan Shafar. Hal ini yang menjadi dalil bagi Imam Nawawi Al Bantani untuk menghukumi menikah di bulan Shafar adalah sunah. Imam Nawawi dalam kitab  Nihayatuz Zain berkata;

وَيُسَنُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي شَوَّالٍ وَفِي صَفَرٍ لِأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِي شَوَّالٍ وَزَوَّجَ ابنَتَهُ فَاطِمَةَ عَلِيًّا فِي شَهْرِ صَفَرٍ

 Artinya: Dan disunnahkan menikah di bulan Syawal dan Shafar karena Rasulullah Saw menikah dengan Sayidah Aisyah di bulan Syawal, dan menikahkan putrinya, Sayidah Fatimah, dengan Sayidina Ali di bulan Shafar.

Penting juga sebagai catatan, bahwa akad nikah sunah hukumnya dikerjakan pada hari Jumat. Waktu sore harinya atau malam Jumat. Pasalnya, Jumat adalah hari nan penuh  kemuliaan. Di samping itu juga ada hadis Nabi yang menerangkan terkait kesunahan nikah hari Jumat. Nabi bersabda;

سئل رسول الله عليه و سلم عن يوم الجمعة فقال يوم صلة و نكاح

Artinya; Pernah rasulullah ditanya sahabat terkait hari Jumat. Lantas Nabi bersabda; “Hari Jumat adalah hari Silaturrahmi (menjalin hubungan baik) dan juga hari melaksanakan pernikahan,”.

Demikian penjelasan terkait hukum menikah di bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH