Mengapa Arah Kiblat Dipindahkan?

PERISTIWA perpindahan arah kiblat terjadi pada bulan Rajab tahun ke-12 pasca Hijrah. Saat Rasulullah melaksanakan shalat Dzuhur kemudian turun wahyu untuk memindahkan arah kiblat. Maka dalam riwayat disebutkan bahwa Nabi sempat shalat dua rakaat menghadap Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa) dan dua rakaat berikutnya menghadap Ka’bah, di masjidil Haram.

Wahyu yang turun tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 144, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah:144)

Makna Perpindahan Kiblat

Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan perintah shalat dan menghadap ke Masjid al-Aqsha (Palestina), hal itu dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan.

Ketika itu, kondisi Masjid al-Haram (Kabah) yang merupakan tempat keberangkatan Isra’ dan Mi’raj, belum berupa bangunan masjid. Sebab, kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam. Sehingga, di bawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum bisa menunai kan ibadah shalat di tempat tersebut.

Selain itu, jika Rasulullah SAW saat itu melaksanakan shalat dengan menghadap ke Masjid al-Haram tentu akan menjadi kebanggaan bagi kaum kafir quraisy, bahwa Rasulullah SAW seolah mengakui berhala-berhala mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis (al-Aqsha).

Dalam surah Al Baqarah ayat 142, Allah SWT menjelaskan mengapa perpindahan kiblat itu dilakukan.

Orang-orang sufaha diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”.

Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan mengenai tafsir ayat ini :

Yang dimaksud dengan sufaha ialah kaum musrik Arab, para pendeta Yahudi, dan seluruh kaum munafiq, sebab ayat itu bersifat umum. Dahulu Rasulullah saw. Disuruh menghadap ke Baitul Maqdis. Di Mekkah, beliau shalat di antara rukun Yamani dan rukun Syami sehingga Ka`bah berada dihadapannya, namun beliau menghadap ke Baitul Maqdis. Setelah beliau hijrah ke Madinah, semuanya keberatan untuk menyatukan keduanya. Maka Allah menyuruhnya menghadap ke Baitul Maqdis. Pandangan itu dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama. Kemudian mereka berselisih, apakah perintah itu melalui Al-Qur`an atau melalui yang lainnya? Para ulama terbagi atas dua pandangan. Ikrimah, Abu al-Aliyah, dan Hasan Bashri berpendapat bahwa menghadap Baitul Maqdis adalah hasil ijtihad Nabi saw.

Maksudnya ialah bahwa menghadap ke Baitul Maqdis dilakukan setelah Nabi saw. Tiba di Madinah. Hal itu berlangsung selama 10 bulan. Beliau banyak berdoa dan memohon kepada Allah agar disuruh menghadap ke Ka`bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Maka Allah memenuhi doanya dan diperintahkan menghadap ke Ka`bah. Maka Nabi saw. Memberitahukan hal itu kepada Khalayak. Shalat pertama yang menghadap Ka`bah adalah shalat ashar, sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain, dari hadits al-Barra` r.a. (137), “Sesungguhnya Rasulullah saw shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan. Beliau merasa heran kalau kiblatnya adalah Baitul Maqdis, sebelum Ka`bah. Shalat pertama menghadap Ka`bah adalah shalat ashar. Beliau shalat bersama orang-orang. Lalu, salah seorang jamaah keluar dari masjid dan menuju para penghuni masjid lainnya yang ternyata sedang ruku`. Dia berkata, Aku bersaksi dengan nama Allah, Aku benar-benar telah mendirikan shalat bersama Nabi saw sambil menghadap ke Mekkah. Maka orang-orang pun berputar menghadap ke Baitullah”. Menurut Nasa`I shalat itu ialah shalat zuhur di masjid Bani Salamah. Dalam hadits Nuwailah binti Muslim dikatakan (138), “Bahwa sampai kepada mereka berita mengenai peralihan kiblat ketika mereka tengah shalat zuhur. Nuwailah berkata, “Maka jama`ah laki-laki bertukar tempat dengan jama`ah perempuan (untuk menyesuaikan posisi).”

Namun berita itu baru sampai kepada penduduk Kuba pada saat shalat fajar. Maka datanglah seorang utusan kepada mereka. Dia berkata (139), “Sesungguhnya pada malam ini telah diturunkan Al-Qur`an kepada Rasulullah saw. Allah menyuruh untuk menghadap Ka`bah, maka menghadaplah kamu kesana. Pada saat itu, wajah mereka menghadap ke Syiria. Maka mereka pun berputar menghadap Ka`bah. Hadits ini mengandung dalil bahwa keterangan yang menasakh tidak dapat ditetapkan hukumnya kecuali setelah diketahui, meskipun telah lama turun dan disampaikan. Karena mereka tidak disuruh mengulangi shalat ashar, maghrib dan isya. Wallahu a`lam.

Tatkala ini terjadi, timbullah pada sebagian kaum musyrik, munafiqin, dan ahli kitab keraguan, penyimpangan dari petunjuk, membungkam dan meragukan kejadian.

Mereka berkata, “Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblatnya yang dahulu dipegangnya?” Yakni, apa yang telah membuat mereka kadang-kadang berkiblat ke Baitul Maqdis dan kadang-kadang berkiblat ke Ka`bah?

Maka Allah menurunkan ayat
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah Wajah Allah.” (QS. Al Baqarah (2) : 115)

Yakni kepunyaan Allahlah segala persoalan itu, “Maka kemanapun kamu menghadap, maka disanalah wajah Allah” dan “Kebaktian itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu ketimur atau kebarat, namun kebaktian itu dengan berimannya seseorang kepada Allah.”

Yakni kemanapun Allah mengarahkan kita, maka kesanalah kita menghadap. Karena kesempurnaan ketaatan itu adalah dengan menjalankan berbagai perintah-Nya walaupun setiap hari Allah mengarahkan kita ke berbagai arah. Karena kita adalah hamba-Nya dan berada di bawah pengaturan-Nya. Di antara perhatian-Nya yang besar terhadap umat Muhammad ialah Dia menunjukkan mereka ke kiblat al-Khalil Ibrahim a.s. Oleh karena itu, Dia berfirman, “Katakanlah, Kepunyaan Allahlan timur dan barat, Dia menunjukkan orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir)

Dapat ditarik hikmah:

Perpindahan kiblat tersebut adalah dalam ibadat shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka’bah itu menjadi tujuan, tetapi wujud berserah diri kepada Allah bukan untuk menyembah ka’bah seperti yang difitnahkan para pecundang pembenci Islam. Mereka menuduh muslim menyembah ka’bah dan Allah hanya ada di sana.

Ka’bah merupakan pemersatu umat Islam dalam menentukan arah kiblat. Sama seperti al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan debu. Ini adalah menunjukkan sangat pentingnya persatuan umat Islam.

Menghadap kiblat adalah wujud ketaatan seorang hamba kepada Allah karena memang diperintahkan demikian. Kemanapun arah diperintahkan, maka wajib melaksanakannya sehingga menjadi salah satu syarat syahnya sholat. []

Sumber: mediabilhikmah/ISLAMPOS



Ketika Arah Kiblat Dialihkan

KETIKA Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perintah shalat secara langsung dari Allah Ta’ala, beliau belum mendapatkan perintah secara langsung arah shalat.

Setelah beberapa lama tinggal di Madinah, sekitar 16 atau 17 bulan kehijrahan Rasulullah ke Kota Suci itu, beliau bersama kaum Muslim melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah Bait Al-Maqdis. Namun, suatu hari pada bulan Rajab, ketika sedang melaksanakan rakaat kedua shalat ‘Ashar di Masjid Bani Salamah, beliau menerima wahyu yang memerintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah ketika shalat.

Sungguh, Kami (sering) melihat mukamu (Muhammad) menengadah ke langit. Maka, sungguh akan Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Alihkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan, sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil memang mengetahui bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al-Baqarah : 144)

Betapa gembira Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslim menerima perintah yang demikian. Karena itu, begitu usai shalat, ada seseorang yang dengan penuh semangat keluar dari masjid dan berseru gembira, “Demi Allah, aku bersumpah, aku telah melaksanakan shalat bersama Rasulullah dengan menghadap ke arah Makkah!”

Segera kabar pengalihan arah shalat tersebut tersebar ke seluruh penjuru Madinah. Kaum Muslim pun segera pula mengalihkan arah mereka ketika melaksanakan shalat. Mereka tidak lagi menghadap ke arah Bait Al-Maqdis, tetapi menghadap ke arah Makkah. []

ISLAMPOS

BMKG: Matahari Tepat di atas Ka’bah pada 27 dan 28 Mei 2020, Cek Arah Kiblat!

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan pada 27 Mei dan 28 Mei 2020 matahari akan berada tepat di atas Ka’bah. Oleh karena itu umat Islam diimbau mengecek kembali arah kiblat, tepatnya pada pukul 16.18 WIB.

Dikutip dari akun instagram resmi BMKG @infobmkg, masyarakat khususnya umat Islam dapat mengecek langsung arah kiblat dengan menggunakan benda berbentuk batang secara tegak lurus. Kemudian tandai arah bayangan yang dihasilkan menggunakan benang atau spidol. Hasil akhirnya adalah arah kiblat yang benar (atau baru) adalah arah yang ditunjukkan dari ujung bayangan menuju batang tersebut.

“Peristiwa ini hanya berlaku untuk Indonesia bagian Barat dan Tengah bagian Barat. Fenomena ini berlangsung dua kali dalam setahun, yakni pada 27-28 Mei pukul 16.18 serta 15-16 Juli pada pukul 16.26 WIB,” tulis keterangan BMKG di akun instagram resminya.

Sementara untuk Indonesia bagian Timur, termasuk sebagian dari Indonesia Tengah bagian Timur, penentuan arah kiblatnya dapat dilakukan saat matahari di atas diantipoda Ka’bah (sebalik arah Ka’bah), yang terjadi setiap 16 Januari pukul 06.29 WIT dan 28 November pukul 06.09 WIT.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama (Urais Binsyar Kemenag), Agus Salim juga menjelaskan bahwa berdasarkan data astronomi pada Rabu (27/05/2020) dan Kamis (28/05/2020), matahari akan melintas tepat di atas Ka’bah.

“Peristiwa alam ini akan terjadi pada pukul 16.18 WIB atau 17.18 WITA. Saat itu, bayang-bayang benda yang berdiri tegak lurus, di mana saja, akan mengarah lurus ke Kakbah,” ujarnya seperti dikutip dari Okezone.

Agus mengatakan, peristiwa semacam ini dikenal dengan nama Istiwa A’dham atau Rashdul Qiblah, yaitu waktu matahari di atas Ka’bah, serta terdapat bayangan benda yang terkena sinar matahari menunjuk arah kiblat.

“Momentum ini dapat digunakan bagi umat Islam untuk memverifikasi kembali arah kiblatnya. Caranya adalah dengan menyesuaikan arah kiblat dengan arah bayang-bayang benda pada saat Rashdul Qiblah,” terangnya.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses verifikasi arah kiblat, yaitu:

1. Pastikan benda yang menjadi patokan harus benar-benar berdiri tegak lurus atau pergunakan Lot/Bandul.

2. Permukaan dasar harus betul-betul datar dan rata.

3. Jam pengukuran harus disesuaikan dengan BMKG, RRI atau Telkom. []

ISLAMPOS


3 Sifat Hati Penyebab Kebinasaan Diri Menurut Imam Ghazali

Imam Ghazali menyebutkan tiga perkara yang bisa memicu kebinasaan diri.

Agama Islam mengajarkan umat manusia untuk menyucikan hati dari kotoran atau penyakit hati. Karena banyak sekali sifat tercela dalam hati yang harus dihindari agar selamat di dunia dan akhirat.

Imam Al Ghazali dalam kitab Bidayat Al Hidayah menyampaikan ada tiga sifat hati yang sangat jahat. Yaitu sifat yang ghalib wujud (lazim ada) di kalangan ulama di zaman sekarang (zaman Imam Al Ghazali semasa hidup). 

Tiga sifat hati yang jahat ini membawa kepada kebinasaan diri dan penyebab dari sifat-sifat tercela lainnya. Tiga sifat hati itu antara lain hasad (dengki), riya (pamer dan berbuat baik karena ingin dipuji orang lain), dan ujub (angkuh, sombong dan berbangga diri).

Imam Al Ghazali menyampaikan, harus bersungguh-sungguh membersihkan hati dari sifat hasad, riya, dan ujub. Bila sudah bisa membersihkan hati dari tiga sifat jahat ini, maka akan bisa mengetahui cara untuk menjauhkan diri dari sifat keji lainnya. 

Kalau tidak bisa menyucikan hati dari sifat hasad, riya dan ujub. Maka tidak akan mampu menghadapi sifat-sifat tercela lainnya yang muncul dalam hati.

Imam Al Ghazali mengingatkan, jangan beranggapan setelah memiliki niat yang baik dalam menuntut ilmu, berarti telah selamat dari sesuatu yang berbahaya. Sementara di dalam hati masih ada sifat hasad, riya dan ujub. Rasulullah Nabi Muhammad SAW bersabda:

ثلاثٌ مُهلِكاتٌ : شُحٌّ مُطاعٌ ، و هوًى مُتَّبَعٌ ، و إعجابُ المرءِ بنفسِه

“Ada tiga sifat yang dapat membinasakan manusia, sikap bakhil yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dan merasa bangga dengan diri sendiri.”  

Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa sifat hasad adalah cabang dari sifat bakhil. Karena orang bakhil adalah orang yang tidak mau memberi sesuatu yang ada di tangannya kepada orang lain.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tangisan Nabi Muhammad SAW

TAWA Rasulullah ﷺ, bukan tertawa yang terbahak-bahak. Apalagi dengan tangisannya. Tentu tangisannya tidak sedu dan tidak keras. Sekadarnya tangis dengan kesedihan maupun tangis kegembiraannya.

Tangisan Rasulullah ﷺ adalah disertai tetesan yang membasahi pipinya, sedang dari dalam dadanya terdengar gemuruh. Kapan kita bisa tahu Nabi menangis? Tersirat dalam sirah, Nabi ﷺ menangis di saat mengakkan shalat malam. Ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an. Nabi menangis juga ketika ditinggal kasih sayangnya dan sahabatnya yang wafat. Atau di saat Nabi ﷺ merasa ketakutatan karena ancaman dan kemahakuasaan Allah ditampakkan.

Dalam kisah yang disampaikan Abdillah bin Syikhir, beliau menjumpai Nabi ﷺ sedang melaksanakan shalat. Dia mendengar gemuruh dari dalam dada Nabi dalam tangisnya, sebagimana diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, dan Tirmidzi dalam Kitab Asy Syama’il.

Dilain waktu, Nabi ﷺ khusyu menengarkan Al-Qur’an hingga mencucurkan air mata, disamping sahabatnya Abdullah bin Ma’ud. Hal itu tejad tatkala Ibnu Mas’ud membaca Surah Nisa’ ayat 41.

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِن كُلِّ أُمَّةٍۭ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ شَهِيدًا

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”

Persis di ayat ini, Abdullah bin Mas’ud diminta untuk berhenti membacanya. “Cukup,” ujar Nabi ﷺ. Ibnu Mas’ud menyaksikan, mata Nabi ﷺ bercucuran air mata.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menangisnya Nabi, bisa disaksikan oleh para sahabatnya, manakalah di antara kerabatnya ada yang wafat. Ibnu Abbas mengkisahkan, Suatu kali Nabi ﷺ membawa cucunya, anak dari putrinya Zainab yang kala itu sedang berjuang menjemput ajalnya. Nabi meraih cucunya itu dan meletakkan di hadapannya. Cucunyapun akhirnya wafat di hadapannya.

Menghadapi kenyataan itu, Ummu AIman menaingis dan berteriak. “Engkau menangis seperti  ini di hadapan Rasulullah ﷺ? Tegus Nabi ﷺ saat melihat Ummu Aiman menangis dengan tangisan yang dilarang agama disertai dengan teriakan. Tangis yang menunjukkan ketidakrelaan terhadap takdir kehidupan seseorang.

“Aku tidak menangis, tetapi itu adalah rasa kasih sayang. Sesungguhnya seorang mukmin itu selalu dalam kebaikan di setiap keadaan, ruhnya dicabut dari jasadnya dan dia dalam keadaan memuji Allah.“ (HR:  Ahmad, an Nasai, dan Tirmidz dalam Asy-Syamail).

Rasulullah ﷺ merupakan manusia yang paling sayang dan kasih kepada ummatnya. Nabi ﷺ sering menangis, ketika ingat atau mengetahui ummat-Nya berbuat durhaka. Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Amr Ibn al-Ash ra, Rasulullah ﷺ bersabda:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَلاَ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي إِبْرَاهِيْمَ : رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي. وَقَالَ عِيْسَى: إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ العِزِيْزُ الحَكِيْم. فَرَفَعَ يَدَ يْهِ. وَقَالَ: أُمَّتِي …أُمَّتِي … وَبَكى فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : يَا جِبْرِيْلُ إِذْهَبْ إِلَى مُحَمَّدٍ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ فَسَلْهُ : مَا يَبْكِيْكَ ؟. فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَلاَمُ فَسَأَلَهُ فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا قَالَ وَهُوَ أَعْلَمُ ؟ فَقَالَ اللهُ : يَا جِبْرْيلُ إِذْهَبْ إِلَى مُحَمَّدٍ. فَقُلْ : إِنَّا سَنُرْضِيْكَ فِي أُمَّتِكَ وَلاَ نَسُؤُكَ

“Sesungguhnya Nabi Muhammad ﷺ membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang do’a Nabi Ibrahim: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sungguh orang itu termasuk golonganku.” (dalam QS: Ibrahim : 14). Dan Nabi ﷺ (membaca firman Allah Swt tentang doa Nabi ‘Isa : Jika Engkau (Allah) menyiksa, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuninya, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS: al-Maidah : 118).

Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya ini adalah rahmat. Mata menangis, hati bersedih, dan kita tidak mengatakan kecuali yang membuat Tuhan kita ridha. Sesungguhnya saat berpisah denganmu, wahai Ibrahim kami sangat bersedih,” sabda Nabi.

Nabi juga tiba-tiba menangis, manakala mengkhawatirkan umat beliau. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Syama’il juga Ahmad dan Nasai pernah suatu terjadi gerhana matahari. Nabi lantas shalat dan menangis dengan bibir seakan meniup sesuatu. Beliau berkata, “ Wahai Tuhanku, tidaklah Engkau berjanji untuk tidak menghukum mereka sedang aku bersama mereka dan mereka pun memohon ampunanmu. Kami mohon ampunanMu, wahai Tuhan kami.*/ Akbar Muzakki

HIDAYATULLAH

Terimakasih Ya Rabb

TERUSLAH bersama Allah untuk menjaga iman kita. Teruslah bersama Allah untuk menjaga Islam kita. Teruslah bersama Allah untuk menjaga ihsan kita. Semua ini adalah karunia besar yang harus kita jaga dan pertahankan hingga kita kembali kepadaNya.

Selalulah bersyukur kepada Allah atas karunia iman kita. Selalulah bersyukur kepada Allah atas karunia Islam kita. Selalulah bersyukur kepada Allah atas karunia ihsan kita. Semua ini adalah karunia besar yang harus kita syukuri agar senantiasa bertambah kuat dan abadi bersama hingga kita kembali kepadaNya. Inilah rizki terbesar kita dalam kehidupan dunia ini.

top logo - inilah.com

TASAWUF SASTRA FIQIHMOZAIKRabu 27 Mei 2020

waspada virus corona, kenali dan pahami pencegahannya - inilah.com
  1. Home
  2.  Mozaik
  3.  Tasawuf

Terimakasih Ya Rabb

KAOleh KH Ahmad Imam MawardiSabtu 23 Mei 2020 

TERUSLAH bersama Allah untuk menjaga iman kita. Teruslah bersama Allah untuk menjaga Islam kita. Teruslah bersama Allah untuk menjaga ihsan kita. Semua ini adalah karunia besar yang harus kita jaga dan pertahankan hingga kita kembali kepadaNya.

Selalulah bersyukur kepada Allah atas karunia iman kita. Selalulah bersyukur kepada Allah atas karunia Islam kita. Selalulah bersyukur kepada Allah atas karunia ihsan kita. Semua ini adalah karunia besar yang harus kita syukuri agar senantiasa bertambah kuat dan abadi bersama hingga kita kembali kepadaNya. Inilah rizki terbesar kita dalam kehidupan dunia ini.Baca jugaSempatkah Kita Berfikir dan Berdoa untuk Orang Tua


Sikap Hidup Menuju Bahagia


Ketidakadilan Membuahkan Ketidaknyamanan Hidup

Iman adalah keyakinan hati bahwa Allah itu ada dan Maha dalam segala-galanya, keyakinan yang menjadikan pemiliknya senantiasa tenang. Islam adalah kepasrahan diri dengan ketaatan penuh melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya. Ihsan adalah semangat untuk mempersembahkan yang terbaik karena yakin bahwa kebaikan adalah satu-satunya jalan menggapai nasib baik yang hakiki.

Terimakasih kepada Allah karena kita dipilihNya untuk dititipi anugerah besar ini. Terimakasih kepada Allah yang senantiasa memertemukan kita dengan sebab-sebab yang menjadikan kita mengenal iman, Islam dan ihsan. Terimakasih kepada Allah atas segala nikmat yang tidak pernah bisa kita hitung. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Selamat Tinggal Ramadhan yang Tak Biasa

Ramadhan datang ketika kita tengah diuji dengan musibah. Kita melewati Ramadhan dengan rasa takut. Kita juga melewati Ramadhan dengan rasa khawatir.

IBNU Jauzi, seorang ulama Salaf, pernah berkata, “Sesungguhnya kuda pacu apabila sudah mendekati garis finish, ia akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk memenangkan lomba. Maka jangan sampai Anda kalah cerdas dari kuda pacu. Sebab, sesungguhnya amalan itu ditentukan oleh penutupnya. Jika Anda belum sempat menyambut Ramadhan ini dengan baik, paling tidak Anda dapat melepasnya dengan baik.”

Tak lama lagi Ramadhan tahun ini akan berakhir. Kita yang diberi kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk memasukinya akan mencatat bahwa Ramadhan ini adalah Ramadhan yang tidak biasa.

Pada Ramadhan tahun ini, kesabaran kita betul-betul diuji. Kita dijauhkan dari masjid dan dijauhkan dari jamaah. Bahkan tak sekadar itu, sebagian dari kita juga diuji dengan rasa lapar. Bukan sekadar karena kita berpuasa, tapi karena memang tak ada lagi yang bisa kita makan.

Sebagian dari kita kehilangan mata pencaharian, sebahagian lagi kehilangan sanak keluarga karena Allah Ta’ala mengambilnya lewat perantaraan penyakit yang Allah Ta’ala turunkan kepada kita.

Ramadhan datang ketika kita tengah diuji dengan musibah. Kita melewati Ramadhan dengan rasa takut. Kita juga melewati Ramadhan dengan rasa khawatir.

Namun, Ramadhan dengan segala keutamaannya telah datang kepada kita dan tak lama lagi akan pergi. Sebagian dari kita telah abai. Sebab, kita tak menjumpai lagi suasana Ramadhan seperti tahun-tahun lalu.

Jika itu yang terjadi dengan kita, maka masih terbuka kesempatan untuk melepasnya dengan baik. Ramadhan masih menyisakan satu atau dua hari lagi. Kerahkan seluruh waktu dan tenaga untuk meraih sebanyak mungkin keutamaan di masa mendekati garis finish ini sebagaimana nasehat Ibnu Jauzi.

Namun jika kita sudah memulainya dengan baik sejak awal Ramadhan, maka sempurnakanlah kebaikan itu di akhir Ramadhan ini. “Wahai hamba-hamba Allah,” kata Ibnu Rajab, salah seorang ulama Salaf, “Sungguh bulan Ramadhan ini akan segera pergi dan tidaklah tersisa darinya kecuali sedikit. Maka barang siapa telah mengisinya dengan baik, hendaklah ia menyempurnakannya, Dan barang siapa maksimal mengisinya dengan baik, hendaklah ia mengakhirinya dengan amal-amal yang baik.” Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH

Para Pencari Tuhan

JUDUL tulisan ini adalah sama dengan judul beberapa buku yang pernah saya baca. Peminatnya banyak sekali karena kebanyakan kita adalah para pencari Tuhan. Lihatlah betapa banyak antrian manusia untuk menunaikan ibadah haji mengunjungi Rumah Allah. Lihat pula animo orang yang bingin melaksanakan ibadah umroh. Rata-rata mereka adalah para pencari Tuhan. Lihat pula orang-orang yang rajin i’tikaf di Masjid. Merekapun adalah para pencari Tuhan.

Saat musibah wabah corona tiba, tanah suci ditutup dan masjid-masjidpun ditutup. Banyak orang yang kemudian bingung di manakah atau ke manakah mereka harus mencari Tuhan. Apakah Tuhan sulit ditemui di saat-saat seperti sekarang ini? Mari kita baca hadits shahih riwayat Imam Muslim berikut ini:

Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Allah Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat: “Hai anak Adam, Aku telah sakit, tapi kau tidak menjenguk-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku menjenguk-Mu, sedangkan Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah menjawab: Apakah kau tidak mengetahui bahwa seorang hamba-Ku bernama Fulan sakit tapi kau tidak mau menjenguknya. Sekiranya kau menjenguknya, pasti kau dapati Aku di sisinya. Wahai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tapi kau tidak mau memberikan makan kepada-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku memberi makan kepada-Mu, sedang Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah berfirman: Apakah kau tidak tahu adanya seorang hamba-Ku, si Fulan, telah datang meminta makan kepadamu, tapi kau tidak memberinya makan. Sekiranya kau memberinya makan, pasti kau akan menemukan balasannya di sisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tapi kau tidak mau memberi-Ku minum. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku memberi-Mu minum, padahal Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah berfirman: Apakah kau tidak tahu bahwa hamba-Ku, si Fulan, minta minum kepadamu tapi kau tidak mau memberinya minum. Sekiranya kau memberinya minum, pasti kau akan menemui balasannya di sisiKu.”

Sudah ketemukah titik terang kemana kita bisa mencari dan menemukan Tuhan? Jangan bingung-bingung lagi, mari kita berbuat menjadi karyawan Allah dengan membahagiakan hamba-hambaNya yang menderita dan sedih. Coba kita baca kisah prncarian Tuhan oleh Nabi Musa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal.

Nabi Musa bin Imran suatu saat berkata: “Wahai Tuhan, di mana aku mencari-Mu?” Allah menjawab: “Carilah Aku di sisi orang-orang yang hancur hatinya. Sesungguhnya Aku dekat dengan mereka setiap hari (sejarak) satu b (sekitar dua lengan). Jikalau tidak demkian, mereka pasti roboh.”

Orang-orang yang hatinya hancur dengan berbagai ujian dan musibah, namun tetap bersabar, maka sesungguhnya mereka sedang bersama Allah. Dekatlah dengan mereka, maka kita akan “menemukan” Allah ada di sana. Salam, Ahmad Imam Mawardi, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Ciri-Ciri Puasa Ramadhan Diterima

Dalam merayakan hari raya, harus sesuai dengan tuntutan Rasulullah.

Hari Raya Idul Fitri merupakan hari berbahagia dan bersenang-bersenang bagi seluruh umat Islam di dunia. Namun cara kita umat Islam dalam merayakan hari raya jangan seperti orang-orang kafir merayakan hari rayanya.

Umat Islam dalam merayakan hari raya haruslah sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad saw dan para salaf. Sehingga kita dapat mencapai makna Idul Fitri yang sesungguhnya yakni diterimanya amal ibadah puasa kita.

Ketua umum Pengurus Besar Pemuda Al Irsyad Ustaz Fahmi Bahreisy Lc, Msi mengatakan, separti yang disampaikan ulama generasi salaf Wahab bin Wardi pernah melihat sekelompok orang yang tertawa-tawa di hari Idul Fitri, lalu ia mengatakan. “Seandainya amalan puasa mereka diterima, maka bukanlah demikian prilaku orang-orang yang bersyukur. Jika amalan mereka belum diterima, maka hal itu bukanlah sikap orang-orang yang takut atau khawatir”

Fahmi menyampaikan perkataan ulama lainnya, seperti dari Hasan al-Bashri, ia mengatakan, sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai arena pacu bagi para hamba-Nya untuk melakukan ketaatan demi meraih rihda-Nya.

Menurut Hasan al-Bashri ada kelompok yang mereka (cepat dalam pacuan) sehingga mendahului, dan mereka memenangkannya. Ada juga yang tertinggal, dan mereka merana. Beruntunglah mereka yang bergembira di hari suksesnya orang-orang yang telah berbuat baik. Dan merugilah orang-orang yang berbuat kejelekan.

“Dan kemudian beliau menangis,” katanya.

Maka dari itu kata Ustaz Fahmi, sebagai seorang Muslim, jangan sampai hari raya dijadikan ajang untuk bermaksiat, melakukan kemunkaran atau hal-hal yang membuatnya lupa dari Allah
 
Namun, sebaliknya isilah hari raya dengan amalan-amalan yang mengantarakan kita kepada sikap rasa syukur kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Rasulullah saw memberi panduan kepada kita berupa amalan yang dianjurkan untuk dilakukan saat hari raya.

“Seperti bertakbir, sholat id, memakai pakaian yang terbaik, saling memberikan ucapan selamat dan saling bersilaturrahim,” katanya.

Menurut dia, jika kita melakukan apapun termasuk merayakan hari raya Idul Fitri sesua tuntunan Rasulullah SAW maka kita akan dimasukkan sebagai pemenang di hari raya ini.

“Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya kariim. Minal aidin wal faizin,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA
 

Keutamaan Bersegera Menuju ke Masjid dan Menunggu Shalat Jama’ah

Terdapat keutamaan yang besar dari bersegera menuju ke masjid. Hal ini karena siapa saja yang keluar menuju masjid untuk shalat berjamaah, maka dia dinilai sedang shalat, baik waktu perjalanannya ke masjid itu lama ataupun hanya sebentar. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا دَامَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ ، لاَ يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا الصَّلاَةُ

“Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama shalat itu menahannya (dia menanti palaksanaan shalat, pent.). Di mana tidak ada yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali shalat itu.” (HR. Bukhari no. 659 dan Muslim no. 649)

Dalam riwayat yang lain disebutkan,

إِنَّ أَحَدَكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا دَامَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ، وَالمَلاَئِكَةُ تَقُولُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ مَا لَمْ يَقُمْ مِنْ صَلاَتِهِ أَوْ يُحْدِثْ

“Seseorang dari kalian akan selalu dihitung berada di dalam shalat selama shalat itu yang mengekangnya (orang tersebut menanti shalat ditegakkan, pent.). Malaikat akan mendoakan, “Ya Allah, ampunilah dia dan rahmatilah”, selama dia belum berdiri [1] dari tempat shalatnya atau telah berhadats.” (HR. Bukhari no. 3229 dan Muslim no. 649)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa keutamaan menunggu shalat itu sebagaimana orang yang sedang shalat. Karena diketahui bahwa perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti palaksanaan shalat”, tidaklah dimaksudkan orang yang menunggu itu dalam kondisi sedang berdiri, sedang dia ruku’ dan sujud. Yang beliau maksudkan adalah bahwa keutamaan menunggu pelaksanaan shalat itu akan didapatkan dengan maksud dan niat menuju masjid untuk shalat. Dan bahwa orang yang menunggu shalat itu memiliki keutamaan yang sama dengan orang yang sedang shalat. Allah memberikan keutamaan dengan apa yang Dia kehendaki, kepada siapa saja yang dia kehendaki, dan dalam amal apa saja yang Dia kehendaki. Tidak ada yang bisa meralat dan menolak keutamaan-Nya.

Dari sisi yang lain, ketika kita telah mengetahui keutamaan shalat, maka kita pun mengetahui keutamaan orang menunggu pelaksanaan ibadah shalat. Padahal, manusia telah mengetahui bahwa orang yang shalat itu lebih capek dalam hal membaca Al-Qur’an, berdiri, dan ruku’, daripada orang yang menunggu pelaksanaan ibadah shalat. Baik orang yang menunggu shalat itu dalam kondisi ingat (berdzikir) ataupun dalam kondisi lalai. Akan tetapi, keutamaan seperti itu tidaklah dinilai dengan akal logika, dan tidak bisa di-qiyas-kan (di-analogi-kan). Seandainya boleh memakai qiyas, maka orang yang berniat buruk itu akan dinilai sama dengan orang yang berniat baik. Akan tetapi, Allah Ta’ala itu Maha memberikan nikmat dan Maha pemurah, memberikan keutamaan dan Maha penyayang. Allah Ta’ala memberikan pahala dengan niat baik seseorang, meskipun belum dilakukan (belum direalisasikan). Dan jika dia melakukannya, pahalanya akan dilipatgandakan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Dan Allah Ta’ala melipatgandakan pahala bagi siapa saja yang Allah Ta’ala kehendaki. Namun, Allah Ta’ala tidaklah menghukum hamba-Nya dengan niat jelek yang muncul dari dada mereka, dan juga karena niat jelek yang muncul, selama dia tidak melakukannya (merealisasikannya). Dan ini semuanya tidaklah bisa dilogika dengan qiyas.” (At-Tamhiid, 19: 26-27)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Hadits ini termasuk hadits yang paling bagus berkaitan dengan keutamaan orang yang menunggu shalat. Hal ini karena malaikat memohonkan ampun untuknya. Dan ketika malaikat memintakan ampun untuknya, hal itu menunjukkan adanya ampunan Allah Ta’ala untuknya, insyaa Allah. Tidakkah Engkau tahu bahwa menuntut ilmu agama merupakan amal yang paling utama. Hal itu hanyalah karena –wallahu Ta’ala a’lam- malaikat meletakkan sayapnya untuk berdoa dan memohonkan ampun untuknya.” (At-Tamhiid, 19: 43)

Allah Ta’ala telah menjadikan amal menunggu shalat setelah shalat sebagai sebab terhapusnya dosa dan tersucikannya hamba dari dosa-dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ

“Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda”(Yaitu) menyempurnakan wudhu dalam kondisi sulit, banyaknya langkah menuju masjid, menunggu shalat setelah mendirikan shalat. Itulah ar-ribaath.” (HR. Muslim no. 251)

Makna umum hadits ini menunjukkan faidah keutamaan menunggu shalat dan bersegera menuju ke masjid. “Menunggu” di sini mencakup menunggu datangnya waktu shalat dan menunggu didirikannya shalat jama’ah (ketika sudah berada di dalam masjid). Sebagaimana juga mencakup menunggu di masjid dengan hadir seawal mungkin, atau menunggu di rumah dan di pasar agar segera bisa hadir ke masjid. Hal ini karena pikiran dan hatinya selalu terikat dengan shalat. Hatinya selalu hadir dan merasa diawasi, tanpa lalai dari keutamaan ibadah jasmani tersebut sedikit pun. (Lihat Daliil Al-Falihiin, 1: 366)

Dalam hadits di atas, renungkanlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan tiga amal di atas dengan ar-ribath. Ar-ribath adalah jihad melawan musuh di medan perang dan menyiapkan kuda perang. Hal ini menguatkan betapa agungnya keutamaan tiga amal tersebut dan tingginya kedudukan amal tersebut di sisi Allah Ta’ala. [2]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56676-keutamaan-bersegera-menuju-ke-masjid-dan-menunggu-shalat-jamaah.html