Sifat Allah: Apakah hanya Tujuh atau Dua Puluh? (Bag. 3)

Sanggahan Ahlus Sunnah kepada Kelompok yang Membatasi Sifat Allah dengan Jumlah Tertentu

Sanggahan pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sifat Allah dengan jumlah tertentu.

Kalau seseorang mau mempelajari aqidah yang benar, bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan jelas dan tampak baginya bahwa nama dan sifat Allah Ta’ala tidaklah dibatasi dengan bilangan tertentu. Hal ini karena Allah Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang Allah Ta’ala simpan dalam ilmu ghaib-Nya, yang tidak diketahui oleh seorang pun dari para malaikat atau nabi yang diutus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ

”Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Mu.” [1]

Nama-nama yang Allah Ta’ala sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Nya, maka tidak mungkin dapat dihitung dan diketahui oleh makhluk-Nya. Oleh karena itu, di akhirat kelak Allah Ta’ala akan membukakan kepada Rasulullah untuk memuji-Nya dengan sifat-sifat yang belum pernah diajarkan di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَىَّ مِنْ مَحَامِدِهِ وَحُسْنِ الثَّنَاءِ عَلَيْهِ شَيْئًا لَمْ يَفْتَحْهُ عَلَى أَحَدٍ قَبْلِى

”Maka Allah mengilhamkan kepadaku (untuk mengungkapkan) segala pujian kepada-Nya yang tidak diajarkan kepada seorang pun sebelumku.” [2]

Sampai-sampai Rasulullah sendiri tidak mampu menghitung pujiannya kepada Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا أُحْصِي ثَنَاء عَلَيْك أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْت عَلَى نَفْسك

”Aku tidak bisa menghitung pujian kepada-Mu seperti Engkau memuji terhadap diri-Mu.” [3]

Sanggahan ke dua: Allah memiliki banyak nama yang sekaligus mengandung sifat.

Kalaulah kita mau membuka lembaran Al-Qur’an dan membolak-balik kitab hadits, maka kita akan menemukan puluhan nama-nama Allah Ta’ala. Padahal, setiap nama Allah Ta’ala juga menunjukkan kepada sifat-Nya yang mulia.

Kalau Allah Ta’ala menyebutkan nama As-Samii’, maka hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat mendengar (as-sam’u). Kalau Allah Ta’ala menyebutkan nama Al-‘Aliim, hal ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memiliki ilmu (al-‘ilmu). Dan demikian seterusnya untuk nama-nama Allah Ta’ala yang lain. Berbeda dengan nama makhluk (manusia biasa, kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), bisa jadi hanya sekedar nama tanpa menunjukkan sifat. Ada seseorang yang bernama “Shalih”, namun mungkin saja perilakunya tidak mencerminkan namanya.

Berarti, jumlah sifat Allah Ta’ala mengikuti jumlah nama Allah Ta’ala. Hal ini belum termasuk dengan sifat-sifat yang disebutkan secara khusus oleh Allah Ta’ala maupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, darimana kita mengatakan bahwa sifat Allah Ta’ala hanya tujuh atau dua puluh?

Sebagian di antara kita mungkin menghapal al-asmaaul husnaa yang berjumlah sembilan puluh sembilan. Meskipun hal ini tidak berarti menunjukkan pembatasan nama Allah hanya sejumlah itu, sebagaimana yang telah kami jelaskan di tulisan lainnya. [4] Kalau sifat Allah hanya dua puluh, berarti ada 79 nama Allah yang tidak mengandung sifat (99 dikurangi 20).

Kalau kita menetapkan hanya dua puluh sifat, berarti Allah tidak memiliki sifat al-‘izzah (kekuatan)Berarti nama Allah Ta’ala Al-‘Aziiz adalah sekedar nama, namun tidak mengandung sifat, karena sifat al-‘izzah tidak terdapat dalam dua puluh sifat tersebut. Lalu, apa bedanya aqidah ini dengan aqidah Mu’tazilah yang hanya menetapkan nama tanpa sifat?

Sanggahan ke tiga: Membatasi jumlah sifat Allah secara tidak langsung mencela Allah Ta’ala.

Bahkan kalau kita cermati dan mau berfikir sejenak, pembatasan sifat Allah Ta’ala hanya dua puluh saja, secara tidak langsung berarti mencela Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala itu sangat mulia dan sangat sempurna, dan kesempurnaan itu menjadi berkurang dan bahkan hilang jika Allah Ta’ala hanya disifati dengan dua puluh sifat saja.

Permisalan yang mudah adalah jika kita katakan kepada seseorang (anggaplah namanya A), ”Engkau itu orangnya dermawan dan suka pemaaf.”

Lalu kita katakan kepada orang lain (anggaplah namanya B), ”Engkau itu orangnya baik hati, suka menolong, penyabar, suka memaafkan kesalahan orang lain, pengertian, tidak egois, pintar, suka berhemat, rendah hati, ramah, selalu sehat, … “.

Maka pertanyaannya, ”Siapakah yang lebih baik dan sempurna?”  Maka tentu kita semua sepakat bahwa yang lebih baik dan lebih sempurna adalah orang B.

Demikian pula halnya dengan Allah Ta’ala. Sehingga salah satu metode yang digunakan Allah Ta’ala untuk menunjukkan kesempurnaan-Nya adalah dengan merinci dan memperbanyak penyebutan untuk menetapkan sifat-sifatNya yang mulia. Karena semakin banyak dan rinci sifat-sifat yang Allah Ta’ala sebutkan, maka akan semakin tampaklah kebesaran, keagungan, dan kesempurnaan Allah Ta’ala dari segala sisi. [5]

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ (22) هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ (23) هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (24)

“Dia-lah Allah yang tiada sesembahan (yang benar) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dia-lah Yang Maha pemurah lagi Maha penyayang. Dia-lah Allah, Yang tiada sesembahan (yang benar) selain Dia, Raja, Yang Maha suci, Yang Maha sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha memelihara, Yang Maha perkasa, Yang Maha kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah, Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk rupa, Yang Mempunyai asmaaul husna (nama-nama yang indah). Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dia-lah Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Al-Hasyr [59]: 22-24)

Dalam ayat ini, sangat tampak bagi kita penyebutan nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala yang sangat terperinci dalam satu ayat saja. Karena sekali lagi, semakin banyak dan rinci penyebutan sifat-sifat Allah Ta’ala, maka akan semakin tampaklah kesempurnaan Allah Ta’ala dari segala sisi. Oleh karena itu, merupakan sebuah celaan kepada Allah Ta’ala apabila kita berbuat lancang dengan hanya menetapkan tujuh atau dua puluh sifat saja bagi Allah Ta’ala.

Kalau sifat Allah hanya tujuh atau dua puluh, berarti apakah semua sifat yang Allah tetapkan dalam satu ayat tersebut saja, semuanya harus kita tolak?

Oleh karena itu, kelompok Asy’ariyyah secara tidak langsung “mengatur-atur” Allah. Bahwa makhluk yang berhak menentukan bagi Allah, Allah hanya boleh memiliki dua puluh sifat saja, tidak boleh memiliki sifat yang lainnya. Bukankah ini tindakan yang tidak memiliki adab kepada Allah? Membatasi sifat Allah, padahal Allah memiliki sifat yang tidak terbatas, karena kesempurnaan Allah luar biasa, mencapai puncak kesempurnaan-Nya. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mampu menghitung pujiannya kepada Allah Ta’ala, lalu ada di antara umatnya (yaitu tokoh-tokoh Asy’ariyyah) yang mampu menghitungnya menjadi dua puluh sifat saja (???).

Sanggahan ke empat: Jika (hanya) akal yang digunakan sebagai sumber penetapan aqidah (sifat Allah Ta’ala), lalu akal siapakah yang menjadi patokan?

Masalah ini sangat jelas. Jika akal digunakan sebagai sandaran (sumber) dalam menetapkan sifat Allah Ta’ala, maka pertanyaan berikutnya, akal siapakah yang layak untuk digunakan sebagai patokan kebenaran? Hal ini akan menyebabkan kontradiksi antar kelompok “pemuja akal” yang tidak akan ada ujungnya, bahkan antar ulama Asy’ariyyah sendiri.

Madzhab Jahmiyyah, hasil olah pikir akal mereka adalah: Allah tidak memiliki nama dan sifat. Madzhab Mu’tazilah, hasil olah pikir akal dan logika mereka adalah: Allah memiliki nama, namun nama Allah tidak mengandung sifat. Begitu pula para tokoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy’ariyyah, hasil olah pikir akal mereka ternyata beragam.

Imam madzhab Abul Hasan Al-Asy’ari (sebelum bertaubat), dan tokoh mutaqoddimin (generasi awal) dari kalangan Asy’ariyyah, seperti Al-Qadhi Abu Bakr bin Ath-Thayyib Al-Baqillani, Ibnu Faurak, dan tokoh-tokoh selain mereka, mereka juga menetapkan sifat dzatiyyah khabariyyah (yaitu sifat yang hanya bisa ditetapkan melalui dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, semacam sifat al-wajhu [wajah] dan al-yadain [dua tangan]) secara hakiki [bukan majaz]), selain tujuh sifat tersebut.

Pada akhirnya, datanglah tokoh Asy’ariyyah generasi belakangan (muta’akhirin) yang kondisinya lebih parah dari generasi sebelumnya, karena mereka hanya menetapkan tujuh sifat saja bagi Allah Ta’ala, yaitu Abul Ma’ali Al-Juwaini dan tokoh-tokoh yang sejaman dengannya. Berbeda lagi dengan Maturidiyyah yang hanya menetapkan delapan sifat bagi Allah. [6]

Lalu, dari semua perbedaan itu, manakah yang benar? Padahal mereka semua mengklaim bahwa sifat-sifat tersebut ditetapkan dengan akal. Akan tetapi faktanya, “produk akal” mereka ternyata berbeda-beda.

Ketika tokoh-tokoh Asy’ariyyah sendiri berbeda-beda dalam hal (metode) penetapan sifat Allah Ta’ala, sesuai inovasi akal mereka, maka ini adalah bukti nyata bahwa aqidah mereka semuanya tidaklah dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, alias tidak berasal dari Allah Ta’ala. Bukti tersebut adalah adanya perselisihan yang sangat banyak, bahkan di antara tokoh-tokoh mereka sendiri yang menyebut dirinya bermadzhab Asy’ariyyah.

Maka benarlah firman Allah Ta’ala,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 82)

Sanggahan ke lima: Kami pun bisa menetapkan sifat Allah yang lainnya dengan akal kami pula.

Sanggahan berikutnya, kalau kalian menetapkan dengan akal, maka kami pun bisa menetapkan dengan akal kami. Apa yang tidak bisa Asy’ariyyah tetapkan dengan akal mereka, kami bisa tetapkan dengan akal kami. Karena kami pun memiliki akal juga, sama dengan Asy’ariyyah.

Contoh: Nikmat-nikmat Allah yang kita dapatkan, dan sebaliknya, adanya musibah yang diangkat dari diri kita, semua ini menunjukkan sifat rahmat (kasih sayang) Allah Ta’ala. Turunnya hujan dan tumbuhnya berbagai macam tanaman juga merupakan bukti adanya rahmat tersebut. Jadi semua nikmat yang kita terima pada asalnya menunjukkan adanya sifat rahmat Allah Ta’ala. [7]

Sehingga, akal kita pun bisa menetapkan sifat tertentu bagi Allah, meskipun sifat tersebut tidak ditetapkan oleh akal mereka.

Sanggahan ke enam: Tujuh atau dua puluh sifat tersebut hanya untuk menyederhanakan untuk memahamkan masyarakat awam(?)

Sebagian di antara pengikut Asy’ariyyah mengatakan bahwa dua puluh sifat tersebut hanya untuk menyederhanakan untuk disampaikan ke masyarakat awam.

Perkataan semacam ini menunjukkan bahwa mereka sendiri belum paham aqidah Asy’ariyyah yang dipegangi oleh tokoh-tokoh atau ulama-ulama Asy’ariyyah (generasi muta’akhirin). Karena pada prakteknya, mereka membatasi sifat Allah hanya dalam tujuh atau dua puluh sifat tersebut saja. Jadi, bukan sekedar “menyederhanakan” sesuai dengan klaim dan anggapan mereka. Karena untuk sifat-sifat lainnya, pada kenyataannya mereka tolak dengan alasan harus di-takwil (sesuai akal logika mereka), yang hakikatnya adalah tahrif.

Penulis sendiri dulu belajar enam tahun dan bergumul dengan aqidah Asy’ariyyah yang menetapkan dua puluh sifat, dan selama enam tahun belajar, penulis tidak pernah diajarkan bahwa Allah memiliki dua tangan (yadain), bahwa Allah memiliki wajah (al-wajhu), dua bahwa Allah memiliki dua mata (‘ainain) (semuanya tanpa tasybih dan takyif)padahal ini adalah aqidah ahlus sunnah yang sangat jelas dan terang benderang.

Maka benarlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala,

…بل أبو المعالي الجويني، ونحوه ممن انتسب إلى الأشعري، ذكروا في كتبهم من الحجج العقليات النافية للصفات الخبرية ما لم يذكره ابن كلاب والأشعري وأئمة أصحابهما، كالقاضي أبي بكر بن الطيب وأمثاله، فإن هؤلاء متفقون على إثبات الصفات الخبرية، كالوجه واليد والاستواء.

“ … bahkan Abul Ma’ali Al-Juwaini, dan tokoh semisal yang menisbatkan diri kepada aqidah Asy’ariyyah, mereka menyebutkan dalam kitab-kitab mereka berbagai argumentasi akal logika untuk menolak sifat-sifat khabariyyah, yang (argumentasi) tersebut tidak disebutkan oleh Ibnu Kullab, Abul Hasan Al-Asy’ari, dan para imam yang merupakan sahabat keduanya, semacam Al-Qadhi Abu Bakr bin Thayyib dan lainnya. Karena mereka (Asy’ariyyah generasi awal), menetapkan sifat-sifat khabariyyah seperti sifat (Allah memiliki) wajah (al-wajhu), tangan (yadain) dan juga sifat istiwa’.” [8]

Contoh lainnya, mereka (Asy’ariyyah) menolak sifat Allah ghadhab (Allah murka), karena tidak terdapat dalam dua puluh sifat. Sehingga mereka pun mentakwil sifat tersebut menjadi “memberikan hukuman”. Fakhruddin Ar-Razi rahimahullah (tokoh Asy’ariyyah generasi muta’akhirin) berkata,

وكذلك الغضب له مبدأ وهو غليان دم القلب وشهوة الانتقام، وله غاية وهي إيصال العقاب إلى المغضوب عليه، فإذا وصفنا الله تعالى بالغضب فليس المراد هو ذلك المبدأ أعني غليان دم القلب وشهوة الانتقام، بل المراد تلك النهاية وهي إنزال العقاب، فهذا هو القانون”

“Demikian pula ghadhab (murka), itu memiliki permulaan. Yaitu mendidihnya darah di dalam hati dan keinginan (syahwat) untuk memberikan hukuman. Dan ghadhab memiliki akhir (ghayah), yaitu pelaksanaan hukuman kepada yang dimurkai. Jika kita mensifati Allah dengan sifat ghadhab, maka maksudnya bukan permulaan tersebut, yaitu mendidihnya darah di dalam hati dan keinginan (syahwat) untuk memberikan hukuman. Akan tetapi, yang kami maksud adalah titik akhirnya, yaitu pemberian hukuman. Inilah qanun (undang-undang) (Asy’ariyyah).” [9]

Jelaslah dari kutipan ini bahwa Fakhruddin Ar-Razi menolak sifat Allah ghadhab yang hakiki (aqidah ahlus sunnah) sesuai dengan keagungan Allah tanpa membagaimanakan (takyif) dan  menyerupakan dengan makhluk-Nya (tasybih), lalu mentakwilnya menjadi “memberikan hukuman”.

Konsekuensi dari perkataan Fakhruddin Ar-Razi, kalau kita katakan, “Jangan berbuat dosa, nanti Allah murka”, maka kalimat ini adalah kalimat yang salah menurut ‘aqidah Asy’ariyyah. Karena sifat ghadhab tidak ada dalam dua puluh sifat.

Konsekuensi lainnya, ucapan Fakhruddin Ar-Razi ini berarti bahwa semua dosa yang dilakukan hamba pasti mendatangkan hukuman (adzab) dari Allah, sama persis dengan aqidah Mu’tazilah dan Khawarij. Berbeda dengan aqidah ahlus sunnah, karena ahlus sunnah meyakini bahwa pelaku dosa besar bisa saja Allah Ta’ala ampuni (tidak Allah berikan hukuman), selain dosa syirik akbar yang dibawa mati. [10]

Sanggahan ke tujuh: Konsekuensi dari aqidah Asy’ariyyah adalah Asy’ariyyah sendiri melakukan tasybih.

Contoh dari perkataan Ar-Razi di atas, Ar-Razi dan tokoh-tokoh Asy’ariyyah lainnya, berpendapat bahwa jika kita menetapkan makna ghadhab secara hakiki, maka konsekuensinya menyamakan Allah dengan makhluk. Karena ghadhab menurut mereka adalah mendidihnya darah dalam hati dan syahwat untuk menghukum. Ini adalah sifat makhluk. Oleh karena itu, harus ditolak (supaya tidak terjerumus dalam tasybih) dalam bentuk ditakwil.

Kalau begitu, kalian sendiri pun melakukan tasybih. Karena jika kalian tetapkan sifat iradah (berkehendak), maka kalian juga menyamakan Allah dengan makhluk. Karena iradah adalah condongnya hati untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Ini sifat makhluk, karena makhluk juga memiliki kehendak, sebagaimana yang sudah kita maklumi. Jadi, seharusnya kalian (Asy’ariyyah) juga menolak sifat iradah. Lalu, mengapa kalian justru menetapkannya?

Maka Asy’ariyyah akan menjawab, “Iradah yang kami tetapkan adalah iradah yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala, tidak sama dengan makhluk.”

Jawaban ahlus sunnah, “Begitu juga kami, kami pun menetapkan sifat ghadhab (murka) sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala, tidak sama dengan makhluk.”

Inilah praktek dari sebuah kaidah yang sangat masyhur yang dimiliki oleh ahlus sunnah ketika membantah Asy’ariyyah,

الْقَوْلُ فِي بَعْضِ الصِّفَاتِ كَالْقَوْلِ فِي بَعْضٍ

“Perkataan (keyakinan) terhadap sebagian sifat-sifat (Allah) adalah sebagaimana perkataan (keyakinan) terhadap sebagian (sifat-sifat Allah yang lainnya).”

Maksudnya, sebagaimana kalian (Asy’ariyyah) menetapkan sifat mendengar (as-sam’u) dan melihat (al-bashar), sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala, tidak sama dengan makhluk, begitu pula kami (ahlus sunnah) pun menetapkan sifat yadain, wajah, ‘ainain, ghadhab, ridho, dan mahabbah (dan seluruh sifat-sifat lainnya) sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala, tidak sama dengan makhluk.

Jika kalian membedakan antara iradah (yaitu, dengan meyakininya dan tidak ditakwil) dan mahabbah atau ghadhab (yaitu, dengan menolaknya karena tidak ada dalam tujuh atau dua puluh sifat lalu ditakwil ke makna lainnya), maka aqidah kalian adalah aqidah yang kontradiktif, tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Sanggahan ke delapan: Aqidah Asy’ariyyah ini ternyata tidak sama dengan aqidah Abul Hasan Al-Asy’ari.

Sebagai sanggahan terahir, kami sampaikan bahwa aqidah kelompok Asy’ariyyah yang membatasi sifat hanya menjadi tujuh atau dua puluh, dan menolak sifat-sifat lainnya (misalnya sifat yadain, ‘ainain, dan wajah) ternyata diselisihi oleh Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah itu sendiri. Atau dengan kata lain, aqidah Asy’ariyyah (yaitu mereka yang mengaku mengikuti Abul Hasan Al-Asy’ari) itu tidak sama dengan aqidah Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah itu sendiri (setelah bertaubat dan kembali ke aqidah ahlus sunnah).

Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,

فإن سئلنا أتقولون أن لله يدين؟ قيل: نقول ذلك ، وقد دل عليه قوله تعالى: (يد الله فوق أيديهم) ، وقوله تعالى: (لما خلقت بيدي)

“Ditanyakan kepada kami, apakah Engkau mengatakan (meyakini) bahwa Allah memiliki yadain (dua tangan)? Kami (Abul Hasan Al-Asy’ari) mengatakan demikian (bahwa Allah memiliki dua tangan, pen.). Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS. Al-Fath [48]: 10) dan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (QS. Shaad [38]: 75)” [11]

Di awal kitab, beliau dengan tegas mengatakan,

وأن له يدين بلا كيف

“Sesungguhnya Allah memiliki dua tangan (yadain), tanpa (perlu) memvisualisasikannya.” [12]

Berkaitan dengan sifat wajah, Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,

وأن له وجها بلا كيف

“Sesungguhnya Allah memiliki wajah, tanpa (perlu) memvisualisasikannya.” [13]

Lalu, tentang sifat ‘ainain, Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,

وأن له عينين بلا كيف

“Sesungguhnya Allah memiliki dua mata (‘ainain), tanpa (perlu) memvisualisasikannya.” [14]

Dan di kitab yang sama, beliau (Abul Hasan Al-Asy’ari) menetapkan sifat istiwa’ (tinggi di atas ‘arsy). Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata,

وأن الله تعالى مستو على عرشه

“Dan sesungguhnya Allah Ta’ala itu istiwa’ (tinggi di atas) ‘arsy-Nya.” [15]

Bahkan, beliau rahimahullah sendiri membantah aqidah Asy’ariyyah yang menolak sifat istiwa’ dan mentakwilnya menjadi “istaula” (menguasai) di kitab yang sama. [16]

Dan kita tahu, bahwa aqidah Asy’ariyyah adalah menolak untuk menetapkan sifat yadain, ‘ainain, wajh dan istiwa’. Sungguh aneh, aqidah Asy’ariyyah ini sebetulnya mengikuti aqidah siapa? Jawabannya, tidak lain adalah mengikuti aqidah Mu’tazilah. Jadi, ketika orang-orang yang mengaku bermadzhab Asy’ariyyah memberikan bantahan kepada aqidah ahlus sunnah yang menetapkan sifat-sifat di atas, pada hakikatnya mereka sedang membantah aqidah sang imam mereka sendiri (yaitu Abul Hasan Al-Asy’ari).

Kesimpulan

Berdasarkan poin-poin penjelasan ini, maka aqidah Asy’ariyyah yang menetapkan sifat Allah hanya tujuh atau dua puluh, tidaklah sesuai dengan aqidah ahlus sunnah yang menetapkan semua nama dan sifat yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya di dalam kitabullah (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Bahkan bertentangan dengan aqidah imam mereka sendiri, yaitu Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah. Karena nama dan sifat termasuk dalam perkara ghaib, sehingga seharusnya, akal manusia tunduk kepada wahyu yang telah Allah Ta’ala turunkan, bukan sebaliknya.

Namun, perlu diketahui bahwa ketika kita menjelaskan kesalahan ‘aqidah Asy’ariyyah dalam masalah asma’ dan sifat, hal itu tidak berarti kita mengkafirkan mereka. Tidak ada satu pun ulama ahlus sunnah yang mengatakan kafirnya Asy’ariyyah. Jadi, anggapan sebagian orang bahwa ketika kita menjelaskan dan membantah aqidah Asy’ariyyah, maka hal itu berarti kita mengafirkan mereka, adalah anggapan yang tidak benar sama sekali. Hal ini harus kami tekankan dan kami garis bawahi. Bahkan kita dapati, para ulama ahlus sunnah memberikan ‘udzur kepada tokoh-tokoh Asy’ariyyah, bahwa maksud mereka sebetulnya baik, yaitu tidak ingin terjerumus dalam tasybih (menyamakan Allah Ta’ala dengan makhluk). Namun, mereka kemudian salah jalan dengan tidak mengikuti manhaj para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami nama dan sifat Allah Ta’ala. Mereka ingin terhindar dari tasybih, namun justru terjerumus dalam takwil dan tafwidh (baca: muta’awwil). Ini menunjukkan bahwa niat mereka sebetulnya adalah mencari kebenaran. Oleh karena itu, kita dapati sebagian di antara mereka ada yang kemudian bertaubat, seperti Abul Ma’ali Al-Juwaini dan Al-Ghazali -semoga Allah Ta’ala merahmati mereka semuanya-.

[Selesai]

***

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38229-sifat-allah-apakah-hanya-tujuh-atau-dua-puluh-03-2.html

Sifat Allah: Apakah hanya Tujuh atau Dua Puluh? (Bag. 2)

Aqidah (sebagian) Ulama Asy’ariyyah yang Menetapkan Hanya Tujuh Sifat Bagi Allah dengan Dalil Akal (Logika)

Tujuh sifat yang ditetapkan oleh ulama (tokoh) Asy’ariyyah generasi (thabaqat) belakangan (muta’akhirin), seperti Abul Ma’ali Al-Juwaini, adalah sifat (1) qudrah; (2) al-‘ilmu; (3) iradah; (4) hayyun; (5) sama’; (6) bashar; dan (7) kalam. [1]

Dalam aqidah Asy’ariyyah yang dipegang oleh Abul Ma’ali Al-Juwaini, Allah Ta’ala hanya disifati dengan tujuh sifat tersebut saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

لكن الأشاعرة لا يثبتون إلا هذه الصفات السبع فقط؛ لأنهم يرون أن هذه الصفات السبع دل عليها العقل فأثبتوها لدلالة العقل عليها، وأما ما سواها فإن العقل لا يدل عليها فيجب أن تأول

“ … akan tetapi kelompok Asy’ariyyah, tidaklah mereka menetapkan sifat (Allah) kecuali tujuh sifat ini saja. Karena mereka berpendapat bahwa ketujuh sifat ini ditunjukkan oleh akal mereka. Maka mereka menetapkannya berdasarkan dalil akal. Adapun sifat-sifat lainnya, maka tidak ditunjukkan oleh akal mereka, sehingga harus ditakwil.” [2]

Jadi, tujuh sifat ini pun tidak ditetapkan oleh Asy’ariyyah berdasarkan dalil syar’i, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun, mereka tetapkan dan mereka yakini berdasarkan dalil akal (logika). Bagaimana akal dan logika mereka bisa sampai menetapkan tujuh sifat tersebut?

Beginilah alur berpikirnya:

Adanya makhluk menunjukkan adanya qudrah (kekuasaan) Allah. Adanya sesuatu yang baru (makhluk) menunjukkan kekuasaan dari dzat yang menjadikan makhluk tersebut, yaitu Allah. Teraturnya makhluk di alam semesta ini menunjukkan Allah memiliki sifat ‘ilmu. Karena jika bodoh, tentu tidak bisa mengatur. Lalu, adanya keunikan dan kekhususan masing-masing makhluk menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak (iradah). Ada matahari, ada bulan, ada bumi, ada langit, ada hewan dengan berbagai jenisnya, semua ini menunjukkan adanya iradah. Allah menghendaki untuk menciptakan langit, maka jadilah langit, dan seterusnya.

Tiga sifat ini (qudrah, ilmu, dan iradah) tidak mungkin ada kecuali pada dzat yang hidup (hayyun). Sehingga mereka pun menetapkan sifat yang ke empat ini.

Jika sifat hayyun telah ditetapkan, maka bisa jadi dzat tersebut memiliki pendengaran (sama’); penglihatan (bashar); dan berbicara (kalam) atau kebalikan dari tiga hal tersebut (tuli, buta dan bisu). Tiga sifat tersebut (tuli, buta dan bisu) adalah sifat tercela (aib) sehingga tidak mungkin Allah ditetapkan dengan ketiga sifat aib tersebut. Sehingga yang kita tetapkan adalah sifat sebaliknya, yaitu Allah memiliki sifat sama’, bashar dan kalam. [3]

Setelah mereka menetapkan tujuh sifat ini, mereka pun menolak untuk menetapkan sifat lainnya, seperti sifat mahabbah (mencintai), ridho (meridhai), ghadhab (murka), karena tidak ditunjukkan oleh akal mereka. [4] Sifat-sifat tersebut harus ditolak (atau dalam bahasa mereka: ditakwil) semuanya, sesuai dengan “petunjuk akal” mereka.

Tujuh sifat ini ditambah satu lagi oleh golongan Maturidiyyah, pengikut Abul Manshur Muhammad Al-Maturidi (wafat tahun 333 H) sehingga menjadi delapan sifat. Sifat ke delapan tersebut adalah sifat at-takwiin (membentuk atau pembentukan)[5]

Tujuh sifat yang ditetapkan oleh Asy’ariyyah tersebut dinamakan dengan صفات المعاني (shifaat ma’ani). Kemudian dari tujuh sifat tersebut, dibentuklah tujuh sifat lainnya, yaitu صفات معنوية (shifat ma’nawiyyah), yaitu sifat-sifat yang kembali ke tujuh shifaat ma’ani. Ketujuh sifat ma’nawiyyah tersebut adalah:

وكونه تعالى قادرا، مريدا، عالما، حيا، سميعا، بصيرا، متكلما.

“Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu ‘Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu Bashiran, Kaunuhu Mutakalliman.”

Mereka pun menambahkan lagi enam sifat yang mereka sebut dengan  صفات سلبية (shifat salbiyyah). Artinya, sifat yang meniadakan. Disebut dengan shifat salbiyyah, karena penetapan sifat ini -menurut mereka- akan menafikan (meniadakan) sesuatu yang serupa dengan Allah Ta’ala. Shifat salbiyyah menurut mereka adalah:

الوجود، القدم، البقاء، مخالفة الحوادث، القيام بالنفس، الوحدانية

“Wujud, Qidam, Baqa’, Mukholafatuhu Ta’ala lil Hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah.”

Sehingga jumlah totalnya menjadi dua puluh sifat. Namun, dua puluh sifat ini intinya kembali ke tujuh sifat di awal, yaitu shifat ma’ani. Inilah sejarah singkat dua puluh sifat wajib bagi Allah, yang banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin saat ini. [5]

Kedua puluh sifat ini adalah “sifat wajib” bagi Allah berdasarkan akal pula. Menurut akal mereka, tidaklah tergambar kalau kedua puluh sifat ini tidak ada, sehingga harus (wajib) ditetapkan untuk Allah Ta’ala. [6]

Kesimpulannya, tokoh-tokoh yang mengaku bermadzhab Asy’ariyyah, mereka hanya menetapkan sifat Allah hanya berdasarkan akal, bukan berdasarkan dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah).

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38056-sifat-allah-apakah-hanya-tujuh-atau-dua-puluh-02.html

Sifat Allah: Apakah hanya Tujuh atau Dua Puluh? (Bag. 1)

Di antara ilmu yang paling agung dan paling mulia adalah ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala (tauhid asmaa’ wa shifaat). Hal ini sebagaimana yang telah kami uraikan panjang lebar di serial tulisan sebelumnya. [1] Masalah aqidah, termasuk dalam masalah tauhid asmaa’ wa shifaat, haruslah diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sesuai dengan pemahaman generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, seiring dengan berpalingnya kaum muslimin dari agamanya, maka aqidah yang lurus, yaitu aqidah ahlus sunnah, seolah menjadi aqidah yang aneh dan terasing di tengah-tengah umat Islam sendiri. Sebaliknya, aqidah yang tersebar dan lebih dikenal adalah aqidah yang menyimpang dari jalan dan pemahaman sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara contoh kesalahan dalam masalah nama dan sifat Allah yang sudah tersebar luas di kalangan kaum muslimin adalah keyakinan mereka bahwa Allah Ta’ala hanya memiliki tujuh atau dua puluh sifat saja. Kedua puluh sifat tersebut juga telah dihafal oleh banyak kaum muslimin sehingga sering pula kita dengarkan melalui masjid-masjid di antara adzan dan iqomah. Pemahaman seperti ini sebetulnya berasal dari para tokoh yang menisbatkan diri kepada madzhab Asy’ariyyah.

Mengenal ‘Aqidah (Madzhab) Asy’ariyyah

Madzhab Asy’ariyyah adalah madzhab yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu Ta’ala (wafat tahun 324 H)Pada fase awal (fase pertama) kehidupan beliau, beliau tenggelam dalam aqidah Mu’tazilah. Dalam masalah nama dan sifat Allah Ta’ala, madzhab Mu’tazilah ini hanya menetapkan nama untuk Allah Ta’ala, namun menolak sifat-sifat Allah Ta’ala seluruhnya. Dengan kata lain, bagi kaum Mu’tazilah, nama Allah Ta’ala hanyalah sekedar nama, namun tidak menunjukkan sifat yang mulia. Beliau tenggelam dalam madzhab Mu’tazilah karena pengaruh didikan ayah tirinya selama 40 tahun, yaitu Abu ‘Ali Al-Juba’i, seorang tokoh besar Mu’tazilah ketika itu yang berdomisili di kota Bashrah (Irak).

Sayangnya, setelah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah, beliau justru terjerumus dalam madzhab Kullabiyah, yaitu madzhab yang dinisbatkan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al-Bashri (wafat tahun 240 H). Namun, Allah Ta’ala ternyata menghendaki kebaikan (hidayah) untuk beliau. Sehingga pada akhir-akhir kehidupannya, beliau menyatakan bertaubat dari pemikirannya tersebut (Kullabiyah) dan kembali mengikuti aqidah ahlus sunnah, yaitu aqidah yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal rahimahullahu Ta’ala dan para imam ahli hadis yang lainnya. [2]

Dalam salah satu kitab terakhir karya beliau, yaitu kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuul Ad-Diyaanah, sangat jelas pernyataan dari beliau bahwa beliau bertaubat dari madzhab Mu’tazilah dan Kullabiyah dan rujuk (kembali) ke ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Beliau rahimahullahu Ta’ala dengan sangat jelas dan tegas berkata,

قولنا الذي نقول به، وديانتنا التي ندين بها، التمسك بكتاب ربنا عز وجل، وسنة نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، وما روى عن الصحابة والتابعين وأئمة المحدثين، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون، ولما خالف قوله مخالفون؛ لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق، ودفع به الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به بدع المبتدعين، وزيع الزائغين، وشك الشاكين …

“Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah dan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, (juga berpegang teguh dengan) apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in, para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. (Kami juga berpegang teguh) dengan (aqidah) Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Semoga Allah Ta’ala mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau, melimpahkan pahala bagi beliau. Kami juga menyelisihi orang-orang yang menyelisihi aqidah beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (memiliki keutamaan) dan pemimpn yang sempurna. Melalui diri beliau, Allah Ta’ala membuat terang (jalan) kebenaran dan menolak kesesatan, menjelaskan manhaj, memberantas bid’ah yang dilakukan oleh ahli bid’ah, (serta memberantas) penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dan keraguan orang-orang yang ragu … ” [3]

Kembalinya beliau ke aqidah ahlus sunnah juga ditegaskan di dua kitab beliau lainnya, yaitu Maqaalat Islamiyyin wa Ikhtilaafil Musholliin [4] dan kitab Risaalah ila Ahli Tsaghr [5].

Salah seorang ulama besar madzhab Asy-Syafi’i, yaitu Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa di antara sebab kembalinya Abul Hasan Al-‘Asy’ari ke dalam aqidah ahlus sunnah adalah pertemuan beliau dengan Zakaria As-Saaji (wafat tahun 307 H), yaitu ulama ahli hadits yang tinggal di kota Bashrah dan beraqidah ahlus sunnah. [6]

Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata ketika menyebutkan biografi Zakaria As-Saaji,

وَكَانَ مِنْ أَئِمَّةِ الحَدِيْثِ. أَخَذَ عَنْهُ: أَبُو الحَسَنِ الأَشْعَرِيّ مَقَالَة السَّلَف فِي الصِّفَات، وَاعتمد عَلَيْهَا أَبُو الحَسَنِ فِي عِدَّة تآلِيف.

“Beliau adalah imam ahli hadits. Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil pendapat ulama salaf (ahlus sunnah) darinya dalam masalah terkait sifat-sifat (Allah). Abul Hasan Al-Asy’ari juga berpegang dengannya (As-Saaji) dalam beberapa karya tulis beliau.” [7]

Dan telah kita maklumi bersama, bagaimanakah aqidah ahlus sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah. Ahlus sunnah menetapkan seluruh nama dan sifat yang telah Allah Ta’ala tetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan dzahirnya, tanpa tahrif (takwil), ta’thil, takyif, dan tasybih. Ahlus sunnah meyakini dan menetapkan sifat as-sam’u (mendengar) bagi Allah, sesuai keagungan dan kebesaran Allah, tidak serupa dengan makhluk-Nya. Ahlus sunnah juga menetapkan sifat dua tangan (yadain) yang hakiki (bukan majas yang ditakwil menjadi nikmat atau kekuatan), sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Dan demikian seterusnya. [8]

Namun sangat disayangkan, bahwa aqidah yang tersebar sampai saat ini adalah ‘aqidah beliau pada fase kedua, yaitu fase Kullabiyah. Dan dalam beberapa masalah, justru mirip dengan aqidah Mu’tazilah. Namun mereka menyangka bahwa aqidah mereka saat ini (yang hakikatnya adalah ‘aqidah Kullabiyah, namun mereka sebut dengan ‘aqidah Asy’ariyyah) masih mengikuti ‘aqidah Abul Hasan Al-Asy’ari. Padahal beliau sendiri telah bertaubat dari ‘aqidah Kullabiyah dan kembali jalan ahlus sunnah, sebagaimana yang telah beliau tegaskan sendiri dalam tiga kitab tersebut. Oleh karena itu, kaum (golongan) Asy’ariyyah (Asyaa’irah) pada hakikatnya bukanlah pengikut sejati dari Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah, sebagaimana yang akan kami bahas di seri-seri selanjutnya dari tulisan ini. Contohnya, aqidah Asy’ariyyah yang menetapkan hanya tujuh atau dua puluh sifat saja bagi Allah Ta’ala.

[Bersambung]

***

Diselesaikan ba’da shubuh, Rotterdam NL, 9 Rajab 1439/28 Maret 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38054-sifat-allah-apakah-hanya-tujuh-atau-dua-puluh-01.html

Larangan Terhadap Nama dan Sifat Allah

Keyakinan yang Benar Tentang Nama Allah

Seorang mukmin harus memilik keyakinan yang benar tentang nama dan sifat Allah. Keyakinan yang benar tentang tauhid asma’ wa shifat ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Termasuk keimanan kepada Allah adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri dan juga yang Rasulullah tetapkan untuk Allah tanpa melakukan tahrifta’thiltamtsil, dan takyif “ (Al-‘Aqidah Al-Waasitiyyah). Dalam menetapkan sifat Allah, kita dilarang melakukan tahrifta’thiltamtsil, dan takyif. Apa yang dimaksud dengan keempat hal tersebut? Berikut penjelasannya :

Pertama: Tahrif

Tahrif artinya mengubah, baik mengubah kata maupun makna. Namun yang banyak terjadi adalah tahrif  makna. Pelaku tahrif disebut muharrifTahrif ada dua macam ;

  1. Tahrif lafdzi. Yaitu mengubah suatu bentuk kata ke bentuk lainnya, baik dengan mengubah harakat, menambah kata atau huruf, maupun dengan menguranginya. Contoh tahrif lafdzi :
  • Mengubah kata (اسْتَوَى) dalam firman Allah (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) dengan (اسْتَوَلى), yaitu dengan menambah satu huruf. Tujuannya adalah untuk menolak sifat istiwa’.
  • Menambah kalimat dalam firman Allah (وَجَاء رَبُّكَ) menjadi (وَجَاء أمر رَبُّكَ). Tujuannya adalah untuk menolak sifat majii’ (datang) yang hakiki bagi Allah.
  1. Tahrif maknawi. Yaitu mengubah suatu makna dari hakikatnya, dan menggantinya dengan makna kata lain. Seperti perkataan ahlul bid’ah yang mengartikan sifat rahmah dengan keinginan memberi nikmat, atau mengartikan sifat ghadab (marah) dengan keinginan untuk membalas. Maksudnya adalah untuk menolak sifat rahmah dan sifat ghadhab yang hakiki bagi Allah.[1]

Ahlussunah wal jama’ah mengimani nama dan sifat Allah  tanpa disetai tahrif.

Kedua: Ta’thil

Ta’thil artinya mengosongkan dan meninggalkan. Maksudnya adalah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya, baik mengingkari keseluruhan maupun sebagian, baik dengan men-tahrif maknanya maupun menolaknya. Pelaku ta’thil disebut mu’atthil.

Walaupun nampak sama, terdapat perbedaan antara tahrif dan ta’thilTahrif adalah menolak makna yang benar yang terdapat dalam nash dan menggantinya dengan makna yang tidak benar. Adapun ta’thil menolak makna yang benar namun tidak mengganti dengan makna lain, seperti perbuatan mufawwidhah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap muharrif adalah mu’atthil, namun tidak setiap mu’atthil adalah muharrif.

Ketiga: Takyif

Takyif artinya menyebutkan tentang kaifiyyah (karakteristik) suatu sifat. Takyif merupakan jawaban dari pertanyaan “bagaimana?”.

Ahlussnunnah wal jama’ah tidak men-takyif sifat Allah. Terdapat dalil naqli dan dalil ‘aqli yang menunjukkan larangan takyif.

Dalil naqli, yaitu firman Allah Ta’ala :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berkata tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui“ (Al-A’raf:33)

Jika ada seseorang yang berkata : “Sesungguhnya Allah istiwa’ di atas ‘Arsy dengan cara demikian dan demikian (menyebutkan tata cara tertentu)”, maka kita katakan orang tersebut telah berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu. Apakah Allah menjelaskan bahwa Dia istiwa’ dengan cara yang disebutkan tadi? Tidak. Allah memberitakan kepada kita bahwa Allah istiwa’ namun Allah tidak menjelaskan tentang tata cara istiwa’. Dengan demikian perbuatan orang tersebut termasuk takyif dan termasuk berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu.

Dalil yang lain yaitu firman Allah :

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya “ (Al-Isra’:36). Dalam ayat ini Allah melarang untuk mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu, termasuk perbuatan takyif.

Terdapat pula dalil ‘aqli (metode akal) yang menunjukkan larangan takyif. Untuk mengetahui karakteristik sesuatau, harus melalui salah satu di antara tiga cara berikut :

  1. Melihat langsung sesuatu tersebut
  2. Melihat yang semisal dengan sesuatu tersebut
  3. Ada pemberitaan yang benar tentang sesuatu tersebut.

Kita tidak mengetahui zat Allah, atau yang semisal dengan zat Allah, begitu pula tidak ada yang memberitakan kepada kita tentang karakteristik zat Allah, sehingga kita tidak mungkin untuk men-takyif sifat-sifat Allah.

Catatan penting :

Yang dimaksud dengan menolak takyif  bukan berarti meniadakan kaifiyyah dari sifat-sifat Allah. Kita tetap meyakini bahwa sifat-sifat Allah mempunyai kaifiyyah, namun kita tidak mengetahui kaifiyyah tersebut. Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak diragukan lagi pasti mempunyai kaifiyyah tertentu, akan tetapi kita tidak mengetahuinya. Begitu pula sifat nuzul bagi Allah mempunyai kaifiyyah tertentu, akan tetapi kita tidak mengetahuinya. Segala sesuatu yang ada pasti mempunyai kaifiyyah, namun ada yang diketahui dan ada yang tidak diketahui.[2]

Keempat: Tamtsil

Tamtsil adalah menyebutkan sesuatu dengan yang semisalnya. Takyif dan tamtsil mempunyai makna yang hampir sama, namun terdapat perbedaan antara keduanya. Takyif lebih umum daripada tamtsil. Setiap mumatstsil (orang yang melakukan tamtsil) adalah mukayyif (orang yang melakukan takyif), namun tidak setiap mukayyif adalah mumatstsilTakyif adalah menyebutkan bentuk sesuatu tanpa menyebutkan pembanding yang setara. Misalnya seseorang mengatakan bahwa pena miliknya bentuknya demikian dan demikian (tanpa menyebutkan contoh pembandingnya). Jika dia menyebutkan pembanding yang setara, maka dia melakukan tamtsil. Misalnya mengatakan bahwa pena miliknya serupa dengan pena milik si A.

Yang dimaksud tamtsil dalam asma’ wa shifat adalah menyamakan nama dan sifat Allah dengan makhluk. Sebagian ulama ada yang menggolongkan tamtsil termasuk takyif muqayyadTakyif ada dua bentuk : takyif mutlaq (takyif) dan takyif muqayyad (tamtsil)

Perbuatan tamtsil terlarang dalam memahami nama dan sifat Allah karena banyak dalil yang melarang tamtsil, seperti firman Allah dalam surat As-Syuura 11, Maryam 65, dan Al-Ikhlas 4. Secara akal tamtsil juga tidak bisa diterima karena alasan-alasan berikut :

  1. Tidak mungkin ada persamaan antara Allah dengan makhluk dalam segala sisi. Seandainya tidak ada perbedaan di antara Allah dan makhluk kecuali dalam perbedaan wujud, niscaya itupun sudah cukup. Wujudnya Allah adalah wajib, sedangkan wujudnya makhluk diawali dengan ketidakadaan dan akan berakhir. Jika ada dua zat, wujudnya saja sudah berbeda, maka lebih-lebih lagi adanya perbedaan dalam nama dan sifat pada kedua zat tersebut.
  2. Terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sifat Allah dengan sifat makhluk. Sifat as sam’u (pendengaran) misalnya. Pendengaran Allah sangat sempurna, sedangkan makhluk sangat terbatas.
  3. Zat Allah berbeda dengan makhluk, maka sifat-sifatnya pun berbeda, karena adanya sifat selalu menyertai pada suatu zat.
  4. Di antara para makhluk saja terdapat perbedaan satu dengan yang lainnya. Bahkan makhluk yang jenisnya sama pun memiliki sifat yang berbeda, Tentu saja lebih-lebih lagi perbedan antara makhluk dengan Zat yang menciptakan mereka.

Faidah[3] :

Tasybih (tamtsil) ada dua bentuk :

Pertama: Tasybih al-makhluq bil Khaaliq (menyamakan makhluk dengan pencipta). Maksudnya menetapkan sesuatu bagi makhluk yang merupakan kekhususan Allah, baik dalam perbuatan-Nya, hak-Nya untuk diibadahi, maupun dalam nama dan sifat-Nya. Dalam perbuatan-Nya, seperti orang yang berbuat syirik dalam rububiyyah, yakni meyakini bahwa ada pencipta selain Allah. Dalam hak-Nya untuk diibadahi, misalnya perbuatan orang-orang musyrik terhadap berhala-berhala mereka, di mana mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut mempunyai hak untuk disembah. Dalam sifat Allah, misalnya orang-orang yang berlebihan dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang khusus bagi Allah.

Kedua : Tasybih Al-Khaaliq bil makhluq (menyerupakan pencipta dengan makhluk). Maksudnya menetapkan bagi zat maupun sifat Allah berupa kekhususan seperti yang ada pada makhluk. Seperti ungkapan bahwa tangan Allah sama dengan tangan makhluk, istiwa’Allah sama dengan istiwa’ pada makhluk, dan lain-lain.

Demikianlah ha-hal terlarang yang harus dihindari dalam memahami dan meyakini nama dan sifat Allah. Semoga Allah memberikan kepada kita ilmu dan pemahaman yang benar tentang aqidah Islam.

***

Penyusun : dr. Adika Mianoki

[Redaksi]

[1] Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Waasithiyyah li Syaikh Fauzan

[2] Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Waasithiyah li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

[3] Lihat Fathu Rabbil Bariyyah 18

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29794-larangan-terhadap-nama-dan-sifat-allah.html

Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala

Keimanan terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala merupakan salah satu unsur pembentuk iman seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Tidaklah seorang hamba mengenal Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya kecuali dengan mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. 

Metode Menetapkan Sifat-Sifat Allah Ta’ala

Dalam mengenal dan menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, ahlus sunnah menempuh beberapa metode berikut ini.

Pertama, dengan menetapkan makna (sifat) yang terkandung dalam nama Allah Ta’ala. 

Kaidah penting berkaitan dengan masalah ini adalah bahwa setiap nama Allah Ta’ala itu adalah nama sekaligus mengandung sifat Allah Ta’ala yang mulia. Misalnya, nama Allah Ta’ala “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” menunjukkan sifat Allah Ta’ala memiliki rahmah (kasih sayang) kepada hamba-Nya. Nama Allah Ta’ala “Al-Hakiim” menunjukkan sifat al-hikmah yang dimiliki Allah Ta’ala. Nama Allah Ta’ala ‘Al-‘Aziiz” menunjukkan sifat al-‘izzah (perkasa). Demikian pula, nama Allah Ta’ala “Al-‘Aliim” menunjukkan sifat al-‘ilmu. Dan demikian seterusnya untuk nama-nama Allah Ta’ala yang lainnya. 

Aqidah ahlus sunnah ini bertentangan dengan aiqdah mu’tazilah yang menetapkan dan meyakini nama Allah Ta’ala, namun nama yang kosong dari kandungan sifat. Menurut mu’tazilah, Allah Ta’ala memiliki nama Al-‘Aliim, akan tetapi Allah tidak memiliki ilmu. Allah Ta’ala memiliki nama As-Samii’, akan tetapi Allah Ta’ala tidak memiliki as-sam’u (pendengaran) dan demikian seterusnya.

Tidak diragukan lagi, bahwa aqidah mu’tazilah tersebut adalah aqidah yang batil. Nama Allah Ta’ala berbeda dengan nama makhluk. Karena nama makhluk (manusia biasa, kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), bisa jadi hanya sekedar nama tanpa menunjukkan sifat. Ada seseorang yang bernama “Shalih”, namun mungkin saja perilakunya tidak mencerminkan namanya. Atau, ada orang bernama Alim, namun dia orang yang tidak berpendidikan.

Ke dua, dengan menetapkan sifat yang Allah Ta’ala sebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an atau disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.  

Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah Ta’ala banyak menyebutkan secara langsung sifat-sifat-Nya. Misalnya, di antara sifat Allah adalah Allah Ta’ala memiliki wajah (al-wajhu). Sifat ini Allah Ta’ala sebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an, 

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman [55]: 27)

Allah Ta’ala juga berfirman,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (QS. Al-Qashash [28]: 88)

Contoh lain berkaitan dengan sifat Allah Ta’ala memiliki dua tangan (yadain), Allah Ta’ala mengatakan,

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ

“Allah berfirman, “Wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shaad [38]: 75)

Allah Ta’ala juga mengatakan,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

“Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah itu terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 64) 

Ke tiga, dengan mengambil turunan dari kata kerja yang disebutkan oleh dalil.

Metode ke tiga dalam menetapkan sifat Allah Ta’ala adalah dengan mengambil turunan kata dari kata kerja (fi’il) yang disebutkan oleh dalil, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Misalnya, di antara sifat Allah adalah mutakallim (berbicara). Sifat ini diambil dari firman Allah Ta’ala,

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. An-Nisa’ [4]: 164)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan fi’il “kallama” (berbicara), kemudian diambillah sifat al-mutakallim dari kata kerja tersebut. 

Contoh lain, berkaitan dengan sifat al-majii’ (datang), Allah Ta’ala berfirman,

كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا ؛ وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“Jangan (berbuat demikian), apabila bumi digoncangkan berturut-turut. Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr [89]: 21-22)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebutkan fi’il “jaa’a” (datang), kemudian diambillah sifat al-majii’ dari kata kerja tersebut.  

Contoh lain adalah sifat Allah an-nuzuul (turun ke langit dunia). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ 

”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.”” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan fi’il “yanzilu” (turun), kemudian diambillah sifat an-nuzuul dari kata kerja tersebut.  

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55106-metode-menetapkan-sifat-sifat-allah-taala.html

Hukum Mengkhususkan Hari Raya dan Hari Jum’at untuk Ziarah Kubur

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Bagaimanakah hukum mengkhususkan dua hari raya (yaitu, ‘idul fitri dan ‘idul adha) dan hari Jum’at untuk ziarah kubur? Apakah di dua kesempatan tersebut ziarah ditujukan kepada orang yang masih hidup ataukah yang sudah meninggal?

Jawaban:

Perbuatan tersebut tidak memiliki landasan (dari syari’at). Mengkhususkan ziarah kubur di hari ‘id dan meyakini bahwa perkara tersebut disyariatkan dinilai termasuk dalam perbuatan bid’ah. Hal ini karena perbuatan tersebut tidak berasal dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku tidak mengetahui satu pun ulama yang mengatakannya [1].

Adapun (ziarah kubur) pada hari Jum’at, sebagian ulama menyebutkan bahwa hendaknya melakukan ziarah kubur di hari Jum’at [2]. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak menyebutkan -berkaitan dengan anjuran tersebut- riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [3]

Di kesempatan yang lain, beliau rahimahullah mengatakan,

فإنه يجب على المؤمن أن يكون فيها متبعاً لا مبتدعاً متبعاً في هيئتها وفي زمنها وهذا الزمن الذي خصصه هؤلاء وهو ما بعد صلاة العيدين يخرجون إلى المقبرة هذا الزمن ليس وارداً عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يرد أنه صلى الله عليه وسلم يخص المقبرة بزيارةٍ بعد صلاة العيد وعلى هذا فتخصيصها بهذا اليوم أو الذهاب إلى المقبرة في هذا اليوم يعتبر من البدع التي لا يجوز للمرء أن يتقيد بها وإن كان الأصل أن الزيارة مشروعة ولكن تخصيصها في هذا اليوم أو فيما بعد الصلاة هو من البدع

“Wajib atas setiap mukmin untuk ittiba’, dan tidak berbuat bid’ah (menjadi mubtadi’). Ittiba’ (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), baik berkaitan dengan tatacara maupun waktu (pelaksanaan suatu ibadah). Adapun waktu yang mereka khususkan di antaranya adalah setelah shalat ‘id, mereka pun pergi menuju pemakaman. (Pengistimewaan atau pengkhususan) waktu semacam ini tidaklah berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhusukan (mengistimewakan) makam untuk diziarahi setelah shalat ‘id. Berdasarkan hal ini, maka mengkhusukan ziarah kubur di hari itu atau pergi ke pemakaman di hari itu dinilai sebagai perbuatan bid’ah yang tidak boleh bagi seseorang untuk mengaitkannya. Meskipun pada asalnya, ziarah kubur itu disyariatkan. Akan tetapi, ketika ziarah kubur tersebut (yang pada asalnya disyariatkan) dikhusukan di hari itu (hari ‘id) atau setelah shalat ‘id, inilah sisi kebid’ahannya.” [4] 

Catatan penting dari perkataan beliau tersebut adalah bahwa yang kita ingkari adalah mengkhususkan ziarah kubur di waktu-waktu tertentu tanpa ada landasan dalil dari syraiat. Sedangkan ziarah kubur itu sendiri, termasuk perkara yang disyariatkan.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54967-hukum-mengkhususkan-hari-raya-dan-hari-jumat-untuk-ziarah-kubur.html

Hukum Menunda Pemakaman Jenazah

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Bagaimanakah hukum menunda pengurusan jenazah, (menunda) memandikan, memberi kain kafan, dan menshalatinya, atau menunda memakamkannya sampai kerabat si mayit tersebut datang? Apakah kaidah dalam masalah ini?

Jawaban:

Menunda pengurusan jenazah itu perbuatan yang menyelisihi sunnah. Bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

“Segeralah mengurus jenazah. Karena jika jenazah itu adalah orang shalih, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika jenazah tersebut selain orang shalih, berarti kalian telah meletakkan kejelekan di pundak kalian.” (HR. Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944)

Sehingga tidak selayaknya ditunda-tunda, kecuali jangka waktu yang sebentar saja. Sebagaimana jika ditunggu satu atau dua jam, atau sejenis itu. Adapun menundanya sampai jangka waktu yang lama, maka ini perbuatan yang dzalim terhadap si mayit. Karena jika jenazah tersebut adalah jenazah orang shalih, ketika para pengantar jenazah membawanya, dia akan berkata,

قَدِّمُونِي قَدِّمُونِي

“Segeralah kalian, segeralah kalian (membawa aku).” (HR. Bukhari no. 1380) [1]

Maka jenazah (orang shalih) meminta untuk disegerakan, karena dia telah dijanjikan mendapatkan kebaikan dan pahala yang besar. Wallahu a’lam.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55113-hukum-menunda-pemakaman-jenazah.html

Fikih Jenazah (3) : Hal-Hal Yang Disyari’atkan Terhadap Orang Yang Baru Meninggal Dunia

Tatkala seseorang telah benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya ada beberapa hal yang hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang hadir di sisinya, yaitu:

1. Memejamkan mata orang yang baru meninggal dunia

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mendatangi Abu Salamah yang telah menghembuskan nafas terakhirnya sedangkan kedua matanya terbelalak maka Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam memejamkan kedua mata Abu Salamah dan berkata:

إن الروح إذا قبض تبعه البصر

‘’Sesungguhnya bila ruh telah dicabut, maka pandangan matanya mengikutinya1.

Imam ash Shan’aniy berkata: “Di dalam perbuatan Nabi ini (memejamkan Abu Salamah) terdapat dalil atas disunnahkannya perbuatan ini dan seluruh ulama’ kaum muslimin telah sepakat atas hal ini”2 .

Imam asy Syaukaniy berkata: “Di dalamnya terdapat penjelasan disyari’atkan memejam kan mata orang yang telah meninggal dunia.Imam an Nawawiy mengatakan: Ulama’ kaum muslimin telah sepakat atas hal tersebut.Mereka mengatakan bahwa hikmaknya adalah agar tidak jelek pemandangan wajahnya” 3.

Ketika memejamkan mata jenazah tidak ada dzikir atau doa tertentu yang berdasarkan dalil yang shahih. Adapun yang diriwayatkan oleh imam Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf dan imam Al-Baihaqiy dalam Sunan Al-Kubra tentang dzikir ketika memejamkan mata jenazah dari Bakr bin Abdillah rahimahullah bahwasanya beliau berkata:

“Jika engkau memejamkan mata jenazah maka katakanlah:

بسم الله و على ملة رسول الله

Dengan menyebut nama Allah dan di atas agama Rasulullah

Adalah semata-mata pendapat beliau tanpa didasari oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi tidak ada dzikir atau bacaan doa yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dalam masalah ini 4.

2. Mendo’akan kebaikan

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah berdo’a:

اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه

Ya Allah ampunilah Abu Salamah,angkatlah derajatnya di tengah orang-orang yang mendapatkan petunujuk dan gantilah dalam anak keturunannya yang ada setelahnya dan ampunilah kami dan dia wahai Tuhan semesta alam dan luaskanlah kuburnya5.

3. Mengikat dagunya

Dalil masalah ini adalah dalil nzhar (akal) yang shahih, yaitu di dalamnya terdapat kemaslahatan yang sangat jelas bagi jenazah, yaitu agar mulutnya tidak terbuka sehingga tidak dimasuki serangga dan agar tidak menyebabkan jeleknya pemandangan wajahnya ketika dipandang oleh orang lain.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Setahu saya tidak ada dalil atsar dalam masalah ini namun yang ada hanya dalil akal yaitu: agar mulutnya tidak terbuka sehingga tidak dimasuki serangga dan agar tidak menyebabkan jeleknya pemandangan wajahnya ketika dipandang oleh orang lain”6.

Adapun tata caranya adalah mengikatnya dengan kain yang lebar dan panjang lagi mencakup seluruh dagunya dan diikatkan dengan bagian atas kepalanya agar mulutnya tidak terbuka.

4. Melemaskan persendian

Dalil masalah ini adalah nazhar (akal) yang shahih, yaitu di dalamnya terdapat kemaslahatan yang sangat jelas bagi jenazah dan orang yang mengurusnya.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Setahu saya tidak ada dalil atsar dalam masalah ini namun yang ada hanya dalil akal yaitu: di dalamnya terdapat kemaslahatan. Dan hendaknya dilakukan dengan lemah lembut”7 .

Proses pelemasan ini dilakukan ketika jenazah baru meninggal dunia ketika tubuhnya masih dalam keadaan hangat adapun jika sudah lama atau tubuhnya sudah dingin maka tidak perlu dilemaskan karena tubuhnya sudah kaku.Apabila kita lemaskan dalam kondisi jenazah sudah kaku maka akan menyakiti jenazah dan hal ini tidak diperbolehkan karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti memecahnya dalam keadaan hidup” 8.

Berkata penulis kitab Aunul Ma’bud ketika mengomentari hadits ini: “Berkata Ath Thibiy: Di dalamnya terdapat isyarat bahwasanya orang yang meninggal dunia tidak boleh dihinakan sebagaimana ketika masih hidup.Berkata Ibnu Malik: Dan bahwasanya orang yang meninggal dunia merasa tersakiti .Berkata Ibnu Hajar: Kelazimannya menunjukkan bahwa ia merasakan kelezatan sebagaimana orang yang masih hidup.Dan Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan atsar dari Ibnu Mas’ud ia berkata:

أَذَى الْمُؤْمِن فِي مَوْته كَأَذَاهُ فِي حَيَاته

Menyakiti seorang mukmin ketika telah meninggal dunia seperti menyakitinya ketika di masa hidupnya9 .

Adapun caranya adalah sebagai berikut:

  • Dilipat lengannya ke pangkal lengannya kemudian dijulurkan lagi
  • Dilipat betisnya ke pahanya dan pahanya ke perutnya kemudian dikembalikan lagi
  • Jari-jemarinya dilemaskan juga dengan ditekuk dengan lembut10 .

5. Melepas pakaian yang melekat di badannya

Seluruh pakaian yang melekat pada jasad jenazah hendaknya dilepas sehingga tidak ada satu helai kainpun yang melekat pada jasadnya kemudian diganti dengan kain yang menutupi selurut jasadnya.

Dalil amalan ini adalah :

A. Para sahabat mengatakan ketika akan memandikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam:

لَا نَدْرِي أَنُجَرِّدُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ثِيَابه كَمَا تجرد مَوْتَانَا

Kami tidak tahu, apakah kami melepas pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana kami melepas pakaian orang yang meninggal dunia di antara kami ataukah tidak “11.

Hadits ini menunujukkan bahwa adat dan kebiasaan yang berlaku di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika akan memandikan jenazah melepas pakaian yang melekat pada jasadnya

B. Agar badannya tidak cepat rusak karena pakaian yang melekat padanya akan memanaskan tubuhnya.

Jenazah apabila terkena hawa panas maka akan cepat rusak. Kadang-kadang keluar kotoran yang akan mengotorinya sehingga akan tampak menjijikkan dan menimbulkan bau yang tidak sedap.

6. Menutup seluruh jasad jenazah dengan kain

Setelah seluruh pakaian yang melekat pada badannya ketika meninggal dunia dilepas lalu ditutupi dengan kain yang menutupi seluruh jasadnya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma berkata:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين توفي سجي ببرد حبرة

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggal dunia jasad beliau ditutup dengan pakaian bergaris ala Yaman”12.

Para ulama’ menjelaskan bahwa hikmah dari ditutupnya seluruh jasad jenazah adalah agar tidak tersingkap tubuh dan auratnya yang telah berubah setelah meninggal dunia.

Namun orang yang meninggal dunia ketika ihram tidaklah boleh ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه في ثوبين -وفي رواية: في ثوبيه- ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arafah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu hewan tunggangannya menginjak lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Mandikanlah dengan air yang dicampur daun bidara lalu kafanilah dengan dua potong kain – dan dalam riwayat yang lain: “ dua potong kainnya “- dan jangan diberi wewangian. Jangan ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiyamat nanti dalam keadaan bertalbiyah.”13

7. Menyegerakan pemakaman

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ, فَإِنْ تَكُنْ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا عَلَيْهِ, وَإِنْ تكُنْ غَيْرَذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكمْ

Segerakanlah pemakaman jenazah. Jika ia termasuk orang-orang yang berbuat kebaikan maka kalian telah menyajikan kebaikan kepadanya. Dan jika ia bukan termasuk orang yang berbuat kebaikan maka kalian telah melepaskan kejelekan dari pundak-pundak kalian.” 14

Berkata pengarang kitab Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib: “Perintah menyegerakan di sini menurut jumhur ulama’ salaf dan mutaakhirin adalah sunnah. Ibnu Qudamah mengatakan: Tidak ada perselisihan di antara imam-imam ahli ilmu dalam masalah kesunnahannya” 15

Syaikh Utsaimin mengatakan: “Berdasarkan penjelasan ini maka kita mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mereka mengakhirkan pemakaman jenazah sehingga datang kerabatnya… Mereka menunggu selama satu atau sehari semalam agar kerabatnya datang. Pada hakekatnya apa yang mereka lakukan ini adalah merupakan tindakan kejahatan terhadap jenazah karena jenazah apabila termasuk orang yang baik ia menginginkan untuk segera dikuburkan karena ia mendapatkan berita gembira tentang surga ketika meninggal dunia. Dan apabila dikeluarkan dari rumahnya maka jiwanya akan mengatakan:

قدموني

Percepatlah untukku

Yakni mendorong para pengusungnya agar mempercepat sampainya ke kuburnya”16 .

8. Segera melunasi hutang-hutangnya

Yakni hutang yang berkaitan dengan hak Allah seperti: zakat, kafarah, nazar dan lain-lainnya ataupun hutang yang berkaitan dengan hak anak turun bani Adam semisal hutang dari proses pinjam meminjam, jual beli, upah pekerja dan lain-lainnya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ

Jiwa seorang mukmin bergantung dengan utangnya sehingga ditunaikan “17

Imam asy Syaukaniy berkata: “Di dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk menunaikan hutang orang yang meninggal dunia dan pemberitaan bahwa jiwanya bergantung dengan hutangnya sehingga ditunaikan.Dan ini terbatasi dengan orang yang memiliki harta yang dapat dipergunakan untuk menunaikan hutangnya.Adapun orang yang tidak memiliki harta untuk menunaikan hutangnya maka sungguh telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Allah akan menunaikan hutangnya bahkan ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa apabila seseorang memiliki kecintaan untuk membayar hutangnya ketika meninggal dunia maka Allah akan menanggung penunaian hutangnya walaupun ia memiliki ahli waris yang tidak mau menunaikan hutangnya” 18

Orang yang tidak mau menunaikan hutangnya akan disiksa di kuburnya sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih dari jalur sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata:

توفي رجل فغسلناه وحنطناه ، ثم أتينا رسول الله [ صلى الله عليه وسلم ] ليصلي عليه ، فخطا خطى . ثم قال : ‘ هل عليه دين ؟ ‘ قلنا : نعم ( ديناران ) قال : ‘ صلوا على صاحبكم ‘ فقال أبو قتادة : يا رسول الله ! ديناران علي . فقال رسول الله [ صلى الله عليه وسلم ] : ‘ هما عليك حق الغريم وبرىء الميت ‘ قال : نعم فصلى عليه ثم لقيه من الغد فقال : ‘ ما فعل الديناران ؟ ‘ قال : فقال : يا رسول الله ! إنما مات أمس . ثم لقيه من الغد ، فقال : ‘ ما فعل الديناران ؟ ‘ فقال : يا رسول الله ! قد قضيتهما . فقال : ‘ الآن بردت عليه جلده ‘

Seseorang telah meninggal, lalu kami segera memandikan, mengkafani, dan memberinya wewangian, kemudian kami mendatangi Rasulullah agar menshalatinya . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melangkah mendekatinya lalu bersabda, ‘Barangkali Sahabat kalian ini masih mempunyai hutang?’ Orang-orang yang hadir menjawab, ‘Ya ada, sebanyak dua dinar.’Maka Beliau bersabda: “shalatilah saudara kalian. Abu Qatadah berkata, ‘Ya Rasululla shalallahu ‘alaihi wa salam , hutangnya menjadi tanggunganku.’Maka beliau bersabda, ‘Dua dinar hutangnya menjadi tanggunganmu dan murni dibayar dari hartamu, sedangkan mayit ini terbebas dari hutang itu?’Abu Qatadah berkata, ‘Ya, benar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian menshalatinya.Pada esok harinya ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bertemu dengan abu Qatadah bertanya : “ apa yang dilakukan oleh dua dinar ? Abu Qatadah mengatakan: Ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dia baru meninggal kemarin.Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pada esok harinya kembali bertemu dengannya dan mengatakan , apa yang diperbuat oleh dua dinar ?’ Akhirnya ia menjawab, ‘Aku telah melunasinya, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.’ Kemudian Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Sekarang barulah kulitnya merasa dingin19.

9. Segera menunaikan wasiatnya

Syaikh al Utsaimin dalam Asy Syarh Al Mumti’ mengatakan, para ahli ilmu berkata: “seyogyanya wasiat ditunaikan sebelum jenazah dikuburkan….”.

Lalu beliau mengatakan: “Wasiat dengan sesuatu yang wajib hukumnya wajib segera ditunaikan dan sesuatu yang sunnah hukumnya sunnah tetapi mempercepat penunaiannya sebelum dishalati dan dikubur adalah sesuatu yang dituntut baik yang wajib maupun yang sunnah “20

***
Catatan kaki

[1] H.R. Muslim: 920, Sunan Abi Dawud: 3102

[2] Subulus Salam:1/467 Cet:Dar Ibnu Jauziy

[3] Nailul Authar:4/29 Cet:Dar al Wafa’

[4] Lihat Jami’ul adillah:84.

[5] H.R.Muslim dan Al Baihaqiy.

[6] Syarh Mumti’:5/253, Cet: Dar Ibnu Jauziy

[7] Syarh Mumti’:5/253, , Cet: Dar Ibnu Jauziy

[8] H.R.Ibnu Majah:1616

[9] Lihat Aunul Ma’bud syarh sunan Abu Dawud:7/195, Syamsyul Abadiy, Cet: Dar al Hadits

[10] Lihat Syarh Mumti’:5/254, , Cet: Dar Ibnu Jauziy

[11] H.R.Ahmad:6/267 dan Abu Dawud:3141

[12] HR. Bukhari : 1241dan Muslim:942

[13] H.R.Bukhari :1265 dan Muslim:1206

[14] H.R.Bukhari:1315

[15] Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib :3/289 At Tabriziy, maktabah syamilah

[16] Syarh Mumti’:5/259, , Cet: Dar Ibnu Jauziy

[17] Dishahihkan oleh syaikh al Baniy dalam Misykatul Mashabih:2915, maktabah syamilah

[18] Nailul Authar:4/30, cet:Dar al Wafa’

[19] Dishahihkan oleh syaikh AlBaniy dalam Ahkamul Janaiz:16, maktabah syamilah

[20] Syarh Mumti’:5/261, , Cet: Dar Ibnu Jauziy

Penulis: Ust. Zaenuddin Abu Qushaiy

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25051-fikih-jenazah-3-hal-hal-yang-disyariatkan-terhadap-orang-yang-baru-meninggal-dunia.html

Fikih Jenazah (2) : Mendoakan Kebaikan Pada Orang Yang Akan Meninggal

Selain mentalqinkan kalimat laa ilaaha illa Allah ada hal lain yang dianjurkan untuk dilakukan oleh orang yang menghadiri saudaranya yang akan meninggal dunia, yaitu:

1. Mendo’akan kebaikan kepadanya dan tidaklah mengucapkan sesuatu di sisinya melainkan kebaikan

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا حضرتم المريض أو الميت، فقولوا خيرا، فإن الملائكة يؤمنون على ما تقولون

Jika kalian menghadiri orang sakit atau akan meninggal dunia maka hendaklah mengatakan kebaikan. Sebab sesungguhnya malaikat akan mengaminkan apa yang kalian katakan1 .

Imam An Nawawiy mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengucapkan ucapan yang baik seperti do’a , istighfar,meminta kelembutan dan rahmat Allah untuknya dan yang semisalnya”2.

Pengarang kitab al Mufhim Lima Asykala ‘alaihi min Shahihi Muslim mengatakan:

ومن هذا استحب علماؤنا أن يحضر الميت الصالحون وأهلُ الخير حالة موته ليذكِّروه ، ويدعوا له ولمن يخلفه ، ويقولوا خيرًا ؛ فيجتمع دعاؤهم وتأمين الملائكة ، فينتفع بذلك الْمَيّت ومن يُصاب به ، ومن يخلفه

“Dari sini para ulama’ mensunahkan agar orang-orang shalih dan orang yang baik untuk menghadiri orang yang akan meninggal dunia dalam rangka mengingatkan serta mendo’akan kebaikan terhadap orang yang akan meninggal dan orang yang ditinggalkan sehingga terkumpul di dalamnya do’a mereka (orang yang shalih dan berbuat baik) dan ucapan aminnya malaikat sehingga dengannya orang yang akan meninggal dunia dan yang terkena musibah serta yang ditinggalkan akan mendapatkan manfaat 3“ .

Disebutkan dalam Mausu’ah al Fiqhi: “Disunnahkan bagi orang shalih yang hadir di sisi orang yang akan meninggal dunia untuk menyebut nama Allah dan memperbanyak do’a agar urusan orang yang akan meninggal dunia dimudahkan oleh Allah.Dan juga mendo’akan kebaikan kepada orang-orang yang hadir disekitarnya karena ia merupakan tempat yang mustajab [dikabulkannya do’a]. Malaikat akan mengamin kan ucapan mereka sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam:

إذا حضرتم المريض أو الميت، فقولوا خيرا، فإن الملائكة يؤمنون على ما تقولون

Jika kalian menghadiri orang sakit atau akan meninggal dunia, maka hendaklah mengatakan kebaikan. Sebab sesungguhnya malaikat akan mengaminkan apa yang kalian katakan4

2. Memberikan rasa tenang kepada orang yang akan meninggal dunia

Yaitu mengabarkan tentang dekatnya rahmat Allah serta menganjurkannya untuk husnuzhan (berbaik sangka) terhadap Tuhannya dengan menyebutkan dalil-dalil tentang pengharapan rahmat Allah serta memotivasi orang yang akan meninggal dunia untuk mendapatkannya. Imam An Nawawiy mengatakan:

وَيُسْتَحَبُّ لِلْحَاضِرِ عِنْدَ الْمُحْتَضَرِ أَنْ يُطْمِعَهُ فِي رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَيَحُثَّهُ عَلَى تَحْسِينِ ظَنِّهِ بِرَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَأَنْ يَذْكُرَ لَهُ الْآيَاتِ وَالْأَحَادِيثَ فِي الرَّجَاءِ وَيُنَشِّطَهُ لِذَلِكَ وَدَلَائِلُ مَا ذَكَرْته كَثِيرَةٌ فِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ وَقَدْ ذَكَرْت مِنْهَا جُمْلَةً فِي كِتَابِ الْجَنَائِزِ مِنْ كِتَابِ الْأَذْكَارِ وَفَعَلَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عِنْدَ احْتِضَارِهِ وَبِعَائِشَةَ أَيْضًا وَفَعَلَهُ ابْنُ عَمْرِو بْنِ العاص بابيه وكله في الصحيح

“Disunnahkan bagi yang hadir di sisi orang yang akan meninggal dunia untuk memberikan motivasi agar sangat mengharapkan rahmat Allah serta menganjur kannya untuk berbaik sangka terhadap Tuhannya. Dan juga menyebut kan dalil-dalil tentang pengharapan rahmat Allah serta memotivasi orang yang akan meninggal dunia untuk mendapatkannya.

Dalil-dalil dari As Sunnah terhadap apa yang saya sebutkan ini sangatlah banyak dan saya telah sebutkan sebagian besarnya dalam kitab al janaiz dan al adzkar.Perbuatan ini telah dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap Umar bin al Khathab ketika menjelang kematiannya5 dan terhadap ‘Aisyah6 dan juga dilakukan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash terhadap bapaknya7 dan semuanya di sebutkan dalam riwayat yang shahih”8.

Wallahu a’lam bis shawab

***

Catatan kaki

1. HR. Muslim:919
2. Syarh Muslim:6/222
3. Al Mufhim:8/48, Maktabah Syamilah
4. Lihat Mausu’ah al Fiqhi Min Wizaratul Auqaf fi al Kuwait:2/79, Maktabah syamilah
5. Dari Miswar bin Makhramah bahwasanya tatkala Umar ditusuk (oleh Abu Lu’lu’ al Majusiy) Beliau menampakkan rasa sakitnya dengan merintih dan berkeluh kesah.Melihat hal itu maka Ibnu Abbas berkata kepada beliau (dan seolah-olah Ibnu Abbas menisbatkan adanya keluh kesah dari Umar bin al Khathab dan ia berusaha menghibur Umar bin al Khathab dan memotivasinya untuk mendapatkan rahmat Allah dengan menyebutkan beberapa keutamaanya) : “Wahai amirul mukminin janganlah engkau terlalu berkeluh kesah, sungguh engkau telah menjadi sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dan membagusi persahabatanmu dengan Beliau dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam meninggalkanmu sedangkan Beliau ridha terhadapmu dan engkau menjadi sahabat Abu Bakar dan engkau membagusi persahabatanmu dengannya dan Abu Bakar meninggalkanmu sedangkan Beliau ridha terhadapmu.Kemudian engkau memimpin kaum muslimin dan membaguskan kepemimpinanmu terhadap mereka (dengan menampakkan keadilan dan menata urusan mereka dengan baik) dan jikalau engkau meninggalkan mereka sungguh mereka ridha terhadapmu” (HR. Bukhari: 2963).
6. Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya dari jalur Ibnu Mulaikah, “bahwasanya Ibnu Abbas meminta izin untuk masuk menemui Aisyah sebelum meninggal dunia sedangkan ia dalam keadaan menjelang kematian. Aisyah mengatakan: Saya takut bahwa ia akan menyanjungku.Dikatakan kepadanya bahwa yang meminta izin untuk menemui beliau adalah Ibnu Abbas, anak paman Rasulullah dan di antara orang yang mulia dari kaum muslimin. Aisyah mengatakan: Izinkanlah untuk masuk menemuiku.Lalu Ibnu Abbas mengatakan: Bagaimana keadaan anda ? Aisyah menjawab: Dalam kebaikan jika aku bertaqwa kepada Allah. Ibnu Abbas menimpali: Anda dalam kebaikan insya Allah.Anda adalah istri Rasulullah yang tidak pernah Beliau menikah dengan seorang gadis kecuali dengan anda dan dan telah turun udzur tentang anda dari langit” (HR. Bukhari:3574)
7. Telah meriwayatkan imam Muslim dalam shahihnya dari jalur Ibnu Syumasyah ia mengatakan, “kami hadir di sisi ‘Amr bin al Ash ketika menjelang kematiannya. Amr bin al Ash menangis dengan tangisan yang lama dan membalikkan wajahnya ke tembok.Lalu putranya [ Abdullah bin Amr bin al Ash] mengatakan kepadanya: Bukankah Rasulullah telah memberikan kabar gembira demikian kepada anda ? Bukankah Rasulullah telah memberikan kabar gembira yang demikian kepada anda ?” (H.R. Muslim:173).
8. Al Majmu’ Syarh al Muhadzab: 5/109, Imam an Nawawiy – Maktabah syamilah

Penulis: Ust. Zaenuddin Abu Qushoiy

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24880-fikih-jenazah-2-mendoakan-kebaikan-pada-orang-yang-akan-meninggal.html

Fikih Jenazah (1) : Mentalqin Orang Yang Akan Meninggal

Mentalqin adalah menuntun seseorang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat syahadat Laa Ilaaha Illa Allah. Mentalqin seseorang yang akan meninggal dunia disunnahkan bagi orang yang ada di sisi orang yang akan meninggal dunia, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam:

لقنوا موتا كم لا إله إلا الله

Tuntunlah seseorang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat: ‘Laa ilaaha illa Allah’” 1

Dalam riwayat yang lain:

من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة

Barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah “Laa ilaaha illa Allah” maka akan masuk surga2

Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam masalah mentalqin diantaranya:

Apakah Faedah Mentalqin Orang Yang Akan Meninggal Dunia ?

Imam Al Qurthubiy berkata: “Para ulama’ kami mengatakan bahwasanya mentalqin orang yang akan meninggal dunia adalah merupakan sunnah dari para pendahulu ummat ini, yang kemudian diamalkan oleh kaum muslimin hingga saat ini. Tujuannya adalah agar akhir ucapan yang keluar dari orang yang akan meninggal dunia adalah “Laa ilaaha illa Allah”. Sehingga dia menjadi orang yang berbahagia karena termasuk dalam golongan orang yang dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam :

من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة

Barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah “Laa ilaaha illa Allah” maka akan masuk surga3

Selain itu untuk mengingatkan orang yang akan meninggal dunia terhadap sesuatu yang dapat menolak gangguan setan karena setan akan mendatangi orang yang akan meninggal dunia dalam rangka untuk merusak akidahnya”4.

Batasan Mentalqin Orang Yang Akan Meninggal Dunia

Mentalqin orang yang akan meninggal dunia cukup sekali saja, tidak perlu diulang-ulang kecuali apabila setelah di-talqin dia mengucapkan kalimat yang lain maka hendaknya diulang sekali lagi agar akhir ucapannya adalah kalimat syahadat.

Imam Al Qurthubiy berkata: “Apabila seorang yang akan meninggal dunia telah membaca ‘Laa Iaaha Illa Allah’ satu kali maka tidak perlu diulang lagi”.

Ibnu Al Mubarak berkata: ”Talqinlah orang yang akan meninggal dunia dengan kalimat ‘Laa Ilaaha Illa Allah’ dan jika telah mengucapakannya maka jangan diulangi lagi”5.

Mengapa Tidak Disyari’atkan Mengulang-ulang Talqin?

Imam al Qurthubiy berkata: “ Telah mengatakan Abu Muhammad Abdul al Haq, hal tersebut adalah dikarenakan jika orang yang akan meninggal dunia di-talqin secara berulang-ulang ditakutkan ia merasa terusik dan bosan sehingga setan akan membuatnya berat mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illa Allah‘ dan kemudian akan menjadi sebab jeleknya akhir hayatnya”.

Al Hasan bin Isa mengatakan: “Ibnu al Mubarak telah berkata kepadaku: Talqinlah dengan kalimat syahadat dan janganlah kamu mengulangnya kecuali jika ia mengucapkan kalimat yang lain.Tujuan talqin adalah agar seseorang meninggal dunia sedangkan di hatinya tidaklah ada kecuali Allah,karena pusara hal ini adalah hati. Amalan hati yang akan dilihat dan amalan hati yang merupakan sebab keselamatan. Adapun amalan lisan yang bukan merupakan terjemah apa yang ada di dalam hati maka tidaklah berfaedah”.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Syubrumah ia mengatakan, “Aku bersama Amir bin asy Sya’biy mendatangi seorang laki-laki yang sakit dan kami menjumpainya akan meninggal dunia dan seorang laki-laki mentalqinkan kalimat syahadat kepadanya. Laki-laki yang mentalqin tadi mengatakan, ucapkanlah ‘laa ilaaha illa Allah‘ dan terus-menerus mengulanginya.Melihat hal itu maka asy Sya’biy mengatakan: “Bersikap lembutlah kepada saudaramu”. Orang yang sakit tadi lantas berbicara: ‘Baik engkau mentalqinkanku atau tidak, aku tidaklah akan meninggalkannya’. Lalu ia membaca firman Allah ta’ala:

وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا

Dan Allah mewajibkan mereka kalimat taqwa dan mereka berhak terhadap kalimat tersebut dan patut memilikinya”6.

Asy Sya’biy mengatakan: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan sahabat kami ini’“7 .

Kekeliruan Dalam Mentalqin

Bukanlah yang dinamakan mentalqin dengan menyebut-nyebut kalimat syahadat di depan orang orang akan meninggal dunia dan memperdengarkannya, akan tetapi dengan memerintahkan seseorang yang akan meninggal dunia agar mengucapkannya. Dalilnya adalah Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk salah seorang sahabat dari kalangan Anshar lalu mengatakan:

يا خال! قل: لا إله إلا الله، فقال: أخال أم عم؟ فقال: بل خال، فقال: فخير لي أن أقول: لا إله إلا الله؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: نعم

Wahai paman, ucapkanlah: “Laa ilaaha illa Allah.” Beliau bertanya: “Apakah paman dari pihak ibu atau bapak? Jawabnya: “Dari pihak ibu”. Maka ia berkata: “Apakah lebih baik bagi diriku untuk mengucapkan: “Laa ilaaha illa Allah?” . Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya8.

Mentalqin dengan mengingatkan hadits tentang talqin

Imam al Qurthubiy mengatakan: “Dan kadang kala talqin dilakukan dengan menyebutkan hadits tentang talqin di sisi seorang yang alim sebagaimana disebutkan oleh Abu Nu’aim bahwasanya Abu Zur’ah sedang dalam keadaan akan meninggal dunia dan di sisinya ada Abu Hatim, Muhammad bin Salamah, Mundzir bin Syaadzaan dan sekelompok ulama’ yang lainnya. Lalu mereka menyebutkan hadits talqin namun merasa malu terhadap Abu Zur’ah. Lantas mereka mengatakan, wahai sahabat- sahabat kami marilah kita mengingat-ingat kembali hadits tentang talqin. Abu Maslamah berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami Adh Dhahak bin Makhlad,telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih bin Abi Gharib…. dan Abu Masalamah tidak melanjutkan sementara yang lain diam. Berkata Abu Zur’ah sedangkan beliau dalam keadaan akan meninggal dunia: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih bin Abi Gharib dari Katsir bin Murrah al Hadhramiy dari Mu’ad bin Jabal berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة

Barangsiapa yang ucapan terakhirnya adalah ‘Laa ilaaha illa Allah’ maka akan masuk surga”.

Dan dalam riwayat lain:

حرمه الله على النار

Allah mengharamkannya dari api neraka

Dan akhirnya beliau rahimahullah meninggal dunia” 9.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.

***

Catatan kaki

1 H.R.Muslim:9162 HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albaniy dalam Irwa’ul Ghalil, no. 679, Maktabah Syamilah.3 HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albaniy dalam Irwa’ul Ghalil, no. 679, Maktabah Syamilah.4Tadzkirah fi ahwalil mautaa wa umuril akhirah: 30, Imam Al Qurthubiy, cet:Daarul ‘Aqidah5Tadzkirah fi ahwalil mautaa wa umuril akhirah: 30,imam Al Qurthubiy, cet:Daarul ‘Aqidah6 Q.S. Al Fath: 26.7 Lihat At Tadzkirah: 30-31, Imam Al Qurthubiy, cet: Darul Aqidah8 HR. Ahmad, Syaikh Al-Albaniy mengatakan: “Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim”, Ahkamul Janaiz, hal. 20 sebagaimana disebutkan dalam al Mausu’ah al Fiqhiyah al Muyasarah:4/38, Cet: Dar Ibnu Hazm9 Lihat At Tadzkirah: 31, Imam Al Qurthubiy, cet: Darul Aqidah—Penulis: Ustadz Abu Qushaiy Zaenuddin

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24706-fikih-jenazah-1-mentalqin-orang-yang-akan-meninggal.html