Manusia Diciptakan Untuk Saling Mengenal, Bukan Saling Bangga Diri!

Saudaraku para pecinta Al-Qur’an. Kali ini kita akan mengutip sebuah ayat yang sangat menarik dan menjadi jawaban atas berbagai masalah akhir-akhir ini.

Allah swt berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS.Al-Hujurat:13)

Secara umum ayat ini berbicara tentang permulaan penciptaan manusia dan tujuan mereka diciptakan.

Salah satu tujuan penciptaan yang dikabarkan oleh ayat ini adalah :

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

Ya, manusia diciptakan untuk saling mengenal bukan salinh berbangga diri. Saling menghargai kelebihan orang lain, bukan mencaci kekurangan.

Dengan kata lain, manusia terlahir dari dua manusia yang berbeda. Manusia diciptakan dengan beragam suku, ras dan warna kulit bukan untuk meninggikan satu golongan dan merendahkan yang lainnya namun agar mereka bisa saling mengenal dan saling bekerja sama. Karena setiap orang pasti memiliki kelebihannya masing-masing. Dan tugas kita adalah mengenali potensi-potensi tersebut untuk bersatu dan bekerja sama dalam membangun peradaban yang maju.

Lanjutan dari potongan ayat diatas adalah :

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

Ayat ini mempertegas bahwa perbedaan ras, suku, keturunan atau warna kulit bukanlah ukuran kemuliaan seseorang. Kemuliaan manusia hanya bisa diukur dengan seberapa besar ketakwaannya dihadapan Allah swt. Ketampanan wajah dan kemuliaan nasab adalah sebuah karunia yang diberikan seseorang tanpa usaha dari dirinya, semua itu memang harus di syukuri, namun tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk seseorang dikatakan mulia.

Sedangkan nilai yang sebenarnya dari seorang manusia adalah hasil jerih payahnya. Sayyidina Ali bin Abi tholib pernah berkata,

قِيمَةُ كُلِّ امْرِئٍ مَا يُحسِنُه

“Nilai dari seseorang adalah perbuatan baik yang ia lakukan.”

Dan tidak ada kebaikan yang lebih tinggi dari ketakwaan. Maka bila kita simpulkan, ayat ini menyebutkan dua tujuan penciptaan manusia.

(1). Untuk saling mengenal. Dan hal ini tidak akan terjadi kecuali dengan sikap rendah hati dan mau menerima kelebihan orang lain.

(2). Agar manusia meraih takwa. Karena takwa adalah kunci dan tolok ukur kemuliaan manusia.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

4 Golongan Manusia yang Tertipu Menurut Imam Ghazali

Manusia yang tertipu dari golongan ulama hingga ahli tasawuf.

Tidak selamanya hamba Allah SWT akan selamat dari godaan setan. Dalam kitabnya, al-Kasf wa Al-Tibyan fi Ghurur al-Khalq Ajma’in (Menyingkap Aspek-aspek Ketertipuan Seluruh Makhluk), Al-Ghazali menyebutkan empat kelompok manusia yang tertipu. 

Keempat kelompok manusia itu adalah ulama atau cendikiawan, ahli ibadah, hartawan, dan golongan ahli tasawuf. Mereka itu tertipu karena ibadahnya.

1. Ulama atau Cendekiawan

Menurut al-Ghazali, banyak sekali golongan ulama atau cendekiawan yang tertipu. Di antaranya, mereka yang merasa ilmu-ilmu syariah dan aqliyah yang dimiliki telah mapan (cukup). ”Mereka mendalaminya dan menyibukkan diri mereka dengan ilmu-ilmu tersebut, namun mereka lupa pada dirinya sendiri sehingga tidak menjaga dan mengontrol anggota tubuh mereka dari perbuatan maksiat.”

Selain itu, ketertipuan para ulama atau cendekiawan ini juga dikarenakan kelalaian mereka untuk senantiasa melakukan amal saleh. Mereka ini, kata al-Ghazali, tertipu dan teperdaya oleh ilmu yang mereka miliki. Mereka mengira bahwa dirinya telah mendapatkan kedudukan di sisi Allah. Mereka mengira bahwa dengan ilmu itu telah mencapai tingkatan tertinggi 

Lebih lanjut al-Ghazali dalam kitabnya menjelaskan, orang-orang yang masuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang dihinggapi perasaan cinta dunia dan diri mereka sendiri serta mencari kesenangan yang semu.

Selain itu, mereka yang tertipu adalah orang yang merasa ilmu dan amal lahiriahnya telah mapan, lalu meninggalkan bentuk kemaksiatan lahir, namun mereka lupa akan batin dan hatinya. Mereka tidak menghapuskan sifat tercela dan tidak terpuji dari dalam hatinya, seperti sombong, ria (pamer), dengki, gila pangkat, gila jabatan, gila kehormatan, suka popularitas, dan menjelek-jelekkan kelompok lain.  

2. Golongan Ahli Ibadah

Golongan berikutnya yang tertipu, kata al-Ghazali, adalah golongan ahli ibadah. Mereka tertipu karena shalatnya, bacaan Alqurannya, hajinya, jihadnya, kezuhudannya, amal ibadah sunnahnya, dan lain sebagainya.

Dalam kelompok ini, lanjut al-Ghazali, terdapat pula mereka yang terlalu berlebih-lebihan dalam hal ibadah hingga melewati pemborosan. Misalnya, ragu-ragu dalam berwudu, ragu akan kebersihan air yang digunakan, berpandangan air yang digunakan sudah bercampur dengan air yang tidak suci, banyak najis atau hadas, dan lainnya. Mereka memperberat urusan dalam hal ibadah. Tetapi, meringankan dalam hal yang haram. Misalnya, menggunakan barang yang jelas keharamannya, namun enggan meninggalkannya. 

3. Golongan Hartawan

Dalam kelompok hartawan, ada beberapa kelompok yang tertipu. Menurut al-Ghazali, mereka adalah orang yang giat membangun masjid, membangun sekolah, tempat penampungan fakir miskin, panti jompo dan anak yatim, jembatan, tangki air, dan semua amalan yang tampak bagi orang banyak. Mereka dengan bangga mencatatkan diri mereka di batu-batu prasasti agar nama mereka dikenang dan peninggalannya dikenang walau sudah meninggal dunia.

Selanjutnya, kelompok hartawan yang tertipu adalah mereka yang memperoleh harta dengan halal, lalu menghindarkan diri dari perbuatan yang haram, kemudian menafkahkannya untuk pembangunan masjid. Padahal, tujuannya adalah untuk pamer (ria) dan sum’ah (mencari perhatian) serta pujian.

Lalu, mereka yang tertipu dalam kelompok ini adalah mereka yang menafkahkan hartanya untuk fakir miskin, penampungan anak yatim, dan panti jompo dengan mengadakan perayaan. 

4. Golongan Ahli Tasawuf

Golongan selanjutnya yang tertipu, kata Imam al-Ghazali, adalah golongan ahli tasawuf. Dan, kebanyakan mereka muncul pada zaman ini. Mereka yang tertipu adalah yang menyerupakan diri mereka dengan cara berpakaian para ahli tasawuf, cara berpikir dan penampilan, perkataan, sopan santun, gaya bahasa, dan tutur kata. Mereka juga tertipu dengan cara bersikap, mendengar, bersuci, shalat, duduk di atas sajadah sambil menundukkan kepala, bersuara rendah ketika berbicara, dan lain sebagainya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kuncinya Hanya Fastabiqul Khoirot !

Kita sering mendengar kajian tentang Fastabiqul Khoirot dalam Al-Qur’an. Kalimat ini adalah slogan Al-Qur’an untuk mengajak umat agar selalu berlomba dalam kebaikan. Tapi tahukah kita, berkenaan dengan apa ayat ini diturunkan? Mari kita simak penjelasan berikut ini !

Kalimat Fastabiqul Khoirot muncul dua kali didalam Al-Qur’an.

Pertama : Ketika menjawab sanggahan-sanggahan yang dibuat oleh kaum Yahudi dan Nasrani berkenaan dengan perubahan kiblat umat Islam.

Allah swt berfirman :

وَلِكُلّٖ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَاۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

“Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Baqarah:148)

Kedua : Ayat ini muncul ditengah perdebatan dengan kaum Yahudi dan Nasrani tentang posisi Al-Qur’an di antara kitab-kitab sebelumnya.

Allah swt berfirman :
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS.Al-Ma’idah:48)

Dari dua ayat ini dan melihat pada waktu diturunkannya, Allah swt ingin mengisyaratkan agar kaum muslimin menjauhi perdebatan-perdebatan semacam ini dan jangan menghabiskan waktu untuk mengurusi syubhat-syubhat dan fitnah yang dibuat oleh musuh.

Lalu dalam kondisi ini, apa yang dianjurkan oleh Al-Qur’an?

Nah, dalam kondisi semacam ini Al-Qur’an menganjurkan kita untuk Fastabiqul Khoirot (berlomba dalam kebaikan). Jangan terlalu larut dalam perdebatan yang tiada habisnya, tapi tunjukkan keindahan Islam dengan tindakan yang nyata. Kebanyakan manusia tidak melihat salah benarnya suatu keyakinan, tapi yang mereka nilai adalah kebaikan yang dihasilkan oleh keyakinan tersebut.

Ketika kita memberi, berbagi dan berbuat baik, kita tidak akan ditanya apa agama kita. Namun dengan kebaikan itu orang akan penasaran, “Apa yang dia yakini sehingga menjadi pribadi yang baik semacam ini?”

Karena itu jangan sibukkan diri kita untuk melayani perdebatan yang tak ada habisnya. Cukup ikuti saran Al-Qur’an dengan Fastabiqul Khoirot !

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Pandangan Imam Syafii tentang Orang Buta Jadi Imam Shalat

Orang buta yang menjadi imam shalat memiliki beberapa kelebihan.

Dalam kitab Al Umm yang membahas tentang bagian shalat, Imam Syafi’i mengutarakan pandangannya tentang seorang buta yang menjadi imam shalat. Bahkan menurutnya, hal tersebut lebih ia sukai karena orang yang buta akan lebih khusyuk dibanding orang yang normal saat shalat.

“Saya (Imam Syafi’i) cenderung menyukai keimaman seorang yang buta. Jika ia telah diarahkan ke kiblat dengan benar, maka ia bisa lebih khusyu’ dibanding orang yang normal, karena ia tidak akan terganggu oleh pemandangan apapun,” kata Imam Syafi’i.

Dalam kitab itu, Imam Syafi’i menyebutkan beberapa kisah yang dijadikan dalil tentang bolehnya imam shalat dari kalangan orang buta. Di antaranya yaitu, tentang kisah sahabat nabi yang buta bernama Utban bin Malik, di mana dia biasa menjadi imam shalat bagi kaumnya.

Suatu hari, Utban berkata kepada Nabi Muhammad, “Ya Rasulullah, belakangan ini sering terjadi gelap, hujan, dan banjir, sedangkan aku orang yang buta. Aku mohon engkau mau shalat di rumahku, agar aku bisa menjadikannya sebagai tempat shalat (mushala),” pinta Utban,

Nabi kemudian mendatangi Utban dan beliau bersabda,” Di bagian mana kamu ingin aku shalat?”. Utban lalu menunjukkan sebuah tempat dan Nabi pun menunaikan shalat di tempat itu.

Imam Syafi’i juga menyebut bahwa sejumlah ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad beberapa kali menunjuk Ibnu Ummi Maktum, seorang yang buta untuk menggantikannya sebagai imam shalat. Karena, Nabi harus berangkat perang.

KHAZANAH REPUBLIKA

Antara Pakaian Adat dan Pakaian Sunnah

Definisi Pakaian Sunah

Alhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Dalam Syarah Nazom Al Waroqot, Syekh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menejelaskan definisi pakaian Sunah :

وأما ما فعله على سبيل العادة فكلام المؤلف رحمه الله يقتضي أنه مباح، لكن ينبغي ألا نقتصر على الإباحة، فنقول : ما فعله على سبيل العادة، ففعله مستحب، لكن لا بالعين، بل بالجنس .

Perbuatan yang Nabi shallallahu’alaihi wasallam lakukan sebagai adat/kebiasaan, maka berdasarkan penjelasan penulis (Nazom Al Waroqot), hukumnya mubah.

Namun, baiknya kita tidak membatasi pada hukum mubah saja. Kita katakan, “Perbuatan yang beliau lakukan sebagai adat/kebiasaan, maka melakukannya dianjurkan. Namun, anjuran ini bukan berkaitan dengan bentuk spesifiknya (‘ain), tapi pada jenisnya.”

مثال ذلك: في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام اعتاد الناس أن يلبسوا إزارا ورداء وعمامة في الغالب، فنقول: كون الناس في ذلك الوقت يلبسون هذا اللباس أفضل وأحسن؛ لئلا يشذ الإنسان عن
الناس، ولئلا يكون لباسه شهرة.

Contohnya: Di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, umumnya masyarakat di kala itu biasa memakai sarung, selendang dan imamah (lilitan kain penutup kepala). Maka kita katakan, “Memakai pakaian seperti itu di zaman itu, adalah model pakaian yang paling afdhol dan baik.”

– Supaya orang tidak terlihat kampungan (pent, karena pakaiannya yang tidak seperti lumrahnya masyarakat).

– Dan supaya pakaiannya tidak tergolong pakaian syuhroh (tenar).

لكن لو أردنا أن نطبق ذلك في عهدنا الآن، ونأتي إلى الصلاة، كل واحد منا لابس إزارا ورداء
وعمامة، نقول : هذا شهرة، ليس مستحبا،

Akan tetapi, jika kita ingin menerapkan model pakaian seperti itu, di zaman kita sekarang. Kemudian kita pakai untuk sholat, setiap kita memakai sarung, selendang dan imamah. Kita katakan bahwa ini adalah pakaian syuhroh. Tidak dianjurkan.

فالمستحب أن تلبس ما اعتاده الناس عندنا ، ولهذا كان الصحابة رضي الله عنهم لما فتحوا
البلاد صاروا يلبسون لباس الناس؛ لئلا يكون الإنسان متميزة يشتهر في المجالس، يقولون : فلان كذا.

Yang disunahkan adalah, Anda memakai pakaian yang lumrah dipakai masyarakat di daerah yang kita tinggali. Oleh karena itu, para sahabat Nabi -semoga Allah meridhoi mereka-, ketika berhasil menaklukkan banyak negeri, mereka berpakaian sebagaimana pakaian masyarakat setempat. Supaya seorang tidak tampak menonjol, sehingga membuatnya jadi bahan omongan. Orang-orangpun membicarakannya, “Itu lho si anu…..

ولهذا نهى النبي عن لباس الشهرة, إذا ما فعله على سبيل التعبد فقد تبين حكمه. وما فعله على سبيل الجبلة قلنا: لا حكم له، وما فعله على سبيل العادة قلنا: إنه مستحب، لكن بالجنس، لا بالعين

Oleh karenanya, Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang memakai pakaian syuhroh.

Jadi kesimpulannya tentang hukum perbuatan Nabi, perbuatan Nabi yang:

– Dilakukan sebagai jibilah / tabi’at (pent, yang dilakukan Nabi dalam kapasitas beliau sebagai manusia, seperti duduk, tidur, berbaring dan berdiri). Dan kita katakan, tidak ada hukumnya.

– Dilakukan sebagai adat/kebiasaan. Kita katakan, hukum meneladaninya sunnah, tapi sunnah yang dimaksud, meneladani pada jenisnya, bukan bentuk spesifiknya.

(Lihat : Syarah Nazom Al Waroqot, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 149 – 150)
_______

Catatan :

Disebut berpakaian Sunnah, adalah berpakaian mengikuti umumnya pakaian masyarakat yang kita tinggali. Karena:

[1] Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat beliau.

[2] Menghindari pakaian syuhroh.

Pakaian syuhroh adalah, pakaian yang dipandang asing oleh masyarakat di daerah yang kita tinggali. Sehingga dengan memakainya, seorang tampak beda dan menjadi buah bibir masyarakat.

Dalam kamus bahasa Arab Lisanul Arob dijelaskan,

الشهرة ظهور الشيء في شنعة حتى يشهره الناس

Pengertian syuhroh adalah, menonjol dalam kesan yang negatif. Sehingga hal tersebut membuatnya tenar di tengah masyarakat. (Lisanul Arob, 4/498)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai pakaian syuhroh. Dijelaskan dalam hadis Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« من لبس ثوب شهرة ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة »

“Siapa saja yang memakai pakaian syuhroh maka Allah akan memberinya pakaian kehinaan pada hari Kiamat” (HR Abu Daud, dinilai hasan oleh al Mundziri dalam at Targhib).

[3] Definisi pakaian sunnah adalah jenisnya, bukan bentuk spesifiknya.

Jadi yang disunahkan adalah meneladani pada jenis pakaian beliau shallallahu’alaihi wasallam.

Apa jenisnya ?

Jawab: Pakaian sesuai adat masyarakat yang beliau tinggali.

Cara mengetahuinya dengan melihat, motivasi apa Nabi mengenakan pakaian itu. Terjawab bahwa motivasi beliau adalah, mengikuti lumrahnya pakaian di daerah yang beliau tinggali. Ini terbukti dengan larangan beliau memakai pakaian syuhroh.

Bukan pada bentuk spesifiknya (‘ainnya). Sehingga keliru jika dipandang pakaian sunah adalah, memakai imamah, jubah/qomis dll.

Berdasarkan definisi ini, bentuk pakaian sunah itu fleksibel, longgar dan bisa selaras dengan daerah yang kita tinggali dan zaman di mana kita berada.

Demikian…

Wallahua’lam bis showab.

***

Ditulis oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/35790-antara-pakaian-adat-dan-pakaian-sunnah.html

Umar bin Khattab dan Kualitas Sholat yang Receh

“Buat apa sholat kalau masih maksiat?”

Selorohan macam itu pasti pernah kita dengar di sekitar lingkungan kita. Apa benar sholat kita tak membekas ke perilaku kita? Lalu apa yang salah dengan sholat kita?

Sahabat Rasulullah SAW., Umar bin Khattab pernah menyebarkan sebuah pesan kepada kaum muslimin tentang shalat. Iya, tentang kewajiban bagi seorang muslim.

Umar bin Khattab adalah teladan bagi pemerintah yang tidak hanya memperhatikan ekonomi, namun juga memperhatikan shalat. Kita perhatikan bagaimana Umar berpandangan tentang sholat.

“Sesungguhnya urusan yang terpenting bagi kalian adalah sholat. Siapa menjaga sholat, dia menjaga agamanya. Siapa meremehkan sholat, maka dia akan meremehkan perkara lainnya. Dan tidak ada bagian Islam dalam diri mereka yang meninggalkan sholat.”

Akhir dari pesan ini yang menggetarkan jiwa kita. Tidak ada Islam bagi mereka yang meninggalkan sholat

Seperti kita ketahui, sholat adalah barometer keislaman. Umar bin Khattab memahami ini dari Rasulullah SAW. bukan dari hasil olah pikirannya sendiri.

Saat sholat bagus, maka keislaman muslim akan bagus. Sebaliknya, ketika sholat bermasalah, keislaman kita bermasalah.

Apa arti keislaman bermasalah? Apa yang terjadi ketika keislaman kita bermasalah?

Iman seorang muslim bermasalah, iman yang berkualitas rendah. Ini efek samping langsung pada kehidupan seorang muslim.

Apabila iman muslim bermasalah, artinya hidup kita juga bermasalah. Hidup pun akan berkualitas rendah.

Kala kualitas hidup rakyat sebuah negara rendah, maka kualitas hidup sebuah negara akan rendah.

Saat orang melakukan sholat dengan benar, maka kualitas iman akan menjadi tinggi. Kualitas iman yang tinggi sama artinya mutu hidup yang tinggi.

Umar memahami hakikat tersebut.

Saat kualitas hidup rakyat di sebuah negara mencapai tinggi, maka kualitas hidup negara itu menjadi tinggi.

Umar bin Khattab memahami hakikat ini dari baginda Rasulullah SAW., maka Umar memperhatikan sholat rakyatnya.

Sebuah negara yang ingin maju, hendaknya memulai dengan perbaikan sholat sebagai langkah pertama.

Apa hubungan sholat dengan kualitas hidup? Ini tidak bisa dilihat dengan akal telanjang saja. Pun tidak bisa dipahami oleh mereka yang ingkar kepada Allah. Kaum liberal yang ingkar pada Allah, mereka tidak memahami hubungan Allah dengan alam semesta ini. Apalagi dipahami oleh orang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan.

Golongan manusia yang meneropong tidak ada hubungan antara Allah dan alam, mereka percaya Allah tidak bisa mengatur alam sama sekali. Efeknya mereka tidak percaya bahwa ada hubungan iman dan kehidupan manusia.

Lalu, mengapa orang yang “sholat tapi kualitas hidupnya kok receh?”, coba tanyakan kualitas sholatnya.

Sekali lagi, Umar bin Khattab itu menjadi contoh bagi pemimpin negara yang peduli pada rakyatnya. Tak hanya aware pada nasib ekonomi rakyat, tapi peduli pada shalat rakyatnya. Umar bin Khattab menjadi contoh bagi setiap penanggung jawab untuk ikut peduli pada sholat bawahannya. Di Indonesia banyak contohnya, ingat dengan perusahaan penyewaan alat berat yang bos mengharuskan karyawannya selamat secara raga dan utamakan sholat?

Salah satu tanggung jawab kepala keluarga adalah sholat keluarganya, contoh yang terkecil. Dan skup yang lebih kecil, jika kita ingin mutu hidup kita meningkat, maka awali dengan meningkatkan mutu sholat. Hingga di sini, sudahkah meyakini kaitan antara mutu sholat dan mutu hidup?

Wallahua’alam. [@paramuda/BersamaDakwah]

ERA MUSLIM

Ingin Selamat dan Cukup Segala Kebutuhan, Perbaikilah Kualitas Shalat!

Shalat merupakan media bagi manusia untuk berkomunikasi dengan Allah SWT dalam menyampaikan apapun yang sedang menjadi hajat dan permasalahan hidupnya. Karena setiap bacaan dari shalat intinya adalah doa kepada Allah. Oleh sebab itu shalatlah dengan khusyu’, santai dan jangan tergesa-gesa.

Demikian disampaikan oleh A’wan PWNU Jawa Timur H Hasan Aminuddin ketika menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di halaman Masjid At-Taqwa Desa Sokaan Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo, Kamis (14/12) malam. Hasan sangat menyayangkan atas semakin banyaknya orang-orang yang lalai dan malas dalam mendirikan shalat, tidak terkecuali baik orang kota maupun orang desa.  “Saya pernah menghitung, mulai dari wudhu sampai selesai shalat dengan khusu’ dan nyantai. Ini hanya memakan waktu 5 menit saja dan jika dikalikan dengan 5 x waktu shalat wajib maka hanya 25 menit waktu kita untuk shalat dari 24 jam umur kita dalam sehari,” katanya.  Dalam kesempatan tersebut Hasan mengajak masyarakat untuk introspeksi diri terhadap hablumminallah dan hablumminannas kualitas ibadah, khususnya ibadah shalat lima waktu. 

“Jika ingin berkah dan tenang dalam hidup, selamat dunia akhirat serta tercukupi segala kebutuhannya maka tingkatkan kualitas shalat lima waktu,” tegasnya. Menurut Hasan, hablumminallah dan hablumminannas dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas ibadah. Jika hal itu dilakukan maka niscaya akan dicukupkan rezekinya dan anak cucunya.  “Tidak itu saja, ahli kubur orang tua kita juga akan mendapatkan aliran pahala, karena anak yang sholeh merupakan penyambung pahala bagi orang tuanya,” terangnya. Lebih lanjut Hasan juga mengingatkan kepada semua hadirin agar memperbanyak amal sodaqoh kepada sesama. Selain untuk menghindarkan dari bala’ dan musibah, Allah juga menjanjikan balasan berkali-kali lipat.  “Setiap rezeki Allah yang dikeluarkan di jalan Allah akan diganjar 700 kali lipat, ini janji Allah,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Abdullah Alawi)

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/84296/ingin-selamat-dan-cukup-segala-kebutuhan-perbaikilah-kualitas-shalat
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id

Yuk, Menilai Kualitas Salat Kita

MENGAPA sampai saat ini kita merasa bahwa ibadah salat kita tak banyak memberi dampak positif terhadap kondisi sosial bangsa kita? Barangkali, karena setiap kita masih dalam tahap-tahap awal dalam upaya mendirikan salat.

Mari kita nilai kualitas salat kita, nanti akan terjawab kenapa kita seringkali tidak mendapat pertolongan Allah. Hal ini juga dapat menjelaskan secara keseluruhan, mengapa saat ini umat Islam tidak lagi menjadi umat yang agung seperti dulu.

Golongan pertama

Kita bisa lihat hari ini sudah banyak umat Islam yang tidak salat, bahkan banyak juga yang tidak tahu cara salat yang benar; mereka telah jatuh kafir. Imam Malik berkata bahwa jatuh kafir kalau tidak salat tanpa sebab. Imam Syafi’i berkata jatuh fasik – (pun masuk neraka juga) kalau ia masih yakin sembahyang itu fardu.

Golongan kedua

Orang yang mengerjakan salat secara lahiriah saja, bacaan pun masih tak betul, taklid buta, main ikut-ikut orang saja tanpa percaharian yang sungguh-sungguh. Belajar salat seadanya. Ilmu tentang salat tidak dianggap penting. Golongan ini tertolak bahkan berdosa besar dan hidup dalam kondisi durhaka kepada Allah Taala.

Golongan ketiga

Orang yang mengerjakan salat, bahkan tahu ilmu tentang salat, tetapi tak mampu melawan nafsu terhadap godaan dunia yang kuat. Jadi mereka ini kadang salat, kadang tidak. Kalau ada waktu dan mood baik; ia salat, kalau sibuk bekerja atau menjamu tamu, ada hajatan, pesta ria, berziarah, bepergian, letih dan penat, maka ia tak salat, orang ini jatuh fasik.

Golongan keempat

Orang yang salat, kalaupun ilmunya tepat, fasih bacaannya, tapi tak khusyuk kalau diperiksa satu persatu bacaannya, lafaznya banyak yang tak dia mengerti, pikirannya tak terpusat atau tak berfokus sepenuhnya pada shalat yang dilaksanakannya karena tak mengerti apa yang dia baca. Cuma main hafal saja. Jadi pikirannya terus terfokus pada dunia dan alam sekelilingnya. Pikirannya mengembara dalam shalat, orang ini lalai dalam shalat. Neraka Wail bagi orang jenis ini.

Golongan kelima

Orang yang salat cukup lima waktu, tepat ilmunya, memahami setiap bacaan salat, fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tapi tak dihayati maksud dalam salat itu. Pikirannya masih melayang mengingatkan hal dunia, karena faham saja tetapi tidak dihayati. Golongan ini dikategorikan sebagai salat awamul muslimin.

Golongan keenam

Golongan ini lebih baik sedikit dari golongan yang ke lima tadi, tapi main tarik tali di dalam salatnya, sesekali khusyuk, sesekali lalai. Bila teringat sesuatu di dalam salatnya, teruslah terbawa, berkhayal dan seterusnya. Bila teringat Allah secara tiba-tiba, maka insaf dan sadarlah kembali, mencoba dibawa hatinya serta pikirannya untuk menghayati setiap kalimat dan bacaan di dalam shalatnya. Begitulah sampai selesai salatnya. Ia merintih dan tak ingin jadi begitu, tapi terjadi juga. Golongan ini adalah golongan yang lemah jiwa. Nafsunya bertahap mulhamah (artinya menyesal akan kelalaiannya dan mencoba perbaiki kembali, tapi masih tak sanggup karena tidak ada kekuatan jiwa). Golongan ini terserah kepada Allah. Yang sadar dan khusyuk itu mudah-mudahan diterima oleh Allah, mana yang lalai itu moga-moga Allah ampunkan dosanya, namun tidak ada pahala nilai sembahyang itu. Artinya salatnya tidak berdampak apa-apa. Allah belum lagi cinta akan orang jenis ini.

Golongan Ketujuh

Orang yang mengerjakan salat tepat ilmunya, memahami secara langsung bacaan dan setiap lafaz di dalam salatnya. Hati dan pikirannya tidak terbawa dengan keadaan sekelilingnya sehingga pekerjaan atau apa pun yang dilakukan atau yang dianggap diluar sembahyang itu tidak mempengaruhi salatnya. Meskipun ia memiliki harta dunia, menjalankan kewajiban dan tugas keduniaan seperti bisnis dan sebagainya namun tidak mempengaruhi salatnya. Hatinya masih dapat memuja Allah di dalam salatnya. Golongan ini disebut orang-orang saleh atau golongan abrar ataupun ashabul yamin.

Golongan kedelapan

Golongan ini seperti juga kaum tujuh tetapi ia memiliki kelebihan sedikit yaitu bukan saja mengerti, dan tak tergoda dunia di dalam salatnya, malahan dia dapat menghayati setiap makna bacaan salatnya itu, pada setiap kalimat bacaan fatihahnya, doa iftitahnya, tahiyyatnya, tasbihnya pada setiap sujudnya dan setiap gerak geriknya dirasakan dan dihayati sepenuhnya. Tak teringat langsung dengan dunia walaupun sedikit. Tapi namun ia masih tersadar dengan alam sekelilingnya. Pemujaan terhadap Allah dapat dirasakan pada gerak dalam salatnya. Inilah golongan yang dinamakan kaum Mukkarrabin (yang hampir dekat dengan Allah).

Golongan kesembilan

Golongan ini adalah golongan yang tertinggi dari seluruh golongan tadi. Yaitu bukan saja ibadah salat itu dijiwai di dalam salat malahan ia dapat mempengaruhi di luar salat. Kalau ia bermasalah langsung ia salat, karena ia yakin salat menjadi pemecah segala masalah.. Salat telah menjadi pendingin hatinya. Ini dapat dibuktikan di dalam sejarah, seperti salat Ali ketika panah terpacak dibetisnya. Untuk mencabutnya, ia lakukan salat dulu, maka di dalam salat itulah panah itu dicabut. Mereka telah yakin dengan salatnya.. Makin banyak salat semakin terasa lezat, dengan salatlah cara ia lepaskan kerinduan dengan Tuhannya. Dalam salatlah ia mengadu kepada Tuhannya. Alam sekelilingnya langsung tidak ia hiraukan. Apa yang terjadi disekelilingnya langsung tak dipedulikannya. Hatinya hanya pada Tuhannya. Golongan inilah yang disebut golongan Siddiqin. Golongan yang benar dan haq.

Setelah kita nilai keseluruhan sembilan tingkat salat tadi, maka dapatlah kita nilai salat kita di tingkat yang mana. Maka ibadah salat yang dapat mengembangkan jiwa, mengembangkan iman, menjauhkan dari yang buruk, dapat mencegah mazmumah (sifat tercela yang dapat membinasakan kita), menanamkan mahmudah (akhlak yang diridhoi Allah) yang melahirkan disiplin hidup, melahirkan akhlak yang agung adalah golongan tujuh, delapan dan sembilan saja. Salat yang berkualitas, sedangkan golongan yang lain jatuh pada kufur, fasik dan zalim.

Jadi dimanakah tahap salat kita? Perbaikilah diri kita mulai dari sekarang. Jangan tangguhkan lagi. Pertama-tama pertanyaan yang akan ditujukan kepada kita di akhirat nanti adalah salat atau salat kita.[Almanar]

INILAH MOZAIK

Hukum Pejamkan Mata Saat Salat dan Zikir

APA hukum memejamkan kedua mata dalam salat saat membaca Alquran dan ketika doa supaya bisa lebih khusyuk?

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ala rasulillah wa ala alihi wa shahbih, amma badu,

Terkadang seseorang lupa bahwa di antara prinsip dalam beragama Islam adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

“Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian” (HR. At-Thabrani, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah). [1]

Dan di sisi yang lain, terkadang seseorang ketika beribadah juga lupa bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam” (HR. Muslim dalam sahihnya dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma). [2]

Akibatnya, terkadang ia berani berkreasi sendiri dalam melakukan tata cara ibadah tertentu, tanpa ia sadari.

Pernahkah hal ini anda lakukan?

Terkadang tanpa terasa, setelah menunaikan salat, seseorang melanjutkan berzikir dengan memejamkan mata, ia lakukan itu tanpa kesengajaan. Demikian pula, sebagian manusia ada yang berdoa sambil memejamkan matanya, dengan tujuan agar bisa berdoa dengan khusyuk. Apakah kedua perkara itu dibenarkan?

Berikut Fatwa-Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah (no. 223681) menjelaskan hal itu.

Bolehkah memejamkan kedua mata saat doa dan zikir?

Jawab: Alhamdulillah, tidak dikenal di dalam sunah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu memejamkan kedua matanya dalam bentuk ibadah apapun juga, baik itu salat, baca Alquran, zikir, doa, khutbah, atau selain itu. Telah berlalu jawaban atas pertanyaan no. 22174 yang menjelaskan bahwa memejamkan kedua mata dalam salat itu hukumnya makruh kecuali jika ada keperluan, yaitu adanya perkara yang menyibukkan seseorang dalam salatnya, berupa ukiran, hiasan, ornamen, gambar, lewatnya wanita, atau semisal itu.

Namun jika tidak ada keperluan, tidaklah disayariatkan seseorang memejamkan kedua mata.
(hukum memejamkan kedua mata saat berdoa dan berzikir-pent)
(Berdasarkan dalil di atas) maka jika didapatkan sebab yang diperlukan untuk memejamkan kedua mata (saat berdoa dan berzikir), maka boleh (memejamkan mata), seperti ketika didapatkan sesuatu yang menyibukkan orang yang berdoa atau berzikir.

Adapun jika tidak didapatkan sebab yang diperlukan, maka meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam -tanpa diragukan lagi-adalah lebih utama (afdal).

Terkadang sebagian manusia memejamkan kedua matanya dengan alasan supaya khusyuk. Ini adalah perkara yang tidak disyariatkan dan ulama telah mengingkarinya.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum memejamkan kedua mata di dalam salat saat membaca Alquran dan ketika doa Qunut supaya bisa khusyu dalam salat?” Beliau menjawab, “Ulama telah menyebutkan bahwa hukum memejamkan kedua mata di dalam salat adalah makruh, kecuali jika ada sebab semisal di hadapan seseorang yang sedang salat ada sesuatu yang menyibukkannya atau cahaya yang terang, sangat menyilaukan kedua matanya dalam keadaan itu boleh ia memejamkan kedua matanya untuk menghindari bahaya tersebut. Adapun sangkaan sebagian manusia bahwa jika memejamkan kedua matanya bisa lebih khusyuk baginya di dalam salatnya, saya khawatir ini termasuk tipu daya setan untuk menjerumuskannya dalam perkara yang makruh, sedangkan ia tidak merasa. Dan apabila ia membiasakan dirinya baru bisa khusyuk jika memejamkan kedua matanya, maka inilah biang keladi yang menjadikan dirinya merasa lebih khusyuk jika memejamkan kedua mata dibandingkan jika membuka kedua matanya” (Majmu Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 13/299).

Namun terkadang, tanpa disengaja, seseorang memejamkan mata begitu saja saat berdoa dan berzikir, maka hal ini tidaklah mengapa. Wallahu Taala Alam

[Ust. Said Abu Ukasyah/Muslim.Or.Id]

INILAH MOZAIK