Makna Kemerdekaan

Kemerdekaan manusia bukanlah kebebasan tanpa batas

     

”Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka.” Ucapan populer Khalifah Umar bin Khathab kepada Umar bin Ash ini menunjukkan keberpihakan Islam terhadap hak kemerdekaan manusia dari semua aspek.

Namun, Islam memandang kemerdekaan manusia bukan kebebasan tanpa batas. Kemerdekaan sejati dalam Islam adalah ketundukan total kepada kuasa Ilahi dan melepaskan diri dari jeratan nafsu.

Ketika seorang Muslim terbebas dari seluruh belenggu setan dan hawa nafsu, lalu mengembalikan seluruhnya kepada aturan Allah, di sanalah ia sebenarnya mendapatkan kemerdekaannya.

Kemerdekaan seperti itulah yang akan melahirkan kekuatan mahadahsyat. Dengan kemerdekaan seperti ini, dua imperium besar, Persia dan Romawi, ditundukkan di awal sejarah Islam.

Ketika perang Qadisiyah, Sa’ad bin Abi Waqqash memerintahkan Rabi’ bin Amir untuk menghadap Rustum, panglima perang Persia. Rustum bertanya kepada Rabi’ tentang tujuan kedatangan pasukan Islam ke wilayahnya.

Dengan lantang Rabi’ menjawab–suatu jawaban yang pantas dicatat dengan tinta emas sejarah: ”Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan terhadap sesamanya kepada penghambaan kepada Allah Yang Maha Esa dan Perkasa. Dari dunia yang sempit menuju dunia yang luas serta dari kesewenang-wenangan agama kepada keadilan Islam.”

Rasulullah SAW mengatakan, musuh yang paling besar dan berat untuk dihadapi adalah melawan hawa nafsu.

Ketika Rasulullah kembali dari salah satu peperangannya, beliau bersabda: ”Kalian telah tampil ke depan dengan cara terbaik. Untuk tampil ke depan, kalian telah kembali dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar.”

Mereka bertanya, ”Dan, apakah jihad yang lebih besar itu?”

Nabi Muhammad SAW menjawab, ”Perjuangan (mujahadat) hamba-hamba Allah atas hawa nafsu mereka.”

Orang yang mengikuti nafsu sebenarnya bukan hamba Allah, tetapi budak nafsu. Sebab, tidak mungkin seseorang melayani dua majikan. Dengan demikian, pembebasan diri dari perbudakan nafsu adalah kemenangan dan kemerdekaan terbesar.

Jika konsep kemerdekaan seperti ini terpatri dalam jiwa umat Islam, tidak akan ada lagi bentuk-bentuk penjajahan implisit. Penjajahan yang kulitnya menawarkan kemakmuran, padahal aslinya menghancurkan sisi kemanusiaan. Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh: M Mahbubi Ali

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Menyambung Bulu Mata Palsu

Bulu Mata Palsu Haram Dipakai

Assalamualaikum ustadz..ustadz bgmn hukum memakai maskara(bulu mata) bagi wanita?blhkh?
maksudnya bulu mata palsu agr kelihatan lbh cantik
Mhn penjelasannya njih tadz..jazaakallah khair

Dari : ~$@($@

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah, Amma ba’du.

Mari kita simak hadis berikut :

Dari Abu Hurairah radliyallah ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ

“Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya, wanita pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari No. 5589 dan 5602 )

Ancaman laknat, menunjukkan bahwa menyambung rambut merupakan dosa besar. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama,

كل ما لعن الله ورسوله فهو كبيرة

Setiap dosa yang diancam laknat Allah dan RasulNya adalah dosa besar. (Lihat : Ad-Da’ wad Dawa’ hal. 293)

Laknat maknanya adalah dijauhkan dari rahmad Allahu ‘azza wa jalla.

Dan larangan yang dijelaskan pada hadis di atas, berlaku untuk semua jenis rambut. Rambut alami maupun sintesis/bulu mata palsu. Karena di dalam riwayat yang lain dari sahabat Jabir bin Abdillah -radhiyallahu’anhu– ditegaskan,

زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا

Nabi ﷺ melarang wanita untuk menyambung rambut dengan sesuatu apapun. (HR. Muslim)

Kata “شَيْئًا” pada hadis di atas, dalam gramatikal bahasa Arab disebut sebagai kata nakiroh (indefinitif). Yaitu kata (isim) yang mengandung makna yang tidak ditentukan (mutlak) atau makna umum (‘aam). Cirinya adalah dapat berharokat tanwin.

Saat ada kata nakiroh yang berada dalam konteks kalimat positif, maka kata tersebut mengandung makna mutlak (makna yang tidak ditentukan). Sebagaimana dijelaskan dalam Kaidah Ushul Fikih,

منـكر إن بعـد إثبـات يرد *** فمـطلـــــق

Isim nakiroh yang terdapat setelah kalimat positif, bermakna mutlak…

(Mandhumah Ushulil Fiqh, karya Syekh Ibnu Utsaimin -rahimahullah-)

Dari sinilah kita bisa menyimpulkan, bahwa larangan menyambung rambut yang dimaksud dalam hadis di atas, berlaku untuk jenis rambut apa saja, alami maupun sintesis.

Syekh Sholih Al Utsaimin rahimahullah menerangkan,

ووصل الشعر بغير شعر اختلف فيه أهل العلم فمنهم من قال إنه لا يجوز لأن النبي صلى الله عليه وسلم (نهى أن تصل المرأة بشعرها شيئاً) وكلمة (شيئاً) عامة تشمل الشعر وغيره ، وعلى هذا فالشعور المصنوعة التي تشبه الشعور التي خلقها الله عز وجل لا يجوز أن توصل بالشعور التي خلقها الله سبحانه وتعالى بل هي داخلة في هذا الحديث

“Menyambung rambut dengan bukan rambut asli, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Diantara ulama ada yang berpendapat tetap dilarang. Karena Nabi ﷺ melarang,

أن تصل المرأة بشعرها شيئاً

untuk menyambung rambut dengan sesuatu apapun.

Kata “شيئاً” (sesuatu apapun) adalah kata yang mengandung keumuman, sehingga mencakup menyambung rambut dengan rambut asli ataupun palsu. Maka dari itu, rambut-rambut sintesis yang sangat mirip dengan rambut asli yang Allah ciptakan, tidak boleh disambungkan. Bahkan juga masuk dalam ancaman hadis tentang laknat di atas…”

(http://live.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=311123)

Bahkan Imam Nawawi rahimahullah sampai mengatakan

وفي هذا الحديث أن الوصل حرام، سواء كان لمعذورة أو عروس أو غيرهما

Hadis di atas menunjukkan haramnya menyambung rambut, baik karena uzur, acara pernikahan atau alasan lainnya. (Al-Minhaj 14/105-106)

Demikian, wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori (Alumni UIM dan Pengasuh PP. Hamalatul Quran, DIY)

Read more https://konsultasisyariah.com/34465-hukum-menyambung-bulu-mata-palsu.html

Islam dan Kebebasan

Banyak manusia yang hidup di dunia ini menginginkan kehidupan yang bebas dan tidak terkekang dengan berbagai aturan. Sampai-sampai karena kuatnya keinginan ini mereka tidak lagi mengindahkan norma-norma agama, sebab mereka menganggap agama sebagai belenggu semata.

Meskipun faktanya, kebebasan yang tanpa batas mustahil terwujud di dunia ini. Karena perbuatan yang dilakukan oleh manusia sering dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsu, sehingga ketika seseorang meninggalkan norma-norma agama otomatis dia akan terjerumus mengikuti aturan hawa nafsunya yang dikendalikan oleh setan, dan ini merupakan sumber malapetaka terbesar bagi dirinya. Karena hawa nafsu manusia selalu menggiring kepada keburukan dan kerusakan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي}

Sesungguhnya nafsu (manusia) itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku” (QS Yuusuf:53).

Dan firman-Nya,

{وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ}

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu manusia, maka pasti binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (untuk) mereka (al-Qur’an) akan tetapi mereka berpaling dari peringatan tersebuat” (QS al-Mu’minuun:71).

Juga firman-Nya,

{وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً}

Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan (semua) urusannya menjadi rusak/buruk” (QS al-Kahfi:28).

Arti Kebebasan yang Hakiki

Berdasarkan keterangan di atas, maka kebebasan hakiki yang mendatangkan kebahagiaan dan kesenangan hidup bagi manusia tidak mungkin dicapai dengan meninggalkan norma-norma agama, bahkan sebaliknya ini merupakan kesempitan hidup dan belenggu yang sebenarnya, sebagaimana yang terungkap dalam firman-Nya:

{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya dia (akan merasakan) kehidupan yang sempit (di dunia)[1], dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaaha:124).

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Makna ayat ini: Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan (memberikan balasan) bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya dan berkomitmen dengan agama-Nya dengan kehidupan yang (penuh) kenikmatan di dunia, tanpa ada kesedihan, kegundahan dan kesusahan (dalam) dirinya…Dan Dia menjadikan (memberikan balasan) bagi orang yang enggan mengikuti petunjuk-Nya dan berpaling dari agama-Nya dengan kehidupan yang sempit serta (penuh dengan) kepayahan dan penderitaan (di dunia). Bersamaan dengan semua penderitaan yang menimpanya di dunia, di akhirat (kelak) dia akan (merasakan) penderitaan, kepayahan dan kesempitan hidup yang lebih berat lagi”[2].

Sebaliknya, Allah Ta’ala menegaskan bahwa kebahagiaan hidup yang hakiki hanyalah akan dirasakan oleh orang yang berkomitmen dengan agama-Nya dan tunduk kepada hukum-hukum syariat-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl:97).

Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki[3].

Sebagaimana Allah Ta’ala menjadikan kelapangan dada dan ketenangan jiwa dalam menerima syariat Islam merupakan ciri orang yang mendapat petunjuk dari-Nya, dan kesempitan serta terbelenggunya jiwa merupakan pertanda orang yang tersesat dari jalan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

{فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ}

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan keburukan/siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS al-An’aam:125).

Maka melepaskan diri dari aturan-aturan agama Islam dengan dalih kebebasan berarti justru menjebloskan diri kedalam penjara hawa nafsu dan belenggu setan yang akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan berkepanjangan di dunia dan akhirat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengungkapkan hal ini dengan bahasa yang indah dalam ucapan beliau,

“المحبوسُ مَنْ حُبِسَ قَلْبُه عن رَبِّهِ تعالى والمأسورُ مَنْ أَسِرَه هواه”

“Orang yang dipenjara adalah orang yang terpenjara (terhalangi) hatinya dari Rabb-nya (Allah) Ta’ala, dan orang yang tertawan (terbelenggu) adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya”[4].

Dalam hal ini, para ulama mengumpamakan kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah Ta’ala dalam agama-Nya adalah seperti kebutuhan ikan terhadap air[5]. Maka jika demikian apakah mungkin dikatakan kebebasan hidup bagi ikan adalah jika terlepas dari air, padahal sudah diketahui bahwa tidak mungkin ikan akan bertahan hidup tanpa air?.

Tauhid Membebaskan Manusia dari Penghambaan Diri kepada Makhluk

Landasan utama Islam, tauhid, yang berarti pemurnian ibadah dan penghambaan diri kepada Allah Ta’ala semata dan berpaling dari penghambaan diri kepada selain-Nya, adalah bukti terbesar yang menunjukkan adanya kebebasan yang hakiki dalam Islam.

Betapa tidak, orang yang benar-benar meyakini dan mengamalkan tauhid dalam hidupnya, maka dia akan terlepas dari semua belenggu penghambaan diri kepada makhluk yang tidak punya kemampuan untuk memberikan manfaat maupun bahaya kepada dirinya, untuk menuju kepada penghambaan diri kepada Allah Ta’ala, yang di tangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dialah satu-satunya pencipta, pemberi rezki dan pengatur alam semesta ini.

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia Rib’iy bin ‘Amir ketika ditanya oleh salah seorang pembesar kafir, “(Seruan dakwah) apakah yang kalian bawa?”. Maka beliau menjawab: “Allah yang mengutus kami untuk mengeluarkan (membebaskan) siapa yang dikehendaki-Nya dari penghambaan diri kepada makhluk kepada penghambaan diri kepada-Nya (semata), dan dari kesempitan (belenggu) dunia kepada kelapangannya, serta dari kezhaliman (aturan) agama-agama (lain) kepada keadilan Islam”[6].

Di samping itu, setiap manusia terlahir dengan kecenderungan untuk menghambakan diri dan tunduk kepada sesuatu, maka jika kecenderungan ini tidak diarahkan kepada penghambaaan diri yang benar, yaitu kepada Allah Ta’ala, maka dengan sendirinya setanlah yang akan menggiringnya menjadi hamba bagi hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman,

{أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ}

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sembahannya dan Allah menjadikannya tersesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS al-Jaatsiyah:23).

Makna ayat ini: pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan agamanya (apa yang sesuai) dengan hawa nafsunya, sehingga tidaklah dia menyukai sesuatu (menurut hawa nafsunya) kecuali dia akan mengikutinya. Karena dia tidak beriman kepada Allah, tidak mengharamkan apa yang diharamkan-Nya dan tidak menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya. (Cara) beragamanya adalah apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya maka itulah yang dikerjakannya[7].

Kerancuan dan Jawabannya

Orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berusaha mencari-cari dalih untuk mendiskreditkan Islam dan mengesankan bahwa aturan-aturan syariat Islam adalah belenggu yang mengekang kebebasan manusia. Padahal kalau diperhatikan dengan seksama semua dalih yang mereka kemukakan justru membantah pemahaman mereka dan bukan mendukungnya[8].

Di antara dalih yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka pahami dengan keliru:

– “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”[9].

Jawab: Penafsiran yang benar dari hadits ini ada dua – seperti kata Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Badaai’ul fawaaid” (3/696) –, yaitu:

1- Orang yang beriman di dunia ini, keimanannya yang kuat menghalangi dia untuk memperturutkan nafsu syahwat yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, sehingga dengan keadaan ini seolah-olah dia hidup dalam penjara. Atau dengan kata lain: dunia ini adalah tempat orang yang beriman memenjarakan hawa nafsunya dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, berbeda dengan orang kafir yang hidup bebas memperturutkan nafsu syahwatnya[10].

2- Makna: “Dunia ini adalah penjara (bagi) orang yang beriman dan surga (bagi) orang kafir”, adalah jika dibandingkan dengan keadaan/balasan orang yang beriman dan orang kafir di akhirat nanti, karena orang yang beriman itu meskipun hidupnya di dunia paling senang dan bahagia, tetap saja keadaan tersebut seperti penjara jika dibandingkan dengan besarnya balasan kebaikan dan kenikmatan yang Allah Ta’ala sediakan baginya di surga di akhirat kelak. Dan orang kafir meskipun hidupnya di dunia paling sengsara dan menderita, tetap saja keadaan tersebut seperti surga jika dibandingkan dengan pedihnya balasan keburukan dan siksaan yang Allah Ta’ala akan timpakan kepadanya di neraka di akhirat nanti[11].

Maka jelaslah hadits ini sama sekali tidak menunjukkan apa yang mereka tuduhkan terhadap Islam, bahkan sebaliknya hadits ini menjelaskan dengan gamblang keindahan syariat Islam.

– Mereka juga berdalih dengan beberapa hukum dalam syariat Islam, seperti kewajiban memakai jilbab (pakaian yang menutupi semua aurat secara sempurna[12]) bagi perempuan muslimah ketika berada di luar rumah. Mereka mengatakan bahwa jilbab merupakan belenggu yang mengekang kebebasan kaum perempuan.

Jawab: Hikmah besar diwajibkannya hijab bagi perempuan adalah justru untuk membebaskan dan menyelamatkan mereka dari gangguan dan kejahatan orang-orang yang mempunyai keinginan buruk, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab:59).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Ini menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Hal ini dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afifah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”[13].

– Dalih lain yang mereka gunakan adalah kewajiban memasang hijab/tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Mereka mengatakan bahwa ini semua merupakan belenggu yang mengekang kebebasan kaum perempuan.

Jawab: Hikmah agung kewajiban memasang hijab/tabir adalah justru untuk membebaskan laki-laki dan perempuan yang beriman dari kekotoran hati dan fitnah (kerusakan) yang mungkin timbul tanpa adanya hijab/tabir. Maka adanya hijab/tabir antara laki-laki dan perempuan bertujuan untuk menjaga kesucian hati mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

{وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ}

Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS al-Ahzaab:53).

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu syaikh berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menyifati hijab/tabir sebagai kesucian bagi hatinya orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, karena mata manusia kalau tidak melihat (sesuatu yang mengundang syahwat, karena terhalangi hijab/tabir) maka hatinya tidak akan berhasrat (buruk). Oleh karena itu, dalam kondisi ini hati manusia akan lebih suci, sehingga (peluang) tidak timbulnya fitnah (kerusakan) pun lebih besar, karena hijab/tabir benar-benar mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) dari orang-orang yang ada penyakit (dalam) hatinya”[14].

Penutup

Tulisan ringkas ini semoga bermanfaat bagi kaum muslimin untuk menyadarkan mereka hakekat keindahan ajaran Islam yang diturunkan untuk kemaslahatan hidup manusia, sedangkan semua ajakan yang menyimpang dari ajaran Islam pada akhirnya akan menjerumuskan ke dalam lembah kesengsaraan dan penderitaan berkepanjangan di dunia dan akhirat.

Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada keimanan

dan jadikanlah iman itu indah dalam hati kami

serta jadikanlah kam benci kepada kekefiran, kefasikan dan kemaksiatan

dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/3878-islam-dan-kebebasan.html

Memilih Pasangan Idaman

Terikatnya jalinan cinta dua orang insan dalam sebuah pernikahan adalah perkara yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan untuk serius dalam permasalahan ini dan dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan candaan atau main-main.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة

“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju.’” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)

Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup, insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.

Sungguh sayang, anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti pacaran dan semacamnya, sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan kekasih mereka tanpa memperhatikan bagaimana keadaan agamanya. Sebagian lagi memilih pasangannya hanya dengan pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari wanita cantik untuk dipinang tanpa peduli bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka pun meminang lelaki atau wanita yang kaya raya untuk mendapatkan hartanya. Yang terbaik tentu adalah apa yang dianjurkan oleh syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih pasangan.

Setiap muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:

1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya

Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)

Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya.

Maka pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Al Kafa’ah (Sekufu)

Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)

Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi kita?

3. Menyenangkan jika dipandang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri wanita sholihah yang salah satunya,

وان نظر إليها سرته

“Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih)

Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang yang hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang yang hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang wanita Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أنظرت إليها قال لا قال فاذهب فانظر إليها فإن في أعين الأنصار شيئا

“Sudahkah engkau melihatnya?” Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu bersabda, “Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)

4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)

Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,

تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم

“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)

Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)

Kriteria Khusus untuk Memilih Calon Suami

Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:

عن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت‏:‏ أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏

“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.

Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تعس عبد الدينار، والدرهم، والقطيفة، والخميصة، إن أعطي رضي، وإن لم يعط لم يرض

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari).

Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk diberi rizki.

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)

Kriteria Khusus untuk Memilih Istri

Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:

1. Bersedia taat kepada suami

Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)

Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)

Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.

2. Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya

Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan siksaannya belum pernah beliau lihat, salah satunya adalah wanita yang memamerkan auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رؤسهن كأسنة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا

“Wanita yang berpakaian namun (pada hakikatnya) telanjang yang berjalan melenggang, kepala mereka bergoyang bak punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan bahkan mencium wanginya pun tidak. Padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak meniru ciri khas busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana laki-laki, dll.

Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.

3. Gadis lebih diutamakan dari janda

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عليكم بالأبكار ، فإنهن أعذب أفواها و أنتق أرحاما و أرضى باليسير

“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)

Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar. Seperti  sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)

4. Nasab-nya baik

Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.

Alasan pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.

Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits,

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

“Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menetapkan anak tersebut di-nasab-kan kepada orang yang berstatus suami dari si wanita. Me-nasab-kan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.

Konsekuensinya, anak yang lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami dari ibunya tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka pernikahannya tidak sah, jika pernikahan tidak sah lalu berhubungan intim, maka sama dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung kepada Allah dari kejadian ini.

Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu untuk mengecek nasab dari calon pasangan.

Demikian beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha untuk memilih pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

إذا هم أحدكم بأمر فليصلِّ ركعتين ثم ليقل : ” اللهم إني أستخيرك بعلمك…”

“Jika kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, aku beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Maraji’:

  1. Al Wajiz Fil Fiqhi As Sunnah Wal Kitab Al Aziz Bab An Nikah, Syaikh Abdul Azhim Badawi Al Khalafi, Cetakan ke-3 tahun 2001M, Dar Ibnu Rajab, Mesir
  2. Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z, terjemahan dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif ilal Ya, Usamah Bin Kamal bin Abdir Razzaq, Cetakan ke-7 tahun 2007, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  3. Bekal-Bekal Menuju Pelaminan Mengikuti Sunnah, terjemahan dari kitab Al Insyirah Fi Adabin Nikah, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan ke-4 tahun 2002, Pustaka At Tibyan, Solo
  4. Manhajus Salikin Wa Taudhihul Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As Sa’di, Cetakan pertama tahun 1421H, Darul Wathan, Riyadh
  5. Az Zawaj (e-book), Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin, http://attasmeem.com
  6. Artikel “Status Anak Zina“, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. , http://ustadzkholid.com/fiqih/status-anak-zina/

***

Penulis: Yulian Purnama
Muroja’ah: Ustadz Kholid Syamhudi. Lc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/657-memilih-pasangan-idaman.html

Jangan Risau dan Khawatir dengan ”Jatah” Rizki Kita (Bag. 1)

Saat ini, setiap saat, setiap waktu, mungkin ada saja yang membuat hati kita risau, gusar, atau ”galau” dengan kehidupan kita di dunia ini. Entah harga barang-barang kebutuhan pokok yang mahal, entah biaya masuk sekolah, entah tarif listrik dan BBM yang terus mengalami kenaikan, dan apa saja yang membuat hati kita khawatir dengan jatah rizki kita. Uang yang seolah-olah semakin tidak ada nilainya, penghasilan yang stagnan, dan seterusnya.

Bisa jadi kita merasa, kita-lah yang hidupnya paling susah di dunia ini …

Padahal kenyataannya, di sana lebih banyak lagi orang yang kehidupannya lebih susah dari kehidupan kita …

Sebagian kita para suami, selalu risau, ”Dari mana aku akan mendapatkan rizki untuk menghidupi diri dan keluargaku besok? Bagaimana aku nanti bisa mencari penghidupan?”

Apakah “rizki” itu?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

”Rizki adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Rizki itu ada dua macam, yaitu rizki yang bermanfaat untuk badan dan rizki yang bermanfaat untuk agama. Rizki yang bermanfaat untuk badan seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan yang sejenisnya. Adapun rizki yang bermanfaat untuk agama, yaitu ilmu dan iman.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hal. 101-102)

Banyak di antara kita yang risau dengan rizki jenis pertama. Kita risau ketika penghasilan sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Yang kita pikirkan setiap saat dan setiap waktu adalah bagaimana kita bisa memiliki penghasilan tambahan?

Sebaliknya, kita justru tidak pernah risau dengan rizki jenis ke dua. Ketika hati kita kosong dari ilmu agama, kita santai-santai saja. Ketika iman kita nge-drop (turun drastis), tidak ada sama sekali kekhawatiran di dalam dada. Ketika amal ketaatan kita sedikit, kita cuek saja. Ketika kita semakin terbuai dengan maksiat, semuanya terasa happy-happy saja. Seolah-olah semuanya baik-baik saja, padahal bisa jadi iman kita sedang berada di pinggir jurang.

Semoga kita terselamatkan dari yang demikian ini …

Selain itu, rizki selalu kita identikkkan dengan uang, uang, dan uang …

Padahal, kesehatan adalah rizki …

Bisa bernapas adalah rizki …

dan demikian seterusnya untuk nikmat-nikmat yang lain.

Allah Ta’ala telah menetapkan rizki atas setiap diri kita

Jika memang yang menjadi kegelisahan kita adalah rizki jenis pertama, yaitu rizki yang bermanfaat untuk badan, maka perlu kita ketahui bahwa Allah-lah yang akan memberikan rizki itu semuanya kepada kita.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa Allah-lah yang memberikan rizki kepada kita itu sangat banyak, baik dalil dari Al-Qur’an, hadits, maupun akal.

Di antara dalil Al-Qur’an yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

”Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Pemberi rizki, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 58)

Allah Ta’ala juga berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ

”Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan dari bumi?’ Katakanlah, ’Allah’.” (QS. Saba’ [34]: 24)

Di ayat yang lain lagi Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

”Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka semuanya akan menjawab, ’Allah’.” (QS. Yunus [10]: 31)

Sedangkan di antara dalil dari As-Sunnah adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ

”Kemudian diutuslah Malaikat kepadanya (janin, pent.). Malaikat itu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan untuk menuliskan empat kalimat (ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah baginya), yaitu: (1) rizki, (2) ajal, (3) amal perbuatan dan (4) (apakah nantinya dia termasuk) orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang berbahagia (masuk surga).” (HR. Muslim no. 6893)

Ketika yang menjamin rizki kita adalah Dzat Yang Maha kaya, mengapa kita masih sangat khawatir?

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50747-jangan-risau-dan-khawatir-dengan-jatah-rizki-kita-bag-1.html

Hukum Gambar Wali Songo

Hukum Gambar Wali Songo

Ada banyak poster gambar wali songo. Kadang ada gambar 4 khalifah Rasyidin.

Boleh tidak majang gambar seperti itu, untuk mengenang mereka?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada perbedaan cara penghormatan terhadap tokoh yang dilakukan umat islam dengan yang dilakukan ahli kitab. Orang yahudi dan nasrani memvisualisasi para tokoh sebagai bentuk pernghormatan kepada tokoh mereka. Sampai bayi Nabi Isa bersama ibunda Maryam, mereka buat patungnya.

Mereka juga memajang foto-foto tokohnya untuk mengenang kesalehan mereka.

Beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Maimunah dan Ummu Salamah pernah berhijrah ke Habasyah (Ethyopia) ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mekah.

Ketika mereka di Madinah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bercerita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai gereja yang mereka lihat di Habasyah. Di sana ada gereja Mariyah. Ummu Salamah bercerita, di dalam gereja itu ada banyak gambar-gambar tokoh nasrani.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

Mereka adalah sekelompok masyarakat yang apabila ada orang soleh di antara mereka yang meninggal, maka mereka akan membangun masjid di dekat kuburannya dan menggambar wajah orang soleh itu. Merekalah makhluk paling jelek di hadapan Allah. (HR. Bukhari 434, Ahmad 24984 dan lainnya).

Hadis ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa cara penghormatan tokoh agama, orang soleh seperti yang dilakukan orang nasrani, dengan memajang gambar dan foto tokohnya, adalah tindakan tercela. Karena ini sebab terbesar orang melakukan kultus.

Kita meyakini, manusia yang paling dicintai sahabat adalah Nabi Allah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat ada yang dulunya pandai menggambar. Namun tidak kita jumpai satupun diantara mereka yang membuat reka wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dipajang di masjid nabawi atau di rumah mereka masing-masing. Sekalipun kita sangat yakin, mereka tidak munngkin sampai menyembah gambar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tauhid mereka jauh lebih kuat dibandingkan tauhid kita..

Karena mereka memuliakan tokohnya bukan dengan cara menggambar wajahnya. Memvisualisasi wajah, justru termasuk bentuk pelecehan  dan penghinaan. Karena tentu saja, yang asli lebih indah dan lebih sempurna. Gambar adalah pelecehan kepada tokoh.

Ini disepakati kaum muslimin hingga sekarang. Terbukti, tidak ada satupun umat islam yang berani membuat reka gambar wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun nabi-nabi lainnya.

Cara menghormati tokoh adalah dengan mendoakan mereka dan melestarikan ajaran mereka. Bukan dengan menggambar mereka. Apalagi dengan gambar asal-asalan, tanpa bukti yang jelas.

Kehormatan Mayit itu Dimakamkan

Allah berfirman,

ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ

Kemudian, orang mati diantara manusia, mereka dikuburkan. (QS. Abasa: 21)

Bagian dari kemuliaan yang Allah berikan untuk manusia, Allah syariatkan agar yang meninggal dikuburkan. Dan itu sesuai fitrah manusia. Karena itu, agama yang mengajarkan agar mayit dimakamkan, adalah agama yang mengajarkan fitrah.

Ketika ada orang istimewa yang jasadnya di taruh di permukaan, yang terjadi bukan memuliakan, tapi justru menghinakan. Artinya, semakin tidak dinampakkan, semakin dimuliakan.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/26405-hukum-gambar-wali-songo.html

Mengubur Janin Dalam Kandungan Bersama Ibunya?

Hamil wis wayahe (sudah saatnya lahir, red) trs malah darah tinggi.dan sampai dirawat..,, sampai akhirne bayine meninggal di dalam kandungan…. Krn darah tinggi maka belum dikeluarkan dan selisih 5 jam ibune nyusul. Tp sang bayi gak dikeluarkan alias masih didalam sampai pemakaman.

Dari: Ummu Hasna, di Salatiga

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Sebelumnya, ada dua kondisi menguburkan seorang ibu hamil bersama janin dalam kandungannya:

Pertama, yakin bahwa janin masih hidup dan bisa diselamatkan.

Maka wajib diselamatkan, meskipun harus dengan melakukan operasi sesar.

Para ulama menjelaskan, bahwa mencederai tubuh mayit (tamtsil) hukumnya haram, kecuali jika karena alasan maslahat yang kuat dan yakin, bukan yang sifatnya praduga. Saat melakukan operasi sesar, tentu terdapat unsur tamtsil tersebut. Namun, ini boleh dilakukan karena dorongan maslahat yang yakin.

Pertimbangan lain, jika ada dua kerusakan bertemu dalam satu keadaan, maka boleh memilih kerusakan yang lebih ringan demi menghindari kerusakan yang lebih besar. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah fikih,

الضرر الأشد، يزال بالضرر الأخف.

Kerusakan yang besar, harus dihilangkan meski dengan menerjang kerusakan yang lebih kecil.

Membedah perut Ibu yang sudah meninggal tentu itu kerusakan. Namun membiarkan sang bayi meninggal dalam perut ibu, tentu itu kerusakan lebih besar. Sehingga, selama keselamatan bayi didasari informasi yang meyakinkan; yang saat ini alhamdulillah bisa diupayakan melalui ilmu kedokteran modern, maka boleh membedah perut sang Ibu demi keselamatan hidup si bayi.

Kedua, yakin bahwa janin telah meninggal dalam kandungan.

Maka boleh menguburkan janin bersama ibunya. Tidak perlu melakukan upaya pengeluaran bayi dari kandungan/sesar. Karena membedah perut ibu yang sudah meninggal, adalah tamtsil yang diharamkan oleh syariat, kecuali untuk alasan masalahat yakin yang bisa diupayakan.

Sebagaimana diterangkan oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di (penulis kitab Tafsir Taisir Kariim Ar-Rahman)

والأصل تحريم التمثيل بالميت، إلا إذا عارض ذلك مصلحة قوية متحققة

Pada dasarnya, haram melakukan tamtsil pada mayit, kecuali untuk tujuan manfaat yang kuat dan pasti. (Al-Fatawa As-Sa’diyah, hal. 189)

Saat bayi telah meninggal di dalam kandungan, maka tidak ada celah manfaat yakin yang harus kita perjuangkan. Sehingga tamtsil dalam kondisi ini, tetap pada hukum asalnya yaitu haram. Tidak perlu mengeluarkan bayi dari kandungan. Cukup dimakamkan bersama Ibundanya.

Melihat pertanyaan yang disampaikan, tampak bahwa kondisi yang dialami adalah kondisi yang kedua ini. Sehingga tidak mengapa janin dimakamkan bersama ibunya. Adapun sholat, kafan, pemandian jenazah, maka cukup terwakili oleh Ibunya.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah memfatwakan,

تدفن إذا ماتت وهي حبلى، تدفن بحملها، وليس هناك حاجة إلى عملية لإخراج الجنين، ولأنه في الغالب إذا ماتت مات معها أيضاً، ولو قدر أنه بقي شيء يسير

Ibu hamil yang meninggal, dikuburkan bersama janin dalam perutnya. Tidak perlu dilakukan operasi sesar. Karena biasanya jika ibunya meninggal, maka janin dalam kandungannya juga ikut meninggal. Walaupun bisa di keluarkan, itu biasanya hanya bertahan hidup sebentar. (https://binbaz.org.sa)

Penjelasan Syekh Abdulaziz bin Baz di atas bisa kita pahami : tidak mengapa menguburkan janin dalam kandungan bersama ibunya. Beliau beralasan tidak perlu dilakukan operasi sesar, apapun kondisi janin, karena berdasarkan kebiasaan janin dalam kandungan akan meninggal bersama ibunya. Namun dengan kemajuan teknologi kedokteran modern saat ini, kondisi bayi dalam kandungan ibunya yang meninggal, bisa diperkirakan kemungkinan bisa diselamatkan atau tidaknya. Sehingga jika upaya ini mungkin kita lakukan, maka wajib ditempuh, berdasarkan kaidah fikih yang dijelaskan di atas. Jika tidak, maka tidak mengapa insyaAllah. Allah berfirman,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286)

Wallahua’lam bis showab

***

Ditulis oleh Ustadz Ahmad Anshori
(

Read more https://konsultasisyariah.com/35341-mengubur-janin-dalam-kandungan-bersama-ibunya.html

Hukum Shalat Tahiyyatul Masjid

Dari Abu Qatadah As Sulami radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka shalatlah dua rakaat sebelum duduk”

Dalam riwayat lain:

إذا دخَلَ أحدُكم المسجدَ، فلا يجلسْ حتى يركعَ ركعتينِ

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka jangalah duduk hingga ia shalat dua rakaat” (HR. Bukhari no. 444, Muslim no. 714).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ ، فَجَلَسَ ، فَقَالَ لَهُ : ( يَا سُلَيْكُ ، قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا)، ثم قال: (إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

“Sulaik Al Ghathafani datang di hari Jum’at ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sudah berkhutbah. Sulaik pun duduk. Maka Nabi bersabda: wahai Sulaik, berdirilah kemudian shalat dua rakaat dan percepatlah shalatnya”. Kemudian setelah itu Nabi bersabda: “Jika kalian mendatangi masjid di hari Jum’at ketika imam sudah berkhutbah, maka shalatlah dua raka’at dan percepatlah shalatnya” (HR. Muslim no. 875).

Dari hadits-hadits di atas, sebagian ulama mengatakan shalat tahiyyatul masjid hukumnya wajib. Karena hadits-hadits di atas menggunakan bentuk perintah dan larangan duduk sebelum shalat dua rakaat.

Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Muqbil bin Hadi, Syaikh Muhammad Ali Farkus, dan ulama lainnya.

Namun jumhur ulama berpendapat bahwa shalat tahiyyatul masjid hukumnya sunnah muakkadah. Berdasarkan beberapa dalil diantaranya hadits Dhimam bin Tsa’labah radhiallahu’anhu, tentang seorang badui yang bertanya kepada Nabi:

فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ»، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟» قَالَ: «لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ»

“Dia bertanya kepada Nabi tentang Islam. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: shalat 5 waktu sehari-semalam. Orang tadi bertanya lagi: apakah ada lagi shalat yang wajib bagiku? Nabi menjawab: tidak ada, kecuali engkau ingin shalat sunnah” (HR. Bukhari no. 47, Muslim no. 11).

Hadits ini menafikan adanya shalat yang hukumnya wajib selain shalat 5 waktu. Maka shalat tahiyyatul masjid tidak sampai wajib hukumnya. Dan beberapa dalil lainnya yang menyimpangkan dari hukum wajib.

Ini adalah pendapat ulama 4 madzhab dan juga dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Shalih Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah. Bahkan ternukil ijma dari beberapa ulama. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:

وَاتَّفَقَ أَئِمَّة الْفَتْوَى عَلَى أَنَّ الْأَمْر فِي ذَلِكَ لِلنَّدْبِ, وَنَقَلَ اِبْن بَطَّالٍ عَنْ أَهْل الظَّاهِر الْوُجُوب, وَاَلَّذِي صَرَّحَ بِهِ اِبْن حَزْم عَدَمه

“Para imam fatwa telah bersepakat bahwa perintah dalam hadits-hadits ini maksudnya penganjuran. Ibnu Bathal menukil pendapat dari madzhab Zhahiri bahwa mereka berpendapat hukumnya wajib, yang secara lugas menyatakan demikian adalah Ibnu Hazm” (Fathul Baari, 1/538-539).

Ini pendapat yang lebih rajih, shalat tahiyyatul masjid hukumnya sunnah muakkadah, wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50474-hukum-shalat-tahiyyatul-masjid.html

Doa Saat Imam Duduk Antara Dua Khutbah dan Shalawat pada Hari Jumat

Bagaimana dengan doa saat imam duduk antara dua khutbah Jumat, adakah tuntunannya? Apa juga ada anjuran shalawat pada hari Jumat? Kita simak yuk bahasan Riyadhus Sholihin berikut ini.

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail

  1. Bab Keutamaan Hari Jumat, Kewajiban Shalat Jumat, Mandi untuk Shalat Jumat, Mengenakan Wewangian, Datang Lebih Dulu untuk Shalat Jumat, Berdoa pada Hari Jumat, Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penjelasan tentang Waktu Dikabulkannya Doa (pada Hari Jumat), dan Sunnahnya Memperbanyak Dzikir kepada Allah Setelah Shalat Jumat

Hadits #1157

وَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، فِي شَأْنِ سَاعَةِ الجُمُعَةِ ؟ قَالَ : قُلْتُ : نَعَمْ ، سَمِعْتُهُ يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاةُ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Apakah engkau mendengar ayahmu menceritakan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘aalaihi wa sallam tentang satu waktu di hari Jumat?” Ia menjawab, “Ya, aku mendengar ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Waktu tersebut adalah antara imam duduk sampai selesainya shalat.’” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 853]

Faedah Hadits

Hadits ini jadi dalil tentang salah satu waktu hari Jumat terkabulnya doa.

Namun hadits ini dikritik bila marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika marfu’, hadits ini dhaif. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (2:421-422) menilai hadits ini dhaif dari tiga sisi: (1) inqitha’ (terputus), (2) idhtirab, (3) mauquf.

Hadits #1158

وَعَنْ أَوْسٍ بْنِ أَوْسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ ، فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيهِ ؛ فَإنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .

Aus bin Aus radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jumat. Maka, perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku.” (HR. Abu Daud dengan sanad sahih) [HR. Abu Daud, no. 1047, 1531, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud]

Faedah Hadits

  1. Hari Jumat adalah penghulunya hari dan hari yang paling utama. Para ulama katakan bahwa hari Jumat bahkan lebih utama dari Iduladha dan Idulfitri sebagaimana keterangan dari hadits Abu Lubabah bin ‘Abdul Mundzir.
  2. Dianjurkan memperbanyak shalawat pada hari Jumat.
  3. Para nabi itu hidup di kuburnya.
  4. Shalawat pada nabi akan disampaikan pada nabi di kuburnya sebagai bentuk pemuliaan dari Allah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai bentuk pemuliaan dari Allah pada hamba-Nya yang mau memperhatikan wasiat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21179-doa-saat-imam-duduk-antara-dua-khutbah-dan-shalawat-pada-hari-jumat.html

Kumpulan Amalan Ringan #31: Membaca Surah Al-Ikhlas (Sepertiga Al-Qur’an)

Apa yang dimaksud membaca surah Al-Ikhlas sama dengan sepertiga Al-Quran? Apakah membacanya tiga kali berarti khatam Al-Quran?

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) يُرَدِّدُهَا ، فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ»

Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa seorang laki-laki mendengar seseorang membaca dengan berulang-ulang ’Qul huwallahu ahad’. Tatkala pagi hari, orang yang mendengar tadi mendatangi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut dengan nada seakan-akan merendahkan surah al Ikhlas. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surah ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 6643) [Ada yang mengatakan bahwa yang mendengar tadi adalah Abu Sa’id Al-Khudri, sedangkan membaca surah tersebut adalah saudaranya Qatadah bin Nu’man].

عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِى لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ ». قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ « (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) يَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ».

Dari Abu Darda’ dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Apakah seorang di antara kalian tidak mampu untuk membaca sepertiga Al-Qur’an dalam semalam?” Mereka mengatakan, “Bagaimana kami bisa membaca seperti Al-Qur’an?” Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Qul huwallahu ahad itu sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 1922)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, dalam riwayat yang lainnya dikatakan, “Sesungguhnya Allah membagi Al-Qur’an menjadi tiga bagian. Lalu Allah menjadikan surah Qul huwallahu ahad (surah Al-Ikhlash) menjadi satu bagian dari 3 bagian tadi.” Lalu Al-Qadhi mengatakan bahwa Al-Maziri berkata, “Dikatakan bahwa maknanya adalah Al-Qur’an itu ada tiga bagian yaitu membicarakan (1) kisah-kisah, (2) hukum, dan (3) sifat-sifat Allah. Sedangkan surah Qul huwallahu ahad (surah Al-Ikhlash) ini berisi pembahasan mengenai sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, surah ini disebut sepertiga Al-Qur’an dari bagian yang ada. (Syarh Shahih Muslim, 6:94)

Nantikan kumpulan amalan ringan berikutnya berserial, dan insya Allah akan menjadi sebuah buku.

Bahasan ini dikembangkan dari kitab “Al-Ajru Al-Kabir ‘ala Al-‘Amal Al-Yasir” karya Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, Cetakan pertama, Tahun 1415 H, Penerbit Dar Ibnu Hazm.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21145-kumpulan-amalan-ringan-31-membaca-surah-al-ikhlas-sepertiga-al-quran.html