Iman Inti Sebuah Ilmu

Ulama merupakan seseorang yang patut menjadi rujukan bagi mereka yang tidak mempunyai keilmuan yang tinggi. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ulama merupakan pewaris nabi.Mereka menjadi jembatan pesan- pesan Allah dan nabi kepada masyarakat awam.

Oleh karena itu, mendekatkan diri dengan ulama merupakan anjuran yang sering ditekankan kepada orang awam. Dari para ulama, umat bisa mendapatkan ilmu tentang Alquran dan hadis mengenai apa yang harus dikerjakan dalam kehidupan sehari- hari.

Ustaz Muhammad Nuzul Dzik ri dalam kajian di Masjid Nurul Iman Blok M, Jakarta Selatan, Sabtu (31/3) menjelaskan tentang hakikat ilmu. Menurut Ustaz Muhammad, inti dari ilmu adalah bertambahnya rasa takut kepada Allah.Ia membuka kajian yang mengambil tema Ilmu Itu Rasa Takut dengan ayat Alquran surah al-Muddassir, yaitu Dan pakaianmu bersihkanlah. Makna pakaian dalam ayat tersebut, kata Ustaz Muhammad, adalah jiwa.

Ulama kita mengatakan penting memperhatikan jiwa dan hati, itu adalah wadah untuk ilmu, ujar Ustaz Muhammad.

Kesuksesan seseorang dalam hidup, menurut Ustaz Muhammad, tidak terletak dari kecerdasan, melainkan pada hati mereka.

Mereka yang pandai menata hatinya dengan menjadikan hati penuh keimanan dan tauhid diyakini akan mendatangkan kesuksesan.

Dalam kesempatan tersebut, Ustaz Muhammad juga mengutip surah Fatir ayat 28 yang berbun- yi, Dan demikian (pula) di antara manusia, bintang-bintang melata dan bintang-bintang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.

Ayat tersebut dikutip oleh Ustaz Muhammad karena sangat penting dalam dunia ilmu. Imam Ibnu Rajab bahkan memiliki risalah khusus tentang ayat ini. Ustaz Muhammad mengatakan, para ulama menyatakan bahwa surat tersebut memberikan penjelasan inti dari ilmu adalah rasa takut.

Abdullah bin Abbas, kata dia, mengatakan, barang siapa yang takut kepada Allah menandakan bahwa dia adalah ulama. Pendapat Abdullah bin Abbas tersebut juga disampaikan oleh Imam asy- Sya’bi.

Kealiman Imam asy-Sya’bi, kata Ustaz Muhammad, ia tunjukkan lewat sikap kerendahhatiannya. Pernah dalam suatu waktu terdapat seseorang yang memin ta fatwa kepada dirinya.Orang tersebut menyebut Imam asy-Sya’bi dengan sebutan ula ma.

Namun, ia tidak bangga dengan sebutan ulama dari orang yang meminta fatwa tersebut. Ia bahkan menilai dirinya belum pantas menyadang predikat ulama. Ia mengatakan, sesungguh- nya orang yang alim adalah ia yang takut kepada Allah.

Sebagian ahli ilmu mengatakan Imam Sya’bi memberikan pesan bahwa saya masih jauh dari kriteria ulama, kata Ustaz Muhammad menjelaskan kerendahanhatian Imam asy-Sya’bi.

Padahal Imam asy-Sya’bi, kata dia, merupakan satu dari tiga ulama yang alim. Dua di antaranya adalah Abdullah bin Abbas dan Sufyan ats-Tsauri.Kendati masuk ke dalam tiga jajaran ulama penting, Imam Sya’bi tetap merasa takut mengeluarkan sebuah fatwa.

Imam asy-Sya’bi merasa takut jika fatwanya mencelakakan orang lain. Sebab, fatwa harus didasari dengan ilmu. Contoh kerendahhatian Imam asy-Sya’bi tersebut diminta oleh Ustaz Muhammad agar ditiru oleh umat Muslim.

Ustaz Muhammad menying- gung mudahnya fatwa yang dikeluarkan oleh seseorang, tapi tidak didasari oleh kekuatan ilmu yang mendalam. Akibatnya, banyak fatwa yang tidak membawa kemaslahatan kepada masyarakat.

Semakin kita berilmu semakin takut kepada Allah, kata Ustaz Muhammad menegaskan.

Ustaz Muhammad mengajak Muslim agar membangun perasaan takut kepada Allah di dalam jiwa. Perasaan tersebut, menurut Ustaz Muhammad, yang membuat para sahabat menjadi orang- orang yang hebat.

Selain itu, Ustaz Muhammad juga mengajak agar meningkatkan keikhlasan kepada Allah.Sebagaimana telah banyak dicontohkan oleh para ulama. Dia mengatakan, salah satu ciri orang ikhlas adalah ia merasa khawatir jika perbuatannya tidak dilakukan dengan keikhlasan.

 

REPUBLIKA ONLINE

Humor yang tak Berlebihan

Syekh Muhammad Al Farabi dalam kajian “Ber canda Masa Gitu” di Masjid Agung Al Azhar, Ke bayoran Baru, Jakarta Selatan, belum lama ini, menjelaskan bagaimana Islam memberikan pedoman dalam bercanda.

Ia menyinggung fenomena bercanda akhir-akhir yang berlebihan yang tidak dianjurkan dalam Islam. Karena itu, ia mengingatkan supaya menghindari hal yang berlebihan. “Dulu zaman Nabi ada bercanda. Dalam Islam ada istilah ifrath (segala pekerjaan yang berlebihan) dan Tafrith (kurang, lesu dalam ibadah lesu itu tidak baik). Islam datang istilah wasath (tengah-tengah),” kata Al Farabi.

Islam tidak selalu menyajikan hal yang serius, tapi juga tidak selalu bercanda. Itu sebabnya dunia Islam juga terdapat kesenian dan mengakomodasi istilah-istilah kesenian. Al Farabi menegaskan, Islam tidak hanya fokus kepada akidah dan fikih, tapi juga ada hal tertentu yang membuat rileks. Hal tersebut yang dimaksud Al Farabi bahwa Islam meng ajarkan tentang istilah wasath (tengahtengah), yaitu tidak terlalu keras, tapi juga tidak lesu. Dalam istilah Arab, tutur Al Farabi, bercanda dikenal dengan sebutan Muzah. Kendati demikian, ber canda dalam Islam tidak diperbolehkan mengandung unsur mencela.

“Mencela dalam Islam meregangkan sendi-seni kehidupan. Bercanda tidak ada unsur penghinaan. Itulah bercanda yang sesuai dengan Islam,” ujar dia. Fenomena komika yang tersandung masalah akhir-akhir ini, kata Al Farabi, harus menjadi pelajaran bagi mereka untuk kedepannya agar lebih baik. Ber canda dalam Islam bisa menjadi rujukan dalam menyampaikan materi lawakannya. Menurut Al Farabi, Islam mena warkan dua syarat bagi mereka yang berprofesi komika atau siapa pun yang sering bercanda.

Dua syarat tersebut, yaitu mereka harus menyampaikan materi yang tidak mengandung unsur kebohongan. Ke mudian mereka juga wajib menghindari materi yang merendahkan, memarginalkan atau menghina Islam. “Jadi, harus ada dua syarat yang dikawal itu agar tak kebablasan,” ujar Al Farabi.

Rasulullah SAW dalam hadis Ibnu Umar mengatakan bahwa dirinya me nyukai humor. Namun, apa yang disampaikan tidak mengandung unsur kebohongan. Rasulullah juga bersabda bahwa mereka yang membuta materi candaannya dengan unsur kebohongan adalah orang-orang celaka. Allah juga sudah mengultimatum agar mereka membuat lawakan yang mencerdaskan. Dalam kesempatan itu, Al Farabi menyebutkan beberapa kisah tentang candaan Ra sulullah.

Salah satu contohnya, yakni seorang nenek yang mendatangi Rasulullah. Nenek tersebut meminta kepada Ra sulullah agar mendoakan dirinya masuk surga. Rasulullah menjawab permintaan nenek tersebut. “Oma, sesungguhnya surga tidak akan dimasuki oleh neneknenek,”. Nenek tersabut lalu menangis dan pergi setelah mendengar jawaban dari Rasulullah.

Rasulullah kemudian mengejar nenek tersebut dan menjelaskan jawabannya. Rasulullah menjelaskan bahwa semua penghuni surga akan berusia muda. Menurut Al Farabi, jawaban Ra sulullah tersebut merupakan candaan, tapi tidak ada unsur kebohongannya. Al Farabi meminta kepada umat Islam agar meningkatkan kemampuan bahasa Arab. Pasalnya, mereka yang memahami bahasa Arab akan banyak menemukan humor-humor dalam Islam serta merasakan sensasinya.

Dia juga mengingatkan agar memperhatikan rambu-rambu saat menik mati humor. Ia mengatakan Rasulullah selalu tersenyum (tabassum) ketika me nikmati materi-materi humor. Terse nyum sendiri mengandung makna menyejukkan.

Al Farabi mengingatkan agar kaum Muslimin untuk tidak terlalu banyak tertawa (dhahik). Sebab Al Farabi menilai terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati. Umat Islam juga dianjurkan agar menghindari qahqahah (terbahak-bahak) karena hal tersebut datang dari setan.

Keistimewaan Alquran

Alquran adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT ke pada Nabi Mu hammad SAW. Alquran memiliki beragam keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab suci yang lain nya. Alquran adalah kitab yang paling mudah untuk dihafalkan, sebagaimana janji Allah SWT.

Keistimewaan Alquran tak mungkin luput dari orang-orang Muslim untuk terus mengamal kan perintah-perintah yang ter kandung di dalamnya. Kehidupan manusia sejak pertama kali lahir ke dunia hingga kematian menjemput tak akan lepas dari kabar yang sudah termaktub dalam Alquran.

“Alquran sudah jauh-jauh ha ri menceritakan kehidupan ma nu sia sejak masih di dalam kandungan hingga malaikat penca but nyawa datang menyapa. Al quran juga sudah mengabarkan kelompok manusia mana yang akan masuk surga dan mana yang masuk neraka,” kata Ustaz Adi Hidayat saat mengisi kajian bu lanan bertema “Hari Alquran” di Masjid Istiqlal, Jakarta, belum lama ini.

Alquran dari surah al-Fatihah hingga surah an-Naas, saat diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah bacaan biasa. Allah SWT ingin manusia mengambil hidayah dari setiap kandungan di dalam Al quran. Alquran dari surat perta ma hingga terakhir adalah pedo man hidup manusia.

Tempat di mana Alquran diturunkan adalah bukti Alquran me rupakan pedoman bagi umat ma nusia. Hal itu terlihat bagaimana Alquran diturunkan di tengah kelompok/kaum yang tertinggal, kaum yang bodoh, kemudian Alquran meninggikan derajatnya.

“Alquran turun di tengah kaum yang bodoh, kaum yang sangat tinggi tingkat kriminalitasnya. Kemudian Allah SWT turunkan Alquran di tengah kaum tersebut. Alquran turun mengubah peradaban manusia pada saat itu. Bagaimana Persia ditaklukkan, Romawi dikalahkan, Islam maju menyebar hingga datang ke nu santara,” katanya.

Ternyata kuncinya sebagai mana diajarkan oleh Ra su lullah SAW adalah membaca Alquran, memahami, dan kemudian meng atualisasikan perintah yang ter kandung di dalamnya dari surah al-Fatihah hingga surah an-Naas.

Alquran sudah mengabarkan ke pada manusia untuk merawat kan dungan. Alquran mengabar kan kepada manusia cara menyu sui yang baik dan berbagi tugas antara suami-istri. Alquran me nga barkan kepada manusia cara mendidikan keturunannya agar dekat dengan Allah SWT, patuh terhadap orang tua, dan tidak pernah lewat shalat lima waktu.

Alquran mengabarkan kepada manusia cara bergaul dengan ma nu sia yang lainnya. Jangan sam pai pergaulan itu mengeluarkannya dari takwa kepada Allah SWT. Alquran mengabarkan ke pada manusia untuk berpasangpasangan dengan cara menikah. Alquran juga mengabarkan ma nu sia cara mencari rezeki yang baik dan halal.

Alquran juga mengabarkan perihal kehidupan di akhirat. Di hadapan ribuan jamaah yang hadir, Ustaz Adi Hidayat meng ungkapkan bahwa kelompok an biya (para nabi), orang-orang syu hada, dan orang-orang ber iman akan menempati tingkatan surga yang paling tinggi.

“Anda ikuti amalan nabi, An da akan bersama nabi di surga, ting galnya di taman surga, Anda bisa melihat Allah SWT tanpa hijab. Surga itu luasnya seluas bumi dan langit. Adapula surga kelas paling bawah. Yang perlu kita khawatirkan adalah ada orang-orang yang masuk surga tanpa hisab, ada orang-orang yang masuk neraka tanpa hisab,” katanya.

Dengan penuh semangat, Us taz Adi menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki sedi kit amat kebajikan dan lebih be rat amal buruknya, ia akan ma suk neraka, bahkan bisa masuk ne raka tanpa hisab. Neraka pa ling tinggi dikhususkan untuk orang-orang munafik dan orangorang kafir. “Ingat baik-baik, orang-orang munafik yang mengingkari ayat-ayat Allah dan suka mengolok-olok orang lain yang ingin berubah menjadi baik, di sebut munafik oleh Alquran, dan balasannya adalah neraka Jaha nam bersama orang-orang kafir,” katanya.

Sementara neraka yang paling ringan diperuntukan mereka yang malas beribadah, mencerca orang muda, suka mengejek orang muda yang gemar ibadah, tetapi dirinya sendiri tidak ada ibadah kecuali sedikit saja. “Orang-orang seperti ini akan me nempati neraka paling ri ngan,” katanya.

Mengutip ayat Alquran, Ustaz Adi menjelaskan, neraka paling ringan itu adalah apabila seseorang dicelupkan ke dalamnya, akan meleleh kulit hingga ubunubunnya. Disebutkan kulit, kare na kulit adalah bagian perasa pa ling peka. “Orang ini akan dimasukkan ke dalam api neraka, ke mu dian diangkat, kemudian di masukkan lagi, begitu seterusnya. Satu hari di akhirat sama dengan 1.000 tahun di dunia,” katanya mengingatkan.

Selain surga dan neraka, kata Ustaz Adi, ada pula kelompok orang yang tidak ingin melihat orang-orang di neraka. Mereka sangat gembira melihat orangorang di surga. Kelompok ini ber ada di tempat yang paling tinggi, atau dikenal “Al-‘Araf”, sebagaimana salah satu nama surat di dalam Alquran.

Di akhir ceramahnya, Ustaz Adi mengajak umat Islam membumikan Alquran. Sebab Al quran akan menjadi pendamping manusia kelak di akhirat. Bah kan, banyaknya hafalan seseorang akan menjadi tabungan un tuk meningkatkan derajatnya di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.

Mudahkanlah Setiap Urusan, jangan Mempersulit

BERPRASANGKA baik lebih utama, daripada menghardik kemudian pergilah dia. Yang kawan kita perlukan adalah bimbingan dan hangatnya kebaikan, bukan bentakan serta dinginnya tindakan. Barangkali ketidaktahuan lah dia miliki sementara ini, sehingga pengetahuan lah yang harus kita beri.

Maka mudahkanlah untuk kawan. Dan jangan berikan kesulitan. Karena Islam mengajarkan kita arti keramahan, bukan kemarahan. Jangan anggap remeh sekecil apapun kebaikan.

Walaupun hanya sekedar memberi kemudahan, namun bisa jadi memberi perubahan. Yang awalnya sungkan, menjadi berkenan. Yang tadinya ogah-ogahan, menjadi semangat berkebaikan.

Telah menceritakan kepadaku Ishaq telah menceritakan kepada kami An Nadlr telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Sa’id bin Abu Burdah dari Ayahnya dari Kakeknya] dia berkata:

“Ketika beliau mengutusnya bersama Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda kepada keduanya: “Mudahkanlah setiap urusan dan janganlah kamu mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan kamu membuatnya lari, dan bersatu padulah! Lantas Abu Musa berkata;

“Wahai Rasulullah, di daerah kami sering dibuat minuman dari rendaman madu yang biasa di sebut dengan Al Bit’u dan minuman dari rendaman gandum yang biasa di seut Al Mizru. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Setiap yang memabukkan adalah haram.” (HR. Bukhari No.5659)

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri, Al Laits berkata; telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Abu Hurairah telah mengabarkan kepadanya:

Seorang Arab badui kencing di Masjid, maka orang-orang pun segera menuju kepadanya dan menghardiknya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka: “Biarkanlah dia, dan guyurlah air kencingnya dengan seember air, hanyasanya kalian diutus untuk memudahkan bukan untuk mempersulit.” . (HR. Bukhari No.5663). [inspirasi-islami]

 

INILAH MOZAIK

Dua Wakil Indonesia Raih Juara MTQ Internasional di Mesir

Dua wakil Indonesia Lauhin Mahfuz  dan Farhan Tsani sukses menorehkan prestasi menjadi juara II MTQ cabang Syarhil Quran di ajang Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Internasional di Mesir.

Dalam babak final yang diselenggarakan, Rabu (04/04/2018) lalu, Lauhin Mahfuz yang mewakili Indonesia bersama Farhan Tsani, meraih juara II dari empat negara yang lolos ke babak final.

“Juara I diraih utusan Filipina, Juara II Indonesia, Juara III Malaysia dan Juara IV Nigeria,” tulis Lauhin Mahfudz pada laman Facebooknya yang dikutip laman Kemenag.

Atas prestasi ini, keduanya berhak atas hadiah umrah dan uang sebesar 5.500 pound.

“Alhamdulillah, sebelumnya kami sebagai perwakilan Indonesia dalam MTQ Cabang Syarhil Quran berhak melangkah ke babak final dengan 3 negara lainnya yaitu : Malaysia, Filipina, dan Nigeria pada tanggal 4 April 2018,” ujar Lauhin sebelum melaju ke final, menuliskan rasa syukurnya atas prestasi yang telah diraih.

Ada 20 negara yang ikut ambil bagian di Cabang Syarhil Quran MTQ tingkat internasional ini. Sebelum masuk final, duet Lauhin Mahfudz dan Ahmad Farhan Tsani sebelumnya juga sukses meraih peringkat kedua babak semifinal sebagai tiket bagi Indonesia menuju final.

Kedua pemuda asal Indonesia ini merupakan alumni Pesantren Raudhatul Hasanah Medan, Sumatera Utara. Lauhin Mahfudz berasal dari Takengon, Kabupaten Aceh Tengah dan Ahmad Farhan Tsani berasal dari Kota Medan, Sumatera Utara.

Mereka kini sedang menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo. Lauhin Mahfudz sendiri juga sempat menimba ilmu agama di UIN Ar Raniry Banda Aceh pada jurusan Tafsir Al Quran dan Hadist sebelum dia diterima menjadi mahasiswa Al Azhar Mesir sejak tahun 2016.*

 

HIDAYATULAH

Ingat, Hartamu akan Dihisab!

RASULULLAH shallallahu alaihi wa sallam juga mengingatkan bahwa harta akan dihisab. Tidak hanya dihisab untuk bagaimana cara mendapatkannya, tapi juga dihisab terkait bagaimana cara menggunakannya.

Anda bisa menjamin harta yang anda dapatkan halal. Tapi itu belum cukup. Ada tugas yang kedua, yaitu bagaimana menggunakan harta itu untuk sesuatu yang benar. Dalam hadis dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Kaki seorang hamba di hari kiamat tidak akan bergeser sampai dia ditanya tentang (beberapa hal, diantaranya) tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia gunakan” (HR. Turmudzi 2602, ad-Darimi 546 dan statusnya hasan)

Selain itu, terdapat larangan israf dan tabdzir. Allah menyebut pelaku tabdzir sebagai temannya setan. Dan Allah tidak mencintai orang yang suka israf (boros). Allah berfirman, “Janganlah melakukan tindakan tabdzir, sesungguhnya para mubadzir itu temannya setan.” (QS. al-Isra: 26-27).

Allah juga berfirman, “Janganlah bersikap boros, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang boros.” (QS. al-Anam: 141).

Apa beda israf (boros) dengan tabdzir? Kesimpulan Ibnu Abidin, “Al-Israf: menggunakan harta untuk sesuatu yang benar, namun melebihi batas yang dibenarkan. Sedangkan tabdzir: menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak benar.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 6/759).

Anda makan dengan hidangan berlebihan, itu israf. Sementara ketika anda menggunakan harta untuk maksiat, itu tabdzir.

 

INILAH MOZAIK

Mengapa Harta disebut Al-Khoir (baik) dalam Quran?

ISLAM sangat menghargai apapun yang bermanfaat bagi manusia, termasuk diantaranya harta. Diantara buktinya bisa kita lihat dalam kajian seputar dharuriyat al-khams (5 hal yang mendesak), yang menjadi maqasid as-Syariah (tujuan dasar syariah). Diantara 5 hal itu adalah hifdzul mal (menjaga harta). Karena itu, harta dalam islam tidak boleh disia-siakan.

Hanya saja perlu kita pahami, anjuran menghargai harta tidak sama dengan motivasi mengejar harta dan dunia. Bisa saja seseorang mengejar harta, namun di saat yang sama dia menggunakan harta itu untuk pemborosan yang sia-sia. Dan bahkan, kebanyakan mereka yang rakus dunia, hartanya dihamburkan untuk kehidupan glamor yang sia-sia.

Selanjutnya kita akan melihat bagaimana semangat islam dalam menghargai harta,

[1] Harta disebut al-khoir. Al-Khoir secara bahasa artinya kebaikan. Dan ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menyebut harta dengan eutan al-Khoir.. diantaranya firman Allah, “Manusia itu terhadap harta sangat rakus.” (QS. al-Adiyat: 8).

Juga firman Allah, “Diwajibkan kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan khoir (harta yang banyak), agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf.” (QS. al-Baqarah: 180)

Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Al-khoir di sini maknanya adalah harta, tidak ada perbedaan penndapat diantara ulama dalam tafsir ini.” (at-Tamhid, 14/295). Kemudian Ibnu Abdil Bar menyebutkan 4 ayat lainnya dalam al-Quran yang menyebut harta dengan al-khoir: 2 ayat di atas, lalu QS. Shad: 32, dan QS. an-Nur: 33.

Mengapa disebut al-Khoir? Khoir artinya baik. Lawannya Syarr, yang artinya keburukan. Sehingga jangan sampai, karena salah dalam menggunakan, al-khoir berubah menjadi as-Syarr.

Menurut al-Hakim at-Turmudzi dalam Nawadir al-Ushul, “Harta pada asalnya merupakan pendukung bagi para hamba untuk urusan agama mereka. Dengan harta mereka bisa shalat, puasa, zakat, atau sedekah. fisik tidak bisa tegak kecuali dengan harta. Amal anggota badan hanya bisa terlaksana dengan harta karena itu, harta dengan semua karakter yangkita sebutkan, layak untuk disebut al-khoir, karena banyak kebaikan bisa terlaksana dengan harta.” (Nawadir al-Ushul, 4/91).

 

INILAH MOZAIK

Gaji Para Cendekiawan

George A Makdisi dalam bukunya, Cita Humanisme Islam, menjelaskan, seorang penulis pernah mengungkapkan perjalanan karier seorang perdana menteri pada abad ke-10, bernama Abu Ja’far ibn Shirzd. Pada permulaan kariernya, ia ditawari gaji sebesar 10 dinar per bulan.

Tawaran ini diberikan ayahnya yang saat itu menjadi seorang kepala kantor. Namun, Abu Ja’far menolaknya, lalu ia melamar di Departemen Kekayaan Negara (Dhiwan al-Dhiya). Ia diterima di tempat tersebut sebagai pegawai magang bidang akuntansi dengan gaji 20 dinar per bulan.

Ada seorang ahli bahasa, Hisyam ibn Mu’awiyah, meninggal pada 824 Masehi, mendapatkan gaji bulanan sebesar 10 dinar per bulan. Ini merupakan imbalan sebagai pengajar seorang anak dari seorang pejabat pemerintah.

Sedangkan, Ibn al-A’rabi yang merupakan murid al-Kisai mendapatkan gaji per bulan sebesar 1.000 dirham atau 65 dinar. Bahkan, terungkap bahwa Pangeran Dinasti Tahiriyah, Muhammad ibn Abdullah, membayar Tsalab, seorang guru di lingkungan istana, sebesar 1.000 dirham per bulan.

Kekayaan Tsalab berlimpah. Sebab, saat ia meninggal dunia, harta kekayaannya mencapai 12 ribu dinar. Di antara kekayaan tersebut berupa 3.000 unit toko. Apalagi, Tsalab juga memiliki seorang murid yang memiliki harta warisan berlimpah.

Selain Tsalab, muncul nama Al-Zajjaj. Ia dikenal sebagai guru privat yang kaya. Sebab, selain mendapatkan gaji sebagai pengajar privat, ia juga mendapatkan gaji dari jabatan lainnya sebagai penasihat hukum dan ulama.

Tak heran, jika Al-Zajjaj mendapatkan gaji hingga 300 dinar. Di sisi lain, seorang dokter mendapatkan bayaran tinggi. Misalnya, ada seorang dokter Kristen di masa kekuasaan Islam, Ibn Tilmidz, memiliki pendapatan tahunan yang jumlahnya lebih dari 20 ribu dinar.

Ada pula kisah tentang Muhadzdzab al-Din Ibn al-Naqqasy. Ia merupakan seorang dokter dari Baghdad, Irak, pada abad ke-11. Ia pernah pergi ke Kota Damaskus untuk mencari pekerjaan. Sayangnya, ia belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang diharapkannya.

Al-Naqqasy kemudian memutuskan untuk bergegas ke Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Ia menemui seorang dokter kepala di istana dan mengutarakan maksudnya. Gayung pun bersambut, ia mendapatkan pekerjaan di sana.

Lalu, al-Naqqasy mendapatkan imbalan tiap bulan sebesar 15 dinar. Ia pun mendapatkan apartemen lengkap dengan perabotannya, seperangkat pakaian mewah, dan seekor keledai terbaik. Di sisi lain, ia pun mendapatkan seorang budak.

Para cendekiawan yang menguasai sejumlah bidang humaniora, juga memiliki penghasilan dari keahliannya itu. Pada masa Khalifah al-Ma’mun, ditetapkan penggajian bagi cendekiawan di bidang humaniora. Di antaranya, imbalan atas penulisan atau penerjemahan sebuah karya.

Penerjemahan sebuah karya dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, yang dilakukan seorang dokter bernama Ibn Hunayn ibn Ishaq, Khalifah al-Ma’mun membayarnya dengan emas yang didasarkan pada bobot dari buku tersebut.

Saat itu, Hunayn menggunakan kertas tebal untuk menuliskan terjemahannya. Sehingga, bobot buku terjemahan itu sangat berat dan ia mendapatkan pembayaran emas sangat banyak. Ia menjadi seorang kaya raya dari imbalan atas jasa penerjemahannya itu.

Tak hanya gaji, ada pula bonus, hadiah, maupun honorarium yang diperoleh para cendekiawan Muslim tersebut. Seorang ahli nahwu, al-Ahmar, memperoleh honorarium yang besar dari bekas muridnya, yang bernama al-Amin.

Al-Ahmar mengatakan pada suatu hari ia duduk sebentar dengan al-Amin. Muridnya yang kaya itu, memberinya sekantong uang berisi 3.000 dirham. Menurut dia, setelah mendapatkan uang itu seketika ia menjadi orang kaya dan memutuskan untuk cuti dalam kurun beberapa saat.

 

REPUBLIKA

Hakikat Bersyukur

Sebuah yang hadis diriwayatkan Hakim dari Jabir bin Abdullah RA menyebutkan, di akhirat nanti ada seorang hamba yang telah beribadah selama 500 tahun.

Ahli ibadah tersebut pun dipersilakan Allah SWT untuk memasuki surga. “Wahai hamba-Ku, masuklah engkau ke dalam surga karena rahmat-Ku,” bunyi Firman Allah dalam hadis qudsi tersebut.

Namun, ada yang menyangkal di dalam hati si ahli ibadah. Mengapa ia masuk surga lantaran rahmat Allah? Bukankah ia telah beribadah selama 500 tahun? “Ya Rabbi, mengapa aku tidak dimasukkan ke dalam surga karena amalku?” tanyanya.

Allah SWT pun memperlihatkan nikmat yang telah diberikan-Nya bagi si ahli ibadah. Nikmat Allah tersebut ditimbang dengan seluruh amal ibadah yang telah ia kerjakan. Ternyata, nikmat penglihatan dari sebelah matanya saja sudah melebihi ibadah 500 tahun si ahli ibadah. Akhirnya, si ahli ibadah pun tunduk di hadapan Allah dan menyadari betapa kecilnya nilai ibadahnya.

Tak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak bersyukur kepada Allah. Sebanyak apa pun ibadah yang dilakukan, tak akan sebanding dengan nikmat dan karunia yang telah diterima dari Allah. Demikianlah hakikat dari ibadah, sebagai ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Rabb-nya. Jadi, menunaikan ibadah bukan hanya sebatas “pelunas utang” dan menunaikan kewajiban saja.

Rasulullah SAW sebagai seorang hamba yang dijamin tidak berdosa (maksum) adalah teladan dalam hal bersyukur. Suatu kali, istri beliau SAW bertanya, mengapa suaminya itu selalu shalat tahajud sepanjang malam. Bahkan, kaki beliau SAW pun sudah bengkak lantaran lamanya berdiri. “Ya Rasulullah, bukankah Allah SWT telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?” ujar Aisyah.

Aisyah mengisyaratkan, buat apalagi susah-susah ibadah, toh Rasulullah SAW sudah dijamin Allah masuk surga. Seluruh kesalahannya, kalaupun ada, sudah diampuni Allah. Dan, ia adalah makhluk yang paling mulia di muka bumi. Lalu, mengapa ia masih merepotkan diri dengan ibadah sepanjang malam?

“Bukankah lebih elok jika aku menjadi hamba yang bersyukur,” jawab Rasulullah (HR Bukhari).

Demikianlah Rasulullah mencontohkan, hakikat dari ibadah bukanlah sebatas “pelunas utang” atau pembersih diri dari dosa. Ibadah adalah luapan rasa syukur kepada Allah.

 

REPUBLIKA

Rezeki Mesti Dicari, Bukan Hanya Duduk Bertawakal

ADA satu hal dalam masalah takdir yang membuat orang sering keliru dalam memahami. Ia adalah masalah yang berkaitan dengan rezeki.

Yang dimaksud dengan rezeki adalah suatu keberuntungan yang diperoleh manusia dalam hidupnya, baik itu berupa nikmat makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, harta, istri, anak, dan berbagai kenikmatan lain yang biasa diharapkan oleh manusia pada umumnya. Itu semua masuk dalam terminologi rezeki.

Rezeki ini ditakdirkan dan dibagikan Allah Ta’ala kepada manusia. Di antara mereka ada yang ditakdirkan lapang dalam rezekinya, ada yang rezekinya ditakdirkan sempit, dan ada pula yang rezekinya ditakdirkan berada di tengah-tengah. Semuanya, yang memberi rezeki adalah Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan,

إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ (٥٨)

“Sesungguhnya Allah, Dia adalah Maha Pemberi Rezeki yang memiliki kekuatan amat kokoh.” (QS: Adz-Dzariyat: 58).

Allah jugalah yang mengatur pembagian rezeki ini kepada seluruh makhluk. Dikatakan dalam firman-Nya;

وَمَا مِن دَآبَّةٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا

“Dan tidak ada seekor binatang melata pun di muka bumi, melainkan Allah yang memberikan rezeki kepadanya.” (QS: Hud: 6).

وَڪَأَيِّن مِّن دَآبَّةٍ۬ لَّا تَحۡمِلُ رِزۡقَهَا ٱللَّهُ يَرۡزُقُهَا وَإِيَّاكُمۡ‌ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

“Dan berapa banyak binatang yang tidak dapat membawa (mencari) rezekinya sendiri. Allahlah yang memberikan rezeki kepadanya juga kepada kalian. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: Al-Ankabut: 60).

 

Mayoritas orang memahami perkataan, “Bahwa rezeki ditakdirkan dan dibagikan oleh Allah Ta’ala,” sebagai tidak adanya faedah dalam berusaha mencari rezeki. Mereka. menganggap bahwa orang yang telah ditakdirkan kaya oleh Allah, maka dia pun akan kaya kendati dia hanya duduk-duduk saja di rumah. Dan orang yang ditakdirkan miskin oleh Allah, maka dia pun akan miskin sekalipun dia orang yang cerdas, rajin bekerja dan ulet berusaha.

Yang benar, sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menakdirkan rezeki berkaitan dengan sebabnya. Karena sebab-sebabnya pasti juga telah ditakdirkan, sebagaimana akibat-akibatnya. Sekiranya Allah menakdirkan si Fulan menggunakan akal dan kecerdasannya, serta sungguh-sungguh bekerja dan berusaha dalam rangka mencari penghidupan, maka Allah pasti akan meluaskan rezeki kepadanya. Adapun orang lain yang senantiasa hidup dalam kemalasan, pasrah dalam ketidakpunyaan, dan lebih memilih hidup dalam kehinaan, maka Allah pun akan menyempitkan rezekinya.

Itulah makanya Allah berfirman;

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولاً۬ فَٱمۡشُواْ فِى مَنَاكِبِہَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦ‌ۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ (١٥)

“Dialah yang menjadikan bumi mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah kalian dari rezeki-Nya.” (QS: Al-Mulk: 15).

Makna ayat di atas bahwa orang yang bersungguh-sungguh dalam bekerja dan berusaha serta menyusuri pelosok bumi demi mencari rezeki di kisi-kisinya, maka dia akan makan dari rezeki Allah. Sedangkan orang yang malas-malasan dan enggan menyisir muka bumi untuk mencari rezeki, maka dia tidak berhak makan dari rezeki Allah.

Yang dimaksud jaminan Allah Ta’ala untuk memberikan rezeki kepada orang-orang yang hidup, termasuk jaminan rezeki-Nya terhadap seluruh binatang melata di muka bumi, adalah bahwa Allah menyediakan sebab-sebab dan sarana-sarana untuk mengais rezeki di bumi, baik di darat ataupun di lautan. Karena ketika Allah menciptakan bumi, Dia “Memberikan berkah di dalamnya dan telah menentukan makanan-makanannya.” (Fushshilat: 10).

Sebelum menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, Allah telah memberikan penghidupan terlebih dahulu untuk mereka di sana. Seperti firman-Nya, “Dan sungguh Kami telah menempatkan kalian di bumi dan membuat penghidupan di dalamnya untuk kalian, (namun) sedikit sekali kalian bersyukur.” (Al-A’raf: 10).

 

Selanjutnya Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, kemudian Kami bentuk kalian (menjadi manusia), lalu Kami berkata kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam’.” (Al-A’raf: 11). Artinya, Al-Qur’an menunjukkan bahwa penghidupan dan rezeki untuk manusia di bumi telah disediakn sebelumnya oleh Allah sebelum Dia menciptakan mereka.

Akan tetapi, sudah menjadi sunnah Allah bahwa rezeki tidak akan dapat diraih kecuali oleh orang yang bekerja dan berusaha. Dan, syariat juga memerintahkan yang seperti ini. Sebab, sunnah-sunnah Allah yang berlaku pada makhluk-Nya serta tata aturan-Nya dalam syariat, mengharuskan manusia agar dia bekerja untuk mencari sendiri rezekinya. Barangsiapa yang cuma duduk-duduk saja tidak mau bekerja, berarti dia menyalahi hukum alam dan hukum syariat secara bersama-sama.

Manakala Umar bin Khathab Radhiyallahu Anhu melihat sekelompok orang duduk-duduk di masjid selepas shalat Jumat, sementara orang-orang sudah pada pulang, dia bertanya kepada mereka, “Siapa kalian?”

Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang bertawakal!” Kata Umar lagi, “Justru kalian adalah orang-orang yang sok bertawakal! Jangan sampai salah seorang dari kalian cuma duduk-duduk saja tidak mau mencari rezeki, lalu berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah rezeki kepadaku,’ padahal dia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak! Sesungguhnya Allah Ta’ala mengaruniakan rezeki kepada mereka yang berusaha dan bekerja. Apa kalian tidak membaca firman Allah, ‘Apabila shalat (Jumat) telah selesai dilaksanakan, maka menyebarlah kalian di muka bumi dan carilah kemurahan (rezeki) dari Allah’.” (Al-Jumu’ah: 10).

Inilah logika sahabat dalam memahami makna rezeki; berusaha, menyebar ke bumi, dan mencari kemurahan Allah. Bukan cuma duduk-duduk dan pasrah saja dengan alasan tawakal, kemudian hanya diam mengandalkan rezeki yang sudah dibagi oleh Allah. Padahal, rezeki tidak akan datang dengan cara seperti ini.**/Dr. Yusuf Al Qaradhawi, dikutip dari bukunya Takdir

 

HIDAYATULLAH