Ini Akibat Umat Islam Jika Meninggalkan Ajaran-Ajaran Alquran

Alquran adalah kitab suci yang mempunyai banyak keistimewaan

Allah SWT menegaskan bahwa Alquran mengandung kebenaran namun kebanyakan orang tidak beriman kepada Alquran. 

Tasir Surat Ar Rad Ayat 1 menerangkan akibat yang akan terjadi jika umat Islam meninggalkan Alquran, mereka menjadi umat yang terbelakang, bodoh dan miskin. 

الۤمّۤرٰۗ تِلْكَ اٰيٰتُ الْكِتٰبِۗ وَالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ الْحَقُّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُوْنَ

“Alif Lam Mim Ra. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Alquran). Dan (Kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” ( QS Ar Rad 1) 

Ayat ini dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama mengandung arti bahwa Alquran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alquran tidak mengandung hal-hal yang bisa meragukan orang terhadap kebenarannya. 

Kebenaran Alquran meliputi seluruh aspek yang terkandung di dalamnya seperti hukum, syariat yang bersifat shalih fi kulli zaman wa makan (syariat yang cocok untuk sepanjang zaman dan di semua tempat), bermacam-macam perumpamaan, kisah, dan petunjuknya yang harus diikuti oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Kebenaran Alquran telah terbukti pada masa-masa awal Islam. Dengan berpegang teguh pada Alquran, umat Islam mampu membangun bangsa yang berbudaya tinggi dan berakhlak mulia. 

Alquran memotivasi manusia untuk bangkit berjuang menegakkan kebenaran, menghancurkan kemungkaran, menegakkan keadilan, dan melenyapkan kezaliman. Dengan menjalankan petunjuk Alquran umat Islam mampu menjadi bangsa yang berwibawa. 

Tapi ketika Alquran ditinggalkan, umat Islam lebih memilih keduniaan daripada akhirat yang kekal. Akibat ketidakyakinan umat Islam terhadap janji-janji Allah yang termaktub dalam Alquran, umat Islam berubah menjadi bangsa yang terbelakang, terbelit kemiskinan dan kebodohan. 

Jika umat Islam saat ini tidak menyadari kekeliruannya dan tidak berusaha memperbaikinya, dengan cara kembali menjalankan pesan-pesan Alquran, maka umat Islam akan tetap terpuruk dalam kebodohannya. 

Allah  SWT tidak akan mengubah nasib mereka jika mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri. Firman Allah SWT:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar Rad ayat 11) 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jika Umat Islam Meninggalkan Alquran

Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 1 menerangkan akibat yang akan terjadi jika umat Islam meninggalkan Alquran, mereka menjadi umat yang terbelakang, bodoh dan miskin.

الۤمّۤرٰۗ تِلْكَ اٰيٰتُ الْكِتٰبِۗ وَالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ الْحَقُّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Alif Lam Mim Ra. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Alquran). Dan (Kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu itu adalah benar; tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya). (Ar-Ra’d: 1)

Ayat ini dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama mengandung arti bahwa Alquran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alquran tidak mengandung hal-hal yang bisa meragukan orang terhadap kebenarannya.

Kebenaran Alquran meliputi seluruh aspek yang terkandung di dalamnya seperti hukum, syariat yang bersifat shalih fi kulli zaman wa makan (syariat yang cocok untuk sepanjang zaman dan di semua tempat), bermacam-macam perumpamaan, kisah, dan petunjuknya yang harus diikuti oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kebenaran Alquran telah terbukti pada masa-masa awal Islam. Dengan berpegang teguh pada Alquran, umat Islam mampu membangun bangsa yang berbudaya tinggi dan berakhlak mulia.

Alquran memotivasi manusia untuk bangkit berjuang menegakkan kebenaran, menghancurkan kemungkaran, menegakkan keadilan, dan melenyapkan kezaliman. Dengan menjalankan petunjuk Alquran umat Islam mampu menjadi bangsa yang berwibawa.

Tapi ketika Alquran ditinggalkan, umat Islam lebih memilih keduniaan daripada akhirat yang kekal. Akibat ketidakyakinan umat Islam terhadap janji-janji Allah yang termaktub dalam Alquran, umat Islam berubah menjadi bangsa yang terbelakang, terbelit kemiskinan dan kebodohan.

Jika umat Islam saat ini tidak menyadari kekeliruannya dan tidak berusaha memperbaikinya, dengan cara kembali menjalankan pesan-pesan Alquran, maka umat Islam akan tetap terpuruk dalam kebodohannya.

Allah tidak akan mengubah nasib mereka jika mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri. Firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (QS Ar-Rad: 11)

IHRAM

Pentingnya Menjaga Pendengaran

Pakar tafsir Alquran yang juga pengisi kajian tafsir Masjid Istiqlal, KH. Amin Zaini membeberkan tafsir Alquran surat At Taubah dari kitab Shafwatut Tafasir karya syekh Muhammad Ali Ash Shabuni tentang bagaimana agar Muslim dapat menjaga pendengarannya serta agar terjauh dari fitnah orang-orang munafik yang selalu menghembuskan kabar-kabar bohong.

Allah SWT berfirman: 

وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ ۚ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ ۚ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: “Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah: “Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu”. Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. (Alquran surat At Taubah 61)

Kiai Amin Zaini menjelaskan sebagaimana menukil keterangan  syekh Ash Shabuni bahwa ayat tersebut mengabarkan tentang orang-orang munafik pada masa lalu yang senang menyakiti nabi Muhammad ﷺ dengan menuding atau menuduh bahwa nabi Muhammad itu senang mendengar semua ucapan, kabar, atau informasi baik itu yang benar maupun yang salah, yang baik atau pun yang buruk. Maka Allah Subahanahu wa Ta’ala memerintahkan kapada nabi agar menegaskan bahwa Rasulullah itu hanya mendengarkan ucapan atau kata-kata yang baik saja. Artinya pendengaran Rasulullah ﷺ terjaga dari setiap keburukan. Seperti menguping percakapan orang lain, menerima hasud orang lain, atau mempercayai kabar bohong. 

Kiai Amin Zaini menjelaskan bahwa orang yang beriman itu tidak mungkin mempercayai atau mengikuti perkataan yang buruk dari orang lain. Orang beriman juga tidak akan mengikuti kabar-kabar bohong yang datang padanya. Maka dari itu agar indra pendengaran menjadi maslahat agar menggunakan untuk mendengarkan kebaikan dan menjauhi setiap perkataan atau informasi yang buruk atau menyesatkan.  

“Karena itu orang munafik itu sifatnya adalah mereka senang membuat berita hoaks, bohong. Mereka sebarkan kepada masyarakat sehingga menimbulkan keresahan. Lalu bagaimana mengefektifkan pendengaran ini? Mendengarlah kata-kata yang baik, mengikuti yang terbaik, artinya yang benar. Bukan yang hoaks,” kata kiai Zaini dalam kajian dzuhur di masjid Istiqlal Jakarta beberapa hari lalu.

Lebih lanjut kiai Zaini mengatakan orang-orang munafik senang bersumpah dengan menyebut nama Allah agar ucapannya dipercaya padahal terdapat kebohongan di dalamnya. Mereka berupaya meryakinkan orang-orang yang beriman akan suatu informasi yang sejatinya kabar hoaks, bahkan sampai bersumpah atas nama Allah. 

يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ لِيُرْضُوكُمْ وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ إِنْ كَانُوا مُؤْمِنِينَ

Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin. (Alquran surat At Taubah 62).

Sejatinya orang-orang munafik yang senantiasa menyebarkan kabar bohong itu telah menentang Allah dan Rasul. Kelak orang-orang munafik yang senang menghembuskan kebohongan akan dimasukan dalan neraka. Sebagaimana firman Allah:

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ۚ ذَٰلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ

Tidaklah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka jahannamlah baginya, kekal mereka di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.  (Alquran surat At Taubah 63).

“Jadi kalau kita perhatikan orang-orang munafik yang berdusta yang membuat, menyebarkan hoaks itu sangat berat azabnya. Makanya cek dulu jangan sembarangan fitnah dan sebagainya,” katanya. 

IHRAM

Fikih Nikah (Bag. 6)

SIKAP ISLAM TERHADAP ISTRI YANG DURHAKA

Di antara salah satu permasalahan yang dibahas oleh para ulama ketika mengkaji fikih nikah adalah nusyuz atau kedurhakaan dan ketidak-taatan istri kepada suami, yang mana hal ini merupakan salah satu bentuk ujian rumah tangga yang harus dihadapi suami. Lalu apa batasannya sehingga seorang istri dikatakan nasyiz/ durhaka? Dan apa yang mesti dilakukan suami ketika istri tidak lagi taat/patuh padanya?

Nusyuz secara bahasa berarti “tinggi”. Dikatakan seperti itu karena ketika istri sedang berbuat nusyuz, dia merasa tinggi sehingga tidak menaati suaminya, serta merasa sombong (tinggi) terhadap apa yang Allah Ta’ala wajibkan kepadanya. Oleh karena itu, istri yang tidak taat kepada suaminya dikatakan nasyiz.

Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menyebutkan,

المرأة الناشز هي المرأة المرتفعة على زوجها ، التاركة لأمره ، المعرضة عنه ، المبغضة له

“Seorang perempuan yang An-Naasyiz adalah seorang perempuan yang merasa tinggi (durhaka) terhadap suaminya, meninggalkan perintahnya, berpaling darinya, serta membencinya.”

Kapan Seorang Istri Dikatakan Nasyiz?

Adapun kapan seorang wanita dikatakan nasyiz, maka para ulama berbeda pendapat. Adapun menurut mazhab Syafi’iyyah, istri yang durhaka adalah istri yang tidak mau menaati suaminya. Di antara contohnya adalah keluar dari rumah tanpa seizin suami, menolak ajakan suami ke kasur, ataupun istri tersebut menutup pintu di depan muka suaminya. Di dalam mazhab Syafi’iyyah, tidak dibedakan antara tidak menaati perkara yang sudah menjadi kewajibannya ataupun perkara yang bukan menjadi kewajibannya. Hal ini karena keduanya sama-sama merupakan bentuk meremehkan dan menyepelekan suami. Dan hal ini berlaku juga baik itu kedurhakaan yang bisa diselesaikan oleh suami dengan pemaksaan ataupun tidak.

Hukum Durhaka terhadap Suami

Tidak diragukan lagi bahwa durhakanya istri kepada suami hukumnya haram, karena dua hal:

Pertama: karena di dalamnya terdapat pembangkangan dan tidak taatnya istri kepada suami. Padahal menaati suami telah diperintahkan baik di dalam Qur’an maupun hadis, dan mentaati suami hukumnya wajib. Maka, meninggalkan kewajiban hukumnya haram, bahkan Adz-Dzahabi rahimahullah menjadikan kedurhakaan istri sebagai salah satu dosa besar yang tidak akan diampuni, kecuali dengan bertobat. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan istri kepada suami adalah:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi)

Di dalam hadis lain disebutkan:

فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Perhatikanlah di mana posisimu darinya. Maka, sesungguhnys suamimu (merupakan) surgamu dan nerakamu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, An-Nasa’i, dan Ahmad)

Hadis ini menggambarkan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk memperhatikan hak suami yang harus dipenuhi istrinya karena suami adalah surga dan neraka bagi istri. Apabila istri taat kepada suami, maka ia akan masuk surga. Akan tetapi, jika ia mengabaikan hak suami, tidak taat kepada suami, maka dapat menyebabkan istri terjatuh ke dalam jurang neraka. Nasalullaahas salaamah wal ‘aafiyah.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa menunaikan hak suami juga merupakan kunci agar diri kita bisa menunaikan hak Allah Ta’ala,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّى الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّها حَتَّى تُؤَدِّى حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah sampai ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (istri) tetap tidak boleh menolak.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Kedua: Allah Ta’ala mengancam dengan hukuman bagi mereka yang mendurhakai suaminya, apabila ia tidak bisa dinasihati dan tidak mempan pula dengan hajr. Dan Allah Ta’ala tidaklah memberi hukuman, kecuali perbuatan tersebut adalah perbuatan haram ataupun meninggalkan perkara wajib. Allah Ta’ala berfirman,

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)

Bahkan, dalam masalah berhubungan suami istri pun, jika sang istri menolak ajakan suaminya, maka ia akan dilaknat oleh Malaikat sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ (فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا) لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si istri menolaknya [sehingga malam itu suaminya murka], maka si istri akan dilaknat oleh malaikat hingga (waktu) subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan telah kita ketahui bersama bahwa jika amalan/ perbuatan yang diancam dengan sebuah hukuman ataupun pelakunya mendapatkan laknat, maka itu merupakan pertanda bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa kedurhakaan istri terhadap suami merupakan salah satu dosa besar. Semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita darinya.

Bagaimana Menyikapi Istri yang Nasyiz (Durhaka)?

Agama Islam merupakan agama yang sempurna. Tidak ada suatu permasalahan di dalam kehidupan, kecuali sudah Allah Ta’ala ajarkan solusinya, tidak terkecuali di dalam pernikahan. Islam telah menunjukkan untuk mereka yang sedang diuji dengan durhakanya istri dengan beberapa jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisa’: 34)

Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, urutannya dimulai dari hal berikut ini:

Pertama, Memberi Nasihat

Menasihati istri dengan nasihat yang baik, menunjukkan mereka dengan rasa kasih sayang dan penuh ketulusan, mengingatkan mereka terkait akibat dan hukuman dari perbuatan durhakanya, serta mengingatkan istri akan kewajiban yang harus dilakukan istri untuk suaminya.

Jika istri telah menerima nasihat tersebut dan telah berubah, maka suami tidak boleh menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)

Namun, jika nasihat belum mendapatkan hasil, maka suami menempuh langkah berikutnya yaitu hajr (boikot).

Kedua, Hajr (Boikot)

Hajr (memboikot istri) memiliki berbagai macam bentuk, di antaranya adalah pisah ranjang, ataupun tidak menyapanya, bisa juga dengan tidak mengajak bicara dengan durasi tidak boleh lebih dari 3 hari. Tujuan dari perlakuan kita tersebut adalah agar istri kita menjadi belajar dan mengetahui bahwa yang ia lakukan terhadap suaminya itu merupakan perkara yang besar dan berbahaya, bukan sebagai ajang menghinakannya ataupun balas dendam.

Di antara yang harus diperhatikan dalam masalah Hajr adalah:

  • Tidak melakukannya di depan anak-anak kita, sehingga akan mempengaruhi psikis mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak serta menjadikan mereka anak yang broken home.
  • Tidak boleh memboikot istri, kecuali di rumahnya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

Dan janganlah Engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya, serta jangan melakukan hajr, selain di rumah” (HR. Abu Daud)

Namun, jika terdapat maslahat melakukan hajr di luar rumah, maka boleh untuk dilakukan. Karena Nabi pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan.

  • Lama masa hajr yang lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama’, yaitu sampai waktu istri kembali taat dan sudah tidak nusyuuz, karena dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak, maka kita mengamalkannya secara mutlak tanpa pembatasan.

Ketiga, Memukul Istri

Saat kita sudah tidak dapat memperbaiki nusyuuz istri dengan teguran ataupun boikot, maka kita bisa mengambil jalan keluar dengan memukulnya dengan pukulan yang tidak dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan ataupun melecehkan ataupun menyiksa.

Disyaratkan juga agar pukulan tersebut tidak dilakukan dengan cara brutal dan tidak melukai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas.” (HR. Muslim)

Dan juga tidak diperbolehkan memukulnya di bagian wajah, serta yakin bahwa memukulnya tersebut akan bermanfaat untuk membuat istri tidak berbuat nusyuuz kembali.

Jatuhnya Kewajiban Menafkahi Istri bagi Suami Jika Istri Nasyiz/ Durhaka

Mengenai hal ini, Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya, lalu beliau menjawab,

“Tidak diragukan lagi bahwa istri yang durhaka tidak memiliki hak nafkah atas suaminya hingga ia kembali taat kepada suaminya jika durhakanya tersebut tidak memiliki alasan yang benar. Sedangkan batasan waktunya, maka ini dikembalikan kepada hakim. Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian hakim di mana mereka menjatuhkan kewajiban nafkah untuk istri dan menahan istri dalam jaminan suami bertahun-tahun, maka aku tidak pernah mengetahui ada dalilnya. Dan pada perkara tersebut terdapat kezaliman terhadap istri, dan bisa jadi durhakanya istri itu salah satunya karena perlakuan buruk suami terhadap dirinya. Maka, yang sudah sepantasnya dilakukan dalam perkara seperti ini adalah meneliti dan melihat sebab-sebab kedurhakaan istri sehingga bisa adil di dalam menyelesaikan pertikaian tersebut.” Wallahu Ta’ala a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72260-fikih-nikah-bag-6.html

Meminta Syafaat Rasulullah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ لِّلّٰهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيْعًا…

“Katakanlah: ‘Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya…” (QS Az-Zumar ayat 44)

Dikutip dari buku Ambilah Aqidahmu dari Alquran dan As-sunnah yang shahih yang difahami Shahabat Radhiyallahu Anhum, Nabi ﷺ mengajarkan para sahabat Radhiyallahu Anhum untuk mengucapkan “Ya Allah! Jadikanlah dia yaitu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagai orang yang mensyafa’atiku” (HR At-Tirmidzi).

Dan beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda    

وإني اختبأت دعوتي شفاعة يوم القيامة من مات من أمتي لا يشر ك بالله شيئا 

“Sesungguhnya aku menyimpan doa aku sebagai di hari kiamat bagi orang yang mati di antara umatku yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun” (HR Muslim).

Umat islam juga dapat meminta syafaat dari orang yang masih hidup dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dunia ini. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ يَّشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَّكُنْ لَّهٗ نَصِيْبٌ مِّنْهَا ۚ وَمَنْ يَّشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَّكُنْ لَّهٗ كِفْلٌ مِّنْهَا ۗ … 

“Barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang baik (melindungi hak seorang muslim), niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya. Dan barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang buruk, niscaya dia akan memikul bagian dari (dosa)nya…” (QS An-Nisaa ayat 85)

IHRAM

Hukum Perampasan Tanah Milik Orang Lain

Desa Wadas, Kecamatan Bener,  Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada selasa (8/2) kemarin memanas. Warga setempat bersitegang dengan aparat. Hal ini dipicu oleh pengukuran lokasi Proyek Waduk Bener oleh Badan Pertanahan Nasional  (BPN). Setidaknya ada 23 warga diamankan petugas karena membawa sajam.

Masalahnya, warga berontak karena tanah mereka akan diambil paksa untuk kepentingan Proyek Waduk Bener. Namun, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional provinsi Jawa Tengah memberikan klarifikasi pengukuran tersebut bukan dalam rangka untuk mengambil alih (secara paksa) tanah warga, melainkan untuk mengetahui jumlah luas tiap bidang tanah, pemegang hak dan jumlah tanam tumbuh di atasnya. Dan yang diukur hanya lahan warga yang telah menerima ganti rugi, lainnya tidak.

Keterlibatan aparat keamanan kali ini sebagai antisipasi terhadap keamanan tim dari BPN mengingat pada tahun 2021 kemaren ketika tim turun bergesekan dengan warga. Jadi, bukan mengambil paksa dengan menggunakan kekuatan aparat.

Terlepas dari persoalan Wadas yang memanas dan terlepas siapa yang benar dan salah, biar hukum yang berbicara secara adil. Tulisan ini hanya akan menjelaskan hukum mengambil tanah milik orang lain secara semena-mena.

Agama Islam sangat melarang menyerobot atau mengambil secara paksa (dzalim) tanah milik orang lain meskipun hanya sejengkal. Bentuk kedzaliman seperti ini kerap terjadi. Misal, membuat pagar batas rumah dengan mengambil sedikit tanah tetangga, atau sengaja memindah patok batas tanah untuk menambah luas tanah miliknya.

Sabda Nabi, “Barang siapa mengambil sejengkal tanah dengan cara dzalim (merampas), ia dikalungkan tanah sebanyak tujuh lapis bumi kelak di hari kiamat”. (HR. Muslim).

Siksa orang yang mengambil tanah milik orang lain secara semena-mena adalah dililitkan di lehernya tanah sebanyak tujuh lapis bumi. Tidak terbayangkan pedihnya siksa tersebut. Begitu mengerikan dan sangat menyiksa. Bayangkan saja leher kita dililit oleh tanah tujuh lapis bumi. Seratus kilo tanah saja tidak terbayangkan sakitnya.

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Nawawi ‘ala Muslim menjelaskan, hadis ini menegaskan haramnya ghasab dan mengambil tanah milik orang lain secara dzalim serta pedihnya siksa perbuatan tersebut.

Redaksi hadis senada juga diriwayatkan oleh Aisyah. Menurut  Imam Bukhari dan Imam Muslim kualitas hadisnya shahih.

Dengan demikian, jelas, hukum mengambil tanah milik orang lain secara semena-mena hukumnya haram. Perbuatan ini diancam dengan siksa yang sangat berat. Pelakunya akan disiksa dengan cara dililitkan tanah sebanyak tujuh lapis bumi di lehernya.

Demikian juga tentang lahan warga di Wadas. Jika pengukuran tersebut dimaksudkan untuk mengambil tanah warga secara dzalim hukumnya haram. Namun apabila pemerintah telah memberikan ganti rugi yang sepadan maka justru orang yang menghalangi proses pengukuran tersebut yang berbuat dzalim.

ISLAM KAFFAH

Doa Salat Tahajud dan Dzikir di Waktu yang Tepat, Siswa Sudah Hafal?

Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan salat tahajud. Disebut sebagai ibadah yang istimewa, karena dilakukan di waktu sepertiga malam terakhir.

Tahajud artinya terjaga setelah tidur. Salat tahajud adalah salat sunnah yang dikerjakan pada waktu malam hari dan dilaksanakan sesudah tidur, meskipun hanya tidur sebentar.

Menurut buku “Menghidupkan Malam dengan 11 Amal Pilihan” oleh Ustadz Enjang Burhanudin, M.Pd, Kinanti, qiyamul lail identik dengan salat tahajud, meskipun qiyamul lail sebenarnya lebih umum dari Tahajud. Qiyamul lail merujuk pada kegiatan apa pun baik, itu berupa salat, dzikir, tadabbur dan lainnya yang dilakukan di malam hari.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Isra ayat 79:

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

Arab-Latin: Wa minal-laili fa taḥajjad bihī nāfilatal laka ‘asā ay yab’aṡaka rabbuka maqāmam maḥmụdā

Artinya: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. AL-Isra: 79).


Salat tahajud juga dikategorikan sebagai salat sunnah yang utama, ini penjelasannya:

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa pada) bulan Allah yang mulia (Muharram) dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim).


Kapan waktu terbaik untuk melaksanakan salat tahajud?

Salat tahajud dapat dilaksanakan setelah salat Isya sampai terbitnya fajar shadiq atau waktu Subuh. Ini berdasarkan hadits, “Rasulullah SAW biasa mengerjakan salat sebelas rakaat pada waktu antara selesai salat Isya sampai Subuh.” (HR. Muslim).

Waktunya sepertiga malam pertama kira-kira antara pukul 20.30 sampai 23.00. Lalui sepertiga malam kedua antara pukul 23.00 sampai 01.30. Terakhir, sepertiga malam ketiga antara pukul 01.30 sampai masuknya waktu Subuh dan menjadi waktu yang paling utama.
Haruskah dikerjakan setelah tidur atau boleh sebelum tidur?

Imam Rafi’i dari mahzav Syafi’i mengatakan dalam Syahrul Kabir, bahwa syarat salat tahajud itu harus dilakukan setelah tidur.

“Tahajud istilah untuk salat yang dikerjakan setelah tdiur, sedangkan salat yang dikerjakan sebelum tidur, tidak dinamakan tahajud.”

Pendapat tersebut diperkuat oleh Imam Katsir bin Abbas dengan mengutip pendapat seorang sahabat bernama Hajjaj bin Amr ra:

“Di antara kalian menyangka ketika melakukan salat di malam hari sampai subuh dia merasa telah tahajud. Tahajud adalah salat yang dikerjakan setelah tidur, kemudian salat setelah tidur. Itulah salatnya Rasulullah SAW.”
Baca juga:
Keutamaan Salat Tahajud dan Kapan Waktu Paling Utama Melaksanakannya?
Doa dan Dzikir Setelah Sholat Tahajud

Dalam buku berjudul ‘Dahsyatnya TAHAJUD, SUBUH, & DHUHA: Keberkahan Bangun Pagi’ karya Adnan Tarsyah, doa atau dzikir setelah sholat tahajud adalah sebagai berikut

Arab:
اَللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اَللّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ. فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَنْتَ إِلٰهِيْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ

Latin: Allahumma lakalhamdu annta nuurussamaawaati wal’ardhi wa manfiihina wa lakalhamdu annta, wa lakalhamdu annta qayyimussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna, wa lakalhamdu annta rabbussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna.

Wal lakalhamdu annta mulkussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna, wa lakalhamdu annta malikussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna wa lakalhamdu anntalhaqq wa wa’dukalhaqq, wa liqaa’uka haqq, wa qauluka haqq, waljannatu haqq, wannaaru haqq, wannabiyuuna haqq, wa muhammadun shallallaahu ‘alaihi wa sallam haqq, wassaa’atu haqq.

Allahumma laka aslamtu wa ‘alaika tawakkaltu wa bika aamanntu wa ilaika anabtu wa bika khaashuamtu wa ilaika haakamtu fagfirlii maa qaddamtu wa maa akhkhartu wa maa asrartu wa maa a’lantu, anntalmuqaddimu wa anntalmu’akhkhiru laa ilaaha illaa annta anta ilaahii laa illaa annta.

Artinya: “Ya, Allah! Bagi-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau yang mengurusi langit dan bumi serta seisinya. Bagi-Mu segala puji, Engkau Tuhan yang menguasai langit dan bumi serta seisinya.

Bagi-Mu segala puji dan bagi-Mu kerajaan langit dan bumi serta seisi-nya. Bagi-Mu segala puji, Engkau benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, bertemu dengan-Mu benar, surga adalah benar (ada), neraka adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah benar, (terutusnya) Muhammad adalah benar (dari- Mu), peristiwa hari kiamat adalah benar.

Ya Allah, kepada-Mu aku pasrah, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku kembali (bertaubat), dengan pertolongan-Mu aku berdebat (kepada orang-orang kafir), kepada-Mu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum.

Oleh karena itu, ampunilah dosaku yang telah lalu dan yang akan datang. Engkaulah yang mendahulukan dan mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau”.

Sahabat Hikmah, jangan lupa ya untuk salat tahajud dan lengkapi dengan bacaan doa serta dzikir setelahnya.

selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5938295/doa-salat-tahajud-dan-dzikir-di-waktu-yang-tepat-siswa-sudah-hafal.

Dahulu Tidak Pernah Shalat, Apa yang Harus Dilakukan?

Fatwa Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan

Soal:

Selama hidup saya sebagian besarnya saja jalani tanpa pernah mengerjakan shalat, apa yang harus saya lakukan sekarang? Apakah meng-qadha-nya ataukah ada kafarah ataukah taubat? Jika qadha bagaimana caranya saya meng-qadha semuanya? Ataukah ada cara lain?

Jawab:

Yang wajib bagi anda sekarang adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menjaga shalat di sisa hidup anda. Dan hendaknya anda bersungguh-sungguh dalam bertaubat dengan menunaikan semua syarat-syaratnya, yaitu

  1. Menyesal atas dosa yang telah dilakukan
  2. Berhenti dari dosa yang dilakukan dan mewaspadainya
  3. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut

Jika anda telah benar-benar bertaubat dan senantiasa melakukan ketaatan pada sisa hidup anda dan senantiasa melaksanakan shalat, maka itu cukup bagi anda insya Allah. Dan anda tidak perlu meng-qadha shalat-shalat yang terlewat karena anda meninggalkannya dengan sengaja. Dan ini sebenarnya sebuah kekufuran terhadap Allah ‘azza wa jalla. Karena menurut pendapat yang tepat dari perselisihan yang ada diantara para ulama, meninggalkan shalat dengan sengaja membuat pelakunya keluar dari Islam walaupun ia tidak menganggap meninggalkan shalat itu boleh.

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/29838

Penerjemah: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/16796-fatwa-ulama-dahulu-tidak-pernah-shalat-apa-yang-harus-dilakukan.html

Cara Mengqadha Shalat yang Terlewat

Shalat lima waktu adalah kewajiban setiap Muslim, bahkan merupakan rukun Islam. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim yang mukallaf (sudah terkena beban syariat) meninggalkan shalat lima waktu dan tidak boleh melalaikan shalat hingga keluar dari waktunya. Namun apa yang dilakukan seorang Muslim jika ia meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya? Adakah qadha shalat? Kita simak pembahasan ringan berikut ini.

Hukum mengqadha shalat yang terlewat

Mengqadha shalat artinya mengerjakan shalat di luar waktu sebenarnya untuk menggantikan shalat yang terlewat. Apakah wajib mengqadha shalat? Para ulama merinci menjadi dua keadaan:

1. Tidak sengaja meninggalkan shalat

Dalam keadaan tidak sengaja meninggalkan shalat, seperti karena ketiduran, lupa, pingsan, dan lainnya, maka para ulama bersepakat bahwa wajib hukumnya mengqadha shalat yang terlewat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من نام عن صلاة أو نسيها؛ فليصلها إذا ذكرها

barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat” HR. Al Bazzar 13/21, shahih).

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan: “orang yang hilang akalnya karena tidur, atau pingsan atau semisalnya, ia wajib mengqadha shalatnya ketika sadar” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/95, Asy Syamilah).

Dan tidak ada dosa baginya jika hal tersebut bukan karena lalai, karena shalat yang dilakukan dalam rangka qadha tersebut merupakan kafarah dari perbuatan meninggalkan shalat tersebut. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

barangsiapa yang lupa shalat, atau terlewat karena tertidur, maka kafarahnya adalah ia kerjakan ketika ia ingat” (HR. Muslim no. 684).

Dari sini juga kita ketahui tidak benar anggapan sebagian masyarakat awam, bahwa jika bangun kesiangan di pagi hari maka tidak perlu shalat shubuh karena sudah lewat waktunya. Ini adalah sebuah kekeliruan!

2. Sengaja meninggalkan shalat

Para ulama berselisih panjang mengenai orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja apakah keluar dari Islam ataukah tidak? Silakan simak artikel “Meninggalkan Shalat Bisa Membuat Kafir” untuk memperluas hal ini.

Dan para ulama juga berselisih pendapat apakah shalatnya wajib diqadha ataukah tidak. Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan shalatnya tidak wajib di-qadha. Imam Ibnu Hazm Al Andalusi mengatakan:

وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا، فَلْيُكْثِرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ؛ لِيُثْقِلَ مِيزَانَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

“adapun orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, maka ia tidak akan bisa mengqadhanya sama sekali. Maka yang ia lakukan adalah memperbanyak perbuatan amalan kebaikan dan shalat sunnah. Untuk meringankan timbangannya di hari kiamat. Dan hendaknya ia bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla” (Al Muhalla, 2/10, Asy Syamilah).

Beliau juga mengatakan:

بُرْهَانُ صِحَّةِ قَوْلِنَا قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ} [الماعون: 4] {الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ} [الماعون: 5] وقَوْله تَعَالَى: {فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا} [مريم: 59] فَلَوْ كَانَ الْعَامِدُ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ مُدْرِكًا لَهَا بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا لَمَا كَانَ لَهُ الْوَيْلُ، وَلَا لَقِيَ الْغَيَّ؛ كَمَا لَا وَيْلَ، وَلَا غَيَّ؛ لِمَنْ أَخَّرَهَا إلَى آخَرِ وَقْتِهَا الَّذِي يَكُونُ مُدْرِكًا لَهَا. وَأَيْضًا فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لِكُلِّ صَلَاةِ فَرْضٍ وَقْتًا مَحْدُودَ الطَّرَفَيْنِ، يَدْخُلُ فِي حِينٍ مَحْدُودٍ؛ وَيَبْطُلُ فِي وَقْتٍ مَحْدُودٍ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا قَبْلَ وَقْتِهَا وَبَيْنَ مَنْ صَلَّاهَا بَعْدَ وَقْتِهَا؛ لِأَنَّ كِلَيْهِمَا صَلَّى فِي غَيْرِ الْوَقْتِ؛ وَلَيْسَ هَذَا قِيَاسًا لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ، بَلْ هُمَا سَوَاءٌ فِي تَعَدِّي حُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ} [الطلاق: 1] . وَأَيْضًا فَإِنَّ الْقَضَاءَ إيجَابُ شَرْعٍ، وَالشَّرْعُ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ

“bukti benarnya pendapat kami adalah firman Allah Ta’ala: ‘celakalah orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya‘ (QS. Al Maun: 4-5). Dan juga firman Allah Ta’ala: ‘dan kemudian datanglah setelah mereka orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat dan mereka akan menemui kesesatan‘ (QS. Maryam: 59). Andaikan orang yang sengaja melalaikan shalat hingga keluar dari waktunya bisa mengqadha shalatnya, maka ia tidak akan mendapatkan kecelakaan dan kesesatan. Sebagaimana orang yang melalaikan shalat namun tidak keluar dari waktunya tidak mendapatkan kecelakaan dan kesesatan.

Selain itu, Allah Ta’ala telah menjadikan batas awal dan akhir waktu bagi setiap shalat. Yang menjadikannya sah pada batas waktu tertentu dan tidak sah pada batas waktu tertentu. Maka tidak ada bedanya antara shalat sebelum waktunya dengan shalat sesudah habis waktunya. Karena keduanya sama-sama shalat di luar waktunya. Dan ini bukanlah mengqiyaskan satu sama lain, melainkan merupakan hal yang sama, yaitu sama-sama melewati batas yang ditentukan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: ‘barangsiapa yang melewati batasan Allah sungguh ia telah menzalimi dirinya sendiri‘ (QS. Ath Thalaq: 1).

Selain itu juga, qadha shalat adalah pewajiban dalam syariat. Dan setiap yang diwajibkan dalam syariat tidak boleh disandarkan kepada selain Allah melalui perantara lisan Rasulnya” (Al Muhalla, 2/10, Asy Syamilah).

Cara mengqadha shalat

Dari sisi waktu, mengqadha shalat harus dilakukan segera ketika teringat dari lupa atau tersadar dari hilang akalnya. Tidak boleh ditunda-tunda, harus segera dikerjakan sesegera mungkin. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من نامَ عن صلاةٍ فليصلِّها إذا ذَكرَها

barangsiapa yang terlewat shalat karena tidur atau karena lupa, maka ia wajib shalat ketika ingat” (HR. Al Bazzar 13/21, shahih).

Bagaimana jika shalat yang terlewat lebih dari satu? Apakah diqadha sekaligus atau setiap shalat di qadha pada waktunya, semisal shalat zhuhur diqadha pada waktu zhuhur, shalat ashar pada waktu ashar, dst.? Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab pertanyaan ini:

يصليها جميعا لان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لما فاتته صلاة العصر في غزوة خندق قضىها قبل المغرب وهكذا يجب على كل انسان فاتته الصلوات ان يصليها جميعا و لا يأخرها

“dikerjakan semuanya sekaligus. karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika terlewat beberapa shalat pada saat perang Khandaq beliau mengerjakan semuanya sebelum Maghrib. Dan demikianlah yang semestinya dilakukan setiap orang yang terlewat shalatnya, yaitu mengerjakan semuanya sekaligus tanpa menundanya” (Sumber: klik disini).

Dalam hadits di atas juga Nabi mengatakan فليصلها  dhamir ها mengacu pada kata صلاة sebelumnya. Ini menunjukkan shalat yang dikerjakan dalam rangka qadha sama persis seperti shalat yang ditinggalkan dalam hal sifat dan tata caranya. Misalnya, jika seseorang terluput shalat shubuh karena tertidur, maka ia wajib mengqadha dengan mengerjakan shalat yang sama dengan shalat shubuh.

Dan tidak ada lafal niat khusus yang perlu diucapkan dalam mengqadha shalat. Niat adalah perbuatan hati, tidak perlu dilafalkan. Andaikan niat mengqadha shalat perlu dilafalkan, maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah mengajarkannya kepada kita. Lebih luas mengenai pelafalan niat, silakan simak artikel “Polemik Pelafalan Niat Dalam Ibadah”.

Dengan demikian, ketika seseorang baru teringat bahwa ia telah melewatkan shalat, atau baru terbangun dari tidur sedangkan waktu shalat sudah terlewat, yang ia lakukan adalah segera berwudhu, lalu mencari tempat shalat yang bersih dan suci, menghadap kiblat kemudian mengerjakan shalat dengan tata cara dan sifat yang persis sebagaimana shalat yang ia tinggalkan. Jika shalat yang ditinggalkan lebih dari satu, maka setelah salam, ia kembali berdiri untuk meng-qadha shalat selanjutnya.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/25855-qadha-shalat.html

Siapa Bilang Demonstrasi Itu Solusi?

Imam Ibnul Qoyyim berkata dalam Madarijus Salikin: “Apabila seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadat (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya.

Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari’at Islam memerintahkan atau memperbolehkannya, bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti.

Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah dan Rasul-Nya baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh, seorang yang cerdik tidak akan ragu akan keharamannya”.

Dengan bercermin kepada kaidah yang berharga ini marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil. Apakah yang kita dapati bersama? Kita akan mendapati dampak negatif dan kerusakan-kerusakan akibat demonstrasi, di antaranya: hilangnya keamanan negara, hilangnya wibawa pemimpin, kerusakan bangunan dan jalan, penjarahan, kemacetan lalu lintas, keluarnya kaum wanita di jalan-jalan, aksi mogok makan yang sangat mengkhawatirkan, bahkan tak jarang nyawa manusia melayang. Bukankah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لزوال الدنيا وما فيها أهون عند الله من قتل المسلم بغير حق

Hancurnya dunia dan isinya lebih ringan di sisi Allah daripada hilangnya nyawa seorang muslim tanpa alasan yg benar“.

Kemudian, tanyakan pada dirimu, bukankah demonstrasi sudah seringkali digelar? Lantas apa hasilnya? Pikirkanlah!!

Ya Allah, jagalah negeri kami dari kerusakan.

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi

Sumber: https://muslim.or.id/23977-siapa-bilang-demonstrasi-itu-solusi.html