Meraih Ampunan di Bulan Ramadhan

Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan kita dengan bulan suci nan mulia, bulan Ramadhan. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, yang Al-Qur’an diturunkan kepada beliau melalui perantara malaikat Jibril.

Bulan Ramadhan memiliki banyak sekali keutamaan. Salah satunya adalah Allah membuka pintu ampunan selebar-lebarnya bagi hamba-Nya yang bertaubat. Oleh karenanya, marilah kita berlomba-lomba memanfaatkan peluang emas tersebut untuk menyucikan diri kita dari tumpukan dosa.

Di antara sebab turunnya ampunan dari Allah adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan puasa Ramadhan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 2014 dan Muslim no. 760)

2. Mendirikan shalat tarawih dan tahajjud

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan shalat malam pada bulan Ramadhan karena beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 2008 dan Muslim no. 174).

3. Beribadah di malam Lailatul Qadar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مَنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa menegakkan shalat di malam Lailatul Qadar karena beriman dan mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 1910 dan Muslim no. 760).

4. Memperbanyak istighfar

Hendaknya setiap muslim membasahi lisannya dengan dzikir, doa, dan istighfar di bulan Ramadhan. Karena, doa orang yang berpuasa adalah mustajab, khususnya ketika sedang berpuasa, berbuka, dan makan sahur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لاَ تَرُدُّ دَعْوَتَهُمْ : الصاَئِمُ حَتَّى يُفْطِرُ

Ada tiga jenis orang yang tidak tertolak doanya, yaitu orang yang berpuasa hingga ia berbuka.” (HR. Timidzi no. 2525 dan dinilai shahih At Tirmidzi, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.3032).

Jika sebab-sebab ampunan di bulan Ramadhan demikian banyak, tentu orang yang tidak mendapatkan ampunan di dalamnya adalah orang yang paling buruk nasibnya. Kapan lagi ia meraih ampunan jika ia tidak dimaafkan di bulan ini? Kapan lagi doanya dikabulkan jika permohonnya ditolak saat Lailatul Qadar? Kapan lagi ia akan berubah menjadi lebih baik jika di bulan Ramadhan ia tidak mau memperbaiki diri?

Semoga Allah memberkahi kita di bulan Ramadhan, mencurahkan hidayah dan keistiqamahan agar kita totalitas dalam beribadah, memaafkan dosa dan kesalahan kita, serta menerima amal shalih kita yang jauh dari kesempurnaan.

Wallahu Ta’ala a’lam bish shawab.

***

Referensi: Risalah Ramadhan, karya Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, penerbit Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, tahun 2009, Riyadh, hal. 98-101

Penulis : Deni Putri Kusumawati

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/12117-meraih-ampunan-di-bulan-ramadhan.html

Heraklius (Kaisar Romawi) Bertanya Tentang Ajaran Nabi

Sang Kaisar Romawi, Heraklius pernah bertanya tentang beberapa hal mengenai sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Sufyan yang punya kedekatan nasab dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa saja cerita Abu Sufyan mengenai Rasul kita pada Kaisar Romawi, Heraklius? Berikut di antaranya.

Dari Abu Sufyan bin Shakr bin Harb radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang panjang tentang cerita raja Heraklius. Heraklius berkata, “Apa saja yang diperintah oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Abu Sufyan berkata, “Aku lalu menjawab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ

Sembahlah Allah semata dan jangan berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun. Tinggalkanlah perkara jahiliyah yang dikatakan nenek moyang kalian.” Beliau juga menyuruh kami untuk shalat, berlaku jujur, benar-benar menjaga kesucian diri (dari zina) dan menjalin hubungan silaturahim (menjaga hubungan dengan kerabat.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 7 dan Muslim).

Hadits di atas diambil dari pembahasan Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Sholihin pada “Bab 4 – Tentang Kejujuran (Sifat Shidiq)”. Kita bisa ambil beberapa pelajaran dari hadits tersebut:

1- Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berhias dengan sifat jujur sampai beliau tersohor dengan sifat mulia tersebut, bahkan hal ini diakui atau dikatakan pula oleh musuhnya, Abu Sufyan.

2- Pokok agama ini adalah tauhid. Pokok ajaran yang diperingatkan adalah kesyirikan.

3- Setiap Rasul diutus untuk menjelaskan tauhid dan memberantas kesyirikan. Sehingga setiap pendakwah Islam hendaknya menjadikan dakwah ini sebagai prioritas utama.

4- Allah memerintahkan segala sesuatu yang menjadi maslahat bagi manusia di dunia dan akhiratnya.

5- Hendaklah meninggalkan taklid atau fanatik buta pada nenek moyang, terkhusus dalam masalah agama. Adapun ajaran nenek moyang yang menunjukkan akhlak mulia, maka tetap boleh ditiru bahkan Islam kembali menyempurnakannya.

6- Islam mengajarkan untuk jujur, menjaga diri dari zina, menjalin hubungan kerabat, juga yang utama memperhatikan hak Allah yaitu mentauhidkan-Nya dan mendirikan shalat.

Semoga kita bisa meraih pelajaran berharga dari hadits di atas. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah bagi pembaca atau pengunjung Rumaysho.Com dan kaum muslimin secara keseluruhan.

Referensi:

Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 107-108.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/3442-heraklius-kaisar-romawi-bertanya-tentang-ajaran-nabi.html

Antara Lailatul Qodr, Al-Qur’ān dan Keberkahan

ALLAH  Ta’āla telah menurunkan Al-Qur’ān yang di dalamnya penuh dengan keberkahan -yang berarti banyak kebaikannya- secara keseluruhan dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia di malam Lailatul Qadr yang di dalamnya juga penuh dengan keberkahan, sebagaimana firman Allah Ta’āla:

ﺇِﻧَّﺎٓ ﺃَﻧﺰَﻟْﻨَٰﻪُ ﻓِﻰ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﻣُّﺒَٰﺮَﻛَﺔٍ ۚ ﺇِﻧَّﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻣُﻨﺬِﺭِﻳﻦَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’ān) pada suatu malam yang penuh berkah dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS: Ad-Dukhaan [44]: 3).

As-Sa’di dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan, Allah telah menurunkan kalam terbaik pada malam terbaik -yakni malam Lailatul Qadr, sebuah malam yang banyak kebaikan dan berkahnya, dan lebih baik dari pada seribu bulan- kepada manusia terbaik. Hal ini sesuai firman Allah Ta’āla:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’ān) pada malam ketetapan.” (QS: Al-Qodr [97]: 1)

ﻛِﺘَٰﺐٌ ﺃَﻧﺰَﻟْﻨَٰﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻣُﺒَٰﺮَﻙٌ ﻟِّﻴَﺪَّﺑَّﺮُﻭٓا۟ ءَاﻳَٰﺘِﻪِۦ ﻭَﻟِﻴَﺘَﺬَﻛَّﺮَ ﺃُﻭ۟ﻟُﻮا۟ ٱﻷْﻟْﺒَٰﺐِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad [38]: 29).

As-Sa’di ketika menafsirkan penggalan ayat yang berarti “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah” mengatakan, yang artinya: “Di dalam Al-Qur’ān terdapat kebaikan yang banyak dan ilmu yang berlimpah. Di dalamnya terdapat petunjuk dari kesesatan, obat dari penyakit, cahaya untuk menerangi kegelapan, setiap hukum yang dibutuhkan oleh setiap mukallaf, petunjuk-petunjuk yang jelas dan pasti, sehingga menjadikannya sebagai kitab yang paling mulia di alam semesta ini semenjak Allah menciptakannya.

Al-Qur’ān dan Lailatul Qadr di dalamnya penuh dengan keberkahan, namun keberkahannya barulah dapat diraih dan dirasakan jika keduanya didayagunakan. Berikut ini cara agar bisa meraih dan merasakan keberkahannya, dan selanjutnya bisa meraih dan merasakan keberkahan hidup.

Pertama, mentadabburi (mentafakuri) ayat-ayat Al-Qur’ān sesuai tujuan diturunkannya Al-Qur’ān untuk menambah iman, memahami kandungannya, mengambil pelajaran dan ilmu darinya, mendapatkan petunjuk darinya, lalu mengamalkan ajarannya. Allah Ta’āla berfirman:

ﻛِﺘَٰﺐٌ ﺃَﻧﺰَﻟْﻨَٰﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻣُﺒَٰﺮَﻙٌ ﻟِّﻴَﺪَّﺑَّﺮُﻭٓا۟ ءَاﻳَٰﺘِﻪِۦ ﻭَﻟِﻴَﺘَﺬَﻛَّﺮَ ﺃُﻭ۟ﻟُﻮا۟ ٱﻷْﻟْﺒَٰﺐِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah supaya mereka mentadabburi (mentafakkuri) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad [38]: 29).

As-Sa’di ketika menafsirkan penggalan ayat yang berarti “supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya” beliau mengatakan, yang artinya: “Hikmah diturunkannya Al-Qur’ān adalah agar manusia mentadabburi ayat-ayatnya, menggali ilmunya dan merenungkan rahasia dan hikmah-hikmahnya. Hanya dengan mentadabburi ayat-ayatnya, merenungkan maknanya serta memikirkannya secara terus-menerus seseorang akan mendapatkan berkah dan kebaikan yang ada di dalam Al-Qur’ān.”

Mengenai manfaat tadabbur Al-Qur’ān As-Sa’di dalam kitab tafsirnya lebih lanjut antara lain mengatakan, yang artinya: “Tadabbur Al-Qur’ān merupakan kunci ilmu pengetahuan. Dengannya segala kebaikan dan ilmu diperoleh. Dengannya iman bertambah dan tertanam dalam hati.” “Semakin meningkat intensitas tadabbur seseorang, maka bertambah pula ilmu, amal dan bashirahnya.”

Sedangkan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Madārijus Sālikin mengatakan, yang artinya: “Tidak ada sesuatu yang paling bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat serta mendekatkan seseorang pada keselamatannya selain tadabbur Al-Qur’ān, merenungkannya secara seksama, dan memikirkan makna ayat-ayatnya.”

Kedua, melakukan berbagai ibadah dan amal shaleh, di antaranya sholat Tahajjud, membaca dan mentadabburi Al-Qur’ān, berdzikir dan memanjatkan doa kepada Allah Ta’āla di malam Lailatul Qadr. Hal ini bisa dilakukan dengan berusaha mencari Lailatul Qadr dengan istiqomah melakukan qiyamul lail di setiap malam di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.

Di antara sepuluh malam terakhir itu salah satu dari malam ganjilnya adalah Lailatul Qadr, di mana di malam itu terdapat kebaikan yang banyak, dan malam itu lebih baik dari pada seluruh malam yang bukan Lailatul Qadr selama seribu bulan. Sehingga ibadah dan amal shaleh yang dilakukan di malam itu lebih baik dari pada ibadah dan amal shaleh yang dilakukan di setiap malam yang bukan Lailatul Qadr selama seribu bulan. Allah Ta’āla berfirman:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Malam ketetapan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS: Al-Qodr [97]: 3).

Terkait ayat ini kitab Tafsir Al-Jalalayn menulis, yang artinya: “(Lailatul Qadr itu lebih baik dari pada seribu bulan) yang di dalamnya tidak ada malam Lailatul Qadr nya; maka beramal shaleh pada malam itu lebih baik dari pada seribu bulan yang di dalamnya tidak ada malam Lailatul Qadr.”

Semoga di sepuluh malam terakhir Ramadhan yang salah satu malam ganjilnya adalah Lailatul Qadr, kita mau dan mampu menghidupkan malam-malamnya, terutama dengan melakukan aktivitas tadabbur Al-Qur’ān, sehingga kita bisa meraih dan merasakan keberkahan yang ada di dalam Al-Qur’ān dan Lailatul Qadr, dan selanjutnya bisa meraih dan merasakan keberkahan hidup. Aamiin. Wallahu a’lam.*

Oleh: Abdullah al-Mustofa

Penulis adalah Ketua Biro Pendidikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kabupaten Kediri Jawa Timur. abdullahalmustofa@gmail.com

HIDAYATULLAH


Mengapa Allah Merahasiakan Malam Lailatul Qadar?

Lailatul qadar membawa kedamaian dan rasa aman

Pada malam lailatul qadar, para malaikat dan ar-Ruh (yang dimaksud adalah Malaikat Jibril) turun ke bumi.  Para malaikat itu turun dengan membawa rahmat dan keberkahan.

Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi dalam kitab Fadha’il Ramadhan menjelaskan, Lailatul qadar merupakan  malam yang penuh dengan kemuliaan. Pada malam itu, kata dia, diturunkan Alquran yang memiliki kemuliaan melalui seorang malaikat yang juga sangat mulia dan diterima seorang nabi yang juga sangat mulia.

Qadar bisa bermakna ukuran. Ukuran segala sesuatu itu ditetapkan pada malam itu, rezeki seseorang, apakah dia bahagia atau tidak? Sampai setahun ke depan ditetapkan pada malam itu. Lailatul qadar memiliki sejumlah keistimewaan. Betapa tidak. Pada malam itu Alquran diturunkan. Selain itu, lailatul qadar itu lebih baik dari 1.000 bulan.

Lailatul qadar membawa kedamaian dan rasa aman kepada siapa saja yang menjumpainya sampai terbit fajar. Dalam sebuah riwayat, yang dimaksud fajar adalah terbit fajar di keesokan harinya. Tapi, hatta mathla’il fajr berarti sampai tiba saatnya fajar kehidupannya yang baru di akhirat nanti. Lalu, seperti apa ciri-ciri akan datangnya lailatul qadar?

Tanda-tanda fisik-seperti yang populer di kalangan masyarakat-bahwa malam itu tenang, angin sepoi-sepoi, kemudian matahari di keesokan harinya berawan dan tidak terlalu panas. Namun, riwayat-riwayatnya tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Tanda-tanda fisik semacam itu secara logika memang sulit diterima. Karena, sangat relatif, bergantung pada musim. Kalau musim hujan, ya pasti mendung. Apalagi dengan perubahan iklim sekarang. Jadi, tanda-tanda fisik itu tidak bisa dijadikan ukuran. Tanda yang pasti adalah salaamun hiya hatta mathla’il fajr.

Yang utama, salah satu tanda yang pasti dari lailatul qadar adalah orang selalu merasa damai,  selalu menebar kedamaian dalam hidupnya sampai dia meninggal dunia bahkan sampai dibangkitkan kembali menyongsong fajar kehidupan yang baru.

Tak ada seorang pun yang tahu kapan tamu agung itu akan datang. Hanya Allah SWT yang mengetahui kapan malam yang lebih baik dari 1.000 bulan itu akan menghampiri hambanya. Terlebih, sebagai tamu agung, lailatul qadar hanya dianugerahkan kepada orang-orang yang mendapat taufik dan beramal saleh pada malam itu. Mengapa begitu? Supaya kita semakin giat mencarinya sepanjang hari, khususnya pada malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Benarkah Malam ke-27 adalah Malam Lailatul Qadar?

Sebagian orang menyangka bahwa malam lailatul qadar adalah pada malam ke-27 berdasarkan beberapa hadits yang menyebut malam lailatul qadar adalah malam ke-27. Semisal hadits dari Sahabat Ubay bin Ka’ab.  Beliau pernah bersumpah dan berkata,

وَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

“Demi Allah aku tahu kapan malam itu, yaitu malam yang kita diperintahkan oleh Rasulullah untuk menghidupkannya, yaitu malam kedua puluh tujuh” [1]

Demikian juga hadits dari Mu’awiyah beliau menukil perkataan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ﻟَﻴْﻠَﺔُ ﺍﻟﻘَﺪْﺭِ ﻟَﻴْﻠَﺔُ ﺳَﺒْﻊٍ ﻭﻋِﺸْﺮﻳﻦَ

“Lailatul qadar pada malam kedua puluh tujuh.” [2]

Beberapa dalil lainnya menunjukkan malam lailatul qadar itu secara umum ada di antara 10 malam terakhir, tidak harus malam ke-27. Semisal hadits berikut,

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التمسوها في العشر الأواخر فإن ضعف أحدكم فلا يغلبن على السبع البواقى

“Carilah di sepuluh malam terakhir, apabila tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh malam tersisa.” [3]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى

“Carilah malam lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Pada malam kedua puluh sembilan, kedua puluh tujuh, kedua puluh lima”. [4]

Kompromi dari dalil-dalil tersebut adalah malam ke-27 merupakan malam yang paling diharapkan jatuhnya malam lailatul qadar dan bisa jadi mayoritasnya ada pada malam ke-27.

Syaikh Muhammah bin Shalih Al-‘Ustaimin menjelaskan,

ﻭﻫﻮ ﺃﻥ ﻟﻴﻠﺔ ﺳﺒﻊ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺃﺭﺟﻰ ﻣﺎ ﺗﻜﻮﻥ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻓﻴﻬﺎ، ﻛﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃُﺑﻲّ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ -ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ

“Malam ke-27 adalah malam yang paling diharapkan sebagai malam lailatul qadar, sebagaimana pada hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu”. [5]

Inilah pendapat pertengahan yang mengkompromikan berbagai dalil, karena malam lailatul qadar itu berpindah-pindah setiap tahunnya.

Al Imam An-Nawawi berkata,

. ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻤُﺤَﻘِّﻘُﻮﻥَ : ﺇِﻧَّﻬَﺎ ﺗَﻨْﺘَﻘِﻞ ﻓَﺘَﻜُﻮﻥ ﻓِﻲ ﺳَﻨَﺔ : ﻟَﻴْﻠَﺔ ﺳَﺒْﻊ ﻭَﻋِﺸْﺮِﻳﻦَ ، ﻭَﻓِﻲ ﺳَﻨَﺔ : ﻟَﻴْﻠَﺔ ﺛَﻠَﺎﺙ ، ﻭَﺳَﻨَﺔ : ﻟَﻴْﻠَﺔ ﺇِﺣْﺪَﻯ ، ﻭَﻟَﻴْﻠَﺔ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺃَﻇْﻬَﺮ . ﻭَﻓِﻴﻪِ ﺟَﻤْﻊ ﺑَﻴْﻦ ﺍﻟْﺄَﺣَﺎﺩِﻳﺚ ﺍﻟْﻤُﺨْﺘَﻠِﻔَﺔ ﻓِﻴﻬَﺎ

“Menurut para ulama peneliti: lailatul qadar itu berpindah-pindah setiap tahunnya. Terkadang pada satu tahun terjadi pada malam ke-27, terkadang pada malam ke-23, atau pada malam ke-21, atau di malam lainnya. Inilah pendapat yang lebih kuat karena mengkompromikan berbagai hadits-hadits yang ada.”[6]

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, 

ﺃﺭﺟﺢ ﺍﻷﻗﻮﺍﻝ ﺃﻧﻬﺎ ﻓﻲ ﻭﺗﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺍﻷﺧﻴﺮﺓ ﻭﺃﻧﻬﺎ ﺗﻨﺘﻘﻞ

“Pendapat terkuat bahwa lailatul qadar pada malam ganjil 10 hari terakhir dan berpindah-pindah. [7]

Demikian semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/40287-benarkah-malam-ke-27-adalah-malam-lailatul-qadar.html

Jurus Sehat Rasulullah untuk Puasa, Kiat dari Zaidul Akbar

Ramadan merupakan bulan yang sangat tepat untuk melakukan detoksifikasi terhadap tubuh. Di bulan suci ini, umat Islam diperintahkan untuk berpuasa. Dengan cara menahan lapar dan haus, diharapkan sel-sel tubuh yang rusak bisa diperbaiki.

Puasa juga merangsang proses yang disebut autofagi, yakni ketika sel membersihkan diri dan menghilangkan partikel yang rusak dan berbahaya.

Alquran mengatakan manusia diciptakan untuk menjadi khalifah. Karena itu, manusia harus menjaga tubuhnya. Namun, menurut Ustaz Zaidul Akbar, banyak manusia yang tidak paham konsep sehat.

Dokter yang juga penulis Jurus Sehat Rasulullah ini mengatakan, Rasulullah hanya dua kali sakit selama seumur hidupnya, sebelum akhirnya wafat pada usia 63 tahun. Soal pola makan Rasulullah itu dia jelaskan panjang lebar dalam saluran YouTube bertema “Ramadhan Sehat dengan Jurus Sehat Rasulullah”.

Karena itu, ia menyarankan umat muslim mempelajari bagaimana cara Alquran dan Rasulullah mengajari manusia untuk makan.

“Misalnya kapan waktu makan terbaik, yakni saat mata kita melihat matahari dan sesaat ketika matahari tenggelam.”

Ia menegaskan, “Penyakit bisa diobati bila kita mengaktifkan autodetokfikasi. Misalnya sel kanker, jangan biarkan dia makan. Biarkan dia kelaparan,” ujarnya.

Zaidul mengatakan, jika kita makan makanan yang tidak dibutuhkan tubuh, maka badan akan terasa lemas. Sebab, apa yang dimakan adalah makanan sampah yang tidak dibutuhkan tubuh.

Pola Makan Saat Puasa

Untuk pola makan di bulan Ramadan, Zaidul Akbar menyarankan agar isi piring makan saat sahur dikoreksi agar tak melulu berisi karbohidrat dan miskin protein.

Ia menyarankan menu makan sahur berupa 1/3 porsi sayur dan buah, 1/3 porsi biji-bijian, dan 1/3 porsi protein.

Kemudian, untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari puasa, Zaidul Akbar menyarankan untuk mengurangi makanan yang menimbulkan masalah bagi tubuh.

“Setop masalah dengan tidak mengkonsumsi gula pasir dan turunannya, tepung dan turunannya, nasi putih, dairy product (makanan berbasis susu), serta minyak goreng dan turunannya,” ujar Zaidul Akbar.

Dengan cara ini, menurut dia, selama di bulan Ramadan, tubuh kita akan terasup dengan apa yang sebenarnya memang harus masuk.

Zaidul menekankan, “Apa yang Anda makan hari ini, akan jadi tabungan 5-10 tahun ke depan”.

Dia menyarankan untuk memakan makanan yang ditumbuhkan Allah di atas tanah dan mendapat sinar matahari. “Real food istilah sekarang,” ucapnya menegaskan.

Dalam jangka panjang, jika dilakukan dengan benar, puasa bisa meningkatkan sistem pencernaan seseorang dan metabolisme secara keseluruhan. Namun, semua itu akan sia-sia jika orang tersebut kembali ke kebiasaan makan lamanya sebelum puasa.

Untuk  berbuka puasa, Zaidul menyarankan menu berbuka puasa dengan buah dan teh rempah. Setelah tarawih, dilanjutkan makan sayur yang dikukus atau bening. Setelah itu makan kacang-kacangan.

Dengan berpuasa dan makan sesuai jurus sehat Rasulullah, Zaidul meyakinkan bahwa tubuh tak akan lemas meski berpuasa seharian. Malahan, mendapat hasil maksimal berupa kesehatan yang prima.

LIPUTAN6

Tafsir Jalalain: Makna Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’iin

Apa makna iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin?

Allah Ta’ala berfirman,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Artinya:

  1. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
  2. Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam,
  3. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
  4. Pemilik hari pembalasan.
  5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
  6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
  7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 1-7)

Kali ini adalah kajian ayat,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”

Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah mengatakan,

{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } أَيْ نَخُصُّكَ بِالعِبَادَةِ مِنْ تَوْحِيْدٍ وَغَيْرِهِوَنَطْلُبُ المَعُوْنَةَ عَلَى العِبَادَةِ وَغَيْرِهَا .

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Maksudnya, kami hanya mengkhususkan ibadah kepada Allah dengan bertauhid dan lainnya. Kami memohon pertolongan hanya kepada Allah dalam beribadah dan untuk urusan lainnya.”

Catatan dari apa yang disampaikan dalam tafsir Jalalain

  1. Ibadah itu hanya untuk Allah semata.
  2. Bertauhid (mengesakan Allah) itulah maksud dari “iyyaka na’budu”, kepada-Mulah kami beribadah.
  3. Meminta tolong kepada Allah itulah maksud dari “wa iyyaka nasta’iin”, dan isti’anah (meminta tolong) di sini hanya dilakukan kepada Allah dalam hal yang hanya bisa diselesaikan oleh-Nya.
  4. Manusia tidak bisa lepas dari pertolongan Allah untuk dimudahkan dalam urusan dan berbagai ibadah.

Mendalami makna “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’iin”

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menerangkan sebagaimana berikut ini:

Ayat tersebut maksudnya “hanya kepada-Mu sajalah kami menyembah dan memohon pertolongan”. Karena mendahulukan objek (maf’ul) berfungsi untuk membatasi (hashr), yaitu menetapkan hukum yang telah disebut dan meniadakan yang lainnya. Seola-olah kita mengucapkan: Kami (hanya) beribadah kepada-Mu bukan kepada selain-Mu, kami (hanya) memohon pertolongan kepada-Mu bukan kepada selain-Mu.

Mendahulukan penyebutan ibadah sebelum isti’anah (meminta tolong) merupakan bentuk penyebutan umum sebelum khusus dan sebagai bentuk perhatian didahulukannya hak Allah atas hak hamba-Nya.

Makna ibadah mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik perbuatan dan perkataan, yang lahir maupun batin. Sedangkan isti’anah adalah penyandaran diri kepada Allah untuk mendapatkan manfaat dan menolak mudarat dengan didasari keyakinan kepada-Nya dalam mencapai hal tersebut.

Beribadah dan memohon pertolongan kepada-Nya merupakan dua sarana untuk menggapai kebahagiaan yang abadi dan keselamatan dari seluruh kejelekan. Maka, tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan melaksanakan kedua hal tersebut (beribadah dan meminta tolong kepada Allah). Ibadah disebut ibadah jika pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya mengharap wajah Allah semata. Dua hal ini (mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ikhlas) merupakan syarat diterimanya ibadah.

Penyebutan isti’anah diakhirkan setelah penyebutan ibadah, padahal isti’anah merupakan bagian dari ibadah, adalah untuk menunjukkan bahwa seluruh ibadah itu membutuhkan pertolongan Allah. Jika Allah tidak memberikan pertolongan dalam ibadah, niscaya tidak akan mendapatkan apa yang diinginkan dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya atau menjauhi larangan-larangan-Nya. (Lihat Tafsir As-Sa’di, hlm. 25-26)

Ayat ini mengajarkan untuk kita agar berlepas diri dari syirik dan tidak boleh bergantung pada kekuatan sendiri

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وقدم المفعول وهو { إياك } ، وكرر؛ للاهتمام والحصر، أي: لا نعبد إلا إياك، ولا نتوكل إلا عليك، وهذا هو كمال الطاعة. والدين يرجع كله إلى هذين المعنيين

Maf’ul (objek) yaitu “iyyaka” didahulukan penyebutannya dan berulang untuk menunjukkan perhatian dan pembatasan. Maksudnya adalah tidaklah kami beribadah kecuali kepada-Mu semata, tidaklah kami bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu. Inilah kesempurnaan ketaatan. Agama itu kembali ke kedua makna ini.

وهذا كما قال بعض السلف: الفَاتِحَةُ سِرُّ القُرْآنِ، وَسِرُّهَا هَذِهِ الكَلِمَةُ: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } [الفاتحة: 5]

Inilah sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Surah Al-Fatihah itu inti Al-Qur’an. Inti dari surah Al-Fatihah adalah pada ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”.

فالأول تبرؤ من الشرك، والثاني تبرؤ من الحول والقوة، والتفويض إلى الله عز وجل. وهذا المعنى في غير آية من القرآن

Kalimat pertama “hanya kepada-Mu-lah kami beribadah” mengandung makna berlepas diri dari syirik. Kalimat kedua “hanya kepada-Mu-lah kami memohon pertolongan” mengandung makna berpelas diri dari usaha dan kekuatan sendiri, lalu berserah diri kepada Allah.

وهذا المعنى في غير آية من القرآن، كما قال تعالى

Makna seperti ini juga ditemukan dalam ayat lainnya seperti pada ayat.

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Maka sembahlah Allah, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 123)

قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا

Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal.” (QS. Al-Mulk: 29)

رَبَّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا

“(Dialah) Rabb masyrik (yang di timur) dan maghrib (di barat), tiada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. Al-Muzammil: 9)

وكذلك هذه الآية الكريمة: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } .

Demikian pula ayat yang mulia ini “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:206)

Kalam Ghaib Beralih ke Mukhathab

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وتحول الكلام من الغيبة إلى المواجهة بكاف الخطاب، وهو مناسبة  ، لأنه لما أثنى على الله فكأنه اقترب وحضر بين يدي الله تعالى؛ فلهذا قال: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }

“Penyebutan kalimat dalam bentuk pujian masih dalam bentuk ghaib (membicarakan orang ketigha), kemudian beralih pada bentuk orang kedua (di ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”), seakan-akan yang membaca itu dekat dan hadir di hadapan Allah. Oleh karena itu, ayat tersebut dibaca ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:206)

Ibadah itu maqshudah, meminta tolong (isti’anah) itu wasilah

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وإنما قدم: { إياك نعبد } على { وإياك نستعين } لأن العبادة له هي المقصودة، والاستعانة وسيلة إليها، والاهتمام والحزم هو أن يقدم ما هو الأهم فالأهم، والله أعلم.

“Didahulukannya “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mulah kami beribadah) dari “wa iyyaka nasta’iin” (hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan) karena ibadah itu maqshudah (yang jadi tujuan). Sedangkan isti’anah (meminta tolong) itu adalah wasilah pada tujuan tadi. Yang jadi perhatian dan kemantapan adalah mendahulukan yang lebih penting dahulu dari lainnya. Wallahu a’lam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:207)

Menghilangkan riya’ dan sifat sombong

Kalimat “iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mulah kami beribadah) ini menolak riya’. Sedangkan kalimat “wa iyyaka nasta’iin” (hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan) ini menolak sifat sombong karena kita bisa melakukan ketaatan hanya dengan pertolongan dari Allah. Pernyataan seperti ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab, hlm. 51.

Faedah ayat

  1. Kita diperintahkan memurnikan ibadah hanya kepada Allah.
  2. Kita diperintahkan meminta tolong hanya kepada Allah semata (dalam perkara yang hanya Allah yang dapat menyelesaikannya).

Referensi:

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan kedua, Tahun 1422 H. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam.
  3. Tafsir Jalalain. Penerbit Pustaka Al-Kautsar
  4. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  5. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
  6. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Disusun di Darush Sholihin, 27 Ramadhan 1441 H (19 Mei 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24478-tafsir-jalalain-makna-iyyaka-nabudu-wa-iyyaka-nastaiin.html

Fatwa Ulama: I’tikaf di Masa Wabah Corona

I’tikaf adalah ibadah yang sangat dianjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah absen ber-i’tikaf di bulan Ramadhan sejak disyariatkan i’tikaf sampai akhir hayatnya. Dan ibadah i’tikaf itu dilakukan di masjid. 

Di tengah wabah virus corona sekarang ini, banyak masjid-masjid ditutup dan masyarakat diimbau untuk beribadah di rumah. Lalu bagaimana dengan pelaksanaan i’tikaf di masa wabah seperti ini? Kita simak fatwa para ulama kontemporer berikut ini. 

Fatwa Asy Syaikh Dr. Sa’ad bin Turki Al Khatslan

Beliau hafizhahullah mengatakan:

I’tikaf tidak syariatkan kecuali di masjid. Dan ini adalah pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Madzhab Hanafi membolehkan bagi wanita untuk i’tikaf di mushalla al bait (tempat shalat di rumah). Namun ini pendapat yang lemah. 

Yang rajih, i’tikaf bagi laki-laki ataupun wanita tidak disyariatkan kecuali di masjid. Inilah yang diamalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat, tabi’in serta tabi’ut tabi’in.

Adapun terkait kondisi sekarang ini (wabah corona), maka orang yang sudah terbiasa i’tikaf di tahun-tahun sebelumnya, maka ia tetap mendapatkan pahala i’tikaf secara sempurna, seakan-akan dia melakukan i’tikaf di tahun ini. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

إذَا مَرِضَ العَبْدُ، أوْ سَافَرَ، كُتِبَ له مِثْلُ ما كانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar” (HR. Bukhari no. 2996).

Adapun bagi orang yang tidak terbiasa i’tikaf di tahun-tahun sebelumnya, maka kita katakan, amalan kebaikan itu banyak. Karena amalan kebaikan (di 10 hari terakhir Ramadhan) itu bisa berupa i’tikaf, dan bisa juga berupa amalan selain i’tikaf yang dilakukan di rumah. Seperti, bertasbih, bertahlil dan membaca dzikir-dzikir yang lain. 

Sedangkan i’tikaf itu adalah ibadah, dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Dan ibadah i’tikaf ini disebutkan dalam dalil-dalil hanya bisa dilakukan di masjid saja. Dan tidak disyariatkan dilakukan di selain masjid”.

Fatwa Asy Syaikh Dr. Utsman bin Muhammad Al Khamis

Beliau ditanya: “apakah sah i’tikaf di rumah? Khususnya untuk kondisi sekarang ini (wabah corona). Apakah harus mengkhususkan suatu tempat tertentu di rumah jika memang dibolehkan?”. 

Beliau menjawab:

Tidak sah i’tikaf di rumah. I’tikaf itu di masjid. Allah ta’ala berfirman:

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“… ketika engkau sedang i’tikaf di masjid” (QS. Al Baqarah: 187).

Namun jika seseorang sudah terbiasa i’tikaf, maka ia tetap akan mendapatkan pahala. Jika ia sudah berencana untuk i’tikaf, lalu ternyata terjadi wabah seperti sekarang ini (sehingga tidak bisa i’tikaf). Maka ia tetap mendapatkan pahala i’tikaf. 

Agama itu mudah, dan rahmat Allah itu luas. Ini perkara yang gamblang. Allah ta’ala berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al Baqarah: 261).

Allah ta’ala melipat-gandakan ganjaran. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ

“Barangsiapa siapa yang berniat melakukan satu kebaikan namun tidak jadi ia amalkan, maka ditulis baginya satu kebaikan. Namun siapa yang berniat melakukan satu kebaikan lalu diamalkan, ditulis baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat” (HR. Muslim no. 130).

Allah itu Maha Pemurah.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=BJPOORtTB-o

Fatwa Asy Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar Ruhaili

Beliau mengatakan:

الاعتكاف للرجال يكون في المساجد بالاتفاق وكذلك للنساء عند جمهور الفقهاء وهو الراجح فلا اعتكاف للرجال ولا للنساء إلا في المساجد فقد قيد الاعتكاف في النصوص بالمساجد والعبادات مبنية على التوقيف وعليه فلا يشرع هذا العام الاعتكاف في البيوت من أجل إغلاق المساجد وتكفي النية الصالحة

“I’tikaf bagi laki-laki tempatnya di masjid berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian juga wanita, pendapat jumhur fuqaha, dan ini pendapat yang rajih, bahwa tempatnya di masjid. Maka tidak boleh bagi laki-laki atau wanita ber-i’tikaf kecuali di masjid. I’tikaf dalam nash-nash dalil dikaitkan dengan masjid. Dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Maka tidak disyariatkan di tahun ini untuk i’tikaf di rumah karena ditutupnya masjid-masjid. Cukupkah seseorang punya niat yang tulus (untuk i’tikaf)”. (Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1256694658106884096)

Beliau juga mengatakan:

أحذر المؤمنين من الفتاوى والدعوات الداعية إلى الاعتكاف في المساجد في هذه الجائحة مخالفة لأمر ولي الأمر بترك هذا فلا تفعل سنة بمعصية ، كما أحذر من الفتاوى والدعوات الداعية إلى الاعتكاف في البيوت مخالفة للأدلة برأي محض ضعيف في أصل العبادة

“Saya memperingatkan kaum Mukminin terhadap fatwa-fatwa dan terhadap para da’i yang memfatwakan untuk tetap i’tikaf di masjid dalam kondisi sekarang ini. Yang ini bertentangan dengan perintah ulil amri untuk meninggalkan i’tikaf di masjid (karena wabah). Tidak boleh melakukan ibadah yang sunnah dengan bermaksiat. Dan aku juga memperingatkan kaum Mukminin terhadap fatwa-fatwa dan terhadap para da’i yang memfatwakan bolehnya i’tikaf di rumah dengan sekedar opini semata. Yang ini bertentangan dengan dalil-dalil tentang hukum asal ibadah” (Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1259229549260410884).

Semoga bermanfaat.

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56571-fatwa-ulama-itikaf-di-masa-wabah-corona.html

Mimpi Junub di Saat Puasa Ramadan Batalkah?

APAKAH seseorang boleh puasa sementara ia junub karena tidak sengaja?


DISEBUTKAN dalam sebuah hadits, bahkan pada suatu Subuh Nabi shallallahu alaihi wa sallam junub karena menggauli isterinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.

Mandi junub itu adalah sahnya salat, sehingga tidak boleh menundanya, karena melaksanakan salat Subuh itu harus pada waktunya. Tapi jika ia tertidur dalam keadaan junub dan baru bangun waktu dhuha, maka saat itu ia harus segera mandi dan salat Subuh serta melanjutkan puasanya.

Demikian juga jika ia tertidur di siang hari dalam keadaan berpuasa, lalu mimpi junub, maka ia harus mandi untuk salat Zuhur atau Ashar dan tetap melanjutkan puasanya.

Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa ash-Shiyam, disusun oleh Muhammad al-Musnad, hal. 21.

[Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, Darul Haq, Cetakan VI/KonsultasiSyariah]

INILAH MOZAIK

Ayah Jadi Imam Tarawih, Memimpin Keluarga Menuju Surga

Wahai para Ayah, di musim wabah di bulan Ramadhan, bisa jadi engkau menjadi imam shalat berjamaah dan imam shalat tarawih bagi keluargamu. Nampaklah engkau imam dan pemimpin yang sesungguhnya bagi keluargamu.

Engkau adalah nahkoda bahtera keluarga dengan penumpangnya istri dan anak-anak-mu. Hendak ke mana engkau bawa istri dan anakmu? Apakah ke surga? Jika ke surga, engkau harus menuntut ilmu agama agar bahtera rumah tangga tidak kandas karena fitnah dan ujian dunia seperti badai laut yang menerpa bahtera

Wahai ayah, Bagaimana mungkin engkau mengemudikan kapal dan membawa keluarga menuju surga sedangkan jalan menuju surga saja engkau tidak tahu?

Jalan menuju surga itu diketahui dengan belajar agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Ayah engkau adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban. Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ

“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya.” (Muttafaqun alaihi)

Semoga engkau menjadi nahkoda, imam dan pemimpin yang shalih, memimpin membawa keluarga dan berkumpul kembali di surga Allah kelak bersama keluarga tercinta.

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIM AFIYAH