Sembilan Perkara yang Membatalkan I’tikaf

Berikut penjelasan sembilan perkara yang membatalkan i’tikaf.  Sudah jamak, setiap ibadah mahdoh (murni) memiliki beberapa syarat, rukun, perkara yang makruh dilakukan di dalamnya, dan perkara yang membatalkannya.

Begitu juga i’tikaf, ia juga bisa batal karena beberapa hal yang dilakukan. Syekh Wahbah Zuhaili merangkum hal-hal yang membatalkan i’tikaf dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Berikut beberapa perkara yang membatalkan i’tikaf.

Pertama, keluar dari masjid tanpa uzur syar’i seperti hendak melakukan perkara jual beli. Keluar yang dibolehkan saat i’tikaf adalah keluar untuk bersuci dari hadas, membeli makan atau minum sejenak untuk bertahan selama i’tikaf karena hal tersebut merupakan hal yang darurat, urgent.

Kedua, jimak. Menurut ulama mayoritas, berhubungan badan dengan pasangan meskipun lupa atau dipaksa, baik siang maupun malam dapat membatalkan puasa. Karena berhubungan seksual saat melakukan ibadah i’tikaf adalah haram. Hal itu berdasarkan pada surat al-Baqarah ayat 187:

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ

Artinya:  Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.

Berhubungan seksual dengan pasangan dengan tidak sengaja saja, menurut kesepakatan ulama bisa membatalkan i’tikaf, apalagi yang sengaja dilakukan. Akan tetapi ulama dari halangan Syafi’iyyah berpendapat bahwa jimak yang mampu membatalkan i’tikaf adalah jimak yang tidak sengaja atau lupa.

Sedangkan jika tidak sengaja hal tersebut tidaklah membatalkan. Karena kewajiban ibadah dihilangkan dari orang yang lupa dan dipaksa.

Ketiga, masturbasi karena mencium pasangan atau menyentuhnya. Adapun jika keluarnya mani karena berimajinasi, melihat atau menyentuh tapi tidak sampai keluar maninya maka hal itu tidak membatalkan i’tikaf. Tapi ulama Mazhab Syafi’i membatasinya, jika hal itu di luar dari kebiasaan maka i’tikaf bisa batal.

Sedangkan ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa keluarnya mani karena menghayal dan melihat atau menyentuh lawan jenis dengan syahwat tapi tidak mengeluarkan mani tetaplah membatalkan i’tikaf. Jika menyentuh lawan jenis tanpa adanya syahwat maka hal itu tidak membatalkan.

Keempat, murtad. Jika seseorang yang melakukan ibadah i’tikaf murtad atau tiba-tiba saja tidak mengimani bahwa Allah adalah Tuhannya, tentu ini membatalkan i’tikaf secara mutlak. Semua ibadah pasti batal karena hal ini. Berdasarkan firman Allah pada surat az-Zumar ayat 39:

 لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Artinya: “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.”

I’tikaf tidak perlu diqadha apabila kemudian ia kembali pada agama Islam, kecuali i’tikaf nazar sebab ibadah itu menjadi wajib karena nazar. Bahkan ditambah harus membayar kafarat jika nazarnya akan ditunaikan pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Kelima, mabuk pada siang dan malam hari jika ia sengaja melakukannya menurut mayoritas ulama. Karena mabuk adalah salah satu perkara yang menyebabkan ibadah tidak sah.

Keenam, pingsan dan gila dalam durasi yang cukup lama. Jika seseorang yang sedang melakukan i’tikaf tiba-tiba kambuh penyakit gilanya, atau pingsan berhari-hari maka batallah puasanya menurut mayoritas ulama. Seperti mabuk, pingsan dan gila atau hilangnya akal adalah hal yang merusak ibadah.

Akan tetapi ulama Mazhab Syafi’i memiliki pendapat yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa saat orang yang sedang i’tikaf tiba-tiba saja pingsan, maka waktu pingsannya dihitung sebagai ibadah i’tikaf.

Sedangkan ulama Mazhab Hanbali berpendapat pingsan tidak membatalkan i’tikaf sebagaimana tidur. Ia hanya membatalkan wudhu saja.

Ketujuh, haid dan nifas. Hadas besar membuat seseorang tidak sah menjalankan ibadah.

Kedelapan, Jika orang yang i’tikaf makan secara sengaja hal itu membatalkan puasa.

Kesembilan, melakukan dosa besar seperti melakukan ghibah, adu domba, dan fitnah dapat membatalkan i’tikaf menurut ulama Mazhab Maliki. Sedangkan menurut ulama mayoritas tidaklalh membatalkan puasa.

Demikianlah perkara membatalkan i’tikaf dan harus diperhatikan oleh orang yang hendak melakukan i’tikaf. Semoga kita semua dikuatkan untuk mendapatkan keutamaan lailatul qodar. Amin.

BINCANG SYARIAH

Berikut Inilah Waktu Melakukan I’tikaf

Berikut inilah waktu melakukan i’tikaf. Terlebih dalam 10 hari terkahir Ramadhan. Animo masyarakat tinggi untuk melaksanakan i’tikaf.  Pasalnya, guna meningkatkan ibadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah i’tikaf adalah salah satu upaya menjalaninya.

Selain itu, ini adalah salah satu ikhtiyar menggapai malam lailatul qadar. I’tikaf dilakukan di dalam masjid dengan diisi sholat, membaca Alquran, dan membaca zikir. Bagaimana mengenai waktunya? Adakah batasan waktu melakukan i’tikaf? Apakah sehari, semalam, atau berapa lamanya?

Batasan waktu dalam melakukan i’tikaf ternyata memiliki ragam pendapat. Setiap ulama mazhab memiliki pendapatnya karena perbedaan atsar yang dijadikan hujjah. Dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Zuhaili menampilkan keempat pandangan ulama mazhab utama panutan muslim dunia.

Ulama Mazhab Hanafi menyebutkan bahwa waktu mengerjakan i’tikaf tidak ada batas waktunya. Asal sudah berniat melakukan i’tikaf dan menetap sejenak di masjid sudah dianggap i’tikaf.

Ibadah apapun, berapapun lamanya, sudah dianggap i’tikaf. Mereka pun tidak mensyaratkan puasa untuk melakukan i’tikaf. Jika merujuk pada dalil ini, itu artinya tiap kali kita memasuk masjid maka bisa diniati untuk melakukan i’tikaf.

Tidak jauh berbeda dengan ulama Mazhab Hanafi, ulama Mazhab Syafi’i tidak mensyaratkan bermalam untuk melakukan i’tikaf. Asal waktunya melebihi kadar tuma`ninah pada ruku dan sujd, itu sudah cukup untuk melakukan i’tikaf.

Hal yang berbeda adalah ulama Mazhab Syafi’i tidak mewajibkan puasaBeda halnya dengan ulama Mazhab Maliki yang mewajibkan sehari semalam dalam beri’itikaf. Atau bisa dilakukan berapapun lamanya tapi tidak kurang 10 hari baik pada bulan Ramadhan atau tidak.

Dan ulama Mazhab Maliki mensyaratkan puasa untuk melakukan i’tikaf. Artinya dalam pandangan ulama mazhab ini, i’tikaf tidak sah bagi orang yang tidak berpuasa pada siang harinya.

Adapun pada Mazhab Hanbali, waktu melaksanakan i’tikaf paling sebentar adalah sepanjang waktu ia dianggap menetap, walau sebentar. Maka ulama mayoritas bersepakat untuk menetapkan waktu i’tikaf baik pada bulan Ramadhan atau di luarnya adalah sebentar, selama ia berniat dan menetap di masjid. Hanya Mazhab Maliki yang menetapkan minimal melakukan sehari semalam.

Hal yang membuat pendapat ulama menjadi berbeda adalah pemahaman mereka terhadap hadis Rasulullah. Hadis itu berbunyi:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Manshur] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Sa’id Al Qaththan] dari [Ubaidullah bin Umar] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] dari [Umar] ia berkata,

“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, pada masa Jahilliyah aku pernah bernadzar untuk beriktikaf di masjidil haram selama satu malam?” beliau menjawab: “Laksanakanlah nadzarmu.” Ia berkata; “Dalam bab ini hadits serupa diriwayatkan dari Abdullah bin Amru dan Ibnu Abbas.” Abu Isa berkata; “Hadits Umar derajatnya hasan shahih.

Beberapa ulama menafsirkan berbeda. Mereka memaknai hadis tersebut adalah batasan dari Rasulullah dalam melaksanakan i’tikaf. Atau mengqiyaskan tidak ada batasannya karena Umar mewajibkan dirinya melaksanakan i’tikaf semalam dengan nazar, dan nazar wajib dilaksanakan.

Adapun sebagian ulama mengartikan dari hadis ini bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktunya.

Maka dapat disimpulkan, jika mengikuti pendapat ulama mayoritas bahwa i’tikaf bisa dilakukan pada waktu kapanpun, berapapun lamanya tanpa diikuti dengan berpuasa. Memulainya dengan niat dan melakukan ibadah sebentar saja sudah dianggap i’tikaf.

BINCANG SYARIAH

Mau I’tikaf? Inilah yang Harus Dilakukan Saat I’tikaf

Pada 10 malam terakhir Ramadhan, banyak orang yang melaksanakan i’tikaf di masjid. Ada yang melakukan di tengah malam sampai menjelang subuh. Ada juga di tengah hari. Nah berikut penjelasan mau i’tikaf? inilah yang harus dilakukan saat i’tikaf.

Masih tersisa beberapa hari lagi untuk menghabiskan bulan Ramadhan dengan beri’tikaf. Hal-hal yang semestinya kita pahami adalah apa saja yang harus dilakukan saat i’tikaf. Tentunya di dalamnya kita beribadah, shalat, membaca Al-Qur’an, dan membaca zikir.

Syekh Wahbah Zuhaili mencatatnya dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, terkait pelbagai hal yang harus dilakukan saat i’tikaf.  Pertama, para ulama fikih sepakat bahwa orang yang sedang i’tikaf untuk menetap di dalam masjid. Inilah yang harus dilakukan dalam i’tikaf.

Pasalnya, berdiam diri di masjid salah satu rukun dari i’tikaf adalah menetap di dalam masjid dan tidak keluar dari masjid kecuali uzur syar’i atau darurat.

Kedua, perbanyaklah shalat, membaca Alqur’an, dan zikir dengan membaca tahlil dan istighfar. Selain itu, saat i’tikaf  perbanyak juga membaca shalawat kepada Nabi serta merenungi penciptaan alam semesta serta hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup.

Ketiga, sibukkanlah diri dengan membaca tafsir alquran, hadis, kisah-kisah Nabi dan cerita orang-orang shaleh. Sebab ibadah tak sebatas shalat, membaca zikir, dan puasa, tapi juga mempelajari ilmu adalah ibadah terutama ilmu-ilmu agama.

Karena tujuan dari melakukan i’tikaf adalah menjernihkan hati, mendekatkan diri kepada Allah, serta rehat dari kesibukan dunia. Tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan pahala semata, tapi juga untuk membersihkan hati dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Disunnahkan juga saat melakukan i’tikaf untuk berpuasa menurut mayoritas ulama. Karena saat berpuasa, nafsu lebih terkendali dan jiwa lebih bersih. Begitu juga disunnahkan melakukan i’tikaf di masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat jumat.

I’tikaf Terbaik di Ramadhan

Ibadah i’tikaf boleh dilakukan kapanpun, tapi waktu yang paling utama adalah bulan Ramadhan. Sebab Ramadhan adalah bulan yang utama, apalagi pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Di dalamnya tersimpan rahasia malam lailatul qadr dan beruntunglah yang mendapatkannya. Karena lailatul qadr nilai pahalanya setara dengan seribu bulan bahkan lebih baik.

Kesunnahan melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan berdasarkan hadis Nabi riwayat Sayyidah Aisyah:

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَأ  قَالَتْ: كَانَ رسُول اللَّهِ ﷺ: إِذا دَخَلَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ مِنْ رمَضَانَ، أَحْيا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَه، وجَدَّ وَشَدَّ المِئزرَ متفقٌ عَلَيهِ.

Artinya: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, berkata: “Rasulullah s.a.w. itu apabila telah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka beliau menghidup-hidupkan malamnya -yakni melakukan ibadah pada malam harinya itu-, juga membangunkan istrinya, bersungguh-sungguh -dalam beribadah- dan mengeraskan ikat pinggangnya -maksudnya adalah sebagai kata kinayah menjauhi berkumpul dengan istri-istrinya-.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan disunnahkan juga untuk beri’tikaf pada malam idul fitri. Karena salah satu kesunnahan saat malam lebaran adalah menghidup-hidupkannya dengan berzikir dan beribadah. Berdasarkan hadis:

عن أبي أمامة رضي الله عنه عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: (مَنْ قَامَ لَيْلَتَيِ الْعِيدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ , لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ)

Artinya: Dari Abi Umamah R.a dari Nabi Saw bersabda, : barang siapa yang menghidupkan dua malam hari raya (idul fitri dan idul adha) maka hatinya tidak mati sampai hari di mana hati dimatikan. (HR. Ibnu Majah)

Bahkan diperkuat dengan hadis yang semakna riwayat at-Thabrani:

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (من صلَّى ليلة الفطر والأضحى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ).

Artinya: Dari ‘Ibadah bin as-Shamit R.a bahwa Nabi Saw bersabda, “barang siapa yang shalat pada malam idul fitri dan idul adha maka tidak akan mati hatinya pada hari di mana hati dimatikan.

Meski Imam Nawawi dalam al-Majmu’ megomentari bahwa kedua hadis ini bersanad lemah, para ulama tetap mengamalkannya sebab berkaitan dengan Fada`il a’mal, keutamaan amal.

Orang yang sedang i’tikaf pun dilarang berkata-kata yang buruk, berbuat yang buruk. Dilarang juga bertengkar dan melakukan perbuatan keji. I’tikaf memang tidak jadi batal karena melakukan hal-hal tersebut, tapi makruh melakukan perbuatan yang sia-sia itu.

Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan saat melakukan i’tikaf. Semoga apa yang kita upayakan untuk mendapatkan ridha Allah, hati yang jernih, dan menuju Allah senantiasa dimudahkan dan diterima oleh Allah. Aamiin.

BINCANG SYARIAH

Anjuran I’tikaf di 10 Hari Terakhir Bulan Ramadhan

Inilah penjelasan anjuran i’tikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Kendati puasa semakin terasa berat, tapi di situlah letak kemenangan setiap muslim.

Selain itu, Allah menjanjikan malam Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan yang tak diketahui secara pasti kedatangannya. Setiap hamba dijanjikan pahala setara 1000 bulan lamanya atau setara dengan sekitar 83 tahun. Maka dari itu, terdapat anjuran i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Jika ditinjau, i’tikaf bermakna “al-Labts” yang berarti menetap baik selama menetap itu berbuat baik atau buruk. Makna tersebut diambil dari asal katanya yaitu huruf ‘ain, kaf, fa`. Dan diambil dari Alquran pada surat al-A’raf ayat 138:

وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَتَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰٓى اَصْنَامٍ لَّهُمْ ۚقَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ

Artinya: Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (bagian utara dari Laut Merah). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata,

“Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”

Ya’kufu bermakna “tetap”. Kemudian makna tersebut disempitkan dalam istilah terminologi yang lahir dari para ulama fikih. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan i’tikaf sebagai berdiam diri dalam masjid yang dibangun untuk shalat jama’ah, yang harus dibarengi dengan niat menyengaja i’tikaf.

Adapun syarat puasa dalam i’tikaf hanya berlaku untuk i’tikaf yang dinazari dan bersifat wajib. Dalam hal ini Syekh Wahbah Zuhaili dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu mengkhususkan perempuan untuk shalat di rumah, di tempat yang dikhususkan untuk shalat. Baginya, perempuan makruh untuk shalat atau i’tikaf di masjid. Sedangkan laki-laki diutamakan melakukan i’tikaf di masjid.

Sedangkan ulama Mazhab Maliki mewajibkan puasa baik itu puasa sunnah atau puasa wajib pada bulan Ramadhan dalam menjalani i’tikaf. I’tikaf paling sedikit dilakukan selama sehari semalam dan tidak ada batasan maksimal waktunya. Begitu juga seperti ibadah lain, i’tikaf harus disertai niat.

Adapun ulama Mazhab Syafi’i hanya mendefinisikan sebatas sebuah ibadah dengan berdiam diri di masjid disertai niat. Tanpa diwajibkan puasa baik wajib maupun sunnah.

Selebihnya, Ulama Mazhab Hanbali mendefinisikan i’tikaf dengan berdiam di masjid dalam bentuk ketaatan kepada Allah yang dilakukan oleh muslim yang tamyiz, berakal, suci dari hadas dan durasi paling sedikit adalah satu jam.

Ibadah i’tikaf disebutkan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187:

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Artinya: Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.

Ayat tersebut mendeskripsikan bahwa masjid adalah tempat yang dikhsusukan untuk ibadah. Oleh karena itu dilarang melakukan hubungan seksual saat beri’tikaf. Dan ayat ini menunjukkan salah satu syarat i’tikaf adalah sepenuhnya melakukan ibadah di dalamnya.

Adapun dalil hadisnya adalah pada apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. yaitu hadis dari istri Rasulullah, Aisyah R.a yang tercatat dalam shahih Bukhari:

 أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأوَاخِرَ مِن رَمَضَانَ حتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أزْوَاجُهُ مِن بَعْدِهِ

Artinya: Sesungguhnya Nabi Saw melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya, kemudian istri-istrinya pun melakukannya setelah Nabi Muhammad wafat. (HR. Bukhari)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad memperbanyak ibadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan dengan i’tikaf. Ibadah tersebut kemudian diteruskan oleh istri-istrinya.

Demikian keterangan anjuran i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan karena Nabi juga melakukannya begitu juga istri-istrinya. Semoga kita semua dikuatkan untuk menjalani ibadah i’tikaf di 10 hari terakhir.

BINCANG SYARIAH

Tak Bisa Itikaf di Masjid, Bisakah Raih Lailatul Qadar?

Malam lailatul qadar diyakini ada di 10 hari terakhir Ramadhan.

Salah satu amalan yang dianjurkan dilakukan pada hari-hari terakhir atau 10 hari terakhir Ramadhan adalah melakukan i’tikaf di masjid. Sementara itu, malam lailatu qadar sendiri diyakini datang pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Sehingga, dianjurkan untuk beri’tikaf di masjid agar bisa meraih malam lailatul qadr tersebut.

Namun, di tengah pandemi virus corona saat ini, umat Muslim tidak bisa melaksanakan i’tikaf di masjid. Terutama, mereka yang tinggal di zona merah Covid-19. Masjid-masjid sendiri sebagian besar ditutup guna mencegah penyebaran Covid-19 lebih meluas.

Lalu, bagaimana sebenarnya aturan i’tikaf itu menurut berbagai mazhab? Bagaimana meraih malam Lailatul Qadr, jika i’tikaf tidak bisa dilakukan di masjid?

Dalam sebuah video ceramah yang diunggah di laman Rumah Fiqih Indonesia pada Senin (4/5), Ustaz Firman Arifani menjelaskan tentang meraih lailatul qadr saat dilarang i’tikaf di masjid. Ustaz Firman mengatakan, seluruh ulama sepakat bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid. Artinya, tidak sah i’tikaf jika dilakukan selain di masjid.

Namun, dalam hal ini para ulama hanya berbeda tentang jenis masjid yang diperbolehkan untuk beri’tikaf. Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat, bahwa masjid yang diperbolehkan beri’tikaf atau sah ialah masjid jami’ yang dipakai untuk sholat Jumat.

Sedangkan mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat, masjid yang bisa dipakai untuk i’tikaf adalah segala jenis masjid, baik itu masjid jami atau masjid kecil, seperti surau, langgar, mushola.

Sementara itu, mazhab Hanafi mengatakan bahwa wanita boleh i’tikaf di rumah. Mereka mendasarkan dalil karena tempat shalat yang afdhol (utama) bagi wanita adalah di rumah. Sementara juumhur ulama, dari Syafi’i, Maliki dan Hambali, mengatakan sekalipun wanita maka tempat yang sah untuk i’tikaf adalah di masjid, bukan di rumah atau mushola rumah. Dalil yang dipakai merujuk pada, jika memang diperbolehkan bagi wanita i’tikaf di dalam rumah, tentu para istri Nabi SAW melakukannya, tetapi ternyata tidak.

“Selanjutnya, tidak sah bagi laki-laki untuk menggelar i’tikaf di dalam rumahnya atau mushola rumahnya, tetapi harus di masjid,” kata Ustaz Firman, dalam video ceramahnya tersebut.

Namun demikian, sudah bisa dipastikan bahwa di tengah kondisi pandemi seperti ini, tidak mungkin untuk menggelar i’tikaf di masjid. Terutama, Muslim yang tinggal di zona merah. Sebab, kegiatan i’tikaf memungkinkan aktivitas publik dan perkumpulan jamaah, yang saat wabah ini harus dihindari.

Lalu, bagaimana cara meraih lailatul qadar tanpa beri’ktikaf di masjid?

Ustaz Firman mengatakan, malam lailatul qadr bisa diraih dengan berbagai macam cara dan tidak harus dengan i’tikaf. Ia memaparkan amalan-amalan yang bisa membuat Muslim meraih keutamaan dari malam lailatul qadr, di antaranya dengan sholat malam, dzikir, tafakkur, membaca Alquran, berkumpul bersama keluarga di rumah saja, tahajud bersama keluarga dan amal shalih lainnya.

“Itu bisa menjadikan kita di antara orang-orang yang mendapatkan malam lailatul qadr, dan ini adalah malam yang istimewa di bulan Ramadhan,” lanjutnya.

Ustaz Firman kemudian menyebutkan amalan yang sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah untuk bisa meraih malam lailatul qadr. Amalan tersebut seperti disebutkan dalam kitab Ma’arif.

“Dalam kitab itu berbunyi, “Barang siapa yang shalat Isya di sepanjang akhir Ramadhan (10 hari terakhir) dengan berjamaah, maka dipastikan ia bisa mendapat malam lailatul qadr. Ini salah satu amalan paling mudah untuk mendapat lailatul qadr, tidak perlu beri’tikaf,” kata Ustaz Firman.

Dengan demikian, Ustaz mengatakan bahwa malam lailatul qadar dapat diraih sekalipun berdiam saja di rumah atau di mushola rumah. Walaupun tidak mendapat pahala i’tikaf, menurutnya, namun Insya Allah esensinya bisa didapatkan.

Ustaz Firman lantas mengingatkan umat agar tidak memaksakan diri untuk menjalankan i’tikaf di masjid di tengah situasi wabah seperti ini. Hal demikian sebagaimana ditekankan dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 195, yang berbunyi, “Dan janganlah kamu menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

“Jangan memaksakan diri melakukan sesuatu yang sunnah (i’tikaf), yang justru malah menghilangkan sesuatu yang wajib, yaitu menjaga keselamatan,” tambahnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Umat Islam Disarankan Itikaf di Rumah

Saran itu dalam konteks dan kondisi dimana pandemi Covid-19 belum berakhir.

10 hari terakhir bulan suci Ramadhan merupakan waktu yang ditunggu-tunggu Muslim seluruh dunia untuk menjalankan iktikaf. Ibadah yang dimaksudkan untuk bermuhasabah diri ini banyak disebut sebaiknya dilakukan di masjid.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), KH Mahbub Maafi Ramdhan, menyebut berdasarkan pandangan ulama yang kuat, pelaksanaan iktikaf memang sebaiknya di masjid.

“Di rumah itu biasanya ada ruang sendiri untuk melaksanakan shalat, itu disebut masjidul bait. Imam Abu Hanifah membolehkan wanita beriktikaf di masjid rumah ini,” kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (2/5).

Meski sebagian ulama dari mazhab syafi’i menyatakan boleh melakukan iktikaf di masjidul bait, Kiai Mahbub Maafi menyebut hal ini masih dianggap sebagai pandangan yang lemah atau marjuh.

Kiai Mahbub Maafi lantas menyampaikan pandangannya atas hal ini. Di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini, pandangan yang dianggap marjuh tersebut bisa menjadi alternatif. Pandangan tersebut bisa dilakukan mengingat saat ini beberapa masjid menutup pintunya atau mengizinkan namun dengan jumlah yang sangat terbatas.

“Dalam konteks dan kondisi dimana pandemi Covid-19 belum berakhir, maka menurut saya pandangan yang menyebut boleh iktikaf di masjid dalam rumah ini bisa digunakan,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyebut satu pandangan yang dikatakan rajih bisa saja kuat di satu masa, namun berubah menjadi marjuh di masa yang lain. Karena situasi saat ini tidak normal, maka diperlukan pandangan lain yang menyatakan boleh melakukan iktikaf di rumah.

Kiai Mahbub Maafi lantas menyebut pelaksanaan iktikaf di rumah ini sama seperti pelaksanaan di masjid. Hal yang membedakan hanya pelaksanaan ibadah tersebut.

Terkait jamaah yang masih ingin melaksanakan iktikaf di masjid, ia cenderung tidak menganjurkan dan memilih pandangan untuk melakukan iktikaf di masjid rumah saja.

“Orang bisa saja berargumen telah memakai masker dan mencuci tangan, namun soal menjaga jarak ini berat dilakukan jika sudah bertemu dengan sesama jamaah,” kata dia.

Di beberapa daerah yang telah dikategorikan hijau atau aman, menurutnya memiliki kesempatan lebih untuk menjalankan ibadah sesuai dengan saat normal. Namun, hal ini harus tetap diamati dan dibatasi secara ketat. Sebuah masjid maksimal diisi setengah atau bahkan satu pertiga, sebagai upaya untuk menjaga jarak ini.

“Saya sendiri mengusulkan agar masjid ini ditutup saja sepenuhnya. Dikhawatirkan jika dibuka untuk iktikaf, jamaah akan membludak dan pengurus masjid kesulitan mengurus dan mengaturnya,” lanjutnya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Panduan Lengkap Tata Cara dan Niat I’tikaf

 Assalamu’alaikum wr wb, Hai Sahabat Bincang Muslimah..

Sepuluh hari terakhir bulan Ramadan adalah waktu diperkirakan Lailatul Qadar akan terjadi. Beribadah pada malam Lailatul Qadar dijanjikan pahala yang lebih baik dari seribu bulan.

Pada hari-hari itu pula umat islam dianjurkan untuk memperbanyak i’tikaf. Ketika i’tikaf disunahkan untuk membaca doa.

Berikut doa niat i’tikaf di masjid.;

نَوَيْتُ الاِعْتِكَافَ فِي هذَا المَسْجِدِ لِلّهِ تَعَالى

Nawaitul i’tikaafa fii haadzal masjidi lillaahi ta’aalaa

“Aku niat i’tikaf di masjid ini karena Allah Ta’ala”

Selain berniat, apa saja amalan yang bisa kita lakukan selama i’tikaf? dan bagaimana tata cara i’tikaf yang baik dan benar?

Simak penjelasan selengkapnya dalam video kali ini, bersama Ustadzah Qurrota ‘Ayuni Lc, S.OS.

Demikian doa niat i’tikaf di masjid yang tercatat dalam kitab Al-Majmu’. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

BINCANG MUSLIMAH

Fatwa Ulama: I’tikaf di Masa Wabah Corona

I’tikaf adalah ibadah yang sangat dianjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah absen ber-i’tikaf di bulan Ramadhan sejak disyariatkan i’tikaf sampai akhir hayatnya. Dan ibadah i’tikaf itu dilakukan di masjid. 

Di tengah wabah virus corona sekarang ini, banyak masjid-masjid ditutup dan masyarakat diimbau untuk beribadah di rumah. Lalu bagaimana dengan pelaksanaan i’tikaf di masa wabah seperti ini? Kita simak fatwa para ulama kontemporer berikut ini. 

Fatwa Asy Syaikh Dr. Sa’ad bin Turki Al Khatslan

Beliau hafizhahullah mengatakan:

I’tikaf tidak syariatkan kecuali di masjid. Dan ini adalah pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Madzhab Hanafi membolehkan bagi wanita untuk i’tikaf di mushalla al bait (tempat shalat di rumah). Namun ini pendapat yang lemah. 

Yang rajih, i’tikaf bagi laki-laki ataupun wanita tidak disyariatkan kecuali di masjid. Inilah yang diamalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat, tabi’in serta tabi’ut tabi’in.

Adapun terkait kondisi sekarang ini (wabah corona), maka orang yang sudah terbiasa i’tikaf di tahun-tahun sebelumnya, maka ia tetap mendapatkan pahala i’tikaf secara sempurna, seakan-akan dia melakukan i’tikaf di tahun ini. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

إذَا مَرِضَ العَبْدُ، أوْ سَافَرَ، كُتِبَ له مِثْلُ ما كانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang ahli ibadah jatuh sakit atau safar, ia tetap diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia tidak dalam safar” (HR. Bukhari no. 2996).

Adapun bagi orang yang tidak terbiasa i’tikaf di tahun-tahun sebelumnya, maka kita katakan, amalan kebaikan itu banyak. Karena amalan kebaikan (di 10 hari terakhir Ramadhan) itu bisa berupa i’tikaf, dan bisa juga berupa amalan selain i’tikaf yang dilakukan di rumah. Seperti, bertasbih, bertahlil dan membaca dzikir-dzikir yang lain. 

Sedangkan i’tikaf itu adalah ibadah, dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Dan ibadah i’tikaf ini disebutkan dalam dalil-dalil hanya bisa dilakukan di masjid saja. Dan tidak disyariatkan dilakukan di selain masjid”.

Fatwa Asy Syaikh Dr. Utsman bin Muhammad Al Khamis

Beliau ditanya: “apakah sah i’tikaf di rumah? Khususnya untuk kondisi sekarang ini (wabah corona). Apakah harus mengkhususkan suatu tempat tertentu di rumah jika memang dibolehkan?”. 

Beliau menjawab:

Tidak sah i’tikaf di rumah. I’tikaf itu di masjid. Allah ta’ala berfirman:

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“… ketika engkau sedang i’tikaf di masjid” (QS. Al Baqarah: 187).

Namun jika seseorang sudah terbiasa i’tikaf, maka ia tetap akan mendapatkan pahala. Jika ia sudah berencana untuk i’tikaf, lalu ternyata terjadi wabah seperti sekarang ini (sehingga tidak bisa i’tikaf). Maka ia tetap mendapatkan pahala i’tikaf. 

Agama itu mudah, dan rahmat Allah itu luas. Ini perkara yang gamblang. Allah ta’ala berfirman:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al Baqarah: 261).

Allah ta’ala melipat-gandakan ganjaran. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ

“Barangsiapa siapa yang berniat melakukan satu kebaikan namun tidak jadi ia amalkan, maka ditulis baginya satu kebaikan. Namun siapa yang berniat melakukan satu kebaikan lalu diamalkan, ditulis baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipat” (HR. Muslim no. 130).

Allah itu Maha Pemurah.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=BJPOORtTB-o

Fatwa Asy Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar Ruhaili

Beliau mengatakan:

الاعتكاف للرجال يكون في المساجد بالاتفاق وكذلك للنساء عند جمهور الفقهاء وهو الراجح فلا اعتكاف للرجال ولا للنساء إلا في المساجد فقد قيد الاعتكاف في النصوص بالمساجد والعبادات مبنية على التوقيف وعليه فلا يشرع هذا العام الاعتكاف في البيوت من أجل إغلاق المساجد وتكفي النية الصالحة

“I’tikaf bagi laki-laki tempatnya di masjid berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian juga wanita, pendapat jumhur fuqaha, dan ini pendapat yang rajih, bahwa tempatnya di masjid. Maka tidak boleh bagi laki-laki atau wanita ber-i’tikaf kecuali di masjid. I’tikaf dalam nash-nash dalil dikaitkan dengan masjid. Dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Maka tidak disyariatkan di tahun ini untuk i’tikaf di rumah karena ditutupnya masjid-masjid. Cukupkah seseorang punya niat yang tulus (untuk i’tikaf)”. (Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1256694658106884096)

Beliau juga mengatakan:

أحذر المؤمنين من الفتاوى والدعوات الداعية إلى الاعتكاف في المساجد في هذه الجائحة مخالفة لأمر ولي الأمر بترك هذا فلا تفعل سنة بمعصية ، كما أحذر من الفتاوى والدعوات الداعية إلى الاعتكاف في البيوت مخالفة للأدلة برأي محض ضعيف في أصل العبادة

“Saya memperingatkan kaum Mukminin terhadap fatwa-fatwa dan terhadap para da’i yang memfatwakan untuk tetap i’tikaf di masjid dalam kondisi sekarang ini. Yang ini bertentangan dengan perintah ulil amri untuk meninggalkan i’tikaf di masjid (karena wabah). Tidak boleh melakukan ibadah yang sunnah dengan bermaksiat. Dan aku juga memperingatkan kaum Mukminin terhadap fatwa-fatwa dan terhadap para da’i yang memfatwakan bolehnya i’tikaf di rumah dengan sekedar opini semata. Yang ini bertentangan dengan dalil-dalil tentang hukum asal ibadah” (Sumber: https://twitter.com/solyman24/status/1259229549260410884).

Semoga bermanfaat.

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56571-fatwa-ulama-itikaf-di-masa-wabah-corona.html