ABDUL HUSAIN adalah seorang rohaniawan asal Irak. Dia telah menempuh jalan spritual sejak mudanya dan mendapat gelar Nuri (manusia yang bercahaya) karena bisa menjelaskan rahasia-rahasia kehidupan yang amat pelik dengan cahaya batinnya.
Kisah hidupnya cukup unik. Setiap hari, dia akan meninggalkan rumahnya saat masih subuh buta, pergi ke kedainya untuk mengambil beberapa potong roti, lalu menyerahkannya pada fakir miskin. Setelahnya dia ke mesjid untuk salat Subuh dan tetap di situ hingga matahari terbit. Lalu dia kembali ke kedainya untuk berjualan. Dengan rutinitas seperti itu, orang-orang di rumahnya menyangka bahwa dia telah makan di kedai. Sementara orang-orang di pasar menyangka bahwa dia selalu makan di rumah. Salah sangka orang atas Nuri ini berlangsung selama 20 tahun tanpa seorang pun mengetahui perihal sebenarnya.
Tentang dirinya sendiri, Nuri pernah berkisah: “Bertahun-tahun aku berjuang mengekang diri dan meninggalkan pergaulan ramai. Tapi betapapun aku berusaha keras, jalan menuju Allah tak kunjung terbuka. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku. Aku membatin, Jika tidak, biarlah aku mati terlepas dari hawa nafsu ini’. Hai tubuhku, aku berkata, bertahun-tahun sudah kau menuruti hawa nafsumu sendiri; makan, melihat, mendengar, berjalan-jalan, tidur, bersenang-senang dan memuaskan hasrat. Sungguh semua itu akan mencelakakanmu. Sekarang masuklah ke dalam penjara, akan kubelenggu dirimu dan kukalungkan di lehermu segala kewajiban Allah. Jika kau sanggup bertahan dalam keadaan seperti itu, kau pasti akan meraih kebahagiaan. Tapi jika kau tak sanggup, maka setidaknya kau akan mati di jalan Allah’.”
Demikianlah aku berjalan di jalan Allah. Pernah kudengar bahwa hati para pesuluk merupakan alat yang amat awas dan mengetahui rahasia segala sesuatu yang terlihat dan terdengar oleh mereka. Karena aku sendiri tak memiliki hati seperti itu, maka aku pun berkata pada diriku sendiri: Ucapan-ucapan para nabi dan manusia suci adalah benar. Mungkin sekali aku telah bersikap munafik dalam usahaku selama ini, dan kegagalanku ini adalah karena kesalahanku sendiri …
Sekarang aku ingin merenungi diriku sendiri, sehingga aku benar-benar mengenalnya’. Maka aku pun merenungi diriku sendiri. Ternyata kesalahanku adalah bahwa hati dan hawa nafsuku masih bersatu. Sadarlah aku bahwa hal inilah yang menjadi sumber kemuskilanku selama ini. Cahaya Tuhan yang bersinar dalam hatiku telah dicuri oleh hawa nafsuku.” []