Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,
ALLAH ADALAH AL-HAKIM (YANG MAHA MENENTUKAN HUKUM DAN BIJAKSANA) DAN PENGARUHNYA PADA SYARIAT-NYA
Di antara nama-nama Allah Ta’ala yang terindah (asma’ul husna) adalah Al-Hakim, Yang Maha Menentukan Hukum dan Bijaksana). Hanya Allahlah semata Sang Penentu hukum (baik hukum syariat Islam, hukum takdir, maupun hukum balasan di dunia maupun akherat), dan hukum-hukum-Nya pada puncak kebijaksanaan, kesempurnaan, dan keindahan.
Tidaklah Allah men-syariat-kan suatu hukum syariat, kecuali pasti ada hikmah yang sempurna di dalamnya. Terkadang kita tahu, namun banyak yang kita tidak tahu. Termasuk syariat puasa Ramadan yang sedang kita jalani.
DALIL HIKMAH PUASA
Setidaknya ada dua dalil hikmah puasa.
Dalil Pertama
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Dalam ayat yang agung ini, Allah Ta’ala telah kabarkan hikmah yang agung dari kewajiban berpuasa Ramadan, berupa diraihnya ketakwaan. Sedangkan takwa adalah melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Puasa adalah sarana untuk merealisasikan takwa, sedangkan takwa adalah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.
Puasa termasuk sebab yang terbesar seseorang bisa melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Puasa Ramadan adalah madrasah imaniyyah agar seorang hamba mudah melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, mudah bertakwa kepada Allah Ta’ala semata.
Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,
Pertama, hikmah puasa adalah diraihnya ketakwaan.
Kedua, puasa itu adalah bagian dari keimanan. Oleh karena itu, yang diseru untuk melaksanakannya adalah orang-orang yang beriman.
Ketiga, puasa Ramadan itu diwajibkan bagi kita sebagaimana puasa juga diwajibkan bagi umat-umat sebelum umat Islam karena puasa termasuk syariat dan perintah yang bermanfaat bagi makhluk di setiap zaman. Jadi, janganlah seseorang merasa berat berpuasa, karena itu bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia dengan bertakwa dan di akhirat dengan masuk surga, terhindar dari siksa.
Dalil Kedua
Hadis dari riwayat Al-Bukhari, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak menginginkan (baca: tidak memberi pahala) aktifitas meninggalkan makan dan minum yang dilakukannya (puasanya).” (HR. Al-Bukhari)
Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
فأما قول الزور فهو: كُلُّ قولٍ محرّم من السب، والشتم، والكذب، والغِيبة، والنّميمة والفحش… وأما العمل بالزور فهو: العمل بكل فعل محرم من الغش والخيانة والخيانة في البيع والشراء وغيرهما والربا صريحًا كان أو تحيُّلاً
“Maka, adapun ucapan “az-zuur” adalah setiap ucapan yang haram, baik berupa mencela, mengumpat, dusta, menggunjing, mengadu domba … Dan adapun amal “az-zuur” adalah setiap perbuatan yang haram berupa penipuan, khianat, khianat dalam jual beli, dan selainnya, dan riba yang terang-terangan ataupun yang akal-akalan.” [1]
Beliau rahimahullah juga berkata,
فالذي لا يترك هذه الأشياء لم يَصُمْ حقيقةً، فهو قد صَامَ عمَّا أحلَّ اللهَ، وفعل ما حرَّم الله
“Maka orang yang tidak meninggalkan meninggalkan perkara-perkara ini (ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh), maka hakikatnya ia tidak puasa. Karena memang (zahirnya) ia puasa (menahan) dari perkara yang dihalalkan oleh Allah, namun ia melakukan perkara yang diharamkan oleh-Nya.” [2]
Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
أي: أن الله تعالى لا يريد منَّا من الصيام أن ندع الطعام والشراب ولكن يريد منَّا أن ندع قول الزور والعمل به والجهل
“Yaitu, bahwa Allah Ta’ala tidaklah menghendaki dari ibadah puasa kita itu (sekadar) meninggalkan makan dan minum. Namun (hakikatnya) menghendaki dari kita agar kita meninggalkan ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh.” [3]
Dari hadits tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,
Pertama, hikmah puasa itu untuk meraih takwa dengan menghindari ucapan dan perbuatan haram yang berarti menunaikan kewajiban.
Kedua, puasa yang sesungguhnya itu bukan sekadar meninggalkan makan dan minum, namun puasa yang hakiki adalah puasa yang berbuah takwa, yaitu menghindari ucapan dan perbuatan haram dan larangan Allah lainnya, serta menunaikan kewajiban dan perintah Allah lainnya.
Ketiga, setiap dosa dan maksiat itu berdampak buruk pada puasa seseorang. Semakin banyak seseorang menghindari maksiat, maka semakin bagus kualitas puasanya. Begitu pula sebaliknya, semakin seseorang banyak melakukan maksiat, semakin menurun pahala puasa seseorang.
BERBAGAI BENTUK KETAKWAAN YANG MERUPAKAN HIKMAH PUASA RAMADAN
Ulama rahimahumullah telah menyebutkan berbagai macam hikmah puasa Ramadan. Semuanya kembali kepada perkara ketakwaan kepada-Nya semata. Seseorang jika benar-benar berpuasa dengan ikhlas dan sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan menghasilkan berbagai bentuk ketakwaan:
Pertama, puasa melahirkan berbagai bentuk pelaksanaan perintah Allah.
Karena puasa membiasakan seseorang melakukan berbagai ketaatan yang disyariatkan. Ketaatan tersebut dilakukan saat sedang berpuasa. Hal ini menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan ketaatan lainnya, seperti: bertauhid, salat berjemaah lima waktu, menunaikan zakat, sedekah, baca Alquran, berbakti kepada orang tua, meninggalkan gibah, meninggalkan mencari nafkah dengan cara haram, dan lain-lain.
Kedua, puasa melahirkan berbagai bentuk menjauhi larangan-Nya.
Karena puasa itu membiasakan seseorang menahan diri dari perkara yang hukum asalnya halal yang dicintai syahwat (makan, minum, dan hubungan badan) dalam rangka taat kepada Allah serta mencari rida Allah semata. Hal ini menyebabkan seseorang terdorong untuk menahan diri dari seluruh perkara haram.
Ketiga, puasa itu menyempitkan jalan-jalan setan dalam tubuh manusia.
Karena sebagaimana dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم
“Sesungguhnya setan mengalir [4] dalam diri keturunan Nabi Adam -‘alaihis salam- di tempat aliran darah.”
Syaikhul Islam rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa (25: 246), “Tidak ada keraguan bahwa darah terbentuk dari makanan dan minuman. Dan jika seseorang makan atau minum, maka darah tempat mengalirnya setan-setan akan meluas. Sedangkan jika ia puasa, maka tempat mengalirnya setan-setan akan menjadi sempit, sehingga tergeraklah hati melakukan ketaatan dan meninggalkan kemungkaran.” [5]
Maka, dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan menjadi sedikit kemaksiatan karenanya.
Keempat, puasa itu menundukkan syahwat dan mengendalikan hawa nafsu.
Oleh karena itu, solusi bagi pemuda yang belum mampu menikah adalah berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan (menafkahi rumah tangga), maka menikahlah. Karena sesungguhnya, perhikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual.” (HR. Muslim)
Kelima, puasa membuahkan sterilnya pelakunya dari akhlak yang buruk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa puasa itu perisai bagi pelakunya dari hal-hal yang merusak puasa dan mengurangi kesempurnaannya. [6] Termasuk juga perisai dari akhlak buruk. Dan hendaknya orang yang berpuasa berhiaskan diri dengan akhlak yang baik. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ ـ مَرَّتَيْنِ
“Puasa itu adalah perisai, maka janganlah (seseorang yang sedang berpuasa) mengucapkan ucapan yang kotor, dan janganlah bertindak bodoh, dan jika ada orang yang sewenang-wenang merebut haknya atau mencelanya, maka katakan, ‘Saya sedang puasa.’ (dua kali).” (HR. Bukhari)
Keenam, puasa membuahkan rasa syukur kepada Allah.
Seseorang yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, dan hubungan badan. Ini semua termasuk nikmat yang paling besar. Menahan diri dari nikmat-nikmat tersebut seharian dengan berpuasa akan menyadarkan seseorang kadar nikmat yang besar tersebut sehingga mendorong seseorang menyukurinya, terutama saat berbuka puasa.
Ketujuh, puasa membuahkan zuhud terhadap dunia.
Pada aktifitas berpuasa terdapat bentuk menahan diri dari menunaikan dua pokok syahwat perhiasan dunia yaitu perut dan kemaluan. Hal ini mendorong pelakunya untuk zuhud terhadap dunia dan perhiasannya dalam bentuk meninggalkan perkara dunia yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.
Kedelapan, orang yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala meskipun sendirian.
Sehingga tidak berani makan minum dan hubungan suami istri di siang Ramadan padahal ia mampu melakukannya. Karena meyakini Allah melihatnya dan mengetahui perbuatannya.
Kesembilan, ibadah puasa hakikatnya merupakan bentuk tarbiyyah (pendidikan) sosial kemasyarakatan.
Mendidik pelakunya menjadi insan yang peka terhadap masyarakatnya dan bentuk tarbiyyah tersebut berupa:
Pertama, memperkuat kasih sayang dan semangat tolong menolong dalam kebaikan di antara kaum muslimin, antara si kaya dengan si miskin. Karena si kaya merasakan sebagian kesulitan si miskin berupa rasa lapar meski beberapa saat ketika berpuasa. Maka, bagaimana lagi fakir miskin yang lapar setiap harinya? Sehingga hal ini menyebabkan si kaya tergerak untuk bersedekah, memberi makan buka puasa, dan berzakat di bulan Ramadan.
Kedua, memupuk persatuan di antara kaum muslimin, karena mengawali puasa Ramadan dan mengakhirinya secara bersama-sama. Sahur dan buka pun pada waktu yang bersamaan.
Ketiga, mengajarkan kesamaan kedudukan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, bangsawan bernasab tinggi dan rakyat yang tak bernasab tinggi. Tidak ada yang membedakan di antara mereka, kecuali ketakwaannya.
Semoga Allah Ta’ala menyampaikan umur kita sehingga kita bisa berjumpa dengan bulan Ramadan dan menganugerahkan kepada kita kemampuan beribadah dengan ikhlas dan sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
[Bersambung]
***
Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah