Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, mencoba menjelaskan gambaran seputar riya’. Pamer atau riya merupakan salah satu perilaku yang tidak disukai Allah SWT. Untuk menghindari hal ini, utamanya dalam hal beribadah, bukanlah hal yang gampang.
Abu Hamid al-Ghazali dalam Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102, menyebut “Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya”. Dalam kitab yang sama di halaman 100-101, Imam al-Ghazali menerangkan secara lengkap enam tempat yang berpotensi menumbuhkan rasa riya’.
1. Badan dan raut muka
Imam al-Ghazali menyampaikan beberapa contoh yang berkaitan dengan hal ini. Salah satunya, menampakkan badan yang kurus dan lemah, agar orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa, dan lainnya.
Memperlihatkan raut muka sedih juga termasuk dalam perilaku pamer, dengan tujuan agar terlihat seperti orang yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia.
2. Penampilan
Contoh dari hal ini adalah mencukur kumis agar terlihat lebih menawan dan mempesona, sehingga banyak orang terpukau. Contoh lainnya adalah menundukkan kepala saat berjalan, bergerak dan melangkah secara elegan, dengan harapan tampak lebih berwibawa.
Atau, seseorang bisa saja menampakkan bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya.
3. Cara berpakaian
Orang yang ingin pamer biasanya terlihat mengenakan pakaian lengan panjang dengan lengan baju yang terlipat, dengan alasan agar terlihat lebih keren.
Atau kebalikannya, sengaja menggunakan baju yang lusuh dengan beberapa tambalan, tujuannya agar terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.
4. Riya’ dalam hal ucapan
Jebakan ini kerapkali menjebak para dai. Karena itu, lebih baik bagi seseorang untuk berhati-hati dengan ucapannya, karena orang alim sekalipun tidak terlepas dari penyakit ini.
Maka, wajar jika Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadist riwayat Mu’âdz bin Jabal, “Termasuk ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara daripada mendengar”. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).
5. Pamer dalam perbuatan
Beberapa bentuk dari poin ini adalah memperlama durasi rukuk dan sujud, atau menampilkan kepada khalayak saat bersedekah, puasa, atau haji.
Semua contoh itu sangat potensial dalam memunculkan riya’. Bahkan, gerak-gerik tubuh ketika melenceng dari niat luhur, kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.
6. Banyaknya murid atau guru yang dipamerkan
Perilaku riya bisa tumbuh karena banyaknya murid, teman, maupun guru yang bisa dipamerkan. Orang yang sering berkunjung kepada para gurunya, membuat ia memiliki gambaran atau branding diri yang baik di mata umat.
Sekilas membaca penjelasan Imam al-Ghazali tentang enam potensi yang menyebabkan riya’, seolah membuat gambaran untuk beramal shaleh menjadi susah. Beramal lillahi ta’ala, murni karena Allah semata memang tidak mudah.
Hal ini semata bukan karena Allah SWT mempersulit aksesnya, tetapi karena hati manusia penuh oleh nuansa syaithani, egoisme dan mabuk dunia. Yang demikian membuat seseorang menjadi sulit dalam menemukan kemurnian ibadah yang sebenarnya.
“Sebagai hamba Allah SWT, tentu orang tidak boleh berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai, atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya,” tulis Ust Ahmad Dirgahayu.
Terakhir, ia menyebut kunci dari beribadah adalah tidak sampai berhenti karena terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan tidak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya.