Islam, Jihad, dan Peringatan Aksi Bom Thamrin

Islam, Jihad, dan Peringatan Aksi Bom Thamrin

Kamis, 14 Januari 2016, Indonesia dikejutkan oleh peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Yang melakukan aksi tersebut adalah Jaringan Ansharut Daulah (JAD).

Bom ini terjadi setelah enam tahun masyarakat merasakan ketenangan yang jelas saja menyiratkan pesan bahwa kelompok teroris tidak tinggal diam dan menunggu waktu.

Pelaku dalam peristiwa ini adalah Ahmad Muhazam yang meledakkan diri di kedai kopi Starbucks, Dian Juni Kurniadi yang menyerang pos polisi dekat gedung Sarinah, sedangkan Sunakim dan Muhammad Ali muncul belakangan menuju arah kerumunan massa lalu meledakkan diri setelah beberapa saat baku hantam dengan polisi.

Aman Abdurraham, terdakwa dalam aksi ini, adalah pendiri Jaringan Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS. Bagi kelompok ini, Islam bukan hanya sekadar agama yang mengajarkan nilai-nilai moral, tetapi juga seperangkat undang-undang yang perlu diterapkan dalam bentuk negara.

Anggota JAD tidak hanya diberikan pemahaman-pemahaman agama yang eksklusif, tetapi mereka juga dilatih secara fisik semacam pelatihan militer untuk siap melakukan aksi-aksi serangan.

Banyak aksi teror yang diinisiasi oleh JAD, antara lain serangan di Mapolres Surakarta, bom molotov di Samarinda, ledakan di Bandung, kerusuhan di Mako Brimob tahun 2018, peristiwa bom Sarinah, dan banyak lagi. Ini semua ulah JAD.

Setelah tujuh tahun berlalu, aksi-aksi terorisme tidak juga berhenti. Para teroris merancang dan menyiapkan berbagai aksi yang siap mengejutkan kita kapan saja. Sepanjang tahun 2021, Datasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88), menangkap setidaknya 370 orang tersangka teroris.

Meskipun agama bukanlah satu-satunya faktor dari aksi pengeboman, tetapi dalam aksi ini ia berperan besar. Para pelaku meyakini betul bahwa mereka adalah Muslim. Sementara itu, dalam Islam, ajaran yang sering digunakan untuk membenarkan aksi keji ini adalah “jihad”.

Secara bahasa, jihad berasal dari kata “mujahadah” yang mempunyai arti “berperang demi menegakkan agama Tuhan.” Dalam kajian sejarah Islam, maknanya tidak tunggal. Jihad bisa juga diartikan dengan menahan diri.

Dalam Al-Qur’an sendiri, kata ja-ha-da berulang sampai 39 kali dengan berbagai makna. Sepuluh di antaranya dalam konteks peperangan. Selebihnya merujuk pada berbagai aktivitas lahir dan batin dalam menerapkan kehendak Allah di muka bumi.

Moralitas luhur, penegakan keadilan, kedamaian, hingga kesejahteraan adalah bagian dari perintah Allah. Membumikan nilai-nilai Islam. Karenanya jihad tidak bisa hanya dimaknai sebagai penerapan kekerasan di medan perang.

Tidak bisa dimungkiri bahwa ada ayat atau hadis yang kerap digunakan oleh para teroris untuk melakukan aksi teror, membunuh, melenyapkan nyawa manusia. Seperti yang tertuang dalam Q.S. Muhammad/47: 4.

فَاِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَضَرْبَ الرِّقَابِۗ حَتّٰٓى اِذَآ اَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَۖ فَاِمَّا مَنًّاۢ بَعْدُ وَاِمَّا فِدَاۤءً حَتّٰى تَضَعَ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا ەۛ ذٰلِكَ ۛ وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يُّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ

Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka penggallah batang leher mereka. Selanjutnya apablia kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka, dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai.

Demikianlah, dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan mereka, tetapi Dia telah menguji kamu satu sama lain. Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak menyia-nyiakan amal mereka..”

Jika hanya melihat sekilas, ayat ini seolah membenarkan tindakan teror dan pembunuhan. Padahal, konteks ayat ini adalah peperangan, kondisi di medan perang. “Sampai perang selesai”. Ayat ini juga berbicara tentang membebaskan tawanan. Jadi tidak semuanya harus dibunuh.

Sah-sah saja jika kita mengagumi Nabi Muhammad sebagai sosok yang kuat di medan perang, tetapi kita juga perlu melihat wajah Nabi yang sejuk dan sederhana.

Dari wajah Nabi yang dengan tulus menyuapi orang tua Yahudi, hingga wajah Nabi yang ringan membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Dengan begitu, kita bisa merasakan wajah Islam yang sejuk, damai, dan membebaskan.

Para teroris lahir dari ketakutan-ketakutan yang mereka rasakan. Perasaan terasing, terbuang, terancam. Ketika melihat negara, mereka frustasi dengan berbagai kekacauan dan ketidakadilan. Tidak heran jika mereka menganggap bahwa negaranya sebagai thaghut dan wajib diperangi.

Dalam pengalaman perempuan juga demikian. Mereka mengalami berbagai ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, dan sederet permasalah hidup yang kompleks. Sayangnya, ketika mereka lari ke agama, masalah yang disuguhkan penceramah adalah pendangkalan akidah, kurang ibadah, tidak menutup aurat, hingga maskiat. 

Oleh karenanya, alih-alih keluar dari permasalahan yang dihadapi, para perempuan ini semakin menarik diri, menutup aurat rapat-rapat, hingga tenggelam dalam jurang kekerasan. Pilihan yang mereka terima bukan perjuangan untuk hidup melawan kekerasan, melainkan “hidup mulia atau mati syahid.”

BINCANG SYARIAH