Kaidah-Kaidah Penting Memahami Hakikat Istiqomah (bag. 4)

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.
Alhamdulillah kami dapat kembali melanjutkan serial artikel Kaidah-Kaidah Penting Memahami Hakikat Istiqomah.

Kaidah keempat: istiqomah yang dituntut adalah as-sadaad, jika tidak mampu maka berusaha mendekati (derajat istiqomah)
As-sadaad yaitu berusaha seoptimal mungkin mencocoki al-qur’an dan sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda

فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَأَبْشِرُوْا

Luruslah, mendekatlah dan berilah kabar gembira..” (HR. Bukhari)
Yang dituntut dalam bab istiqamah adalah as-sadaad (lurus), tidak pernah melenceng dan tidak berbelok dari jalan kebenaran, inilah kesempurnaan istiqomah seorang hamba.
Namun, tidak mungkin seorang hamba tidak pernah berbuat kesalahan. Yang terpenting, kita tidak sengaja untuk terjerumus dalam kesalahan dan segera kembali ke jalan yang lurus ketika sadar mulai melenceng dari kebenaran. Inilah yang dimaksud dengan mendekati lurus, yaitu senantiasa rujuk kepada al-qur’an dan sunnah setelah sebelumnya tergelincir.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6)

Penyebutan istighfar setelah perintah istiqomah adalah isyarat bahwa seorang hamba pasti punya kekurangan dalam istiqomah walaupun ia telah berusaha secara optimal.
Al Hafidz Ibnu Rajab rahimahullaah menjelaskan maksud ayat di atas

إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ لَابُدَّ مِنْ تَقْصِيرٍ فِي الِاسْتِقَامَةِ الْمَأْمُورِ بِهَا، فَيُجْبَرُ ذَلِكَ بِالِاسْتِغْفَارِ الْمُقْتَضِي لِلتَّوْبَةِ وَالرُّجُوعِ إِلَى الِاسْتِقَامَةِ، فَهُوَ كَقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذٍ ((اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا))

“Ayat ini merupakan isyarat bahwa pasti terdapat kekurangan dalam merealisasikan istiqomah. Kemudian kekurangan itu bisa ditutupi dengan beristighfar (memohon ampun). Dan istighfar ini memiliki konsekuensi untuk bertaubat dan kembali istiqomah. Sehingga keadaan ini sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz, “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan iringilah perbuatan buruk itu dengan kebaikan untuk menghapusnya.”

Saudariku, seseorang yang ingin menggapai derajat istiqomah tentu akan senantiasa merasa kurang dalam amalnya sehingga senantiasa istighfar dan bertaubat kepada Allah.

Kaidah kelima: istiqomah mencakup perkataan, perbuatan dan niat.

Maksudnya, seluruh sikap kita dituntut untuk istiqomah, baik yang lahir berupa perkataan dan perbuatan, maupun yang batin berupa niat yang lurus. Inilah hakikat kesempurnaan istiqomah, yaitu sejalannya perkataan, perbuatan dan hati di atas kebenaran sesuai al-qur’an dan sunnah.
Bagaimana agar perkataan, perbuatan dan niat bisa istiqomah? Kuncinya ada pada perbaikan qalbu, sebagaimana kaidah ‘pokok istiqomah adalah istiqomahnya qalbu’. Walaupun qalbu hanyalah segumpal daging, namun seluruh tubuh bertindak sesuai arahannya.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةُ،

Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh jasad dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)

Kaidah keenam: istiqomah harus lillah, billah wa ‘ala amrillah.

Lillah maknanya ikhlas kepada Allah, yaitu menempuh jalan istiqomah karena ikhlas mengharap balasan dan ridho Allah Ta’ala. Tidaklah Allah memerintahkan suatu ketaatan dan membalasnya kecuali agar hamba mengikhlaskan amal hanya untuk-Nya.
Allah berfirman

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Billah artinya, meminta pertolongan Allah agar di tetapkan di atas keistiqomahan. Seorang hamba diperintahkan untuk istiqomah dan menempuh sebabnya, namun keistiqomahan adalah pemberian Allah, maka hendaknya kita meminta tolong kepada Allah untuk bisa menempuh sebab-sebabnya dan kokoh di atas jalan istiqomah. Dalam banyak dalil, Allah menggandengkan perintah beribadah dengan perintah untuk memohon pertolongan kepadanya.
Allah berfirman dalam ummul qur’an

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
Rasulullah juga menegaskan perintah memohon pertolongan kepada Allah dalam setiap amal
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ

Bersungguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (untuk menjalankannya).” (HR. Muslim No. 2664)
Dan ‘ala amrillah, yaitu istiqomah dengan menempuh jalan yang benar sesuai syariat Allah.
Allah berfirman

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ

Maka istiqomahlah kamu (di atas jalan yang benar) sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Hud: 112)

Seseorang yang menginginkan istiqomah hendaknya mengikhlaskan niatnya kepada Allah, memohon pertolongan kepada-Nya dan menjaga batasan-batasan Allah berupa perintah dan larangan-Nya.
Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat. Simak terus pembahasan tentang kaidah-kaidah untuk memahami hakikat istiqomah di artikel muslimah.or.id selanjutnya, in syaa Allah.

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Isiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.
Referensi lain:
Terjemahan Al-Quran Al-Kariim

Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11311-kaidah-kaidah-penting-memahami-hakikat-istiqomah-bag-4-2.html