Salah satu prinsip dalam mengamalkan sunnah Nabi adalah membedakan sunnah yang rutin dengan yang kadang-kadang. Karena di antara sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ada yang Nabi jadikan sebagai qa’idah (قاعدة) atau hal yang dilakukan secara umum, konsisten, rutin dan jadi pegangan utama. Dan ada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang Nabi lakukan karena waqi’atu ‘ain (واقعة عين) atau perkara yang insidental, hanya kondisi atau waktu tertentu, atau hanya kadang-kadang saja.
Dua hal ini harus dibedakan dan ditempatkan sesuai tempatnya. Syaikh Mustafa al ‘Adawi menerangkan:
هناك أحاديث تقعد قواعد, وأحاديث واقعة عين. لا يعدى إلى ما سواها. أو أحاديث يكون العمل بها باطراد و أحاديث يجوز العمل بها أحيانا
“Ada hadits-hadits yang dijadikan Nabi sebagai kaidah. Dan ada hadits-hadits yang waqi’atu ‘ain (insidental), tidak bisa diterapkan pada kondisi-kondisi lainnya. Dan ada hadits yang diamalkan secara menyeluruh (rutin) serta ada hadits yang pengamalannya kadang-kadang” (Mafatih Al Fiqhi fid Diin, hal. 77).
Contohnya, Abu Hurairah radhiallahu’anhu pernah diminta untuk meminum susu oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai kekenyangan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اقْعُدْ فَاشْرَبْ، فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ، فَقالَ: اشْرَبْ، فَشَرِبْتُ، فَما زَالَ يقولُ: اشْرَبْ حتَّى قُلتُ: لا، والَّذي بَعَثَكَ بالحَقِّ، ما أجِدُ له مَسْلَكًا، قالَ: فأرِنِي، فأعْطَيْتُهُ القَدَحَ، فَحَمِدَ اللَّهَ وسَمَّى وشَرِبَ الفَضْلَةَ
“Duduklah Abu Hurairah dan minumlah!”. Maka aku pun duduk dan minum susu. Nabi terus berkata: “Minum lagi …”. Sampai akhirnya aku katakan: “Tidak Rasulullah, demi Allah, sudah tidak ada lagi tempat dalam perutku”. Nabi berkata: “Kalau demikian, berikan padaku susu tersebut”. Aku pun berikan wadah susu kepada beliau, lalu beliau memuji Allah dan menyebut nama-Nya, lalu meminum sisa susu yang ada. (HR. Bukhari no.6452).
Bukan berarti hadits ini bermakna kita dianjurkan untuk makan sampai kekenyangan setiap saat. Karena ini bersifat waqi’atu ‘ain, hanya insidental dan sesekali saja.
Yang Nabi jadikan kaidah dalam masalah makan adalah hadits Al Miqdam bin Ma’di Karib radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطنِه ، بحسْبِ ابنِ آدمَ أُكُلاتٌ يُقِمْنَ صُلبَه ، فإن كان لا محالةَ ، فثُلُثٌ لطعامِه ، و ثُلُثٌ لشرابِه ، و ثُلُثٌ لنفَسِه
“Tidak ada wadah yang lebih buruk daripada perut manusia yang kepenuhan. Hendaknya seseorang mengonsumsi apa yang dapat membuat tulang punggungnya tegak. Jika tidak bisa menahan diri, maka hendaknya 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman dan 1/3 untuk nafas” (HR. At Tirmidzi no. 2380, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Inilah yang hendaknya senantiasa diamalkan, dirutinkan dan dijadikan pegangan. Yaitu makan secukupnya, tidak sampai kekenyangan. Namun berdasarkan hadits Abu Hurairah di atas, makan kekenyangan itu boleh saja jika kadang-kadang. Semisal ketika sedang dijamu oleh orang lain, sehingga membahagiakan yang menjamunya.
Syaikh Mustafa al ‘Adawi hafizhahullah menjelaskan:
أما أن نجعل النادر من فعله صلى الله عليه وسلم هو الغالب من أفعالنا, ونجعل الغالب من فعله هو النادر من أفعالنا فهذا خلل واضح وجهل في التشريع
“Adapun menjadikan perbuatan Nabi yang Nabi lakukan kadang-kadang sebagai perbuatan yang kita lakukan secara rutin dan sering, lalu menjadikan perbuatan Nabi yang sering Nabi lakukan menjadi perbuatan yang jarang kita lakukan, ini adalah kesalahan yang nyata dan kejahilan terhadap syariat” (Mafatih Al Fiqhi fid Diin, hal. 81).
Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Yulian Purnama
Sumber: https://muslim.or.id/67395-membedakan-antara-qaidah-dan-waqiatu-ain.html