Berbagai fasilitas dan kemudahan bagi jamaah Indonesia di Tanah Suci barangkali membuat kesan pelaksanaan ibadah haji adalah perkara mudah tahun ini. Selepas pelaksanaan wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, kemudian melontar Jamarat dan bertawaf ifadhah, nyatanya ritual itu masih mendorong batas terjauh ketahanan fisik jamaah.
Nurjanah seorang jamaah asal Kampung Duri, Jembatan Besi, Jakarta Barat, punya kisah soal itu. Bukan muda lagi, ia sudah berusia 65 tahun, Nurjanah bergerak dari maktabnya di Mina Jadid menuju pemondokan di Hotel Al Wehdah selepas tengah malam Senin (20/8) dan langsung berjalan menuju Jamarat. Jarak lokasi itu bisa mencapai tujuh kilometer.
Keesokan harinya, pada Rabu (22/8) malam hingga Kamis (23/8) fajar, ia melakukan mabit di pelataran Mina sehubungan letak maktab yang jauh dari Jamarat. Dari Jamarat, selepas melontar jumrah, ia dan Abdullah (70 tahun) sang suami langsung diajak rekan satu kampungnya ke Masjid al-Haram untuk melaksanakan tawaf ifadhah meski kondisi badan masih kelelahan.
“Katanya waktu itu biar mabrur hajinye,” kata Nurjannah dengan logat betawi kental saat saya temui di Masjid al-Haram, Jumat (24/8).
Apesnya, Nurjanah dan suaminya ditinggal rekan sekampungnya di Masjid al-Haram. Jadilah sejak Kamis siang itu hingga Jumat (24/8) pagi mereka telantar di Masjid al-Haram. Saat itu, ia belum sekalipun kemasukan makanan sejak dari hotel.
“Minum zamzam saja terus biar kuat,” kata dia.
Bagaimanapun, tubuh manusia tetap punya batasnya. Nurjanah sudah lunglai pagi itu. Jalannya harus dipapah, sesekali ia muntah. Sedangkan Abdullah yang dengan sayang ia panggil “engkong” seperti panggilan dari enam cucu mereka, juga sedikit linglung. “Dia mahbegitu orangnye. Suka ngilang kaga bilang-bilang,” kata Nurjanah.
Ia kebingungan mencari jalan pulang ke hotelnya dari Masjid al-Haram. Air mata menggenang di matanya mengharapkan bantuan. “Ya Allah, susah amat ya mau nyari hani mabrur,” kata dia.
Abdullah dan Nurjanah menuturkan, mereka berangkat haji dengan uang hasil menjual tanah di kampung halaman. Selain itu, delapan tahun mereka menabung untuk melunasi biaya naik haji dari hasil mengontrakkan rumah.
Pada Jumat pagi, mereka akhirnya mendapatkan bantuan kembali ke Hotel Al Wehdah, tempat mereka tinggal. Setibanya di hotel setelah diantarkan mobil dari Daker Makkah, keduanya nampak menangis penuh haru. Berulang kali, mereka berangkulan dengan rekan-rekan serombongan yang sudah dua hari kebingungan juga mencari mereka. Meski lewat jalan yang sedemikian berat, Nurjanah akhirnya memungkasi ibadah hajinya.
Masing-masing jamaah selain Nurjanah dan Abdullah pada puncak ibadah haji juga punya kesusahan masing-masing. Ada Uher (55), dari Rangkas Bitung, Banten yang juga harus menghabiskan malam di lantai pelataran kompleks Jamarat karena lokasi maktabnya jauh dari jamarat.
“Nggak apa-apa, memang ibadah haji harus susah begini biar ada ceritanya,” saat ditemui di Jamarat, Kamis (23/8).
Ia mengatakan, berangkat haji bersama istri dengan hasil panen padi di kampung halaman. Menabung tujuh tahun, akhirnya ia bisa menggenapi pelunasan ibadah haji dan berangkat tahun ini. Kesusahan di Tanah Suci, menurutnya sebanding dengan pahala yang mereka harapkan.
“Kalau masih boleh sama Allah, saya mau banget kembali lagi ke Tanah Suci,” kata dia.
Pada puncak ibadah haji, fisik masing-masing jamaah memang seperti didorong hingga batas-batas paling ujung kemampuan mereka. Jangan kata yang berusia lanjut, buat yang muda pun berjalan belasan kilometer bukan perkara mudah.
Itu masih ditingkahi lagi dengan nelangsa lainnya seperti pemondokan yang terbatas ruangnya, makanan yang tak ramah dengan lidah masing-masing, cuaca panas yang menyengat, serta kebingungan soal lokasi.
Namun pada akhirnya, seperti yang disampaikan Pak Uher, hal-hal itulah yang membuat ibadah haji jadi penuh makna dan penuh kisah. Bukan sekadar wisata keagamaan, tapi sebenar-benarnya pengabdian hamba-hamba pada Tuhan mereka. Ia adalah bukti tak terbantahkan soal bagaimana keimanan punya daya gerak yang luar biasa pada umat manusia.