tersesat

Mengapa Orang Pintar Agama Bisa Tersesat?

Dalam berbagai forum pengajian, banyak jamaah yang bertanya, mengapa ada orang-orang pintar ilmu agama tetapi bisa tersesat? Mengapa ada orang-orang yang melecehkan al-Quran, menolak syariat Allah, dan bahkan yang menghalalkan perkawinan sesama jenis (homo dan lesbian), adalah orang-orang yang dikenal pintar ilmu agama? Ada apa dengan mereka?

Untuk menjawab itu, ada baiknya kita memperhatikan sejumlah ayat al-Quran yang artinya sebagai berikut:

وَاتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَاَ الَّذِىۡۤ اٰتَيۡنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنۡهَا فَاَتۡبَعَهُ الشَّيۡطٰنُ فَكَانَ مِنَ الۡغٰوِيۡنَ

وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنٰهُ بِهَا وَلٰـكِنَّهٗۤ اَخۡلَدَ اِلَى الۡاَرۡضِ وَاتَّبَعَ هَوٰٮهُ‌ ۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الۡـكَلۡبِ‌ ۚ اِنۡ تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ اَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَث ‌ؕ ذٰ لِكَ مَثَلُ الۡقَوۡمِ الَّذِيۡنَ كَذَّبُوۡا بِاٰيٰتِنَا‌ ۚ فَاقۡصُصِ الۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُوۡنَ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan, maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya), tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS: al-A’raf:175-176).

Ayat ini menjelaskan orang-orang yang sebenarnya sudah menerima ayat-ayat Allah, sudah memahaminya, tetapi dengan sengaja dia meninggalkan semua kebenaran itu. Faktor-faktor duniawi, hawa nafsu, menjadi pendorong untuk meninggalkan kebenaran.

Cara melepas kebenaran adalah laksana ular yang melepas kulitnya, dan menggantinya dengan yang baru. Kebenaran yang selama ini dia terima, seperti tidak berbekas sama sekali. Dia lebih memilih hawa nafsunya, lebih memilih kenikmatan dunia – harta, tahta, popularitas, dan sebagainya — ketimbang memilih kebenaran dan keselamatan akhirat.

Al-Quran menyebut, bahwa manusia-manusia jenis ini adalah laksana anjing, yang selalu menjulur-julurkan lidahnya. Para pemuja nafsu dunia ini memang akan tertutup hatinya dari kebenaran. Meskipun berbagai hujjah ditunjukkan pada mereka. Namun, hawa nafsu telah membutakan mata hatinya. Allah menjelaskan tentang manusia-manusia pemuja hawa nafsu semacam ini:

”Maka pernahkah kamu melihat orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah menyesatkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan penghalang atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberi petunjuk sesudah Allah. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia ini saja; kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain waktu, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai ilmu tentang itu; mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan dari mereka selain mengatakan: Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar.”  (QS: al-Jaatsiyah:23-25).

Namun, orang-orang yang tersesat bukan hanya karena soal hawa nafsu. Ada juga yang tersesat karena ketiadaan ilmu.

“Akankah kami beritakan tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya. Yaitu orang-orang yang sesat amalnya di dunia, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan perjumpaan dengan-Nya, maka hapuslah amal perbuatannya, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amal) mereka pada Hari Kiamat.” (QS: al-Kahfi:103-105).

Manusia-manusia jenis ini tersesat karena tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar; mana yang iman dan mana yang kufur; mana tauhid dan mana syirik, mana al-ma’ruf dan mana al-munkar. Akibat kebodohannya itulah, maka seseorang bisa tersesat. Karena itulah, manusia diperintahkan untuk mencari ilmu, agar tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ilmu adalah cahaya, dan kebodohan adalah kegelapan. Tanpa cahaya, manusia tidak dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Rasulullah ﷺ mengingatkan: “Termasuk diantara perkara yang  aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Orang pintar bisa saja keliru! Apalagi orang bodoh, tetapi merasa pandai. Tidak tahu tetapi merasa tahu. Sebenarnya dia tidak memahami agama dengan baik. Dia sudah dijangkiti sikap sombong, tidak tahu diri, sehingga enggan bertanya kepada orang yang alim.

Atau, jika ia pintar, tetapi tidak tahu diri. Mungkin dia merasa sebagai seorang mujtahid, dan kemudian merasa mampu menafsirkan al-Quran dengan semaunya sendiri. Padahal, ilmunya dalam bidang syariah Islam sangat jauh dari memadai. Dia belum pernah menulis satu kitab pun tentang ushul fiqih, tetapi sudah berani mencerca Imam asy-Syafii.

Saat ini, tidak sedikit yang merasa lebih hebat dari para ulama mazhab, hanya karena sudah mendapat gelar doktor atau profesor dalam bidang politik, sejarah, pendidikan, dan sebagainya. Padahal, ilmu agamanya masih jauh dari memadai jika dibandingkan dengan para ulama tersebut. Sayangnya, para profesor ini tidak mau belajar; dan tidak mau mengakui kelemahan ilmunya. Fenomena semacam inilah yang bisa dikatakan sebagai ”sikap tidak tahu diri”.

Untuk itu, agar kita selamat dunia dan akhirat, maka perlu sikap ”tahu diri”. Perlu tahu adab dalam keilmuan. Jika tidak tahu satu bidang tertentu, apakah ilmu tafsir, ilmu hadits, ushul fiqih, dan sebagainya, maka sebaiknya kita tidak jumawa untuk bertanya dan merujuk kepada para ahlinya.

Jika tidak tahu masalah fiqih, maka tidak semestinya kita mengeluarkan fatwa tanpa merujuk kepada para ahlinya. Dengan cara itulah, kita senantiasa belajar, dan ilmu kita pun – Insyaallah – akan terus bertambah dan menjadi ilmu yang bermanfaat. Dengan sikap beradab seperti itu, insyaAllah, kita tidak tersesat; selamat dunia akhirat. (Depok, 18 Februari 2021).*

Oleh: Adian Husaini  , Penulis pengasuh PP Attaqwa College (ATCO), Depok

HIDAYATULLAH