KEBENARAN jika disampaikan dengan cara tidak benar bukan saja akan gagal membenahi yang salah agar menjadi benar, malah bisa jadi menjadikan kebenaran itu kehilangan daya untuk membangun dan memperbaiki. Cara yang benar dan baik dalam menyampaikan sesuatu itu penting untuk diperhatikan.
Carilah cara yang baik dan efektif, mudah dan bisa dipahami dengan akal dan rasa. Salah satunya adalah dengan memilih kata yang tepat dan lembut, tidak menghancurkan hati orang yang mendengarkannya.
Suatu hari, Sayyidina Umar bin Khattab melihat sekelompok orang berkumpul menyalakan api. Beliau mendekati mereka dan memanggil mereka: “wahai ahli cahaya,” bukan “wahai ahli api” karena takut kalimat yang terakhir itu melukai hati mereka. Kalimat terakhir sangat mungkin diasosiasikan dengan ahli neraka.
Imam Ghazali saat ditanya seseorang tentang hukum orang yang meninggalkan shalat, beliau menjawab: “Hukumnya adalah wajib bagimu mengajaknya ke masjid.” Jawabannya bukan memukul tapi merangkul, mengajak, bukan mengejek. Perubahan sikap seseorang karena sentuhan lembut jauh lebih lama bertahan ketimbang perubahan karena pukulan kasar dan kata penuh paksa.
Memilih kata-kata yang baik dengan susunan kalimat yang rapi dan penyampaian yang lembut membutuhkan kelembutan hati dan kehalusan rasa lebih dari kebutuhan akan keahlian sastra. Sungguh itu adalah masalah hati.
Saat ini cobalah kita cermati kata dan kalimat yang bertaburan di media sosial. Lebih banyak yang halus apa yang kasar? Lebih banyak yang menyentuh hati apa yang memukul dan melukai hati? Lebih banyak yang berlandaskan cinta kasih sayang apa yang berdasarkan benci dan dendam? Jawablah. Itulah potret negeri kita kini.
Lalu bagaimana menghaluskan rasa dan melembutkan hati? Kita diskusikan. Salam, AIM. [*]
Oleh :Â KH Ahmad Imam Mawardi