Menyegerakan Zakat Mal di Tengah Pandemi Corona (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya Menyegerakan Zakat Mal di Tengah Pandemi Corona (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Bagaimana jika muzakki (orang yang menunaikan zakat) yang menyegerakan zakat malnya berubah menjadi miskin sebelum tiba waktu wajib zakat mal (haul)? [1]

Misalnya, waktu wajib zakatnya (haul) bulan Muharram, lalu disegerakan zakatnya pada bulan Syawwal. Saat Syawwal, muzakki tersebut kaya sehingga ia menjadi orang yang wajib berzakat dan hartanya telah mencapai nishob. Oleh karena itu, ia menyegerakan zakat malnya. Lalu usahanya bangkrut sehingga ia berubah menjadi miskin sebelum tiba waktu wajib zakat mal (Muharram).

Dalam kasus ini, pendapat terkuat adalah ia tidak boleh mengambil kembali zakat yang disegerakan dari tangan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) dan telah menerimanya, meskipun ia berubah jadi miskin dan sangat membutuhkan harta. Hal ini karena ia menyegerakan zakat malnya atas kehendak sendiri tanpa paksaan dan zakatnya telah berpindah kepemilikan kepada mustahiq penerimanya.  [2]

Ulama Syafi’iyyah rahimahullahu ta’ala menjelaskan bahwa pada kasus di atas, harta yang telah dikeluarkan dengan niat zakat mal yang disegerakan tersebut bukanlah dihitung sebagai zakat mal [3], namun termasuk sedekah sunnah yang diberi pahala pelakunya . [4]

Bagaimana jika seorang mustahiq yang telah menerima zakat mal yang disegerakan itu berubah jadi bukan mustahiq lagi sebelum tiba saat haul? [5]

Contohnya setahun sebelum haul tiba, seseorang berstatus berhak menerima zakat mal (mustahiq) telah menerima zakat mal yang disegerakan. Lalu saat tiba masa haul, ia berubah menjadi bukan mustahiq lagi, karena murtad -na’udzu billah-, mati atau jadi kaya. Maka bagaimana status zakat yang disegerakan tersebut?

Jawaban:

Zakatnya sah, karena muzakki menunaikan zakat pada waktu yang diizinkan dalam syari’at dan diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat ketika itu. Maka tidak boleh dinyatakan batal kecuali dengan dalil, dan tidak ada dalil yang menyatakan batalnya. Jadi, yang dijadikan sebagai patokan adalah kondisi penerima zakat yang disegerakan pada saat penunaian.

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dijadikan patokan pada kasus di atas adalah kondisi penerima zakat saat akhir haul (tibanya waktu wajib zakat). Sehingga pada kasus di atas, zakat tersebut tidaklah sah, dan muzakki wajib menunaikan zakat malnya kembali. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kitab Al-Fiqih Al-Manhaji ‘ala Madzhabiil Imam Asy-Syafi’I, 2: 56.

Namun, pendapat terkuat adalah yang dijadikan patokan adalah kondisi penerima zakat saat penunaian zakat yang disegerakan, dan bukan saat akhir haul (tibanya waktu wajib zakat). Oleh karena itu, pada kasus di atas, zakat tersebut hukumnya sah.

Hukum menunaikan zakat mal dengan bertahap dan tidak sekaligus [6]

Terkadang seorang muzakki (orang yang menunaikan zakat) terdorong menunaikan zakat malnya tidak dalam satu kali penunaian sekaligus, namun secara bertahap. Hal ini karena tuntutan maslahat syar’i, misalnya kondisi faqir miskin di tempatnya menuntut zakat malnya dikeluarkan secara bertahap.

Hukum menunaikan zakat mal dengan bertahap ada dua keadaan, yaitu:

Keadaan Pertama:

Menunaikan zakat mal dengan bertahap sebelum waktu wajibnya (sebelum tiba haulnya), maka ini diperbolehkan menurut jumhur ulama.

Hakikatnya adalah menyegerakan zakat sebelum sempurna haul nya [7] , misal :

Muzakki memberikan zakat mal kepada sebuah keluarga miskin 10 juta per bulan dari awal tahun (awal haul) selama setahun.

Dan pada akhir tahun Qomariyyah/Hijriyyah (akhir haul), jika total zakatnya lebih dari 120 juta, maka muzakki masih ada kewajiban menunaikan zakat mal yang menjadi kekurangannya, karena 10 juta x 12 bulan hanya 120 juta.

Namun jika ternyata total zakatnya adalah kurang dari 120 juta, maka ia hitung kelebihannya sebagai shadaqah.

Keadaan Kedua:

Menunaikan zakat mal dengan bertahap setelah waktu wajibnya (setelah tiba haulnya), ini termasuk menunda penunaian zakat mal dan hukumnya tidak diperbolehkan kecuali jika ada udzur Syar’i atau ada maslahat. Hal ini karena harta zakat itu bukan lagi menjadi milik muzakki semenjak tibanya waktu wajib mengeluarkan zakat (haul).

Perlu diketahui bahwa hukum asal penunaian zakat mal adalah wajib segera ditunaikan menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama rahimahumullah), meski Imam Abu Hanifah rahimahullah tidak sependapat. [8]

Ulama rahimahumullah mengecualikan tiga keadaan, yang dalam tiga keadaan [9] tersebut, penunaian zakat mal boleh ditunda, yaitu :

  1. Saat ada halangan dalam penunaian, misal: belum adanya harta di tangan orang yang mengeluarkan zakat mal (muzakki), atau benar-benar tidak ada orang yang berhak menerima zakat mal (mustahiq) saat hendak disalurkan.

Oleh karena itulah ulama menjelaskan bahwa jika masih bisa mendapatkan info adanya mustahiq dari orang/lembaga terpercaya dan amanah, maka tidak dibolehkan bermudah-mudahan beralasan tidak didapatkannya orang yang berhak menerima zakat mal (mustahiq).

  1. Penunaian zakat mal menimbulkan bahaya yang menimpa muzakki, misal: khawatir jika ditunaikan sendiri, lalu datang petugas zakat resmi dari pihak pemerintah untuk mengambil zakat mal, sehingga ia harus mengeluarkan zakat mal dua kali. Atau dia khawatirkan dirinya atau hartanya, karena ulah penjahat yang mengetahui banyaknya hartanya (karena jumlah harta zakat yang dia keluarkan).
  1. Adanya kebutuhan atau maslahat untuk ditundanya penunaian zakat mal, misal: untuk diberikan kepada famili yang miskin, atau orang miskin yang shalih, atau orang miskin yang menjadi tetangganya, atau kepada orang yang lebih membutuhkan dari penerima zakat mal lainnya,

Ulama mempersyaratkan penundaan karena udzur/alasan yang bisa diterima tersebut dalam jangka waktu yang pendek, misalnya disebabkan udzur yang bisa diterima, zakat mal boleh ditunda sehari atau dua hari. [9]

Oleh karena itu ulama menjelaskan bahwa menunda penunaian zakat mal karena alasan menunggu datangnya bulan Ramadhan yang akan datang 4 bulan lagi demi mendapatkan keutamaan beramal di bulan tersebut, maka hal ini tidak diperbolehkan . [10]

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

MUSLIMorid