Tuntunan Islam Jika Menemukan Uang di Jalan

KITA mungkin pernah menemukan sesuatu barang di jalan dan mengambilnya. Bagi orang yang berbaik hati, mereka akan mencari tahu pemiliknya dan mengembalikannya.

Sebaliknya, bagi orang yang tidak bertanggung jawab, mereka akan mengambilnya untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka tidak peduli kalau barang yang mereka temukan adalah hak dan milik orang lain, apalagi barang tersebut berupa uang yang tidak sedikit jumlahnya yang tergeletak begitu saja di jalan. Lantas bagaimanakah hukum menemukan uang atau barang di jalan?

Barang temuan dalam fiqih disebut dengan luqothoh. Luqothoh mempunyai empat bahasa, yaitu:

– Luqoothoh (huruf qof dibaca panjang)
– Luqthoh
– Luqothoh (huruf qof dibaca pendek)
– Laqotho

Luqothoh menurut syara adalah: “sesuatu yang berupa harta yang ditemukan di suatu tempat yang tempat itu tidak ada pemiliknya atau barang yang dikhususkan yang tersia-sia disebabkan jatuh atau lupa dan semisalnya”.

Apabila barang yang ditemukan berada di tanah orang lain, maka barang tersebut tidak dikatakan luqothoh (barang temuan), melainkan adalah milik orang yang memiliki tanah, ketika orang yang memiliki tanah tersebut berdakwa bahwa barang tersebut adalah barangnya. Apabila ia tidak berdakwa memiliki, maka barang tersebut adalah milik orang yang memiliki tanah tersebut sebelumnya dan seterusnya. Apabila tidak ada yang berdakwa memiliki, maka baru bisa dikatakan luqothoh.

Disunnahkan bagi orang yang merasa bisa menjaga amanahnya untuk mengambil barang temuan (Barang yang ditemukan adalah amanah bagi yang menemukannya). Dalam hadits disebutkan: “Allah selalu menaungi (menolong) abdinya selama abdi tersebut menaungi (menolong) saudaranya”. (HR. Muslim)

Sebab disunnahkannya karena memang itu adalah hanya sebuah amanah bagi yang menemukan. Namun, bagi orang yang merasa bisa menjaga amanah, apabila tidak mau mengambilnya, ia terkena hukum makruh seperti apa yang telah dikatakan oleh Imam Al-Mutawalliy dan Imam lainnya.

Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang merasa bisa menjaga amanah atas barang temuan tersebut wajib mengambilnya untuk kemudian dicari tahu pemiliknya (diumumkan) dengan cara yang telah di atur oleh syara. Adapun bagi orang yang fasiq, dimakruhkan untuk mengambil barang yang ia temukan.

NB: Maksud dari orang yang takut tidak bisa menjaga amanah adalah ia takut setelah mengambil barang temuan akan berkhianat nantinya.

Dari keterangan-keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum menemukan uang atau barang di jalan adalah sunnah (pendapat lain wajib) apabila orang yang menemukan uang atau barang tersebut percaya bahwa dirinya bisa menjaga amanah.

Apabila merasa tidak bisa percaya akan bisa menjaga amanah (nanti setelah mengambilnya), maka tidak disunnahkan untuk mengambil barang temuan tersebut. Namun, menurut qoul (pendapat) yang lebih kuat, ia boleh mengambilnya, karena belum pasti ia akan khianat atau tidak nantinya. [Mughni Al-Muhtaaj]

 

INILAH MOZAIK

Haruskah Kita Ikuti Kisah Sukses Orang Lain?

BAHWA kisah sukses orang lain itu bisa menginspirasi dan memotivasi kita untuk lebih giat itu adalah hal yang lumrah. Bahwa kita harus mengikuti bidang usaha orang-orang sukses itu adalah hal yang perlu didiskusikan.

Setiap orang memiliki bakat dan passion pada bidangnya masing-masing. Memaksakan diri untuk aktif di bidang yang tidak diminati adalah salah satu bentuk pemenderitaan diri yang banyak tidak disadari.

Salah satu sahabat Kiai Liling Sibro Malisi, Ketua Syuriah PCINU Malaysia itu, bakat sekali di bidang kuliner. Toko makanan dan kedainya ramai serta menghasilkan untung. Sang sahabat itu berkonsultasi kepada Kiai Liling untuk memperluas usaha di bidang enterpreneurship, tepatnya sebagai Event Organizer. Kiai Liling melarangnya dan menyatakan bahwa bidang itu bukan bidangnya. Dia memaksakan diri, akhirnya bangkrut alias collaps. Istikharah Kiai Liling jitu.

Ada banyak kisah lain yang serupa. Sukses orang lain tak bisa ditiru begitu saja, apalagi didasari iri hati dan dengki. Cobalah mencari tahu bakat diri, lalu renungkan dan pilih bidang kerja yang akan ditekuni dan jangan lupa untuk mengetuk pintu langit.

Ada kalimat indah yang layak direnungkan: “Define success on your own terms, achieve it by your own rules, and build a life youre proud to live.” (Definisikan sukses menurut istilah anda sendiri, capailah dengan aturan anda sendiri, bangunlah kehidupan yang anda sendiri merasa senang atau bangga dengan model kehidupan itu). Nah, tidak perlu tiru-tiru persis kan?

Tangkap saja spiritnya, pahami prinsipnya, dan terapkan di bidang anda sendiri.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Bahaya Dosa Viral

Di era digital, apapun bisa disebar, baik melalui handphone, tablet, komputer, atau perangkat canggih lainnya. Cepat dan real time. Tiap detik, info-info anyar bisa dicari, dibagi, dan diterima. Mulai soal resep masakan hingga isu politik. 

Menjadi fenomena kekinian, setiap orang seakan ingin menjadi yang pertama bisa share informasi. Adakalanya info itu berbentuk berita (link), infografis, video pendek, atau gift. Ironisnya, banyak yang tidak peduli, apakah info itu benar atau salah. Fakta atau hoax. Ignorance, begitu orang bule bilang. Pokoknya, sekali klik, nyebar dan bangga. Meski akibatnya timbul pro-kontra sekalipun.

Dus, harus disadari, ini problem nyata kita.  Secara psikologis, orang yang suka membuat, mengkonsumsi dan menyebar hoax itu punya masalah. Ada yang bilang kena wabah gangguan ketahanan intelektual, meski dari kalangan berpendidikan sekalipun. Ada juga yang menganggap soal rendahnya “sense” sosial. Yang pasti, daya kritisnya berkurang dan empatinya rendah.

Demikian juga yang suka posting konten hate-speech (ujaran kebencian), ghibah (bicara keburukan orang), dan bullying. Mereka tidak sadar, apa yang dilakukan itu merugikan orang lain; minimal mengganggu. Apalagi dalam sebuah grup yang diikuti banyak orang. Belum lagi jika postingannya disebar ulang, dimodivikasi, dan ditambah-kurang oleh orang lain. Lalu, hebohlah jagad maya dan isunya jadi viral.

Kehebohan bisa bertambah, jika pihak-pihak yang berkepentingan mengelola hoax berulah. Hoax dijadikan komoditas ekonomi yang menguntungkan. Mereka tidak peduli menimbulkan kegaduhan. Yang jelas, semakin ribut di Medsos, semakin menjanjikan bertambahnya pundi-pundi penghasilan.

Pertanyaannya, apa manfaat semua itu bagi kehidupan? Jawabnya jelas, tidak ada sama sekali! Menyebar hoax, menggaungkan hate-speech dan bullying pada pihak tertentu hanya merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam terminologi agama itu masuk kategori perbuatan dosa adami. Dosanya akan termaafkan jika pihak yang disakiti memaafkan.

Jika dosa tersebut dilakukan dan disebarluaskan melalui Medsos, maka disebut dosa viral. Melalui dunia maya, dosa itu menyebar luas tanpa batas (borderless). Istilah bekennya “never ending sin”, entah kapan dosa itu akan berhenti. Bisa jadi, dosa model ini “tak terampuni”. Innalillah!

Efek Dosa Viral

Tahukah anda, bagaimana efek dosa viral itu? Perlu dicatat bahwa sifat dari kehidupan dunia maya (digital) itu “abadi”. Artinya, sekali kita menorehkan jejak digital, selamanya tersimpan dalam bigdata digital;  sebuah tempat penyimpanan di dunia maya yang tak terbatas. Bahkan, meski telah diremove berkali-kali, file-nya tetap ada.

Sebuah postingan di media sosial, meski sudah dihapus pemilik akun, suatu saat info tersebut bisa dimunculkan kembali. Postingan yang diunggah sangat mungkin sudah tersimpan di puluhan atau ratusan server. Bisa pula disimpan ratusan/jutaan komputer/HP. Ingat, kasus video porno artis kenamaan dalam negeri? Meski sudah dihapus pada situs penyebar, tapi banyak yang save di HP atau komputer pribadi. Nah, saat muncul kepentingan, sewaktu-waktu postingan tersebut bisa diunggah kembali. Bahkan, meski orang yang melakukan sudah tobat atau mati sekalipun, dosa digitalnya masih bisa muncul. Artinya, apa yang telah dibagikan atau tersebar di dunia maya,  bersifat “abadi” atau never ending.

Ada guyonan seperti ini. Sekali kita posting di dunia maya, maka akan dicatat oleh server maya yang super canggih. Karenanya, kerja malaikat pencatat amal menjadi ringan. Gak perlu “cape-cape” mencatat. Semua sudah ada di bigdata. Terekam rapi, lengkap dan jelas. Tinggal klik, buka, atau cetak.

Karena sifatnya yang “abadi” itulah, perilaku digital kita harus dikontrol. Harus pernuh pertimbangan. Hati-hati, begitu orang tua bilang. “Think before you write“. Pikir dulu sebelum menulis atau share sesuatu. Saring sebelum sharing. Sebelum sharing, dipikir dulu, bermanfaat tidak buat orang lain. Kalau tidak, buat apa?

Nah, jika postingan info itu ternyata hoax, mengandung unsur hate-speech dan bullying terkait seseorang, berarti masuk kategori “ghibah” atau menggunjing. Dalam ajaran agama, ghibah adalah perbuatan yang sangat tercela, termasuk dosa besar.

Dalam QS: Al-Hujurat: 12 menegaskan soal dosa ghibah. “Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Suka-kah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.”

Ayat di atas dengan tegas menuntut seorang beriman dilarang berprasangka buruk atau menuduh tanpa dasar terhadap sesama. Karena, itu dosa adami. Dosa yang timbul antar sesama. Allah juga mengingatkan agar jangan menggunjing kepada sesama. Diibaratkan, menggunjing itu sama seperti orang yang memakan daging saudaranya. Ngeri sekali!

Seorang mufassir berkata: “ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek tentang saudaranya. Jika yang dibicarakan  tidak benar, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167). Jadi, membicarakan yang buruk meski benar saja dilarang. Apalagi hal buruk dan tidak benar.

Nah, bentuk ghibah paling kecil itu berupa isyarat. Ada seorang wanita yang menemui ‘Aisyah RA. Tatkala wanita itu hendak keluar, ‘Aisyah berisyarat pada Nabi SAW dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa wanita tersebut pendek. Nabi lalu bersabda, “Engkau telah mengghibahnya.” (HR. Ahmad).

Ghibah juga rentan munculnya fitnah. Saat gunjingan muncul, pasti ada perkataan yang ditambah atau dikurangi. Karena memang ghibah itu masuk wilayah persepsi. Sementara setiap orang memiliki tingkat kecerdasan berbeda-beda. Otomatis, ketika ghibah sudah dimasuki fitnah, maka dosanya menjadi dua macam. Dosa berlipat. Keduanya masuk dosa besar yang sangat sulit dimaafkan.

Pertanggung jawaban dosa ghibah bukan hanya kepada Allah swt. Yang paling berat justru kepada orang yang digunjing. Akan sangat beruntung jika orang yang digunjing mau memaafkan. Namun jika tidak dimaafkan, dosa ghibah akan terus mengalir selama-lamanya. Mengalir hingga datangnya hari pembalasan. Naudzubillah!

Hujjatul Islam, Imam Ghazali, menyebut, dosa ghibah lebih keji dibanding melakukan zina sebanyak 30x. Sebuah metafora yang sangat mengerikan. Demikian juga At-Thabari menyebut ghibah diharamkan karena di dalamnya ada pertengkaran antara setan dan niat baik manusia. Anehnya, sebagian besar umat manusia membicarkan keburukan sesamanya. Ghibah begitu ringan dan dilakukan berulang.

Dus, di atas adalah uraian terhadap ghibah yang dilakukan secara off-air. Dilakukan antara dua pihak atau sekumpulan orang secara langsung (face to face).

Lain lagi jika ghibah dilakukan di media digital. Yang mendengar bukan hanya satu-dua orang. Yang menangkap pesan bukan hanya satu kelompok. Sekali postingan ghibah disebar, maka konten itu sampai kepada puluhan, ribuan, bahkan jutaan orang. Ghibah itu menyebar, bahkan dari satu generasi ke generasi. Konten itu juga akan tersimpan dan saat diperlukan dapat dimunculkan kembali.

Ghibah, hate-speech, bullying, dan postingan negatif lainnya itu lalu menjadi tabungan dosa di “bank jagad raya” yang harus dipertanggungjawabkan. Orang-orang yang tersakiti akan meminta amal baik pelaku ghibah hingga dia bangkrut oleh dosa digital yang dilakukannya. Dia bangkrut oleh kelakukan jari jemari yang asyik menari tanpa kendali, menyebar informasi yang penuh dengan unsur kebencian dan kebohongan.

Sebaliknya, postingan positif akan menjadi tabungan amal shaleh tak terhingga. Pahalanya akan mengalir bak air jernih yang tak berkesudahan sampai hari kiamat. Bisa jadi kelak sebagai penebus dosa-dosa lain yang akan menyelamatkan kita dari ancaman neraka. Wallahu a’lam.

Thobib Al-Asyhar
(Penulis buku, Dosen SKSG Universitas Indonesia)

KEMENAG RI

Ini Menu Layanan Aplikasi Quran Kemenag, dari Terjemah hingga Tafsir

Jakarta (Kemenag) — Kementerian Agama terus memgembangkan layanan kajian Alquran berbasis digital. Layanan itu tersaji dalam sebuah aplikasi bernama “Qur’an Kemenag”.

Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Muchlis M Hanafi, mengatakan, Qur’an Kemenag adalah aplikasi mushaf Al-Qur’an digital yang dikembangkan oleh Kementerian Agama c.q. LPMQ Badan Litbang dan Diklat. “Aplikasi ini disediakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan mushaf Al-Qur’an yang berbentuk digital,” ujarnya,  di Jakarta,  Jumat (07/12).

“Aplikasi ini menyajikan teks Al-Qur’an lengkap 30 juz, dilengkapi dengan terjemahan dan beberapa produk-produk LPMQ,” sambungnya.

Qur’an Kemenag bisa diunduh melalui dua tautan berikut:  https://quran.kemenag.go.id/  

dan untuk  Smartphone Android di https://play.google.com/store/apps/details?id=com.quran.kemenag

Berikut ini penjelasan singkat tentang produk yang tersaji dalam layanan aplikasi Qur’an Kemenag;

Pertama, Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia adalah Mushaf Al-Qur’an yang dibakukan cara penulisan teks, harakat, tanda baca, dan tanda waqafnya sesuai dengan hasil yang dicapai Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Al-Qur’an yang berlangsung sebanyak 9 kali dari tahun 1974 s.d. 1983, dan dijadikan pedoman bagi mushaf Al-Qur’an yang dicetak dan diterbitkan di Indonesia.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 25 Taun 1984, Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia meliputi tiga bentuk: 1) Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani (penulisan teksnya menggunakan Rasm Usmani), 2) Mushaf Al-Qur’an Standar Bahriyah (penulisan teksnya menggunakan Rasm Imlai), dan 3) Mushaf Al-Qur’an Braille (ditulis dengan huruf Braille Arab yang diperuntukkan bagi tunanetra).

Kedua,  Font LPMQ Misbah merupakan font arab yang dikembangkan sesuai dengan Unicode Arabic Script yang mengandung huruf-huruf standar dan diakritik yang lazim dalam abjad dan numeralia Arab. Font ini dibuat dan didedikasikan khusus untuk penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia sehingga di dalamnya terdapat penyesuaian dan penambahan karakter khas yang hanya ada dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia.

Sumber dan bentuk karakter huruf dan angka arab dalam font LPMQ Misbah berasal dari tulisan tangan kaligrafer H. Isep Misbah, MA yang dikembangkan oleh Tim IT LPMQ.

Ketiga, Terjemahan Al-Qur’an disusun oleh tim yang dibentuk oleh Kementerian Agama.  Terjemahan Al-Qur’an ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1965 oleh Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Al-Qur’an Departemen (sekarang: Kementerian) Agama. Pada masa itu, yang menjabat sebagai Menteri Agama adalah K.H. Saefuddin Zuhri.

Perbaikan dan penyempurnaan terhadap terjemahan Al-Qur’an ini pernah beberapa kali dilakukan. Tercatat, pada tahun 1989 telah dilakukan penyempurnaan redaksional yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan bahasa. Namun demikian, aspek substansial hampir tidak mendapat sentuhan perbaikan ketika itu.

Perbaikan dan penyempurnaan yang sifatnya menyeluruh sehingga memakan waktu yang cukup lama dilakukan sejak tahun 1998 hingga 2002. Selama periode itu, terjadi empat kali pergantian kepemimpinan ketua Lajnah mulai dari Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA, Drs. H. Muh. Kailani ER., Drs. H. Abdullah Sukarta, hingga Drs. H. Fadhal AR. Bafadal, M.Sc. Adapun yang menjadi aspek perbaikan dan penyempurnaan adalah aspek bahasa yang perlu disesuai dengan kondisi kekinian, konsistensi pilihan kata atau kalimat, substansi yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat, dan transliterasi.

Di tahun 2016 ini, di bawah kepemimpinan Dr. H. Muchlis M. Hanafi, dimulai lagi kegiatan penyempurnaan dan perbaikan terhadap Al-Qur’an dan Terjemahannya ini. Aspek yang menjadi fokus revisi hampir sama dengan perbaikan yang dilakukan sebelumnya, yaitu aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, dan substansi.

Keempat, Tafsir Tahlili yang terdapat dalam aplikasi ini bersumber dari Al-Qur’an dan Tafsirnya yang diterbitkan Kementerian Agama. Buku tafsir ini disusun oleh tim yang dibentuk oleh Kementerian Agama (dulu Departemen Agama).

Pertama kali, tafsir ini disusun pada tahun 1972 oleh tim yang disebut dengan Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an yang diketuai oleh Prof. R. H. A. Soenarjo, S.H. Pada tahun 1973, ketua tim dipercayakan kepada Prof. Dr. Bustami A. Gani, yang lalu digantikan Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML pada tahun 1980.

Secara bertahap, tafsir ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1975 berupa jilid 1 yang berisi juz 1-3. Jilid-jilid selanjutnya menyusul diterbitkan pada tahun-tahun berikutnya hingga genap 30 juz. Pada tahun 1990 pernah dilakukan perbaikan cukup luas pada tafsir ini, tetapi hanya menyangkut aspek kebahasaan.

Penyempurnaan secara menyeluruh baru dilakukan pada tahun 2003. Penyempurnaan ini meliputi penyesuaian bahasa, substansi—berkenaan dengan makna dan kandungan ayat, melengkapi hadis dengan rawi dan sanad, penambahan munasabah antar surah dan asbabun nuzul, serta pengkajian ayat-ayat kauniyah bersama tim pakar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Penyempurnaan ini dilakukan oleh tim yang juga dibentuk Kementerian Agama dan diketuai oleh Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, MA. Adapun tim dari LIPI diketuai oleh Dr. H. Hery Harjono. Saat ini, dalam edisi cetaknya, Al-Qur’an dan Tafsirnya Kementerian Agama terdiri dari 10 jilid yang masing-masing berisi 3 juz serta satu jilid khusus untuk Mukadimah (Pengantar dan Kajian Ulumul Qur’an).

Kelima,  Tafsir Ringkas Al-Qur’an Al-Karim adalah sebuah buku hasil kajian tafsir yang disusun secara ringkas, singkat, dan padat. Tafsir ini hadir dalam upaya untuk lebih memudahkan umat Islam Indonesia untuk memahami makna dan kandungan Al-Qur’an.

Al-Qur’an dan Terjemahnya dipandang terlalu singkat sehingga dalam beberapa hal belum bisa memberi pengertian yang utuh terhadap suatu ayat, sementara Al-Qur’an dan Tafsirnya dinilai terlalu tebal dan panjang sehingga tidak simpel dan praktis. Tafsir ini disusun oleh tim yang dibentuk oleh Kementerian Agama bekerjasama dengan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta diketuai oleh Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA. Pengkajian tafsir ini dilakukan pada tahun 2012 hingga tahun 2016.

“Pada pengembangan Quran Kemenag selanjutnya, akan dimasukkan produk-produk LPMQ lainnya secara bertahap, mengingat banyaknya hasil kajian LPMQ yang dibutuhkan masyarakat,” jelas Muchlis.

Beberapa hasil kajian tersebut di antaranya adalah tafsir ilmi yang membincang tentang ayat-ayat kauniyah. Ada juga tafsir tematik yang menawarkan pembahasan tema-tema pokok tentang agama, budaya, sosial dan ekonomi secara mendalam.

Semoga Aplikasi Quran Kemenag ini bermanfaat bagi umat. (Zarkasi)

 

KEMENAG RI

 

Jika ingin mendownload Aplikasi Cek Porsi Haji, Akomodasi HAji,  atau Visa Umrah, Download di sini!

Ucapan Rasulullah Sekadarnya Tapi Mendalam

JUDUL di atas adalah sikap Rasulullah ketika terjadi peristiwa yang ibarat danau, airnya telah dibuat beriak oleh satu peristiwa yang terjadi. Para sahabat di sekeliling beliau, siap memberikan respon dan reaksi, tapi respon dan reaksi yang paling baik datang dari Rasulullah. Tidak kurang, tidak lebih, secukupnya tapi mendalam, kena.

Satu hari, di Masjid Nabi, Rasulullah dan para sahabatnya sedang berkumpul dalam halaqah, majelis ilmu, membahas sesuatu. Masjid Nabi, lantainya masih pasir, tak ada ubin, apalagi sajadah. Dan mereka duduk, shalat, ruku dan sujud di atasnya.

Ketika kelompok manusia terbaik ini berkumpul dan mempelajari ilmu dan perintah Allah, tiba-tiba datang seorang lelaki Badui, lelaki desa nan udik ke dalam Masjid Nabi. Kita semua mengetahui kisahnya. Sebagian besar kaum Muslimin bahkan telah hapal ujung ceritanya. Tapi mari, sekali lagi kita belajar dari sudut pandang yang sedikit lain.

Lelaki Badui ini, tak datang untuk bergabung dalam halaqah nan mulia. Lelaki ini terus berjalan, menuju ujung ruangan, di pojok bangunan Masjid Nabi. Di sana, dia tengok kanan dan kiri. Mengangkat kainnya dan berjongkok di ujung ruangan untuk menuntaskan hajatnya. Lelaki Badui ini buang air kecil, buang air kecil!

Para sahabat yang berada di masjid dan sedang berhalaqah, seketika bergejolak. Mereka hendak berdiri, entah dengan niat melakukan apa di hati masing-masing. Para sahabat marah. Dan kemarahan mereka sangat wajah, ini Masjid Nabi, bukan tempat buang hajat. Para sahabat berhamburan, berdiri, segera berjalan menghampiri lelaki Badui yang sedang menuntaskan hajatnya tadi. Di wajah-wajah mereka, para sahabat mulia itu, nampak kemarahan yang siap meledak.

Tapi Rasulullah memanggil dan menenangkan semua sahabat yang sudah siap mengambil aksi. “Jangan, biarkan dia. Jangan menganggunya. Biarkan dia menyelesaikan kencingnya,” ujar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Setelah lelaki Badui ini menyelesaikan urusannya, Rasulullah memanggilnya dengan nada lembut. Padahal, para sahabat, semuanya, sudah berada pada titik didih. Lelaki Badui ini datang dan berjalan pelan menghampiri Rasulullah. Beliau menangkap atmosfer kemarahan yang mengepungnya. Tapi hanya Rasulullah yang ditujunya.

Dengan halus, ketika lelaki Badui ini berada di depan beliau, Rasulullah berkata, “Sesungguhnya, masjid ini dibangun bukan untuk itu (maksudnya untuk buang hajat). Masjid ini dibangun untuk shalat dan membaca alquran.”

Hanya itu, tidak kurang, tidak berlebihan. Singkat, tapi tepat sasaran.

Lelaki Badui ini paham, dan lalu pergi meninggalkan Masjid Nabi. Tak lama waktu shalat tiba, dan Rasulullah memimpin para sahabat untuk menunaikan shalat. Dan yang menarik, lelaki Badui ini bergabung bersama untuk salat jamaah. Dan Rasulullah pun memimpin shalat.

Seperti biasa, Rasulullah melakukan shalat. Sampai ketika bangkit ruku, Rasulullah mengucapkan , “SamiAllahu liman Hamidah.” Allah mendengar orang yang memuji-Nya. Para sahabat kemudian menjawab dengan ucapan, “Rabbana walakal Hamdu.” Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu.

Di luar dugaan, lelaki Badui, ya betul, lelaki Badui yang tadi, menambahkan doanya lebih panjang dari para sahabat. “Rabbana walakal Hamdu. Allahumarhamni wa Muhammadan, wala Tarham maana ahadan.” Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu. Ya Allah, sayangilah aku dan Muhammad. Dan jangan sayangi orang-orang selain kami berdua.

Doa ini dibaca dengan lantang, sampai-sampai Rasulullah mendengarnya. Dan tentu saja, para sahabat yang ada juga mendengarnya. Memang lelaki Badui ini, yang seringkali disebut tidak berpendidikan dan memilik karakter unik, telah menyalahi rukun dari bacaan salat. Tapi pelajarannya yang seringkali kita tidak perhatikan adalah, lihatlah isi doanya. Doa yang mencerminkan, bahwa Rasulullah telah menguasai hatinya. Doa yang memperlihatkan, bahwa dia juga menolak, sekurang-kurangnya tak mau dengan para sahabat yang ada.

Lelaki Badui ini, yang mohon maaf, sekali lagi kelompok ini sering disebut sebagai kelompok masyarakat yang tidak berpendidikan, telah menempatkan Rasulullah di tempat yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, dalam pikirannya, dalam doanya, dalam permintaannya kepada Allah. Sehingga dia berharap hanya Rasulullah dan dirinya saja yang dirahmati Allah. Dan tentu saja, ketika seseorang menempati posisi yang istimewa, maka istimewa pula letak nasihatnya.

Selepas salat, Rasulullah berbalik badan. Lalu beliau memanggil lelaki Badui ini dan berkata singkat, “Engkau telah membatasi sesuatu yang sangat luas.” Ya, singkat, sesuai dengan kebutuhan bagi seorang lelaki Badui yang tentu saja tingkat pemahamannya tidak sama dengan sahabat-sahabat utama seperti Abubakar, Umar bin Khattab atau sahabat yang lain.

[Ustaz Herry Nurdi]

INILAH MOZAIK

Seriuskah Anda Menjalani Hidup?

SEBAGAI Muslim, kita tentu patut meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan serius dan sungguh-sungguh, tanpa pernah bermain-main; terutama dalam urusan ibadah, dakwah, dan jihad.

Dalam urusan ibadah, kita tahu, Nabi Muhammad adalah orang yang paling banyak melakukannya. Rasulullah tidak pernah meninggalkan salat malam, bahkan hingga kakinya sering bengkak-bengkak karena lamanya berdiri ketika salat.

Nabi pun orang yang paling banyak berpuasa, bahkan puasa wishal, karena begitu seringnya Beliau tidak menjumpai makanan di rumahnya. Nabi juga adalah orang yang paling banyak bertobat, tidak kurang dari 100 kali dalam sehari. Padahal beliau adalah orang yang ma’shum (terpelihara dari dosa) dan dijamin masuk surga.

Meski tidak sehebat Rasulullah, para Sahabat adalah orang-orang yang paling istimewa ibadahnya setelah beliau, tidak ada yang melebihi mereka. Mereka, misalnya, adalah orang- orang yang paling banyak mengkhatamkan Alquran, paling tidak sebulan sekali, bahkan ada yang kurang dari itu.

Menurut Utsman bin Affan, banyak Sahabat yang mengkhatamkan Alquran seminggu sekali. Mereka antara lain Abdullah bin Mas ud, Ubay bin Kaab, dan Zaid bin Tsabit. Ustman sendiri sering mengkhatamkan Alquran hanya dalam waktu semalam. Itu sering ia lakukan dalam salat malam.

Semua itu menunjukkan bahwa Rasulullah dan para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa serius dan bersungguh-sungguh dalam urusan ibadah; mereka tidak pernah main-main.

Bagaimana dengan dakwah mereka? Jangan ditanya Rasulullah dan para sahabat adalah orang-orang yang telah menjadikan dakwah sebagai jalan hidup sekaligus jalan kematian mereka. Dengan kata lain, mereka hidup dan mati untuk dakwah.

Sebagian besar usia mereka, termasuk harta dan jiwa mereka, diwakafkan di jalan dakwah demi menegakkan kalimat–kalimat Allah ‘Azza wa Jalla.

Bagaimana dengan jihad mereka? Para Sahabat, sebagaimana sering diungkap, adalah orang- orang yang mencintai kematian (di jalan Allah) sebagaimana orang-orang kafir mencintai kehidupan.

Amr bin Jamuh hanyalah salah seorang sahabat, di antara ribuan sahabat, yang mencintai kematian itu. Dikisahkan, ia adalah orang yang sering dihalang-halangi untuk berjihad oleh saudara-saudaranya karena kakinya pincang. Rasul pun telah membolehkannya untuk tidak ikut berjihad karena udzur-nya itu.

Namun, karena keinginan dan kecintaannya yang luar biasa pada syahadah (mati syahid), ia terus mendesak Rasulullah agar mengizinkannya berperang. Akhirnya, Rasul pun mengizinkannya. Dengan penuh kegembiraan, Amr pun segera berlari menuju medan perang, berjibaku dengan gigih melawan musuh, hingga akhirnya terbunuh sebagai syahid.

Itulah secuil fragmen keseriusan dan kesungguhan salafusshalih dalam menjalani kehidupannya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita serius dan bersungguh-sungguh dalam hidup ini? Ataukah kita masih mengisi hidup ini dengan main-main?

Na udzu billah min dzalik! Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

 

INILAH MOZAIK