Maksud MALU Sebagian dari Iman

Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari kali ini memasuki hadits yang ke-24, biidznillah. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana judul yang bab yang diberikan oleh Imam Bukhari pada hadits ini ” باب الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ ” pembahasan hadits ini juga diberikan judul yang sama dalam bahasa Indonesianya, yaitu “Malu adalah Sebagian dari Iman“

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-24:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.’”

Penjelasan Hadits
Ayah dari Salim yang dimaksud dalam hadits ini tidak lain adalah Abdullah bin Umar bin Khattab.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ

Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu

Kata يَعِظُ berarti menasehati, menakut-nakuti, atau mengingatkan. Dalam hadits Shahih Bukhari yang lain (bab adab, yang insya Allah akan kita bahas nantinya jika sampai di sana) disebutkan dengan kalimat وَهْوَ يُعَاتَبُ فِى الْحَيَاءِ (ia mencela sifat malu saudaranya). Mungkin dalam bahasa kita, laki-laki ini mengatakan “Engkau sangat pemalu” atau “Sifat malu itu membahayakanmu.”

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan kemungkinan bahwa laki-laki tersebut sangat pemalu hingga ia tidak ingin meminta haknya. Karena itu ia dicela oleh saudaranya.

Namun ternyata, sikap laki-laki yang mencela atau menasehati saudaranya dari rasa malu itu tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW yang saat itu lewat di depan mereka.

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman

Inilah salah satu sifat Rasulullah. Bahwa beliau tidak membiarkan sesuatu yang salah di hadapannya. Beliau tidak mendiamkan sesuatu yang keliru, kecuali menegurnya. Sebaliknya, segala hal yang terjadi atau diucapkan di hadapan Rasulullah SAW, sedangkan beliau membiarkan atau mendiamkannya, maka itu dianggap sebagai persetujuan Rasulullah SAW yang memiliki legitimasi hukum di dalam Islam. Dalam istilah hadits yang demikian itu disebut “hadits taqriri” yakni persetujuan dari Rasulullah SAW.

Maka dalam hadits ini Rasulullah SAW mengingatkan bahwa yang benar justru adalah tidak menghilangkan rasa malu dalam diri saudaranya. Biarkan saja seseorang memiliki sifat malu. Ia adalah akhlak yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman.

“Kalaupun sifat malu itu menghalangi seseorang dari meminta haknya,” tulis Ibnu hajar dalam Fathul Bari, “maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya.”

Karena sifat malu itu, menurut Ibnu Qutaibah, “Dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman.”

Malu didefinisikan sebagai sikap menahan diri dari perbuatan buruk atau hina. Sifat malu ini merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri).

Pendapat lain mengatakan bahwa malu adalah takut akan dosa karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Ada juga yang berpendapat bahwa malu berarti menahan diri karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal, maupun adat kebiasaan. Pengertian yang disebutkan terakhir ini lebih umum dan mencakup definisi yang cukup luas.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati saudaranya, mengingatkannya dengan penuh kasih sayang, dan tidak berdiam diri dari kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah adalah meluruskan ketika ada kekeliruan yang beliau ketahui, dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga ketika Rasulullah diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu berarti taqrir (persetujuan) dari beliau;
3. Hendaklah seorang muslim memiliki rasa malu dan menjaga sifat itu tetap ada pada dirinya;
4. Malu adalah sebagian dari iman.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-24. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa memiliki semangat berdakwah dan memiliki rasa malu. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a’lam bish shawab.

 

PERCIKANIMAN.ORG

Tuntunan Islam Jika Menemukan Uang di Jalan

KITA mungkin pernah menemukan sesuatu barang di jalan dan mengambilnya. Bagi orang yang berbaik hati, mereka akan mencari tahu pemiliknya dan mengembalikannya.

Sebaliknya, bagi orang yang tidak bertanggung jawab, mereka akan mengambilnya untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka tidak peduli kalau barang yang mereka temukan adalah hak dan milik orang lain, apalagi barang tersebut berupa uang yang tidak sedikit jumlahnya yang tergeletak begitu saja di jalan. Lantas bagaimanakah hukum menemukan uang atau barang di jalan?

Barang temuan dalam fiqih disebut dengan luqothoh. Luqothoh mempunyai empat bahasa, yaitu:

– Luqoothoh (huruf qof dibaca panjang)
– Luqthoh
– Luqothoh (huruf qof dibaca pendek)
– Laqotho

Luqothoh menurut syara adalah: “sesuatu yang berupa harta yang ditemukan di suatu tempat yang tempat itu tidak ada pemiliknya atau barang yang dikhususkan yang tersia-sia disebabkan jatuh atau lupa dan semisalnya”.

Apabila barang yang ditemukan berada di tanah orang lain, maka barang tersebut tidak dikatakan luqothoh (barang temuan), melainkan adalah milik orang yang memiliki tanah, ketika orang yang memiliki tanah tersebut berdakwa bahwa barang tersebut adalah barangnya. Apabila ia tidak berdakwa memiliki, maka barang tersebut adalah milik orang yang memiliki tanah tersebut sebelumnya dan seterusnya. Apabila tidak ada yang berdakwa memiliki, maka baru bisa dikatakan luqothoh.

Disunnahkan bagi orang yang merasa bisa menjaga amanahnya untuk mengambil barang temuan (Barang yang ditemukan adalah amanah bagi yang menemukannya). Dalam hadits disebutkan: “Allah selalu menaungi (menolong) abdinya selama abdi tersebut menaungi (menolong) saudaranya”. (HR. Muslim)

Sebab disunnahkannya karena memang itu adalah hanya sebuah amanah bagi yang menemukan. Namun, bagi orang yang merasa bisa menjaga amanah, apabila tidak mau mengambilnya, ia terkena hukum makruh seperti apa yang telah dikatakan oleh Imam Al-Mutawalliy dan Imam lainnya.

Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang merasa bisa menjaga amanah atas barang temuan tersebut wajib mengambilnya untuk kemudian dicari tahu pemiliknya (diumumkan) dengan cara yang telah di atur oleh syara. Adapun bagi orang yang fasiq, dimakruhkan untuk mengambil barang yang ia temukan.

NB: Maksud dari orang yang takut tidak bisa menjaga amanah adalah ia takut setelah mengambil barang temuan akan berkhianat nantinya.

Dari keterangan-keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum menemukan uang atau barang di jalan adalah sunnah (pendapat lain wajib) apabila orang yang menemukan uang atau barang tersebut percaya bahwa dirinya bisa menjaga amanah.

Apabila merasa tidak bisa percaya akan bisa menjaga amanah (nanti setelah mengambilnya), maka tidak disunnahkan untuk mengambil barang temuan tersebut. Namun, menurut qoul (pendapat) yang lebih kuat, ia boleh mengambilnya, karena belum pasti ia akan khianat atau tidak nantinya. [Mughni Al-Muhtaaj]

 

INILAH MOZAIK

Haruskah Kita Ikuti Kisah Sukses Orang Lain?

BAHWA kisah sukses orang lain itu bisa menginspirasi dan memotivasi kita untuk lebih giat itu adalah hal yang lumrah. Bahwa kita harus mengikuti bidang usaha orang-orang sukses itu adalah hal yang perlu didiskusikan.

Setiap orang memiliki bakat dan passion pada bidangnya masing-masing. Memaksakan diri untuk aktif di bidang yang tidak diminati adalah salah satu bentuk pemenderitaan diri yang banyak tidak disadari.

Salah satu sahabat Kiai Liling Sibro Malisi, Ketua Syuriah PCINU Malaysia itu, bakat sekali di bidang kuliner. Toko makanan dan kedainya ramai serta menghasilkan untung. Sang sahabat itu berkonsultasi kepada Kiai Liling untuk memperluas usaha di bidang enterpreneurship, tepatnya sebagai Event Organizer. Kiai Liling melarangnya dan menyatakan bahwa bidang itu bukan bidangnya. Dia memaksakan diri, akhirnya bangkrut alias collaps. Istikharah Kiai Liling jitu.

Ada banyak kisah lain yang serupa. Sukses orang lain tak bisa ditiru begitu saja, apalagi didasari iri hati dan dengki. Cobalah mencari tahu bakat diri, lalu renungkan dan pilih bidang kerja yang akan ditekuni dan jangan lupa untuk mengetuk pintu langit.

Ada kalimat indah yang layak direnungkan: “Define success on your own terms, achieve it by your own rules, and build a life youre proud to live.” (Definisikan sukses menurut istilah anda sendiri, capailah dengan aturan anda sendiri, bangunlah kehidupan yang anda sendiri merasa senang atau bangga dengan model kehidupan itu). Nah, tidak perlu tiru-tiru persis kan?

Tangkap saja spiritnya, pahami prinsipnya, dan terapkan di bidang anda sendiri.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Bahaya Dosa Viral

Di era digital, apapun bisa disebar, baik melalui handphone, tablet, komputer, atau perangkat canggih lainnya. Cepat dan real time. Tiap detik, info-info anyar bisa dicari, dibagi, dan diterima. Mulai soal resep masakan hingga isu politik. 

Menjadi fenomena kekinian, setiap orang seakan ingin menjadi yang pertama bisa share informasi. Adakalanya info itu berbentuk berita (link), infografis, video pendek, atau gift. Ironisnya, banyak yang tidak peduli, apakah info itu benar atau salah. Fakta atau hoax. Ignorance, begitu orang bule bilang. Pokoknya, sekali klik, nyebar dan bangga. Meski akibatnya timbul pro-kontra sekalipun.

Dus, harus disadari, ini problem nyata kita.  Secara psikologis, orang yang suka membuat, mengkonsumsi dan menyebar hoax itu punya masalah. Ada yang bilang kena wabah gangguan ketahanan intelektual, meski dari kalangan berpendidikan sekalipun. Ada juga yang menganggap soal rendahnya “sense” sosial. Yang pasti, daya kritisnya berkurang dan empatinya rendah.

Demikian juga yang suka posting konten hate-speech (ujaran kebencian), ghibah (bicara keburukan orang), dan bullying. Mereka tidak sadar, apa yang dilakukan itu merugikan orang lain; minimal mengganggu. Apalagi dalam sebuah grup yang diikuti banyak orang. Belum lagi jika postingannya disebar ulang, dimodivikasi, dan ditambah-kurang oleh orang lain. Lalu, hebohlah jagad maya dan isunya jadi viral.

Kehebohan bisa bertambah, jika pihak-pihak yang berkepentingan mengelola hoax berulah. Hoax dijadikan komoditas ekonomi yang menguntungkan. Mereka tidak peduli menimbulkan kegaduhan. Yang jelas, semakin ribut di Medsos, semakin menjanjikan bertambahnya pundi-pundi penghasilan.

Pertanyaannya, apa manfaat semua itu bagi kehidupan? Jawabnya jelas, tidak ada sama sekali! Menyebar hoax, menggaungkan hate-speech dan bullying pada pihak tertentu hanya merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam terminologi agama itu masuk kategori perbuatan dosa adami. Dosanya akan termaafkan jika pihak yang disakiti memaafkan.

Jika dosa tersebut dilakukan dan disebarluaskan melalui Medsos, maka disebut dosa viral. Melalui dunia maya, dosa itu menyebar luas tanpa batas (borderless). Istilah bekennya “never ending sin”, entah kapan dosa itu akan berhenti. Bisa jadi, dosa model ini “tak terampuni”. Innalillah!

Efek Dosa Viral

Tahukah anda, bagaimana efek dosa viral itu? Perlu dicatat bahwa sifat dari kehidupan dunia maya (digital) itu “abadi”. Artinya, sekali kita menorehkan jejak digital, selamanya tersimpan dalam bigdata digital;  sebuah tempat penyimpanan di dunia maya yang tak terbatas. Bahkan, meski telah diremove berkali-kali, file-nya tetap ada.

Sebuah postingan di media sosial, meski sudah dihapus pemilik akun, suatu saat info tersebut bisa dimunculkan kembali. Postingan yang diunggah sangat mungkin sudah tersimpan di puluhan atau ratusan server. Bisa pula disimpan ratusan/jutaan komputer/HP. Ingat, kasus video porno artis kenamaan dalam negeri? Meski sudah dihapus pada situs penyebar, tapi banyak yang save di HP atau komputer pribadi. Nah, saat muncul kepentingan, sewaktu-waktu postingan tersebut bisa diunggah kembali. Bahkan, meski orang yang melakukan sudah tobat atau mati sekalipun, dosa digitalnya masih bisa muncul. Artinya, apa yang telah dibagikan atau tersebar di dunia maya,  bersifat “abadi” atau never ending.

Ada guyonan seperti ini. Sekali kita posting di dunia maya, maka akan dicatat oleh server maya yang super canggih. Karenanya, kerja malaikat pencatat amal menjadi ringan. Gak perlu “cape-cape” mencatat. Semua sudah ada di bigdata. Terekam rapi, lengkap dan jelas. Tinggal klik, buka, atau cetak.

Karena sifatnya yang “abadi” itulah, perilaku digital kita harus dikontrol. Harus pernuh pertimbangan. Hati-hati, begitu orang tua bilang. “Think before you write“. Pikir dulu sebelum menulis atau share sesuatu. Saring sebelum sharing. Sebelum sharing, dipikir dulu, bermanfaat tidak buat orang lain. Kalau tidak, buat apa?

Nah, jika postingan info itu ternyata hoax, mengandung unsur hate-speech dan bullying terkait seseorang, berarti masuk kategori “ghibah” atau menggunjing. Dalam ajaran agama, ghibah adalah perbuatan yang sangat tercela, termasuk dosa besar.

Dalam QS: Al-Hujurat: 12 menegaskan soal dosa ghibah. “Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Suka-kah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.”

Ayat di atas dengan tegas menuntut seorang beriman dilarang berprasangka buruk atau menuduh tanpa dasar terhadap sesama. Karena, itu dosa adami. Dosa yang timbul antar sesama. Allah juga mengingatkan agar jangan menggunjing kepada sesama. Diibaratkan, menggunjing itu sama seperti orang yang memakan daging saudaranya. Ngeri sekali!

Seorang mufassir berkata: “ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek tentang saudaranya. Jika yang dibicarakan  tidak benar, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167). Jadi, membicarakan yang buruk meski benar saja dilarang. Apalagi hal buruk dan tidak benar.

Nah, bentuk ghibah paling kecil itu berupa isyarat. Ada seorang wanita yang menemui ‘Aisyah RA. Tatkala wanita itu hendak keluar, ‘Aisyah berisyarat pada Nabi SAW dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa wanita tersebut pendek. Nabi lalu bersabda, “Engkau telah mengghibahnya.” (HR. Ahmad).

Ghibah juga rentan munculnya fitnah. Saat gunjingan muncul, pasti ada perkataan yang ditambah atau dikurangi. Karena memang ghibah itu masuk wilayah persepsi. Sementara setiap orang memiliki tingkat kecerdasan berbeda-beda. Otomatis, ketika ghibah sudah dimasuki fitnah, maka dosanya menjadi dua macam. Dosa berlipat. Keduanya masuk dosa besar yang sangat sulit dimaafkan.

Pertanggung jawaban dosa ghibah bukan hanya kepada Allah swt. Yang paling berat justru kepada orang yang digunjing. Akan sangat beruntung jika orang yang digunjing mau memaafkan. Namun jika tidak dimaafkan, dosa ghibah akan terus mengalir selama-lamanya. Mengalir hingga datangnya hari pembalasan. Naudzubillah!

Hujjatul Islam, Imam Ghazali, menyebut, dosa ghibah lebih keji dibanding melakukan zina sebanyak 30x. Sebuah metafora yang sangat mengerikan. Demikian juga At-Thabari menyebut ghibah diharamkan karena di dalamnya ada pertengkaran antara setan dan niat baik manusia. Anehnya, sebagian besar umat manusia membicarkan keburukan sesamanya. Ghibah begitu ringan dan dilakukan berulang.

Dus, di atas adalah uraian terhadap ghibah yang dilakukan secara off-air. Dilakukan antara dua pihak atau sekumpulan orang secara langsung (face to face).

Lain lagi jika ghibah dilakukan di media digital. Yang mendengar bukan hanya satu-dua orang. Yang menangkap pesan bukan hanya satu kelompok. Sekali postingan ghibah disebar, maka konten itu sampai kepada puluhan, ribuan, bahkan jutaan orang. Ghibah itu menyebar, bahkan dari satu generasi ke generasi. Konten itu juga akan tersimpan dan saat diperlukan dapat dimunculkan kembali.

Ghibah, hate-speech, bullying, dan postingan negatif lainnya itu lalu menjadi tabungan dosa di “bank jagad raya” yang harus dipertanggungjawabkan. Orang-orang yang tersakiti akan meminta amal baik pelaku ghibah hingga dia bangkrut oleh dosa digital yang dilakukannya. Dia bangkrut oleh kelakukan jari jemari yang asyik menari tanpa kendali, menyebar informasi yang penuh dengan unsur kebencian dan kebohongan.

Sebaliknya, postingan positif akan menjadi tabungan amal shaleh tak terhingga. Pahalanya akan mengalir bak air jernih yang tak berkesudahan sampai hari kiamat. Bisa jadi kelak sebagai penebus dosa-dosa lain yang akan menyelamatkan kita dari ancaman neraka. Wallahu a’lam.

Thobib Al-Asyhar
(Penulis buku, Dosen SKSG Universitas Indonesia)

KEMENAG RI