Inilah Sebab-Sebab Terjatuh ke Dalam Kesyirikan (Bag. 2)

Mengikuti hawa nafsu dan syahwat

Hawa nafsu dan syahwat merupakan salah satu faktor utama yang membuat seseorang menyimpang dari fitrahnya serta membawanya kepada kemusyrikan dan kesesatan. Siapapun yang mengikuti keinginan dan kemauan hatinya kemudian bersembunyi di balik syahwatnya, maka ia akan merasa sempit terhadap apa yang Allah Ta’ala turunkan dan perintahkan. Allah Ta’ala  berfirman,

فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan (hawa nafsu) mereka.” (QS. Al-Qasas: 50)

Allah Ta’ala menyebutkan bahwa penghalang seseorang dari menjawab panggilan dan seruan dakwah Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah karena hawa nafsu yang telah menguasainya. Karena hawa nafsu inilah, hati ini berpaling dari terangnya hidayah menuju gelapnya kesesatan dan kemaksiatan.

Di dalam Al-Qur’an disebutkan dengan jelas bahwa hawa nafsu merupakan salah satu sebab berpalingnya kaum musyrikin dari seruan para nabi-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

كُلَّمَا جَآءَهُمْ رَسُولٌۢ بِمَا لَا تَهْوَىٰٓ أَنفُسُهُمْ فَرِيقًا كَذَّبُوا۟ وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ

“Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.” (QS. Al-Ma’idah: 70)

Lihatlah, bagaimana buruknya pengaruh hawa nafsu terhadap perilaku dan keputusan seseorang. Hanya karena Nabi tersebut membawa perintah yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, dengan serta merta mereka dustakan atau bahkan mereka bunuh.

Begitu pula dalam hal kesyirikan, seseorang yang terbiasa mengikuti hawa nafsunya, maka bisa saja ia sampai pada tahap “menuhankan” hawa nafsunya tersebut. Melakukan kemaksiatan, syirik kecil, bahkan syirik besar karena mengikuti kemauan hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman,

أفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka, siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Al-Jasiyah: 23)

Rasa sombong

Kesombongan ini memiliki tingkatan. Diawali dengan penghinaan terhadap manusia dan merasa jumawa serta lebih tinggi kedudukannya dari mereka, dan berakhir dengan perasaan angkuh serta merasa tidak butuh untuk beribadah dan menyembah Allah Ta’ala. Kesemuanya ini merupakan perilaku tercela yang hanya muncul dari jiwa yang sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ». قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ « إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ»

“Tidak akan masuk surga orang yang masih memiliki sikap sombong di dalam hatinya walau seberat biji sawi.” Maka, ada seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, “Sesungguhnya orang menyukai kalau pakaiannya itu bagus dan sandalnya bagus.” Maka, Nabi menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah yang mencintai keindahan. (Yang dinamakan) sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim no. 91)

Al-Qur’an menjelaskan kepada kita bahwa kesombongan merupakan salah satu sebab kekufuran dan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Raja Namrud,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّي الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنْ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنْ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan.’ Orang itu berkata, ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’ Lalu, terdiamlah orang kafir itu dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 258)

Di dalam kisah Fir’aun, Allah Ta’ala juga mengisahkan,

وَنَادٰى فِرْعَوْنُ فِيْ قَوْمِهٖ قَالَ يٰقَوْمِ اَلَيْسَ لِيْ مُلْكُ مِصْرَ وَهٰذِهِ الْاَنْهٰرُ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِيْۚ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَۗ * اَمْ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْ هٰذَا الَّذِيْ هُوَ مَهِيْنٌ ەۙ وَّلَا يَكَادُ يُبِيْنُ

Dan Fir‘aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, ‘Wahai kaumku! Bukankah kerajaan Mesir itu milikku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku? Apakah kamu tidak melihat? Bukankah aku lebih baik dari orang (Musa) yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?’ (QS. Az-Zukhruf: 52)

Pada kedua ayat tersebut Allah Ta’ala menjelaskan bahwa pembangkangan dan ketidakpatuhan kedua raja tersebut terhadap seruan dakwah dan kesyirikan mereka kepada Allah Ta’ala, tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh kepongahan dan kesombongan yang ada di hati mereka. Dalam hal ini, Allah Ta’ala menyebutkan sebuah kaidah yang menyeluruh terkait penyakit kesombongan ini. Ia berfirman,

اِنَّ الَّذِيْنَ يُجَادِلُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِ اللّٰهِ بِغَيْرِ سُلْطٰنٍ اَتٰىهُمْ ۙاِنْ فِيْ صُدُوْرِهِمْ اِلَّا كِبْرٌ مَّا هُمْ بِبَالِغِيْهِۚ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan (bukti) yang sampai kepada mereka, yang ada dalam dada mereka hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang tidak akan mereka capai, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. Ghafir: 56)

Saat seseorang telah dibutakan oleh kesombongan, maka yang ada di hati mereka hanyalah ambisi untuk menguasai dan menyombongkan diri di depan kebenaran. Tidak peduli siapa yang menyampaikannya, tidak peduli apapun kebenarannya, maka akan mereka tolak.

Ikut-ikutan secara membabi buta dan menjunjung adat-istiadat yang tidak bersumber dari dalil

Perbuatan semacam inilah yang pada akhirnya menyebabkan tersebarnya fenomena-fenomena kesyirikan  di tengah kita serta membuat kesyirikan tersebut terus berlanjut melalui zaman yang panjang. Ikut-Ikutan secara membabi buta serta berlebih-lebihan di dalam mencintai adat istiadat yang berlaku akan membawa seseorang pada jurang kemusyrikan dan kesesatan.

Bersikukuh di dalam sebuah kesyirikan karena beralasan bahwa hal tersebut telah dilakukan sejak lama oleh nenek moyangnya terdahulu, lalu takut untuk meninggalkan kesyirikan tersebut karena menganggap bahwa hal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap budaya leluhur yang telah mengakar kuat dalam kehidupan mereka adalah sebab susahnya hidayah masuk ke dalam diri seseorang. Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذٰلِكَ مَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيْرٍۙ اِلَّا قَالَ مُتْرَفُوْهَآ ۙاِنَّا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا عَلٰٓى اُمَّةٍ وَّاِنَّا عَلٰٓى اٰثٰرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ

Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka.’” (QS. Az-Zukhruf: 23)

Tidak hanya di zaman dahulu saja, di zaman sekarang sering kita jumpai orang musyrik tetap berada dalam kemusyrikannya dengan dalih ini. Meskipun telah sampai kepada mereka dalil- dalil dan bukti-bukti yang begitu banyak akan kesesatan yang mereka lakukan.

Setan dan tipu dayanya

Allah Ta’ala berfirman,

كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةً وَٰحِدَةً فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۦنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۚ

“Dahulu manusia itu adalah umat yang satu. Maka, Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 213)

Dahulu kala, manusia dari zaman Nabi Adam sampai zaman Nabi Nuh ‘alaihimas salam beriman kepada Allah Ta’ala, kemudian setan menghasut dan menipu mereka hingga terjadilah perselisihan di antara mereka sendiri. Ketika itu, tipuan pertama setan kepada manusia adalah dengan memperdaya mereka untuk berdiam diri dan duduk-duduk di kuburan orang-orang saleh serta membuat lukisan dan patung mereka dengan dalih agar senantiasa mengingat-ingat kesalehan dan kebaikan orang-orang saleh tersebut. Hingga terjadilah kesyirikan pertama di bumi ini ketika setan sukses menipu kaum Nuh ‘alaihis salam untuk menyembah patung-patung dan lukisan-lukisan yang telah mereka buat tersebut.

Syekhul Islam dalam Majmu’ Fatawa-nya mengatakan,

“Seperti inilah  keadaan kebanyakan ahli bid’ah, sesat, dan kaum musyrik yang mengaku-ngaku menjadi bagian dari umat ini. Salah seorang dari mereka berdoa dan memohon pertolongan kepada gurunya dan syekhnya yang dia hormati sedangkan gurunya tersebut telah meninggal. Dia saksikan bahwa gurunya tersebut mendatanginya dengan terbang di udara, membantunya untuk menolak beberapa keburukan yang tidak disukainya, atau berdialog dengannya mengenai sebagian hal yang ia tanyakan kepadanya. Dia tidak mengetahui bahwa setan-setan itu berubah wujud menyerupai gurunya untuk menyesatkan mereka, sehingga nampak baik di mata mereka kesyirikan kepada Allah Ta’ala, berdoa kepada selain-Nya, dan meminta tolong kepada selain-Nya.” (Majmu’ Fatawa, 17: 456 secara ringkas)

Berpegang dengan riwayat-riwayat palsu dan mimpi-mimpi yang batil

Pemalsuan hadis dan kebohongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah sesuatu yang spontan. Melainkan sebuah rencana yang sudah terorganisir yang diciptakan oleh para ahli bid’ah untuk melawan Islam sebagai bentuk pelampiasan akan kebencian mereka yang terpendam. Mereka berupaya untuk membuat hadis-hadis palsu dan menyebarkannya di tengah masyarakat, menciptakan hadis-hadis palsu yang bertentangan dengan konsep tauhid. Seperti hadis yang berbunyi,

إذا أعيتكم الأمورُ فعليكم بأهلِ القبورِ ، أو فاستعينوا بأهلِ القبورِ

Jika kalian sedang dirundung masalah, maka kembalilah kepada ahli kubur atau mintalah pertolongan kepada ahli kubur.

Hadis ini atau yang semisalnya, sengaja mereka buat untuk menghalalkan perkara-perkara yang telah dilarang Allah Ta’ala dan Nabi-Nya, baik itu membolehkan meminta tolong kepada ahli kubur yang telah meninggal dunia, atupun perbuatan kesyirikan dan kemaksiatan lainnya.

Begitu pula dengan mimpi-mimpi orang-orang yang dianggap sebagai wali. Mimpi-mimpi yang mendukung mereka untuk berbuat kesyirikan, berlebih-lebihan di dalam mengkultuskan seseorang ataupun mengagungkannya melewati batas yang diperbolehkan oleh syariat ini.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan anak cucu kita dari terjatuh ke dalam perbuatan syirik, menjauhkan kita dari segala macam wasilah dan sebab yang akan mengantarkan kita ke dalam jurang kesyirikan dan kemaksiatan.

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ , وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ

Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan (syirik) yang menyekutukan-Mu, sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa yang tidak aku ketahui.

Berdoalah sebagaimana doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.(QS. Ibrahim: 35)

Wallahu A’lam bisshawab.

[Selesai]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88003-inilah-sebab-sebab-terjatuh-ke-dalam-kesyirikan-bag-2.html

Hamas: Kami Mengobarkan Perang untuk Membela Martabat Al-Aqsha

Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) mengatakan mengobarkan perang dengan Israel untuk membela martabat dan kehormatan Masjid Al-Aqsha. Pernyataan ini disampaikan Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyah, menandai peluncuran Operasi “Taufan Al-Aqsha” ke wilayah Palestina yang dicaplok ‘Israel’.

“Musuh yang mengepung Gaza telah merencanakan untuk mengejutkan dan meningkatkan agresi terhadap rakyat kami di Jalur Gaza, di samping pemukiman dan agresi yang terus berlanjut setiap saat di Tepi Barat, yang berusaha mencabut rakyat kami dan mengusir mereka dari tanah mereka, dan kejahatan penjajah terhadap rakyat kami di tahun 1948-an, karena berdiri di belakang semua operasi pembunuhan dan pembunuhan di sana, dan kelanjutan penjajah dalam menahan tawanan kami selama beberapa dekade, dan mengingkari kesepakatan ketika ia menangkap kembali mereka yang dibebaskan dari kesepakatan pertukaran.”

“Untuk semua ini, kami melancarkan pertempuran kehormatan, perlawanan dan martabat untuk mempertahankan Al-Aqsha, di bawah judul yang diumumkan oleh Saudara Panglima Tertinggi Abu Khaled Al-Deif, “Banjir Al-Aqsha”. Banjir ini dimulai dari Gaza dan akan meluas ke Tepi Barat dan luar negeri, dan setiap tempat di mana rakyat dan bangsa kita berada.”

Sementara juru bicara Hamas, Khaled Qadomi, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa operasi militer yang dilakukan oleh kelompok tersebut merupakan respon atas kekejaman yang dialami oleh rakyat Palestina selama beberapa dekade oleh Zionis.

“Kami ingin masyarakat internasional menghentikan kekejaman di Gaza, terhadap rakyat Palestina, situs-situs suci kami seperti Al-Aqsha. Semua hal tersebut adalah alasan di balik dimulainya pertempuran ini,” katanya.

Ketika ditanya apakah Hamas telah menyandera tentara dan warga sipil Israel, Qadomi menjawab: “Mereka bukan sandera. Mereka adalah tawanan perang.”

Ia menambahkan bahwa para pemukim Israel juga merupakan penjajah dan menurut hukum internasional, mereka adalah penjajah.

“Jadi situasi saat ini adalah perang melawan penjajah,” katanya.

Para pejuang Gaza masuk dan menguasai wilayah jajahan ‘Israel’ di sekitar Gaza. Selama ini para pejuang Gaza defensif, kali ini untuk pertama kali mereka ofensif dan ekspansi.

Hingga kini para pejuang Hamas masih bertempur dengan pasukan penjajah di tujuh lokasi di Israel selatan dekat perbatasan dengan Jalur Gaza, menurut Times of Israel.

Pertempuran senjata terjadi di dan sekitar kota Kfar Aza, Sderot, Sufa, Nahal Oz, Magen, Be’eri, dan pangkalan militer Re’im, lapor surat kabar itu.

Untuk pertama kalinya otoritas zionis mengumumkan status “perang” sejak 1973. Dalam serangan kali ini pejuang perlawanan Al-Qassam mendeklarasikan operasi yang disebut “Taufan Al-Aqsha” dengan serangan dari semua arah; darat, udara dan laut untuk menarget penjajah zionis.*

HIDAYATULLAH

Zaman yang Terus Melaju, Umat Islam yang Terpaku Masa Lalu

Zaman telah berubah secara drastis. Zaman keemasan Islam silam adalah semangat, tetapi bukan tujuan untuk kembali ke masa lalu. Akan banyak ketidakcocokan dan keterkejutan sosial dan budaya yang harus dihadapi umat Islam ketika membangkitkan sistem lama yang telah terkubur dalam sejarah.

Fakta-fakta keemasan masa lalu adalah pembelajaran terbaik untuk masa kini. Tetapi, tentu, bukan dihidupkan ke masa kini dengan format lama yang telah usang. Zaman terus melaju, tetapi kenapa umat Islam masih terpaku masa lalu. Keemasan masa lalu telah berakhir menjadi bagian sejarah. Kenapa harus memulainya dari titik nol kembali. Sejarah itu adalah pembelajaran untuk terus menatap ke depan.

Setiap sejarah yang dilalui umat Islam bukan produk hukum yang harus dirujuk, tetapi pelajaran yang harus diambil hikmahnya. Lihatlah bagaimana al-Quran memberikan pelajaran sejarah-sejarah masa lalu bukan sebagai produk yang harus ditiru, tetapi pembelajaran untuk masa kini. Perjalanan sejarah tetaplah hanya bagian dari babakan sejarah.

Sistem khilafah adalah bagian penting dalam sejarah Islam yang tidak baku dalam perjalanannya. Ia mengalami pasang surut, baik kemegahan dan kegelapan, keemasan dan kehancuran, perdamaian dan konflik saudara. Semuanya adalah bagian dari produk sejarah, bukan produk hukum yang harus dirujuk.

Sebenarnya umat Islam mempunyai dua sandaran penting Al-Quran dan Sunnah. Keduanya adalah pedoman, sandaran dan rujukan yang akan sesuai dengan tempat dan zaman. Kembali kepada al-Quran dan Sunnah bukan pula menghidupkan sejarah masa lalu dihadirkan ke masa kini. Tetapi menghadirkan keduanya sebagai petunjuk dan semangat di masa kini.

Al-Quran dan sunnah adalah sumber bukan produk jadi yang siap pakai. Dua pedoman itu rujukan dan pedoman yang harus digali untuk disesuaikan dengan masa kini. Ulama-ulama besar telah memberikan panduan bagaimana merujuk kedua sumber agar sesuai dengan tantangan zaman. Hadirnya metode dalam ijtihad hukum adalah cara bagaimana ulama masa lalu ingin menghadirkan Islam tetap menjadi rahmat di setiap zaman dan tempat.

Umat Islam terlalu terpaku masa lalu. Akhirnya, selalu memiliki mental yang hanya menjustifikasi sesuatu, tetapi bukan menemukan sesuatu. Setiap penemuan ilmiah, ia akan bangga bahwa ini sesuai dengan al-Quran. Inilah kehebatan al-Quran. Begitu petikan komentar umat Islam. Dalam proses itu, umat Islam tertinggal.

Dengan rujukan al-Quran, bukan umat Islam yang mencoba membuktikan secara ilmiah apa yang terkandung dalam al-Quran. Tetapi umat Islam hanya sibuk menyesuaikan penemuan ilmiah dengan al-Quran. Berbangga jika ditemukan kesesuaian al-Quran dengan penemuan baru, tetapi tidak mampu menemukan penemuan ilmiah baru.

Setiap ada kejadian semisal persoalan sosial, umat Islam hanya mampu berteriak Islam adalah solusi sebagaimana terjadi di era keemasan masa lalu. Umat Islam tidak bisa bertindak hanya mengandalkan keemasan masa lalu. Lihatlah semisal bagaimana Khalifah Umar mengatasi bencana, lihatlah bagaimana khalifah Harun Ar-rasyid berhasil mengatasi kekeringan dan krisis pangan. Rujukannya adalah sejarah masa lalu. Kebanggaan yang berlebihan tanpa harus melakukan solusi berdasarkan pengalaman kekinian.

Jika ditemukan teknologi canggih di masa kini, ulasan yang membanggakan muncul. Sesungguhnya penemu algortima media sosial saat ini adalah cendikiawan muslim. Apa kebanggaannya? Sementara umat Islam saat ini hanya sibuk seputar bid’ah dan sesat tanpa mempunyai energi ijtihad untuk menemukan penemuan baru bagi kemashlahatan manusia.

Anehnya di setiap penemuan baru umat Islam sibuk membid’ahkan, mengharamkan dan menghadang laju perubahan. Jika ditemukan kesesuaian, umat Islam akan mengatakan dengan bangga sesungguhnya penemu awalnya adalah muslim, sesungguhnya ini sesuai dengan dalil, sesungguhnya ini sudah lama dilakukan para khalifah masa lalu.

Umat Islam akhirnya sibuk dengan membicarakan sistem masa lalu yang hendak diterapkan masa kini. Sistem yang katanya bisa menjadi solusi peradaban karena di masa lalu pernah berjaya. Sambil meneriakkan keemasan masa lalu, tidak ada satupun sumbangsih gerakan ijtihad keilmuan yang dilakukan kecuali persoalan politik kekuasaan yang dibicarakan.

Sejatinya jika umat Islam hanya membanggakan masa lalu tanpa berbuat banyak untuk masa kini adalah cermin dari mental inferior yang berharap superioritas masa lalu. Umat Islam terkungkung dalam persoalan politik praktis kekuasaan yang dalam banyak hal menimbulkan perang saudara. Penegakan kekuasaan berdasarkan khilafah, misalnya, tiada henti diteriakkan tanpa semangat gairah keemasan, hanya bermimpi sistem lama itu tegak kembali.

Sungguh, umat Islam harus merubah mental dan cara pandang yang telah berubah. Jangan banyak mengutuk masa kini dengan dalil masa lalu. Buatlah perubahan dengan sumber pedoman masa lalu untuk perubahan kemashlahatan di masa kini. Bukan sekeder berbicara sistem lama yang diterapkan ke masa kini. Berijtihadlah untuk menciptakan sistem baru yang sesuai dengan sumber Islam dan semangat kekinian.

Umat Islam jangan terpaku masa lalu, sementara zaman terus berlalu. Kenapa proyek kebangkitan Islam gagal? Karena ia hanya bangkit saat ini dengan membawa sistem lama, bukan semangat yang lama dibarukan dengan kekinian. Kebangkitan Islam hanya jargon karena format yang diusungnya masih barang lama.

Jika umat Islam masih gamang dalam memperlakukan dan meletakkan sumber, sejarah, tradisi, dan produk hukum, selamanya umat Islam hanya menimbulkan keriuhan kecil dari perubahan besar zaman. Jika umat Islam ingin bangkit adalah dengan merujuk pada sumber dengan mengajaknya berdialog dengan zaman kekinian. Umat Islam tidak bisa kembali ke titik nol dengan sistem lama. Islam sebagai energi perubahan, bukan produk yang sudah membeku untuk dihadirkan kembali di masa kini. Islam harus didialogkan dengan zaman sehingga sebagai energi akan muncul rahmatnya di masa kini.

ISLAMKAFFAH

Sahkah Mandi Junub Tanpa Keramas?

Ketika kita membasuh rambut, kita umumnya menggunakan shampo. Begitu juga ketika kita mandi wajib, kita umumnya keramas dengan pakai shampo. Namun apakah keramas ketika mandi wajib ini harus menggunakan shampo? Sahkah mandi junub tanpa keramas?

Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa rukun wajib mandi besar ada dua hal. Pertama, niat mandi wajib atau niat menghilangkan hadas besar. Kedua, membasahi seluruh badan dengan air, dari ujung rambut kepala sampai ujung kaki.

Jadi apakah mandi junub itu harus keramas? Simak penjelasan Ustadz Gaes!

BINCANG SYARIAH

Tertundanya Pahala Karena Sifat Ini

Seorang Muslim harus berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.

Islam melarang saling bermusuhan dan mengajarkan tentang perdamaian, toleransi, dan persaudaraan antarsesama manusia. Islam mengajarkan untuk tidak berkonflik, menjauhi kebencian dan permusuhan terhadap sesama.

Islam juga mendorong untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan saling menghormati dengan semua individu, tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang mereka. Prinsip ini tercermin dalam banyak ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW, yang menekankan pentingnya menjaga perdamaian.

Nabi Muhammad SAW berpesan untuk selalu menjaga kelembutan hati dan istiqomah dalam melaksanakan amal ibadah. Beliau SAW sungguh mengutamakan perdamaian di antara manusia dan penghapusan terhadap segala perselisihan, pertengkaran maupun bentrokan.

Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan, pintu surga tertutup bagi mereka yang memusuhi saudaranya. Beliau SAW bersabda:

– تُفتَحُ أبوابُ الجنَّةِ يومَ الاثنينِ و الخميسِ، فيغفرُ اللهُ عزَّ وجلَّ لِكلِّ عبدٍ لا يُشرِكُ باللهِ شيئًا، إلَّا رجلًا كانَ بينَه وبينَ أخيهِ شحناء، فيقول: أنظروا هذينِ حتَّى يصطلحا، أنظِروا هذينِ حتَّى يصطلِحا ،أنظِروا هذينِ حتَّى يصطلِحا

“Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis dan akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang memusuhi saudaranya. Maka dikatakan, ‘Tangguhkan amal kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan amal kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan amal kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.'” (HR Muslim)

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujurat ayat 10)

Rasulullah SAW bersabda:

 لا تحاسَدُوا ، ولا تناجَشُوا ، ولا تباغَضُوا ولا تدابَرُوا ، ولا يبِعْ بعضُكمْ على بيعِ بعضٍ ، وكُونُوا عبادَ اللهِ إخوانًا ، المسلِمُ أخُو المسلِمِ ، لا يَظلِمُهُ ولا يَخذُلُهُ ، ولا يَحقِرُهُ ، التَّقْوى ههُنا – وأشارَ إلى صدْرِهِ – بِحسْبِ امْرِئٍ من الشَّرِّ أنْ يَحقِرَ أخاهُ المسلِمَ ، كلُّ المسلِمِ على المسلِمِ حرامٌ ، دمُهُ ، ومالُهُ ، وعِرضُهُ

“Janganlah kalian saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi. Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu di sini, beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.” (HR. Muslim)

Allah SWT mengabaikan orang-orang yang berselisih terhadap sesamanya, terlebih kepada kepada sesama Muslim. Jika sikap bermusuhan ini tetap dilakukan, Allah SWT akan menunda permohonan doa orang tersebut sampai ia bertaubat dan mendamaikan apa yang ada di antaranya.

Seorang Muslim harus berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berselisih. Karena mendamaikan dua pihak yang berselisih adalah sedekah. Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah yang paling baik adalah mendamaikan perselisihan.” (HR Thabrani dan al-Bazzar)

IHRAM

Pengaruh Cinta dalam Konteks Syirik

‘Cinta bikin orang gila’, begitu kata sebagian orang. Barangkali ada benarnya. Buktinya, banyak kita saksikan para pemuda atau pemudi yang rela melanggar aturan-aturan agama demi mencari keridaan pacarnya. Alasan mereka, ‘cinta itu membutuhkan pengorbanan’. Kalau berkorban harta atau bahkan nyawa untuk membela agama Allah, tentu tidak kita ingkari. Namun, bagaimana jika yang dikorbankan adalah syariat Islam dan yang dicari bukan keridaan Ar-Rahman? Semoga tulisan yang ringkas ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama, agar cinta yang mengalir di peredaran darah kita tidak berubah menjadi bencana.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادࣰا یُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَشَدُّ حُبࣰّا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ یَرَى ٱلَّذِینَ ظَلَمُوۤا۟ إِذۡ یَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِیعࣰا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعَذَابِ

Di antara manusia ada yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beiman lebih dalam cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat azab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah: 165)

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Allah menceritakan bahwa mereka (orang musyrik) mencintai pujaan-pujaan mereka (sesembahan tandingan itu) sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Maka, hal itu menunjukkan bahwa mereka juga mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat besar. Akan tetapi, hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Lalu, bagaimana jadinya orang yang mencintai pujaan (selain Allah) dengan rasa cinta yang lebih besar daripada kecintaan kepada Allah? Lalu, apa jadinya orang yang hanya mencintai pujaan tandingan itu dan sama sekali tidak mencintai Allah?” (sebagaimana dinukil dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 7)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala menyebutkan tentang kondisi orang-orang musyrik ketika hidup di dunia dan ketika berada di akhirat. Mereka itu telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, yaitu (sesembahan-sesembahan) tandingan. Mereka menyembahnya di samping menyembah Allah. Dan mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dia itu adalah Allah yang tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Dia. Tidak ada yang sanggup menentang-Nya. Tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan tiada sekutu bersama-Nya.

Di dalam Ash-Shahihain (Sahih Bukhari dan Muslim) dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, dia berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dosa apakah yang terbesar?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu engkau mengangkat selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya, padahal Dialah yang menciptakanmu.’ Sedangkan firman Allah, ‘Adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ Hal itu dikarenakan kecintaan mereka (orang yang beriman) ikhlas untuk Allah dan karena kesempurnaan mereka dalam mengenali-Nya, penghormatan, dan tauhid mereka kepada-Nya. Mereka tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Akan tetapi, mereka hanya menyembah-Nya semata, bertawakal kepada-Nya, dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1: 262)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sumber terjadinya kesyirikan terhadap Allah adalah syirik dalam perkara cinta. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادࣰا یُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَشَدُّ حُبࣰّا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ یَرَى ٱلَّذِینَ ظَلَمُوۤا۟ إِذۡ یَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِیعࣰا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعَذَابِ

Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ (QS. Al-Baqarah : 165)”

Beliau rahimahullah menegaskan, “Maksud dari pembicaraan ini adalah bahwasanya hakikat penghambaan tidak akan bisa diraih apabila diiringi dengan kesyirikan kepada Allah dalam urusan cinta. Lain halnya dengan mahabbah lillah. Karena sesungguhnya kecintaan tersebut merupakan salah satu konsekuensi dan tuntutan dari penghambaan kepada Allah. Karena sesungguhnya kecintaan kepada Rasul (bahkan harus mendahulukan kecintaan kepadanya daripada kepada diri sendiri, orang tua, dan anak-anak) merupakan perkara yang menentukan kesempurnaan iman. Sebab mencintai beliau termasuk bagian dari mencintai Allah. Demikian pula halnya pada kecintaan fillah dan lillah…” (Ad-Daa’ wad-Dawaa’, hal. 212-213)

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79387-cinta-sumber-terjadinya-syirik.html

Inilah Sebab-Sebab Terjatuh ke Dalam Kesyirikan (Bag. 1)

Kesyirikan adalah bentuk kemunduran yang berdampak pada fitrah dan merupakan penyakit yang menyerang hati. Ia merupakan penyakit yang paling ditakuti dan dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjangkiti kita, para umatnya. Beliau bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ؟ قَالَ الرِّياَءُ

Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah syirik kecil tersebut wahai Rasulullah?”  Beliau menjawab, “Riya’.” (HR. Ahmad no. 23630 dan Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman no. 6831)

Jika riya’ yang mana termasuk ke dalam syirik kecil dan hanya membatalkan amalan tertentu saja, beliau takutkan. Maka, bagaimana dengan syirik besar yang akan membatalkan seluruh amal??

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa kesyirikan akan kembali menyebar dan merebak di akhir zaman.

لَا تَقُوم السَّاعَة حَتَّى تَضْطَرِب أَلَيَات نِسَاء دَوْس حَوْل ذِي الْخَلَصَة ، وَكَانَتْ صَنَمًا تَعْبُدهَا دَوْس فِي الْجَاهِلِيَّة بِتَبَالَة

Kiamat tidak akan terjadi hingga wanita-wanita Daus tawaf mengelilingi Dzul Khalashah. Yaitu, berhala yang disembah oleh Daus di masa Jahiliyah di Tabalah.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak dapat dipungkiri, kita hidup di zaman di mana kesyirikan sangat lazim kita jumpai, baik itu di dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya. Kesyirikan (sayangnya) seringkali dijadikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Saat panen hasil laut, mereka melarung sesajen ke tengah lautan. Kata mereka hal ini sebagai bentuk syukur atas hasil laut yang diperoleh selama setahun serta harapan agar memperoleh hasil yang baik tanpa halangan dan musibah.

Sungguh miris, sampai-sampai di dunia maya sekalipun kesyirikan kerap kita jumpai, baik itu iklan ramalan nasib, meyakini sesuatu sebagai sebab atas terjadinya sesuatu yang bukan pada tempatnya hingga sajian video dan konten yang menampilkan praktik perdukunan dan kesyirikan.

Saudaraku, layaknya penyakit-penyakit lainnya yang menyerang tubuh manusia, kesyirikan juga memiliki sebab-sebab yang berpotensi besar menjerumuskam manusia ke dalamnya. Sebab-sebab yang wajib kita waspadai dan kita hindari.

Berikut ini adalah sebab-sebab utama terjerumusnya manusia ke dalam kesyirikan.

Kekaguman dan pengagungan yang berlebihan terhadap sesuatu

Jiwa kita dilahirkan untuk mengagumi sesuatu yang memiliki kelebihan dan keunggulan dari yang lainnya. Namun, penyimpangan syirik ini muncul justru salah satunya karena pemuliaan dan pengagungan yang berlebihan terhadap sesuatu.

Sampai-sampai, jika seseorang telah berlebihan di dalam mengagungkan dan mengkultuskan seseorang, ia akan memalingkan sesuatu yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala kepada yang diagungkan dan dikaguminya tersebut. Ia sucikan sosok yang dikaguminya tersebut dan ia anggap bahwa sosok tersebut tidak memiliki dosa dan kesalahan. Padahal, pengkultusan dan penyucian itu hanyalah milik Allah semata. Rasa kagum yang ia lakukan tersebut pada akhirnya membuatnya terjatuh ke dalam jurang kesyirikan.

Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya kesyirikan pertama di muka bumi ini. Allah Ta’ala mengisahkan di dalam surah Nuh,

قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاَّ خَسَارًا * وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا * وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya, dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar.” Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa‘, Yagus, Ya‘uq dan Nasr.” (QS. Nuh: 21-23)

Kelima orang tersebut adalah orang-orang saleh dari kaum Nuh ‘alaihis salam. Berawal dari rasa takjub dan kagum yang berlebih-lebihan terhadap kesalehan mereka, hingga kemudian saat mereka telah meninggal dunia, rasa kagum tersebut berubah menjadi pengagungan dan pembuatan patung-patung mereka. Setelah berselang beberapa waktu, akhirnya kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam mengkultuskan dan menyembah mereka.

Sebagian manusia yang lain terjatuh ke dalam kesyirikan karena pengkultusan dan pengagungan mereka terhadap benda-benda langit tertentu. Sebagaimana kisah kaum Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang menyembah bintang, matahari, dan bulan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.(QS. Fussilat: 37)

Tentu saja, hal inipun berlaku bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Banyak sekali dari mereka yang mengaku muslim, akan tetapi beribadah kepada kuburan dan mayit yang sudah tidak bisa lagi memberi manfaat. Tidak mengherankan juga jika sebagian manusia yang lainnya ada yang mengkultuskan dan mengagungkan sapi hingga monyet. Semuanya itu tidak lain dan tidak bukan karena kekaguman dan rasa takjub mereka yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu.

Kecondongan hanya mengimani dan mempercayai yang nampak dan berwujud saja serta luput dan lalai dari sesuatu yang tidak nampak

Fitrah dan akal sehat manusia rentan terhadap penyakit. Jika dia tidak konsisten di dalam merawat dan melindunginya dari penyakit-penyakit yang akan menjangkitinya, hingga kemudian dia kehilangan ketertarikan terhadap hal-hal yang tidak berwujud dan tidak nampak serta sedikit demi sedikit membatasi perhatiannya hanya pada lingkup yang nyata dan nampak saja, maka kelalaiannya tersebut akan meluas sampai dia benar-benar membuang panca inderanya dari hal-hal yang tidak nampak oleh dirinya.

Hal inilah yang terjadi pada Bani Israil ketika mereka mengatakan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam,

لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى نَرَى اللّٰهَ جَهْرَةً

Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas.” (QS. Al-Baqarah: 55)

Di ayat yang lain Allah Ta’ala mengisahkan kisah mereka,

قَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ

Mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”(QS. Al-A’raf: 138)

Kelalaian yang ekstrim inilah yang berujung pada pengingkaran sama sekali terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta’ala. Kepercayaan bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya tanpa adanya kuasa Allah Ta’ala di dalamnya, hanya mempercayai sains dan penelitian serta beragam kepercayaan lainnya yang meniadakan kuasa dan keberadaan Allah Ta’ala inilah yang disebut dengan Atheisme, di mana mirisnya hal ini telah melanda sebagian besar masyarakat di era sekarang.

Kebodohan

Tidak dapat dipungkiri, kebodohan merupakan sebab utama ketidakpatuhan kebanyakan umat kepada Nabi mereka dan penolakan mereka dari beribadah dan menyembah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖٓ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۗ قَالَ اَعُوْذُ بِاللّٰهِ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.(QS. Al-Baqarah: 67)

Nabi Musa ‘alaihis salam berlindung kepada Allah Ta’ala agar tidak menjadikannya sebagai salah satu bagian dari kaumnya yang bodoh, yang dengan kebodohannya  tersebut pada akhirnya menuduh Nabi Musa menyampaikan dan mendakwahkan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menceritakan bagaimana perdebatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kaumnya dalam masalah tauhid dan syirik,

قُلْ اَفَغَيْرَ اللّٰهِ تَأْمُرُوْۤنِّيْٓ اَعْبُدُ اَيُّهَا الْجٰهِلُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh?” (QS. Az-Zumar: 64)

Sekiranya mereka yang mengajak berdebat tersebut tidak bodoh dan mempunyai ilmu pengetahuan bahwasanya Allah Yang Mahasempurna dari segala sisi-Nya adalah yang berhak untuk diibadahi dan bukan yang selain-Nya yang lemah dari segala sisinya, tentu permintaan semacam ini tidak akan keluar dari lisan mereka. Karena mereka tahu bahwa menyembah selain Allah Ta’ala termasuk kesyirikan yang dapat menghapus semua amal-amal kebaikan dan tidak akan diampuni oleh Allah, kecuali jika bertobat dengan sebenar-benarnya tobat.

Sungguh kebodohan akan menutup pintu hidayah dan taufik kepada kebenaran. Menjadikan seorang manusia kolot dan keras kepala, sulit menerima kebenaran, lalu kemudiaan tidak mau mengakuinya. Naudzubillahi min dzalika kullihi.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak seperti setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi.”

Wallahu A’lam bisshawab.

Lanjut ke bagian 2: (Insyaallah Bersambung)

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88001-inilah-sebab-sebab-terjatuh-ke-dalam-kesyirikan-bag-1.html

Tafsir Mimpi Bertemu Kucing

Kucing adalah salah satu hewan peliharaan yang digandrungi banyak orang. Selain karena jinak, tingkahnya yang lucu, warna bulu-bulunya yang indah menawan kucing sering juga difungsikan untuk menjaga rumah dari hama tikus. Namun bagaimana jika bermimpi kucing apakah merupakan pertanda baik atau sebaliknya? Berikut penjelasan tafsir mimpi bertemu kucing.

Seorang tokoh Tabi’in ahli tafsir mimpi Muhammad Ibnu Sirin al-Bashri (wafat 110 H) dalam kitab yang dinisbatkan kepadanya yakni kitab Tafsirul Ahlam menjelaskan bahwa tafsir mimpi bertemu kucing, di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat terkait dengan tafsirnya.

Menurut ulama, ada yang berpendapat bermimpi kucing tafsirnya adalah adanya penjagaan, akan mengalami pencurian yang dilakukan oleh kerabatnya sendiri. Pendapat lain mengatakan bila mimpinya berupa kucing betina maka tafsirnya adalah perempuan yang jelek perangainya, suka menipu dan suka berterik-teriak.

Dan dihubungkan dengan orang-orang yang mengelilingi seseorang untuk menjaganya namun juga mengelapkan dan mencuri darinya atau merugikannya. Jika ia digigit kucing atau dikoyaknya maka ia akan di khianati orang yang semula meladeninya atau ia akan menderita sakit.

Ibnu Sirrin berkata: “Bermimpi kucing tafsirnya adalah sakit selama setahun, jika kucingnya liar maka sakitnya lebih parah. Jika kucingnya betina dan tenang ia akan dalam ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam satu tahun. Jika kucingnya betina, liar dan mempunyai banyak luka maka tafsirnya dalam satu tahunnya akan menjengkelkan, menyusahkan dan memayahkannya.” Lihat (Tafsirul Ahlam, juz I halaman 383-384)

Dalam kitab yang sama disebutkan sebuah kisah bahwa suatu saat beliau Ibnu Sirrin ditanya oleh seorang perempuan perihal mimpinya tentang kucing kemudian beliau memberikan tafsir dari mimpinya dan ternyata tepat tafsir yang beliau sampaikan berikut selengkapnya.

 (وحكي) أن امرأة أتت ابن سيرين فقالت رأيت سنوراً أدخل رأسه في بطن زوجي فأخرج منه شيئاً فأكله فقال لها لئن صدقت رؤياك ليدخلن الليلة حانوت زوجك لص زنجي وليسرقن منه ثلثمائة وستة عشر درهماً فكان الأمر على ما قال سواء وكان في جوارهم حمامي زنجي فأخذوه فطالبوه بالسرقة فاسترجعوها منه فقيل لابن سيرين كيف عرفت ذلك ومن أين استنبطه قال السنور لص والبطن الخزانة وأكل السنور منه سرقة وأما مبلغ المال فإنما استخرجته من حساب الجمل وذلك أن السين ستون والنون خمسون والواو ستة والراء مائتان فهذه مجموع السنور

Artinya, “Dikisahkan bahwa suatu ketika seorang perempuan datang menemui Ibnu Sirin ia berkata: “Aku bermimpi seekor kucing memasukkan kepalanya pada perut suamiku kemudian kucing tersebut mengeluarkan sesuatu darinya lantas memakannya.”

Ibnu Sirin berkata kepada si perempuan: “Jika mimpimu benar maka sungguh pada suatu malam akan masuk toko suamimu seorang negro, dan dia akan mencuri dari toko suamimu 316 dirham.”

Benar saja kejadiannya persis apa yang dikatakan oleh Ibnu Sirin. Hidup dilingkungan mereka penjaga pemandian Negro. Mereka mengambil tindakan dan menuntut si Negro bahwa ia telah mencuri dan memintanya untuk mengembalikan apa yang telah ia curi dari toko tersebut.Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Sirin: “Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu, dan dari mana sumber ijtihadmu?”

Ibu sirin menjelaskan: “kucing tafsirnya adalah pencuri, perut tafsirnya almari tempat penyimpanan, kucing memakan darinya dengan cara mencuri. Adapun untuk mengetahui jumlah harta yang dicuri ialah dengan menguraikan dengan hisab jumal (metode penghitungan dengan abajadun/qoidah bagdadiyah) yakni sinn nilainya 60, nun 50, waw 6 dan raa nilainya 200 sehingga jumlahnya (سنور) adalah 60+50+6+200= 316.” (Tafsirul Ahlam, juz I halaman 384-385).

Demikian keterangan tentang tafsir mimpi bertemu kucing menurut Ibnu Sirrin. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bissowab.

BINCANG SYARIAH

Doa Keluar Rumah

Ketika keluar dari rumah dan hendak pergi ke suatu tempat, Rasulullah mengajarkan kita untuk membaca doa keluar rumah agar selama pergi kita terhindar dari bahaya dan kejelekan. Berikut doa tersebut;

باسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ على اللَّهِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ باللَّهِ

Bismillahi tawakkaltu ‘alallaahi wa laa haula wa laa quwwata illaa billah(i)

Artinya: Dengan menyebut nama Allah. Aku bertawakkal kepada Allah, dan  tiada daya serta kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah.

(Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

BINCANG SYARIAH

10 Poin Penting Seputar Ikhlas dan Riya yang Diwanti-wanti Imam Ghazali

Ikhlas merupakan salah satu syarat mutlak amalan seorang hamba

Imam Al-Ghazali adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat. 

Ulama yang dijuluki Hujjatul Islam ini menjelaskan tentang hakikat ikhlas dan riya dalam kitabnya, Raudhah ath-Thalibin wa Umdah as-Salikin dalam buku “Hidup di Dunia, Apa yang Kau Cari?” yang diterbitkan Rene Turos. Berikut ini beberapa poinnya: 

1. Menurut para ulama, ikhlas ada dua macam, yaitu ikhlas dalam beramal dan ikhlas dalam mencari pahala. 

2. Ikhlas dalam beramal adalah kehendak untuk mendekat kepada Allah SWT, mengagumkan urusan-Nya dan menjawab seruan-Nya. 

Munculnya keikhlasan semacam ini didorong keyakinan yang benar kebalikan dari semuanya adalah nifaq atau kemunafikan atau mendekat kepada selain Allah SWT    

3. Adapun ikhlas dalam mencari pahala berarti kehendak untuk memperoleh keuntungan akhirat dengan melakukan kebaikan  

4. Kebalikannya adalah riya atau keinginan mendapatkan keuntungan dunia dengan amal akhirat, baik mengharap dari Allah SWT maupun dari manusia

5. Al-Ghazali menjelaskan, hal yang diperhitungkan dalam perilaku riya adalah apa yang diinginkan, bukan dari siapa  

6. Selain itu, kedua bentuk keikhlasan di atas mempunyai pengaruh yaitu bahwa keikhlasan dalam beramal menjadikan amal sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah SWT (taqarrub), dan keikhlasan mencari pahala membuat amal diterima serta memperoleh pahala berlimpah  

7. Sebaliknya, lanjut Al-Ghazali, kemunafikan itu merusak amal dan mengeluarkannya dari posisi taqarrub. Sementara riya mengakibatkan ditolaknya amal.  

8. Menurut sebagian ulama, amal itu ada tiga macam. Pertama, amal yang mengandung kedua macam ikhlas di atas sekaligus. Kedua, ibadah lahir yang murni. Ketiga, ibadah yang tidak mengandung keikhlasan mencari pahala tetapi mengandung keikhlasan beramal, yaitu hal-hal mubah yang diambil sebagai bekal. 

“Guru kita berkata, setiap ibadah murni yang mungkin dibelokkan kepada selain Allah mengandung keikhlasan amal. Mayoritas ibadah batin mengandung keikhlasan dalam beramal,” jelas Al-Ghazali

9. Berkaitan dengan keikhlasan dalam mencari pahala, guru Al-Ghazali berkata, “Jika dengan melakukan ibadah-ibadah batin seseorang menginginkan keuntungan dunia dari Allah, hal itu termasuk riya.”

10. Maka, lanjut Al-Ghazali, tidak salah jika kebanyakan ibadah batin mengandung kedua macam ikhlas, begitu pula Ibadah sunnah. 

“Oleh karena itu, saat melaksanakan ibadah-ibadah batin dan sunnah harus disertai kedua macam keikhlasan ini sekaligus. Perbuatan-perbuatan mubah yang diambil sebagai persiapan hanya mengandung keikhlasan dalam mencari pahala tanpa keikhlasan beramal,” kata Al-Ghazali.   

KHAZANAH REPUBLIKA