Kiat-Kiat Ikhlaskan Niat, Gandakan Pahala

Meskipun sumber daya kita dalam beribadah kepada Allah terbatas dalam hal waktu, tenaga maupun harta, ada cara-cara agar pahala yang kita dapatkan bisa sebesar-besarnya. Niat adalah modal untuk mengumpulkan dan memetik pahala di akhirat nanti. Semakin ikhlas seseorang dalam beramal, maka semakin besar pahala yang akan didapatkan.

Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah berkata,

رُبّ عمل صغير تُعظمه النيۃ ورب عملٍ كبير تصغره النيۃ.

Berapa banyak amalan yang kecil berubah menjadi besar karena niat, dan berapa banyak amalan yang besar berubah menjadi kecil karena niat.”  (Lihat JamiAl-Ulum wa Al-Hikam fii Syarhi Khamsina Hadisan min JawamiAl-Kalim, hal. 13)

Ada beberapa cara untuk meningkatkan keikhlasan, di antaranya:

Pertama, Berdoa meminta keikhlasan

Agar kita dimudahkan untuk mengikhlaskan amalan ibadah yang dilakukan, maka perbanyaklah doa kepada Allah Ta’ala dengan bacaan doa sesuai kemampuan. Di antara doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini, yaitu:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ مِمَّا لاَ أَعْلَمُ

“Ya Allah, Sungguh Aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu dalam keadaan tahu, dan Aku memohon ampunan dari apa yang tidak saya ketahui.” (HR. Bukhâri dalam Al-Adab Al-Mufrad)

Menyekutan Allah (riya’) adalah lawan dari keikhlasan. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa dan berlindung dari perbuatan riya’.

Di antara doa yang dipanjatkan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,

اللهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِيْ كُلَّهُ صَالِحًا و اجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصاً

Allahummaj’al ‘amali kullahu shalihan, waj’alhu liwajhika khalishan

[Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku adalah amalan saleh dan jadikanlah setiap amalanku ikhlas hanya mengharapkan wajahmu.]” (HR. Ahmad)

Kedua, Menyembunyikan amalan

Seseorang yang beramal dalam kondisi yang tersembunyi akan membantu ia untuk semakin ikhlas. Suatu amalan yang dikerjakan secara sembunyi-sembunyi lebih besar pahalanya daripada yang dilakukan secara terang-terangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari di mana tidak ada naungan, kecuali hanya naungan-Nya semata: (salah satunya) Seseorang yang bersedekah lalu menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya …” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadis di atas dapat kita ketahui bahwa saking seseorang itu menyembunyikan sedekahnya, bahkan tangan kirinya saja tidak mengetahui apa yang ia sedekahkan, apalagi orang lain. Oleh karena itu, pahala yang Allah berikan sangatlah besar.

Begitu pula dengan salat sunah yang dikerjakan secara sembunyi (di rumah) lebih utama daripada yang dikerjakan di masjid. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصَلَاةِ فِيْ بُيُوْتِكُمْ ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ المَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إلَّا الصَلَاةَ المَكْتُوْبَةَ

“Hendaknya kalian mengerjakan salat di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik salat seseorang adalah di rumahnya, kecuali salat maktubah (fardu)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sabda beliau yang lain,

صلاة الرجل تطوعًا حيث لا يراه الناس تعدل صلاته على أعين الناس خمسًا وعشرين درجة

“Salat sunah yang dikerjakan seseorang di tempat yang tidak dilihat orang lain, senilai 25 kali derajat salat sunah yang dia kerjakan di tengah banyak orang.” (HR. Abu Ya’la. Lihat Shahih Al-Jami, no. 7269).

Ketiga, Meyakini bahwa sekecil apapun amalan, pasti Allah akan balas

Allah Ta’ala telah menegaskan dalam firman-Nya,

فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ

“Maka, barangsiapa mengerjakan kebajikan seberat żarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.(QS. Al Zalzalah: 7)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كُتِبَتْ له حَسَنَةً، ومَن هَمَّ بحَسَنَةٍ فَعَمِلَها، كُتِبَتْ له عَشْرًا إلى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ، ومَن هَمَّ بسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، لَمْ تُكْتَبْ، وإنْ عَمِلَها كُتِبَتْ

Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, namun tidak jadi dilakukan, maka ditulis baginya 1 kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan suatu kebaikan, dan jadi dilakukan, maka ditulis baginya 10x sampai 700x kebaikan. Siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, namun tidak jadi dilakukan, maka tidak ditulis keburukan tersebut. Dan jika dilakukan, ditulis 1 keburukan. (HR. Muslim)

Maksud hadis “baginya dengan 10 kebaikan hingga 700 kali lipat”, bukan untuk pembatasan, karena Allah Ta’ala akan melipatgandakan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberikan dari sisi-Nya apa yang tak terhitung dan tak terhingga, bahkan berkali-kali lipat. Hal ini juga menunjukkan betapa luasnya karunia dan rahmat Allah Ta’ala. Balasan yang banyak tersebut diberikan karena kekuatan iman seorang hamba dan kesempurnaan keikhlasan. Semakin ikhlas amalan seseorang, maka semakin dikalikan pula pahalanya, baik 10, 700, maupun tak terhingga. Karenanya, tak diragukan lagi, setiap kebaikan hendaknya didasari pada keimanan serta keikhlasan yang kuat semata-mata karena Allah Ta’ala. (Lihat Tafsir As-Sa’di ketika menafiskan surah Al-Baqarah ayat 261)

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi diri penulis dan kaum muslimin pada umumnya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87555-kiat-kiat-ikhlaskan-niat.html

Doa yang Selalu Diucapkan Nabi Muhammad SAW Setiap Malam

Nabi Muhammad selalu membaca doa ini setiap malam.

Ada doa yang selalu diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW pada setiap malam. Doa ini diucapkan pada saat beliau hendak menutup hari dengan tidur malam setelah seharian menjalani aktivitas.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman, dia berkata:

كانَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ إذَا أرَادَ أنْ يَنَامَ قالَ: باسْمِكَ اللَّهُمَّ أمُوتُ وأَحْيَا، وإذَا اسْتَيْقَظَ مِن مَنَامِهِ قالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ الذي أحْيَانَا بَعْدَ ما أمَاتَنَا وإلَيْهِ النُّشُورُ.

“Bila Nabi SAW hendak tidur, beliau SAW membaca ‘Bismika allahumma amuutu wa ahya (Dengan nama-Mu Ya Allah, aku mati dan aku hidup).’ Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan, ‘Alhamdulillahilladzii ahyaana ba’da maa amaatana wa ilaihin-nusyur (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah tempat kembali)'” (HR Bukhari).

Untuk lebih jelasnya, berikut ini doa yang selalu diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW pada malam hari sebelum tidur, berdasarkan hadits tersebut:

 باسْمِكَ اللَّهُمَّ أمُوتُ وأَحْيَا

Latin: Bismika allahumma amuutu wa ahyaa

Terjemahan: Dengan nama-Mu Ya Allah, aku mati dan aku hidup.

Nabi Muhammad SAW selalu mengingat Allah dalam segala keadaan, termasuk saat hendak tidur. Beliau mengakhiri harinya dengan mengucapkan doa sebagaimana tercantum dalam hadits tersebut.

Allahlah yang memberi kehidupan kepada setiap Muslim, dan Allah jugalah yang mematikan atas kehendak-Nya. Kematian yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah tidur, karena tidur adalah kematian terkecil. Akal dan gerak lenyap ketika manusia tidur. Ini adalah representasi dan analogi untuk kematian yang besar.

Hadits tersebut juga mencantumkan bacaan doa saat bangun dari tidur. Berdasarkan doa bangun tidur itu, dapat dipahami bahwa tidur adalah salah satu bentuk kematian, dan Allah mengembalikan ruh orang yang tertidur kepadanya ketika ia terbangun. Karenanya seorang Muslim memuji Allah karena telah mengembalikan ruh kepadanya.

Hikmah lain ialah berdzikir kepada Allah SWT dalam setiap keadaan. Mengakhiri hari setelah lelahnya menjalani aktivitas sehari-hari dengan bacaan doa mau tidur, dan bangun tidur dengan kembali mengingat Allah.

IHRAM

Ciri Kelompok Radikal Menurut Yusuf al-Qardhawi

Pertanyaan

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Yth redaksi Bincangsyariah, bagaimana ciri kelompok radikal? Pasalnya banyak sekali kelompok-kelompok yang melakukan tindak kekerasan agama atas nama Tuhan. Lantas bagaimana ciri-ciri kelompok radikal ini menurut ulama? Terima kasih.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Di Situasi pandemi seperti ini, masih ada kelompok radikal yang memanfaatkan untuk terus menyebarkan narasi-narasi gagasannya. Sungguh naïf memang di tengah suasana yang tercengang paceklik pandemi masih ada yang menyuarakan khilafah, menyebar teror dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, pada 3/7 lalu seperti dilansir dari Kompas, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya terus berupaya agar paham radikalisme tidak mendominasi ruang publik, terutama di media sosial.

Memaknai makna radikalisme memang bukan perkara yang sepele dan mudah, meskipun kita dengan mudah menyebut contohnya-contohnya. Bahkan sering kali radikalisme dimaknai berbeda diantara kelompok yang berkepentingan.

Salah satu sudut yang digunakan misalnya adalah sudut pandang keagamaan, dimana radikalisme diartikan sebagai gerakan-gerakan fanatisme keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik melalui jalan menggunakan kekerasan. Pada kali ini untuk mengetahui atau memaknai ciri kelompok radikalisme, sedikit panjang akan mengutip ciri kelompok radikalisme menurut pandangan Yusuf al-Qardhawi.

Ciri Kelompok Radikal Menurut Yusuf al-Qardhawi

Yusuf al-Qardhawi merupakan seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari Mesir yang kini tinggal di negara Qatar. Karya-karyanya begitu banyak dan fenomenal dalam ranah akademik. Salah satu karyanya adalah Islam Radikal Analisis Terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya. Dalam bukunya tersebut, ia menerangkan seperti apa ciri pandangan kelompok radikal dalam beragama,

1. Mengklaim Kebenaran Tunggah

Memposisikan dirinya sekan-akan utusan Tuhan. Maka sangat sulit untuk menerima pendapat orang lain. Gerakan radikalisme juga sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.

Sehingga untuk mengatasinya diperlukan beberapa penanganan dari semua aparatur Negara, baik itu rakyat, tokoh agama, serta penegak hukum.  Sehingga dalam pemahaman yang semestinya adalah pemecahan masalah itu tanpa kekerasan, akan tetapi melalui berfikir krtitis dan toleransi.

2. Menganggap Ibadah Sunnah atau Hal yang Mubah Sebagai Kewajiban

Contohnya adalah memanjangkan jenggot, memakai celana hingga di atas mata kaki dan lain sebagainya. Kemdian menurut Qardhawi yang masih pada karyanya yang berjudul Islam Radikal Analisis Terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya (h. 127), bahwa radikalisme memiliki sikap berlebihan yang seseorang miliki dalam beragama, bahkan muncul ketidaksesuaian antara akidah dengan perilaku.

Misalnya antara yang seharusnya dengan realitas, antara agama dengan politik, antara ucapan dengan tindakan, antara yang diangankan dengan yang dialaksanakan, serta antara hukum yang disyariatkan oleh Allah dengan produk hukum manusia itu sendiri.

3. Mengesampingkan Metode Bertahap dalam Berdakwah dan Kasar dalam Berinteraksi

Padahal Islam sama sekali tidak megajarkan untuk bertindak kasar dan memaksa pendapat mereka wajib dianut dan ditiru. Sebab,  sesungguhnya dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme. Dalam Al Qur’an dan Hadits sendiri memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan bertoleransi serta bersikap lemah lembut kepada orang lain meskipun orang itu penganut agama lain.

Berikut riwayat dari Rasulullah SAW tentang Allah sungguh menyukai agama yang toleran dalam hadis memang tidak ditemukan kata toleran, namun dalam hadis menggunakan padanan kata toleran yaitu kata at-tasamuh. Kata tersebut diantaranya ditemukan dalam riwayat hadis Imam al-Bukhari dalam kitab al-Jami’ as-Shahih yang populer dengan sebutan Shahih al-Bukhari, 

وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

Rasulullah SAW bersabda: agama yang paling dicintai di sisi Allah adalah agama yang berorientasi pada semangat mencari kebenaran secara toleran dan lapang (HR. al-Bukhari)

4. Mudah Mengkafirkan Orang Lain Jika Berbeda Pendapat

Seseorang yang tidak mempercayai pendapat mereka (kelompok radikal)  serta tidak mengikuti atas apa yang dia ajarkan baik itu muslim atau tidak, kemudian mereka dengan mudahnya mengatakan kafir.

Itulah beberapa ciri kelompok radikal menurut pandangan Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana kelompok radislime memiliki sikap  yang berlebihan. Kelompok seperti ini harus kita hindari, agar tercipta corak kehidupan yang aman dan damai serta toleran. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Apa itu Cadar atau Niqab?

Mesir melarang penggunaan niqab.

Beberapa hari ini tersiar kabar bahwa Mesir telah mengeluarkan larangan penggunaan niqab atau penutup wajah di sekolah.

Menurut pernyataan Kementerian Pendidikan, seorang siswa harus memutuskan apakah mereka ingin menggunakan jilbab berdasarkan keinginan pribadinya tanpa tekanan atau paksaan dari orang lain selain orang tua.

Pernyataan tersebut juga menambahkan, orang tua harus diberitahu tentang pilihan anak perempuan mereka dan bahwa pihak berwenang akan memverifikasi pengetahuan wali murid tentang pilihan siswa mengenai penutup kepala.

Berpakaian sampai menutup aurat adalah sebuah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap individu muslim atau muslimah. Dan tentu saja, antara aurat laki-laki dan perempuan memiliki batasannya masing-masing.

Dalam buku Hukum Cadar Bagi Wanita karya Ahmad Hilmi dijelaskan laki-laki muslim, batas minimal menutup auratnya adalah antara atas pusar dan bawah lutut. Ini area yang wajib ditutup. Sedangkan perempuan muslimah secara umum batas yang tidak termasuk aurat adalah wajah dan telapak tangan.

Pada area tersebut, pakaian yang menutupinya harus longgar (tidak menampakkan lekuk tubuuh) dan tidak transparan. Jika itu sudah terpenuhi, maka pakaian dengan model apa pun secara umum dibolehkan.

Kemudian persoalan selanjutnya tentang wajah wanita. Jumhur ulama berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat. Namun jika diyakini dapat menimbulkan fitnah, maka lebih baik ditutup.

Cadar atau dalam bahasa Arab disebut niqab atau burqu’, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Mandzur di dalam kitabnya Lisan Al-‘Arab adalah kain penutup yang biasa dipakai oleh wanita untuk menutup wajah bagian atas hidung) dan membiarkan bagian mata terbuka.

Masalah model, tentu antar daerah dan negara akan berbeda-beda. Apalagi jika sudah bicara selera, antara satu kepala dengan kepala yang lain sulit untuk sama.

Di Indonesia sendiri, perkembangan cadar sangat beragam. Hasil adopsi dari berbagai daerah dengan modifikasi. Selembar kain lebih kurang seukuran wajah dengan tali yang diikatkan melingkar kepala. Ada juga yang cukup diberi kancing untuk direkatkan di jilbab (khimar) utamanya. Ada juga yang dengan model jilbab dan cadar Saudi, cukup dengan selempar kain panjang yang sudah termasuk jilbab untuk penutup kepala dan rambut dan sisanya ditutupkan ke wajah sebagai cadar.

REPUBLIKA

Islam, Komunisme dan Pancasila

Islam memiliki peran signifikan menjadi kekuatan anti-komunisme, jangan sampai elite-elite Muslim lupa diri, sibuk kepentingan diri dan kelompoknya dan sibuk saling caci

Oleh: Dr. Adian Husaini

SEJARAH perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pancasila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia.

Pergulatan pemikiran itu secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia. Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia.

Mantan Wakil Kepala BIN, As’ad Said Ali, menulis dalam bukunya, “Negara Pancasila”, (hlm. 170-171), bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui Partai Komunis Indonesia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila.

“Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif,” tulis As’ad dalam bukunya tersebut.

Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi “kebebasan beragama”. Termasuk dalam cakupan “kebebasan beragama” adalah “kebebasan untuk tidak beragama.”

Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan telah ditetapkan sebagai PahlawanNasional.

Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir. Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa “Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal.”

Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: “Betapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu “grootste gemene deler” yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam.”

Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan:

“Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana.” Kasman berkomentar: “Itu artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat/ boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka.”

Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu di bubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, Kasman dan para tokoh Islam lain nya, menerimanya karena telah sah secara konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 536-540).

Dalam bukunya, “Renungan dari Tahanan”, Kasman menulis: “… seluruh rakyat Indonesia, termasuk seluruh umat Islam yang meliputi mayoritas mutlak dari rakyat Indonesia itu kini harus mengindahkan Dekrit Presiden itu sepenuh-penuhnya.” (Lihat, Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967), hlm. 34).

Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dengan menyebutkan adanya rumusan sila kelima yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang berbeda dengan rumusan risalah sidang BPUPK, yaitu (5) “Ke-Tuhanan yang berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi luhur atau Ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain.”

Sakirman juga mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup.” (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku  “Pancasila dan Islam”: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hlm. 275.

Fakta Komunisme

Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM), di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.

Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan: (1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya,

(2) Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam,

(3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut,

(4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme,

(5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia,

(6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu’in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957).

Dalam sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat.

“Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin… Apabila kaum Ulama kita tidak menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme,” kata Hatta dalam sambutannya.

Hatta mengajak agar Ulama berusaha menegakkan keadilan Islam. Kata Hatta lagi, “Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia.

Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera.”

Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia sudah terbukti.

Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komunisme, sejak zaman Orde Lama sampai zaman kini adalah Taufik Ismail. Berbagai buku yang menjelaskan bahaya dan kegagalan komunisme ditulis oleh Taufik Ismail, termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat luas.

Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: “Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita.”

Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: “Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah.”

Satu lagi tulisannya: “Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.”

Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987). Buku saku lain tentang komunis me yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007).

Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai berkampanye tentang perlunya “kebebasan beragama” harus mencakup juga “kebebasan untuk tidak beragama”.

Dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan.

Jangan sampai elite-elite Muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat. Na’udzubillahi min dzalika.*

Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Artikel dimuat di laman Facebook penulis

HIDAYATULLAH

Kandungan Surat An Nisa?

Surat An Nisa menjadi surat Madaniyah terpanjang kedua.

-Surat An Nisa menjadi surat Madaniyah terpanjang kedua setelah surat Al Baqarah. Di mana jumlah ayat dalam surat An Nisa sebanyak dari 176 ayat. 

An Nisa berarti wanita. Sebab dalam surat ini banyak membicarakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan wanita. Bahkan surat An Nisa menjadi surat yang paling banyak membicarakan tentang wanita dibandingkan dengan surat-surat lainnya. Memang selain An Nisa ada juga surat Ath Thalaq yang juga membicarakan tentang wanita tetapi tidak sebanyak di surat An Nisa. 

Syekh Jalaluddin Asy Suyuthi dalam kitab Asroru Tartib al-Qur’an menjelaskan bahwa dalam surat An Nisa banyak membagas mengenai hukum-hukum terutama berkaitan dengan wanita, pernikahan, waris dan lainnya. 

وَأَمَّا سُورَةُ النِّسَاءِ فَتَضَمَّنَتْ أَحْكَامَ الْأَسْبَابِ الَّتِي بَيْنَ النَّاسِ، وَهِيَ نَوْعَانِ: مَخْلُوقَةٌ لِلَّهِ، وَمَقْدُورَةٌ لَهُمْ، كَالنَّسَبِ وَالصِّهْرِ؛ وَلِهَذَا افْتَتَحْت بِقَوْلِهِ: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا} ١ [ثُمَّ] ٢ قَالَ: {وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ} 

Dan adapun surat An Nisa itu mengandung hukum-hukum tentang sebab-sebab yang ada di antara manusia. Yaitu macamnya: menerangkan makhluk-makhluk Allah dan yang dikuasakan kepada mereka seperti nasab dan hubungan perkawinan. Dan oleh karenanya surat ini dibuka dengan firman Allah : Yaa ayuhan nafsut taquu robbakumuladzi kholaqokum min nafsi wahidatin wa kholaqo minha zaujaha (Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya). Kemudian Allah berfirman: wattaqullahaladziy tasaaaluna bihi wal arham (Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.). 

(Lihat Asroru Tartib al-Qur’an karya Imam Jalaluddin Asy Suyuthi, penerbit Darul Fadhilah, halaman 54 atau bisa juga lihat di laman https://shamela.ws/book/9992/52#p1 ).

فَانْظُرْ إِلَى هَذِهِ الْمُنَاسَبَةِ الْعَجِيبَةِ، وَالِافْتِتَاحِ، وَبَرَاعَةِ الِاسْتِهْلَالِ؛ حَيْثُ تَضَمَّنَتْ الْآيَةُ الْمُفْتَتَحُ بِهَا مَا فِي أَكْثَرِ السُّورَةِ مِنْ أَحْكَامٍ؛ مِنْ نِكَاحِ النِّسَاءِ وَمُحَرَّمَاتِهِ، وَالْمَوَارِيثِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالْأَرْحَامِ، وَأَنَّ ابْتِدَاءَ هَذَا الْأَمْرِ بِخَلْقِ آدَمَ، ثُمَّ خَلَقَ زَوْجَتَهُ مِنْهُ، ثُمَّ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً فِي غَايَةِ الْكَثْرَةِ.

Artinya: maka lihatlah keterkaitan  yang luar biasa di ayat-ayat surat An Nisa ini, tentang pembukaannya dan tentang keunggulan permulaannya. Sebagaimana yang terkandung pada ayat-ayat pembuka dalam surat An Nisa yang di dalamnya lebih banyak tentang surat-surat yang menjelaskan hukum-hukum dari perkara menikahi perempuan dan orang-orang yang haram dinikahi, serta tentang persoalan warisan yang berkaitan dengan hubungan darah. Dan sesungguhnya permulaannya dengan Allah menciptakan Adam kemudian menciptakan istrinya darinya, kemudian mengembangkan dari Adam dan istrinya itu keturunan laki-laki yang banyak dan perempuan yang lebih banyak lagi. (Asroru Tartib al-Qur’an, 54)

Dalam Alquran dan Terjemahannya yang diterbitkan Lembaga Percetakan Alquran Raja Fadh Arab Saudi halaman 113 dijelaskan bahwa pokok-pokok isi dari surat An Nisa itu mencakup beberapa hal, di antaranya:

Pertama, berkaitan dengan keimanan. Yaitu tentang syirik sebagai dosa yang paling besar. Serta berkaitan dengan akibat kekafiran di hari kemudian. 

Kedua, berkaitan dengan hukum-hukum. Yaitu tentang kewajiban para washi dan para wali, hukum poligami, mas kawin, memakan harta anak yatim dan orang-orang yang tidak dapat mengurus hartanya. Selain itu tentang pokok-pokok hukum warisan, perbuatan-perbuatan keji dan hukumannya, wanita-wanita yang haram dikawini, hukum mengawini budak wanita, larangan memakan harta secara bathil, hukum syiqaq dan nusyuz, kesucian lahir batin dalam sembahyang, hukum suaka, hukum membunuh seorang Islam, sholat khauf, larangan melontarkan ucapan-ucapan buruk, masalah pusaka kalalah dan sebagainya. 

Ketiga, berkaitan dengan kisah-kisah: Di antaranya kisah tentang nabi Musa dan para pengikutnya. 

Keempat, tentang hal lain seperti asal manusia adalah satu, tentang keharusan menjauhi adat-adat zaman jahiliyah dalam perlakuan terhadap wanita, norma-norma bergaul dengan istri, hak seseorang sesuai dengan kewajibannya, perlakuan ahli kitab terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepadanya, dasar-dasar pemerintahan, cara mengadili perkara, keharusan siap siaga terhadap musuh, sikap-sikap orang munafik dalam menghadapi peperangan, berpegang di jalan Allah adalah kewajiban tiap-tiap mukalaf, norma dan adab dalam peperangan, cara menghadapi orang-orang munafik, dan derajat orang yang berjihad.

IHRAM

4 Cara Minta Maaf Pada Orang Tua yang Sudah Meninggal

Minta maaf kepada orang tua yang sudah meninggal adalah salah satu bentuk bakti kepada mereka. Hal ini juga merupakan wujud dari penyesalan dan permohonan ampun atas segala kesalahan yang pernah dilakukan kepada orang tua semasa hidup. Berikut ini adalah 4 cara meminta maaf kepada orang tua yang sudah meninggal

Cara Minta Maaf Pada Orang Tua yang Sudah Meninggal

Pertama, mendoakan kedua orang tua. Doa memiliki kekuatan yang besar dalam agama Islam. Luangkan waktu untuk berdoa bagi kebaikan dan keselamatan orang tua yang telah meninggal.

Sampaikan permohonan maaf kita kepada Allah dalam doa kita dan mohonkan ampunan bagi mereka. Berdoa adalah cara untuk menunjukkan ketulusan hati dan penyesalan kita atas kesalahan yang telah kita.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat bahwa seorang anak telah wafat kedua orang tuanya, kemudian mengadu pada Rasulullah, kemudian Nabi mewasiatkan untuk mendoakan orang tuanya;

وَرُوِيَ إنَّ الرَّجُلَ لَيَمُوتُ وَالِدَاهُ وَهُوَ عَاقٌّ لَهُمَا فَيَدْعُو اللَّهَ لَهُمَا مِنْ بَعْدِهِمَا فَيَكْتُبُهُ اللَّهُ مِنْ الْبَارِّينَ

Artinya, “Diriwayatkan bahwa seorang anak yang kedua orang tuanya wafat sementara ia pernah berdurhaka terhadap keduanya, lalu ia berdoa kepada Allah sepeninggal keduanya, niscaya Allah mencatatnya sebagai anak yang berbakti,” (Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, juz II, halaman 573).

Kedua, bersedekah dan melakukan amal jariyah. Salah satu cara terbaik untuk meminta maaf kepada orang tua yang telah meninggal adalah dengan melakukan sedekah dan amal jariyah atas nama mereka. Amal jariyah adalah tindakan yang terus memberikan manfaat setelah seseorang meninggal dunia.

Misalnya, membangun sumur air, mendirikan lembaga pendidikan, atau menyumbangkan kitab suci Al-Qur’an. Dengan melakukan amal jariyah atas nama orang tua, kita dapat berharap agar mereka mendapatkan kebaikan dan pahala dari tindakan tersebut, dan diharapkan bahwa ini juga menjadi bentuk permohonan maaf kita kepada mereka yang telah meninggal dunia.

Menyedekahkan pahala pada orang tua yang sudah wafat dan masih hidup, dalam Islam hukumnya diperbolehkan dan pahalanya sampai kepada mereka. Penjelasan ini diterangkan oleh Syekh Zainuddin Al Malibari dalam kitab Irsyadul ‘Ibad, bahwa Ibnu Umar telah berkata sebagai berikut;

ما على أحدكم إذا أراد أن يتصدق لله صدقة تطوع أن يجعلها عن والديه إذا كانا مسلمين فيكون أجرها لهما و له مثل أجورهما بغير أن ينقص من أجورهما شيأ

Artinya; Tidak ada masalah bagi kalian jika hendak bersedekah karena Allah dengan sedekah sunah untuk membagikan pahala sedekah tersebut pada kedua orang tuanya jika keduanya muslim. Maka pahala sedekah tersebut milik kedua orang tuanya, dan dia mendapatkan pahala seperti kedua orang tuanya tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala kedua orang tuanya.

Ketiga, ziarah kubur. Seorang yang orang tuanya telah wafat, kemudian ingin meminta maaf kepada keduanya, bisa dilaksanakan dengan melakukan ziarah ke kuburan keduanya. Dalam sebuah hadis dijelaskan sebagai berikut;

فقد روى الحاكم عن أبي هريرة رضي الله عنه “من زار قبر أبويه أو أحدهما في كل جمعة مرة غفر الله له وكان بارا بوالديه”

Artinya; Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya sekali setiap Jumat, niscaya Allah hapus dosanya. Ia pun dinilai sebagai anak berbakti kepada orang tuanya.”

Keempat, meningkatkan Kebaikan dan ibadah. Salah satu cara paling efektif untuk memohon maaf kepada orang tua yang telah meninggal adalah dengan meningkatkan kebaikan dan ibadah kita.

Dengan melakukan amalan-amalan tersebut, semoga kita bisa mendapatkan ampunan dari Allah SWT dan mendapatkan ridho dari orang tua.

BINCANG SYARIAH

Beginilah Akhlak Ulama Kita

Imam Abu Hanifah pernah menahan diri tidak memakan daging selama beberapa tahun setelah mendengar ada seekor kambing dicuri, beginilah akhlak ulama kita

IMAM Ibnu Sirin, seorang ulama besar dari kalangan Tabi’in, suatu saat bertanya kepada seseorang.  “Bagaimana kabarmu?” 

Ibnu Sirin segera masuk ke rumah dan keluar dengan membawa uang 1000 dirham (sekitar Rp 70.000.000,-) hingga tidak ada sisa uang di rumahnya. Lalu ia berkata; “Ini untuk melunasi hutangmu 500 dirham dan untuk menafkahi keluargamu 500 dirham.” (Al-Ghazali,Ihya’ ‘Ulum ad-Din, 6/1052).

Imam Hasan al-Bashri, seorang ulama terkemuka, sering meng-ghibah dirinya sendiri dengan mengatakan, “Kamu ini suka berkata-kata dengan perkataan orang-orang shalih yang selalu taat dalam beribadah, sedangkan kamu melakukan perbuatan orang-orang fasik, munafik dan mereka yang suka pamer!” (Tanbih al-Mughtarrin, hlm. 9).

Muhammad bin Sa’ad, seorang ulama zuhud, suatu saat, tanpa disadari beberapa uang dinarnya—yang bernilai jutaan rupiah jika dikurskan saat ini—jatuh dan hilang. 

Ia lalu berusaha mengajak seorang pengayak tepung untuk mencari uang tersebut. Akhirnya, beliau menemukan kembali uangnya.

Namun, ia malah berkata sendiri kepada dirinya, “Apakah di dunia ini hanya ada dinarmu saja?”  Seketika, uang itu pun ia tinggalkan. Ia lalu berkata kepada si pengayak, “Dinar itu menjadi milikmu.” (dalam Tarikh Baghdad, 5/15).

Sultan Murad II, salah seorang penguasa Khilafah Utsmaniyah, telah memilih guru-guru khusus yang bertugas mendidik putranya. Salah satunya adalah Syeikh Ahmad bin Ismail al-Kaurani.

Sultan Murad II sekaligus memberi Syeikh al-Kaurani pemukul, yang sewaktu-waktu bisa digunakan memukul Muhammad kecil jika ia melakukan pembangkangan(dalam Nashr al-Kabir Muhammad al-Fatih, hlm. 40-41).

Saat muda, Imam Abu Yusuf pernah menghadiri majelis ilmu Imam Abu Hanifah. Namun, ayahnya melarangnya.

“Janganlah engkau pergi kepada Abu Hanifah. Ia bukan orang kaya, sedangkan engkau membutuhkan materi (untuk bekal belajar),” kata sang ayah.

Sejak itu Abu Yusuf mulai jarang menghadiri majelis Imam Abu Hanifah hingga beliau merasa kehilangan. Suatu saat Imam Abu Hanifah bertanya mengenai sebab ketidakhadiran Abu Yusuf di majelis.

Abu Yusuf menjawab, “Aku sibuk bekerja dan menaati apa yang dikatakan orang tuaku.”

Mendengar itu, Imam Abu Hanifah memberikan sebuah kantong berisi 100 dirham (sekitar Rp 7.000.000,-). “Gunakan ini dan tetaplah mengikuti halaqah-ku. Jika uang itu telah habis, segera kabari aku,” ujar Imam Abu Hanifah.

Akhirnya, Imam Abu Yusuf aktif kembali dalam halaqah. Imam Abu Hanifah terus secara rutin memberikan uang kepada Abu Yusuf dan tidak pernah terlambat.

Hal itu beliau lakukan selama 29 tahun sampai Abu Yusuf memperoleh banyak ilmu dan juga materi. (Al-Muwaffaq al-Khawarizmi, Manaqib Abi Hanifah, 1/469).

Imam Abu Hanifah pernah menahan diri tidak memakan daging kambing beberapa tahun. Itu ia lakukan sebagai kehati-hatian setelah mendengar bahwa ada seekor kambing tetangganya dicuri.

Hal itu beliau melakukan selama beberapa tahun sesuai dengan usia kehidupan kambing pada umumnya hingga diperkirakan kambing itu telah mati. (dalam Ar-Rawdh al-Faiq, hlm. 215).

Imam al-Hulwani, ulama pengikut Mazhab Hanafi yang menjadi imam besar di Bukhara, pernah berkata; “Sungguh, aku memperoleh ilmu ini dengan memuliakannya. Aku tidak mengambil catatan ilmu kecuali dalam keadaan suci.”

Murid beliau, yang juga seorang ulama besar, yakni Imam Syamsuddin as-Sirakhsi, suatu saat mengulang wudhu pada malam hari hingga 17 kali karena sakit perut. Hal itu beliau lakukan agar bisa menelaah ilmu dalam keadaan suci. (dalam Mukhatsar al-Fawaid al-Makkiyyah, hlm. 30).

Beberapa fragmen di atas hanyalah secuil gambaran tentang bagaimana para ulama terdahulu dalam mempraktikkan adab atau akhlak mulia.  Kebesaran dan keagungan mereka bukan semata-mata karena keluasan ilmu mereka, tetapi juga karena ketinggian adab dan akhlak mereka.

Wajar saja, karena mereka memandang adab atau akhlak mulia sebagai perkara amat penting; bahkan lebih penting daripada ilmu.

Diriwayatkan, Imam Malik bin Anas menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mempelajari adab (akhlak) dan 4 tahun untuk mencari ilmu. Tentang pentingnya adab atau akhlak mulia, Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang; “Bagaimana Anda mempelajari adab?”

Imam Syafi’i menjawab, “Aku mempelajari adab seperti usaha seorang ibu yang mencari-cari anaknya yang hilang.” (Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hlm. 10-11).

Imam Ibnu Qasim, salah satu murid senior Imam Malik menyatakan; “Aku telah mengabdi sekaligus belajar kepada Imam Malik bin Anas selama 20 tahun. Selama itu, 18 tahun aku mempelajari adab (akhlak), sisanya 2 tahun untuk mempelajari ilmu.” (dalam Tanbih al-Mughtarrin, hlm. 12).

Semoga saja kita bisa meneladani keagungan adab dan akhlak mereka.*/Arief B. Iskandar, khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

HIDAYATULLAH

Kemenag Laporkan Umroh Backpacker ke Polda Metro Jaya

Fenomena umroh backpacker masih menjadi persoalan.

Fenomena umroh backpacker atau umroh mandiri tanpa melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) saat ini masih menjadi perbincangan. Bahkan, siaran informasi terkait hal ini juga kerap ditemukan di berbagai platform media sosial.

Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Nur Arifin, menanggapi hal tersebut dengan langkah nyata sesuai regulasi. Dia bahkan menyampaikan Kementerian Agama (Kemenag) telah membuat laporan resmi aktivitas penawaran umrah non-prosedur kepada Polda Metro Jaya.

“Perlu diketahui, kami telah mengirimkan surat pengaduan kepada Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. surat tersebut kami layangkan pada 12 September 2023,” kata tutur Nur Arifin dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Senin (2/10/2023).

Bisnis perjalanan ibadah umrah disebut telah diatur oleh Pemerintah sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2019. Dalam Pasal 115 disebutkan, setiap orang dilarang tanpa hak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jamaah umroh.

Bagi yang melanggar, dapat diancam dengan sanksi pidana kurungan selama enam tahun atau pidana denda senilai Rp 6 milyar rupiah. Selain itu, ada JUGA larangan bagi pihak yang tidak memiliki izin sebagai PPIU menerima setoran biaya umroh. Pidananya berupa pidana delapan tahun atau denda sebesar Rp 8 milyar rupiah.

“Ada ancaman pidana berat dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah yang tidak sesuai dengan regulasi negara,” ujar dia.

Nur Arifin menambahkan, dalam surat tersebut pihaknya meminta Polda Metro Jaya menindak tegas pelaku usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan. Polda Metro diharap segera menindaklanjuti laporan tersebut, sebagai bentuk upaya penegakan hukum dan mengurangi potensi kerugian masyarakat.

“Kementerian Agama mengharapkan partisipasi masyarakat dan pelaku usaha dalam penegakan hokum tersebut. Masyarakat harus melek regulasi, jangan tergiur harga umrah murah,” lanjut dia.

Kepada pimpinan PPIU, pihaknya mengharapkan dukungan dengan turut serta melaporkan para pihak yang ketahuan tidak memiliki izin sebagai PPIU, tetapi melakukan penawaran, mengumpulkan jamaah, menerima pembayaran biaya umrah, hingga memberangkatkan jamaah umrah.

Terkait respon Kemenag yang melaporkan pihak yang tidak berizin PPIU kepada aparat penegak hukum, para pelaku usaha menanggapi positif. Salah satu pemilik PPIU di wilayah Tangerang, Banten, Wawan Suhada, mengapresiasi langkah tersebut.

“Sebagai pelaku usaha kami berterima kasih kepada Kementerian Agama yang telah merespon keluhan masyarakat. Kami tentu selalu mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah,” ucap Wawan, yang juga merupakan pimpinan salah satu Asosiasi PPIU.  

IHRAM

Tuntunan dalam Membuat Lahad dan Batu Nisan untuk Kubur

Hadis pertama

Dari Sa’d bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan di waktu sakit yang menyebabkan kematiannya,

الْحَدُوا لِي لَحْدًا وَانْصِبُوا عَلَيَّ اللَّبِنَ نَصْبًا كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Buatkan bagiku lahad dan susunkan batu-batu di kuburku sebagaimana yang diperbuat pada kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 966)

Lahad adalah suatu cekungan di lubang kubur ke arah kiblat untuk meletakkan jenazah. Disebut lahad karena berbelok dari tengah-tengah lubang kubur ke arah samping. Sehingga cara pembuatannya adalah menggali lubang kubur secara tegak lurus, kemudian setelah kedalaman tertentu digali menyamping ke arah kiblat (lihat gambar).

Gambar liang lahad

Gambar. Model lahad dan syaq.

Hadis ini adalah dalil bahwa yang lebih utama berkaitan dengan kubur adalah dibuat lahad. Karena inilah model kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah model kubur yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam melalui tangan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Dan tidaklah Allah memilih untuk Nabi-Nya, kecuali itulah yang lebih afdal.

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

اللَّحْدُ لَنَا وَالشَّقُّ لِغَيْرِنَا

Lahad itu untuk kami, sedangkan syaq adalah untuk selain kami.” (HR. Abu Dawud no. 3208, At-Tirmidzi no. 1045, An-Nasa’i no. 2009, dan Ibnu Majah no. 1554. Dinilai sahih oleh Al-Albani)

Sedangkan dalam riwayat Ahmad (31: 546) disebutkan,

اللَّحْدُ لَنَا، وَالشَّقُّ لِأَهْلِ الْكِتَابِ

Lahad itu untuk kami, sedangkan syaq adalah untuk ahli kitab.”

Syaq dibuat dengan membuat cekungan di tengah-tengah lubang kubur, kemudian jenazah diletakkan di cekungan tersebut (lihat gambar).

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Ulama sepakat bahwa membuat kubur dengan model lahad dan syaq, kedua-duanya diperbolehkan. Akan tetapi, jika tanahnya itu keras (padat) dan tidak berair, maka lahad lebih utama berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Akan tetapi, jika tanahnya lembek dan berair, maka model syaq adalah yang lebih utama.” (Syarh Al-Muhadzdzab, 5: 287)

Syekh Abdullah Alu Bassam hafizahullah berkata, “Ulama bersepakat bahwa diperbolehkan membuat liang kubur dengan model lahad dan syaq. Namun, Imam Ahmad menilai makruh membuat syaq jika tanpa uzur.” (Taudhihul Ahkam, 3: 242)

Hadis ini juga menjelaskan tentang tata cara memakamkan jenazah. Yaitu, dengan memasukkan jenazah dari sisi letak dua kaki di lubang kubur, berdasarkan penjelasan kami di tulisan sebelumnya. Ketika memasukkan jenazah, dianjurkan membaca doa sebagaimana hadis berikut.

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، َ كَانَ إِذَا وَضَعَ الْمَيِّتَ فِي الْقَبْرِ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan jenazah di dalam lubang kubur, beliau mengucapkan, ‘BISMILLAAH WA ‘ALAA SUNNATI RASUULILLAAH’ (Dengan nama Allah dan berada di atas sunah Rasulullah).” (HR. Abu Dawud no. 3213, dinilai sahih oleh Albani)

Sedangkan dalam riwayat Ahmad (8: 430), juga dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي الْقَبْرِ، فَقُولُوا: بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Jika kalian meletakkan jenazah di dalam kubur, maka ucapkanlah, ‘BISMILLAAH WA ‘ALAA MILLATI RASUULILLAAH’ (Dengan nama Allah dan berada di atas millah [agama atau syariat] Rasulullah).”

Setelah itu, diletakkan miring ke arah kanan, karena mirip dengan posisi orang tidur. Dan inilah di antara sunah ketika tidur, sehingga badan jenazah menghadap ke arah kiblat. Setelah itu, bata atau papan diletakkan di belakang punggung jenazah dengan kuat. Hal ini bertujuan untuk: 1) bata atau papan tersebut tidak terjatuh ke dalam liang lahad dan sisi-sisi bata/papan tersebut saling menyatu (merekat) kuat dengan tanah, dan 2) agar tanah untuk menimbun kubur tidak langsung menimpa jenazah. Yang terakhir adalah memasukkan tanah ke dalam lubang kubur secara cepat untuk menyelesaikan proses pemakaman.

Hadis kedua

Dari Fudhail bin Sulaiman, dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُلْحِدَ لَهُ لَحْدًا، وَنُصِبَ عَلَيْهِ اللَّبِنَ نَصْبًا ، وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ

Dibuatkan lahad untuk kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diletakkan batu di atasnya, dan ditinggikan kuburnya dari permukaan tanah setinggi sejengkal.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 3: 576)

Sanad hadis tersebut sahih sesuai dengan syarat Muslim. Akan tetapi, hadis ini juga diriwayatkan secara mursal dari Abdul Aziz, dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُشَّ عَلَى قَبْرِهِ الْمَاءُ، وَوُضِعَ عَلَيْهِ حَصْبَاءُ مِنْ حَصْبَاءِ الْعَرْصَةِ، وَرُفِعَ قَبْرُهُ قَدْرَ شِبْرٍ

Sesungguhnya (Jabir bin ‘Abdillah) memercikkan air di atas kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, meletakkan batu di atasnya, dan meninggikan kuburnya setinggi sejengkal.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 3: 576)

Hadis ini adalah dalil bahwa kubur itu hendaknya ditinggikan dari permukaan tanah seukuran satu jengkal, agar dikenal (diketahui) bahwa itu adalah kubur sehingga orang bisa memuliakan atau menghormatinya, tidak menghinakannya dengan diinjak-injak, dan lain sebagainya. Sehingga tanah yang digunakan untuk menimbun (membuat gundukan) hanya menggunakan tanah dari sekitar liang kubur saja.

Adapun meninggikan lebih dari sejengkal, hal itu tidak diperbolehkan. Demikian pula, tidak diperbolehkan menambahkan tanah dari luar area pemakaman untuk menutup lubang kubur. Karena hal itu dinilai sama dengan meninggikan bangunan di atas kubur yang diharamkan. Sebagaimana telah kami jelaskan di tulisan kami yang lainnya.

Hadis ini juga menjelaskan bolehnya memerciki tanah di kubur dengan air dan meletakkan batu-batu kecil di atas punggung (gundukan) kubur. Karena hal itu bisa mengokohkan kubur dan mencegah gundukan kubur tersebut menjadi tergerus (terkikis). Demikian juga, bisa mencegah hilangnya gundukan kubur karena dibawa oleh angin dan banjir.

Demikian pula, diperbolehkan untuk menandai kubur tersebut dengan batu atau sejenisnya, sehingga orang-orang yang hendak berziarah kubur bisa mengetahui letak kuburnya. Dan juga ketika ingin memakamkan kerabatnya di samping kubur tersebut. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang meletakkan batu di sisi letak kepala kubur ‘Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu, lalu beliau mengatakan,

أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي

Supaya dengan batu itu, aku mengetahui bahwa itu adalah kubur saudaraku dan aku bisa memakamkan keluargaku di dekatnya.” (HR. Abu Dawud no. 3206, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Zahirnya menunjukkan bahwa penanda itu dengan satu batu saja dan diletakkan di sisi diletakkannya kepala jenazah, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah sunahnya, sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah (Al-Majmu’, 5: 298).

Jika kubur tersebut dapat diketahui tanpa penanda batu dan sejenisnya, hal itu pun juga sudah mencukupi.

Demikian sedikit pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87553-tuntunan-dalam-membuat-lahad-dan-batu-nisan-untuk-kubur.html